plan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku terkejut, pagi-pagi Bayan sudah ada di teras indekos. Dia tidak mengabariku sama sekali, aku juga tahu dari Winda yang turun ke bawah untuk membeli shampo ke kios Uda Faisal.

Penasaran, aku pun segera menghampirinya.

"Lo ngapain?" ujarku, tanpa basa-basi.

"Eh, Neng," Bayan tersenyum canggung, tangannya menggerayangi tengkuknya. "Tau dari temen kamu, ya?"

"Lo ngapain pagi-pagi ke sini? Mau ketemu Misel?"

"Ih, masa iya atuh. Sebenernya ...."

Aku melipat tangan di dada dan menatapnya sedikit tajam, menunggu kalimat berikutnya yang akan dia katakan. Sebenarnya aku senang dia datang kesini, dan mau bicara lagi seperti biasa kepadaku. Tapi aku terlalu bodoh dalam berekspresi, aku malah menyambutnya dengan kalimat-kalimat bernada ketus.

"Aku pengen ketemu kamu, tapi takutnya kamu marah, terus téh gak mau gitu ketemu sama aku," ucapnya, dengan nada yang lesu.

"Ngapa jadi gue yang marah? Gue gak pinter rayu, makanya pas lo kacangin gue, ya udah."

Lagi-lagi Bayan menggaruk tengkuknya. "Udah sarapan?" tanyanya.

"Udah."

Cowok itu diam lagi. Aku ingin bertanya banyak tentang kejadian kemarin, namun aku takut ini bukan saat yang tepat.

"Aku minta maaf ya, Neng."

"Hm."

Hening menyelimuti kami berdua, Bayan terlihat kebingungan. Kalau dia saja bingung, apalagi aku. Dia marah tanpa sebab, lalu menuduh aku yang marah, dan meminta maaf.

Satu hal terpikirkan olehku, sepertinya perlu kutanyakan supaya mengusir canggung diantara kami.

"Yan!"

"Neng!"

Sial! Kenapa harus bersamaan, sih?

"Iya, kenapa, Neng?" ujar Bayan. Sebetulnya aku penasaran apa yang ingin dia katakan, cuma daripada ada drama berebut siapa duluan yang bicara, lebih baik aku jawab saja pertanyaannya tadi.

"Tadi lo nanyain soal sarapan, lo belom makan, kan? Mau gue temenin?"

"Oh, itu ... hng ...."

"Tapi tunggu bentar, gue siap-siap dulu."

"Eh, Neng, emangnya gak apa-apa gitu?"

Aku mendengkus. "Kenapa, sih, kalau kita mau jalan lo selalu nanya gitu? Nih ya, kalau gue keberatan ngapain gue mau jalan sama lo?"

Bayan terkekeh seraya menggaruk tengkuknya lagi, sebelum dia menjawab aku segera melesat menuju kamarku untuk berganti baju. Untungnya aku sudah mandi, jadi Bayan tidak perlu menungguku lebih lama lagi.

•••

Bayan membawaku ke suatu rumah, aku menduga itu adalah rumahnya. Gila, kalau tahu dia mau sarapan di rumah aku takkan mau menemaninya. Awkward-lah! Kalau nanti ditanya-tanya oleh keluarganya, bagaimana?

"Bentar ya, aku ambil tas aku dulu. Biar bisa langsung ke kampus, sekalian juga nih, naro motor si Bulet. Hehehe."

Mendengarnya mengatakan hal itu, aku lantas turun dari motor yang kami tumpangi. Aku baru sadar Bayan mengendarai motor yang berbeda—motor milik Fauzan. Aku menunggunya di pekarangan rumah, banyak tanaman disini. Mulai dari bumbu dapur, obat-obatan, sampai tanaman hias seperti bunga anggrek bulan, anyelir, dan tanaman lidah mertua. Aku sedikit paham tentang tumbuhan, jadi hanya melihatnya pun sudah aku ketahui jenisnya. Mereka terawat dengan baik, juga tersusun secara cantik.

Tak lama kemudian Bayan keluar dari garasi kecil di sebelah teras, netraku yang habis menyapu pandangan kini tertuju padanya. Bayan tersenyum, lalu menaiki motor hitam matik yang biasa dia gunakan. Setelah itu, menghampiriku dan mempersilakanku duduk di jok belakangnya. Akhirnya aku bisa bernapas lega, dia tidak sarapan di rumahnya.

Kami berhenti di parkiran kampus, lalu berjalan menuju perpustakaan. Pasti dia mau makan bubur dekat situ lagi.

Benar dugaanku, kami kembali ke warung bubur yang sangat sederhana itu. Seporsi bubur ayam komplit dipesan Bayan, sedangkan aku hanya ikut makan sate telur puyuh.

"Hari ini pengumuman kelompok camping, besok kita téh udah mulai siap-siap. Kamu ikut, kan, ya?" Bayan membuka percakapan. Aku sendiri hanya mengembuskan napas panjang, aku tidak tertarik sama sekali ikut camping semacam ini. Aku lebih suka tiduran sambil menonton drama atau film.

"Ikut atuh, ya? Seru asli, gak bohong," bujuk Bayan.

"Iyaa," jawabku jengah.

"Aku ramal, kamu pernah punya pengalaman buruk pas camping, ya?"

"Ck. Lo gak cocok jadi cenayang. Emang gak suka aja gue tuh travelling, camping, atau sejenisnya. Nyapein."

Mendengar jawabanku, Bayan membulatkan matanya. "Ai kamuuu," ujarnya. "Boloon nyaho¹ ai gak suka jalan-jalan keluar téh. Terus kamu sukanya apa atuh? Jangan bilang sukanya aku?"

Astaga dragon ball! Ya Tuhan, izinkan aku menjitak kepala Bayan, sekali saja.

Ya meskipun aku ingin berteriak "iya" sekencang-kencangnya, sih. Hehe.

"Cringe," ucapku jutek, padahal aku berusaha kuat menahan senyumanku.

Tentu saja Bayan tertawa meskipun tertahan, lalu dia berkata, "Seneng aku téh kalau kamu udah sinis, lucu."

LUCU DARI MANANYA HEY?!

Sudahlah, terserah Bayan saja.

•••

Para mahasiswa baru jurusanku berkumpul di taman belakang fakultas untuk menunggu pengumuman kelompok camping. Rahma dan Musa juga ikut, sementara Marlena tidak ikut, katanya bentrok dengan jadwal kegiatannya di Gereja.

"Oke adik-adik maba tercinta, hari ini aku akan mengumumkan kelompok camping minggu depan, beserta syarat dan ketentuannya. Harap disimak baik-baik, ya. Aku malas mengulang yang telah kuucapkan, jadi kalian harus peka telinganya. Hahaha. Akhirnya aku merasa senior! Baik, kelompok satu ...."

Ingat MC dalam acara pertemuan mahasiswa baru jurusanku saat pertama kali? Ya, orang yang mengatakan hal itu adalah dia, mahasiswa senior yang menjadi MC tempo hari.

Kenapa jurusanku tidak bisa formal sedikit, sih? Tapi tak apalah, supaya tidak tegang.

Kelompok telah diumumkan, dan seperti dalam cerita-cerita fiksi yang mana tokoh utama terlibat dalam peristiwa krusial bersama crush-nya, aku pun sekelompok dengan Bayan.

Cowok itu menghampiriku dengan sumringah di wajahnya, aku geli ingin melemparnya dengan botol minum Rahma yang berukuran satu liter.

"Lo nyogok kating, ya?" tanyaku begitu dia tiba dihadapanku, tak lupa telunjukku melayang—menunjuknya.

"Astagfirullah, gak boleh gitu ai kamu. Pitnah!"

Ya Tuhan, mendengarnya berbicara dengan aksen Sunda kental membuatku terpingkal!

"Tuh coba, naha kamu malah ketawa?" tanya Bayan, masih dengan aksen Sunda-nya yang mirip dengan Kabayan.

Aku mencoba menghentikan tawaku, aku ingin jujur menertawakannya namun takut dia gimana-gimana. Jadilah aku hanya menjawab, "Gak boleh aku ketawa?!"

"Ih, boleh, atuh. Boleh, boleh. Sok kamu ketawa lagi sampe gélo teu katulung ogé, mangga²."

"Hah? Apa, apa? Gélo apa?"

Bayan nyengir. "Nggak, gak apa-apa. Ya udah buruan yuk, kita kumpul sama kelompok. Bisi jadi fitnah berduaan terus mah."

Catat, ya, sahabat, yang mengatakan 'berduaan' padahal di kanan-kiri, depan-belakang sedang banyak orang cuma Bayan saja.

Ketika berkumpul dengan anggota lainnya, kami berdiskusi tentang pembagian tugas bawa barang. Barang yang dibawa sangat banyak, pantas saja acara camping ini cuma bayar dua puluh ribu, orang bawaan barangnya macem mau mudik!

Per-orang harus membawa air mineral ukuran 1500 ml, mie dalam cup dua buah, cokelat batang 200 gram, roti, susu, telur, beras, dan makanan ringan. Itu baru kebutuhan perut, belum keperluan sandang seperti jaket tebal, sarung tangan, kupluk, dan sebagainya. Belum lagi kebutuhan kelompok, kami harus membawa tenda sendiri beserta matrasnya, juga kompor portable, alat masak, alat makan, dan banyak lagi.

Mana waktunya tinggal lima hari lagi, Ya Tuhan ....

"Bayan, gue mau mati baca list barang ini," ujarku pada Bayan.

"Jangan atuh ai kamu, kalau kamu mati ntar yang aku bercandain sampe kesel, siapa?!"

Mendengar jawaban Bayan, rasanya aku malah ingin panjang umur.

Dan menyempatkan diri dalam hidupku untuk menenggelamkannya di kali Sunter.

🌵🌵🌵

¹boloon nyaho = bodoh tau. (Tapi maksud kalimat Bayan, Zafrina rugi karena gak suka holiday)

²gélo teu katulung ogé, mangga = gila tak tertolong juga, silakan

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro