Part 25

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Take Love

Dewa & Dania

###

Part 25

###


Dania terkejut melihat Dewa duduk mematung di sofa ruang tamu saat masuk ke dalam apartemen. Pria itu duduk dengan kedua siku disanggah lutut, dan wajah tenggelam dalam kedua telapak tangan. Kefrustrasian jelas terlihat dari rambut kusut Dewa yang sepertinya berkali-kali tergusur oleh jemari. Dania juga melihat jas Dewa yang terlempar begitu saja di sofa, bersama dasi yang jatuh di lantai.

Apa Dewa memiliki masalah lagi dengan pekerjaan? Cubitan kecil menyakiti hatinya karena ia tak bisa membantu kesulitan Dewa selain hanya sebagai pendukung dan tempat bersandar pria itu. Dania ingin melakukan lebih.

"Dewa?" Dania menyentuh pundak Dewa dengan perlahan. Hampir mengira Dewa tertidur karena pria itu sama sekali tak bergerak. Sekali lagi ia mengangkat tangan ke arah Dewa dengan panggilan yang sedikit lebih keras. "Dewa?"

"Dari mana kau?" desis suara dingin Dewa ketika pria itu bergerak menaikkan kepala menatap Dania yang berdiri di sampingnya.

Dania terperanjat, menyentuh dadanya. Keterkejutannya semakin bertambah ketika menangkap tatapan dingin Dewa yang menajam. Aura pria itu membuat bulu kuduk Dana meremang. Ada sesuatu yang salah dengan sikap Dewa. Pria itu terlihat marah. Sangat marah.

"Dari mana saja kau?" Dewa mengulang pertanyannya dengan suara yang lebih dingin.

"A-aku ... sedang ada sedikit urusan." Dania terbata. Sepertinya ia tahu kenapa Dewa sangat marah padanya. Bukan karena ia keluar tanpa ijin pria itu, tapi tentang siapa yang ia temui. Dari mana pria itu

"Dengannya?"

Dania memilih tak menjawab. Kedua pilihan jawaban dalam pertanyaan Dewa menjebaknya seperti berada di antara dua jurang yang gelap. Dania tak suka memilih dengan jawaban yang sama buruknya.

"Kau menemuinya?!"

Dania tak perlu memilih. Dewa sudah tahu dan tak ada untungnya dia berbohong untuk menyangkalnya. "Kami hanya berbicara."

"Ya, pembicaraan penting apa yang kalian sembunyikan dariku?"

Dania menghela napas. "Ini tidak seperti yang kaupikirkan, Dewa."

Dewa mendengus mengejek sambil berdiri dan berjalan menjauh hanya untuk menendang dan meninju dinding.

"Yang terpenting sekarang adalah apa yang kaupikirkan tentangku saat memutuskan bertemu dengannya di belakangku."

"Karena kau tahu kau tak akan memberikanku ijin."

"Dan itu membuatmu lebih memilih menemuinya secara diam-diam?"

Bibir Dania terkatup rapat. Mengakui kesalahannya dan membuang pandangannya ke samping.

Ponsel Dewa berdering, pria itu meliriknya sekejap dan langsung mematikan ponselnya sebelum kembali memasukkannya ke saku celana begitu melihat pemanggilnya. Di tengah suasana berapi-api seperti ini, melihat nama Raka seperti bensin yang disiramkan ke arahnya.

Dania tak berkata apa pun, ketegangan masih membentang di antara mereka. Tak lama terbelah oleh suara dering ponsel Dania.

"Jangan coba-coba mengangkatnya!" Dewa menunjuk penuh peringatan ke arah Dania. Melihat wanita itu yang langsung menatapnya begitu melihat layar ponsel, Dewa tahu siapa yang tengah menghubungi istrinya.

Dania takut dengan ancaman Dewa, tapi keegoisan pria itu sepertinya perlu diberi pelajaran. Dengan dagu sedikit terangkat, Dania berbalik dan menggeser tombol hijau di layar sebelum menempelkan di telinga.

"Dewa tak mengangkat panggilanku. Mama kecelakaan, to ..." Dania tak sempat mendengarkan karena ponselnya ditarik menjauh dari telinga. "Dewa!"

Dewa membanting ponsel Dania ke lantai. Ponsel itu sempat menyala sejenak, tapi karna seluruh layarnya hancur. Layar ponsel itu berubah jadi gelap.

"Apa kau sudah gila?"

"Beraninya kau mengangkat panggilannya di depanku?"

"Mamamu kecelakaan!"

Dewa membeku, lalu seringai tipis muncul di bibir. "Jangan membodohiku, Dan."

"Kaupikir kak Raka akan bercanda dengan hal seperti ini?"

"Dia mampu melakukan segala cara untuk memisahkan kita, meski aku lebih keras kepala darinya."

"Kak Raka tidak seperti itu."

Mata Dewa melotot murka. Berani-beraninya Dania membela pria lain di hadapannya.

"Kita harus segera ke rumah sakit, Dewa. Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengurusi kebutaanmu."

Dewa meradang. "Ini hanya drama yang dimainkan oleh mereka!"

Dania tercengang.

"Semua ini hanya tipu daya mama dan Mikha. Siapa tahu Raka juga ikut terlibat. Atau mungkin kecelakaanmu juga bagian dari rencana dia."

"Cukup, Dewa!" teriak Dania kencang. Tekanan dalam perutnya seolah membuat perutnya yang menonjol semakin mengencang. Dewa benar-benar telah dibutakan oleh amarah pria itu. "Kau benar-benar keterlaluan!"

Dewa terpaku. Tubuhnya mematung menatap kemarahan yang membungkus Dania. Apakah kata-katanya telah melewati batas? Tidak ada kata-katanya yang berlebihan, Raka Putra Sagara mampu menjadi manipulatif ulung jika berhubungan Dania.

Raka bahkan berani menyuruh Dania menceraikannya setelah tahu ada anaknya di dalam kandungan Dania. Kakaknya pasti tak akan berpikir dua kali jika memiliki kesempatan untuk melenyapkan darah dagingnya demi merebut Dania.

Dania membuang napas sejenak, lalu melanjutkan. "Berhentilah membuatku merasa menjadi wanita yang buruk. Aku merasa sesak dengan perselisihan kalian berdua. Aku merasa benci terjebak di antara kalian berdua."

Hening. Dewa masih membeku. Bibirnya mengering, tak ada sepatah kata pun yang sampai di ujung lidahnya. Yang bisa ia lihat hanya kemarahan Dania, yang menakutkan.

"Mungkin kau tak sungguh-sungguh mencintaiku, Dewa. Kebersamaan kita, keberadaanku yang masih tetap di sisimu hanyalah bentuk keegoisan yang kau paksakan padaku. Karena kau ingin menjadi pemenang. Kau ingin memilikiku meski harus mengorbankan pekerjaan dan keluargamu. Untuk menunjukkan pada kak Raka dan kak Rich bahwa kaulah pemenangnya."

Dewa berusaha menggerakkan bibirnya yang kaku. "A-apa yang kau katakan, Dan?"

"Kau ingin membuat mereka menyesal, karena telah menukar kebahagiaan mereka dengan penderitaanku."

"Kau tahu semua itu tidak benar. Semua ini karena dirimu."

"Jangan menjadikanku alasan atas kebencian di hatimu, Dewa. Semua itu hanya alasan yang meletakkanku sebagai penghancur keluarga kalian. Tidakkah kau memahami semua ini?"

"Itu bukan alasan!"

"Ya, kau mungkin benar. Itu bukan alasanmu. Tapi mungkin ini adalah karma karena aku telah menghancurkan rangkaian hidup bahagiamu dengan kak Zaf. Aku pantas mendapatkannya."

Dewa menggoyangkan kepalanya. "T-tid ..."

"Cukup." Dania mengangkat telapak tangannya ke arah Dewa sebelum pria itu menyelesaikan satu kata pun. Ia tak butuh penghiburan. "Aku sudah muak denganmu. Aku sungguh berharap kita bisa melewati ini bersama. Dan mungkin ..." Dania berhenti sejenak. Menggigit bibir bagian dalamnya dan satu tetes air mata jatuh di pipi. "Jika berpisah ..."

"Jangan!" Teriakan Dewa yang berlumur keputus-asaan, menghentikan kalimat Dania. "Jangan berani-beraninya kau memikirkan hal semacam itu, Dan."

Dania membuang wajahnya ke samping, tangisannya jatuh tanpa mampu ia bendung. Perasaannya benar-benar campur aduk.

"Jika itu adalah pilihan terakhir yang kau berikan padaku, maka jangan salahkan aku jika anak itu tak akan mengenali ibunya seumur hidupnya."

Mata Dania terpejam. "Ancaman? Apakah hanya itu senjata yang kaugunakan untuk menutupi keegoisanmu?"

Dewa membisu. Ia bisa menjawab lebih. Ia bisa lebih keras kepala dari Dania. Ia bisa lebih egois dari yang Dania katakan. Tapi semua kelebihan itu hancur oleh tetesan-tetesan air mata yang mengaliri pipi Dania. Ia memilih diam, meski hatinya menjerit agar Dania memahami bahwa apa yang ditangkap kepala istrinya itu salah. Salah besar!

"Mau ke mana kau?"

Dania tak menjawab, wanita itu berjalan ke arah pintu tanpa mendengarkan panggilan Dewa. Seharusnya ia berjalan lebih cepat, karena Dewa berhasil lebih dulu memegang handle pintu mendahuluinya.

"Biarkan aku keluar." Dania menepis tangan Dewa, tetapi tubuh besar pria itu yang menghadang dengan kokoh, membuatnya Dania tak berdaya.

Dewa mengunci pintu, menarik kunci dan memasukkannya ke dalam saku celana. "Kau akan berterima kasih padaku nanti," ucapnya yakin.

"Dewa!" teriak Dania. Memanggil Dewa yang berjalan ke kamar, tanpa memedulikan jeritan kefrustrasiannya.

"Berterima kasih? Karena berhasil membuatku menjadi wanita yang jahat? Berhasil membuatku menjadi wanita yang tak punya naluri?"

Dewa tak menghiraukan Dania. Pria itu menutup pintu kamar, membiarkan Dania mendidih oleh kekesalan.

***

Sepanjang sore, Dania sama sekali tak berbicara sepatah kata pun. Saat tanpa sengaja tatapan mereka bersirobok, maka dengan cepat dan sikap dingin, Dania berpaling. Dewa sendiri, yang tak ingin Dania membludak, memilih bermain aman dengan tak bicara. Takut satu kata pun yang keluar dari bibirnya akan membuat emosi Dania kembali melonjak dan membuat wanita itu semakin marah padanya. Takut jika Dania benar-benar memikirkan kata 'berpisah' yang Dewa potong karena terlalu menakutkan mendengar kata-kata itu menjadi sebuah kalimat.

Dalam diam, keduanya melahap makan malam. Keduanya benar-benar kehilangan selera makan. Jadi Dania memaksa melahap dua buah apel dan segelas susu ibu hamilnya dan membawa piringnya yang hanya berkurang setengah ke wastafel untuk dicuci.

Dewa menatap punggung Dania, sejak menikah dengan Dania beberapa bulan yang lalu. Ini adalah pertengkaran hebat pertama mereka. Dan sangat menyiksa. Membuatnya merasa bahkan cara bernapasnya saja pun tampak salah di mata Dania.

Tatapan dingin wanita itu tampak mengerikan. Sangat. Dirinya yang terbiasa terlihat menakutkan, kini memahami rasa takut yang ia berikan pada orang lain. Keyakinannya ketika mengunci dan melarang Dania keluar, menjadi goyah. Bukan karena kemungkinan jika mamanya benar-benar kecelakaan, tapi karena menyesal tak bisa menuruti keinginan Dania.

Setelah Raka dan mengatakan selama seharian penuh tak menelan apa pun karena menunggu kedatangannya, tentu saja kecelakaan semacam ini pastilah hanya rekayasa. Karena kemarin jelas-jelas mamanya datang menemui Dania, memberikan surat undangan pernikahan yang tak akan pernah ia datangi. Semua jenis hubungan mereka sudah putus, kecuali darah yang mengalir di nadinya. Jika bisa pun Dewa akan melakukannya asalkan mereka berhenti mengganggu hidup tenangnya dengan Dania.

Setelah membersihkan piring, Dania berjalan ke kamar. Seolah Dewa adalah makhluk tak kasat mata. Dewa menyusul dan melihat istrinya sudah berbaring mencari posisi nyaman di kasur di balik selimut. Kecewa kembali menghujam hati Dewa karena hanya butuh beberapa saat bagi Dania untuk mendapatkan posisi nyaman bahkan sebelum ia ikut naik ke ranjang. Dengan posisi yang paling ia benci karena ia hanya bisa melihat punggung Dania ketika menoleh ke samping.

Biasanya, istrinya itu sulit tertidur dengan nyenyak tanpa memeluk lengan atau menenggelamkan wajah dalam dekapannya. Membuat Dewa sepenuhnya merasa benar-benar diacuhkan Dania. Bahwa Dania ternyata baik-baik saja tanpa dirinya, dan perasaan seperti itu memunculkan rasa takut tak tertahankan yang memanjat naik di dadanya.

Dewa menyelipkan tubuhnya di balik selimut. Hatinya berdebar, penuh keraguan dan bimbang ketika tangannya sudah terangkat hendak menyentuh pundak Dania.

Hening yang lama. Udara di dalam kamar seolah berderak, menjadi dingin dan senyap. Begitu menyesakkan. Tidak ada lagi ucapan selamat malam penuh cinta, pandangan hangat, ataupun panas membara saat tubuh mereka bergulat.

Siapa yang berselingkuh, siapa yang marah?

Persetan, ia tak akan bisa tidur dengan keadaan mereka yang seperti ini. Dewa membanting tubuhnya berbalik menghadap Dania.

"Apa yang kauinginkan, Dan?" Suara Dewa membelah keheningan kamar yang dingin itu. Berlumur kefrustrasian. "Jika keterdiamanmu ini hukuman yang kau berikan pada sikap posesifku, maka kau berhasil. Aku mengaku kalah."

Dania hanya diam. Pria itu masih tak juga memahami dengan benar. Ini bukan soal kalah ataupun menang karena ini perlombaan. Ini tentang ikhlas dan merelakan. Jika saja sedikit kelapangan hatinya bisa ia berikan kepada Dewa.

Dewa mendesah keras. "Dan? Apa kau mengabaikanku?"

Dania masih diam.

Kefrustrasian Dewa membludak. Ia bangkit terduduk, menarik pundak Dania agar berbaring menghadapnya. "Apa kauingin aku memaafkan mereka? Baiklah, aku akan memaafkan mereka. Apa kau puas?"

"Aku tak akan memintamu memaafkan mereka dengan keterpaksaanmu, Dewa."

"Lalu apa yang kauinginkan?"

"Hanya dirimu sendiri yang tahu." Dania menurunkan tangan Dewa dan kembali berbaring memunggungi Dewa. Ketika merasakan tangan Dewa akan menyentuhnya lagi, ia berkata dengan lirih, "Aku benar–benar lelah. Jika kau tidak membiarkanku pergi ke rumah sakit, biarkan aku beristirahat lebih awal malam ini."

Dewa mengepalkan tangannya yang melayang di udara dan hampir menyentuh pundak Dania. Dengan kedongkolan yang menggunung, ia membanting tubuhnya ke kasur. Memaksa diri bersyukur bahwa ia masih bisa melihat Dania di ranjangnya.

***

Paginya, Dewa terbangun dengan sisi tubuhnya yang terasa tertekan oleh beban berat.

Kedua kaki dan lengan Dania melilitnya, dengan wajah tenggelam dalam dada dan berbantal lengannya.

Dewa tersenyum. Wanita itu boleh saja marah padanya, tapi tubuh Dania jelas-jelas adalah miliknya. Sisi magnet yang tak akan pernah bisa meninggalkan dirinya sebagai pasangan.

Dewa mengamati dengan saksama seluruh wajah Dania satu persatu. Bulu mata panjang, hidung kecil, mancung, bibir yang merona, dan pipi yang sedikit gembul. Pemandangan yang menyambut pagi cerahnya. Satu-satunya pemandangan terindah yang pernah memanjakan matanya.

Dewa tak bisa menahan diri mendaratkan satu kecupan lembut di bibir Dania. Membuat bulu mata Dania bergerak perlahan dan membuka membelah rasa kantuk yang masih tersisa.

Aroma Dewa yang berpadu pelukan hangat dan nyaman, membuat Dania enggan bangun dari tidurnya. Tapi ia juga tak ingin melewatkan pemandangan terindah yang menyambut paginya terlewat begitu saja. Satu kecupan singkat, keras, dan lembut, membuat Dania menginginkan lebih. Bibirnya tersenyum dengan mata yang masih setengah tertutup.

Mata mereka saling memaku, saling menyirakan cinta tanpa sepatah kata pun diperlukan untuk menegaskan apa yang mereka miliki bersama. Dania tenggelam, menatap bola mata paling biru yang pernah ia lihat. Kedalaman warna mata Dewa membuatnya seolah-olah ini tidak nyata akan tetapi di saat yang bersamaan ia merasa bangga bahwa itu adalah miliknya. Dewa adalah miliknya. Ia bisa menikmati keindahan ini setiap pagi di sepanjang hidupnya.

Miliknya? Sepanjang hidupnya?

Benarkah Dewa miliknya? Benarkah hubungan mereka akan bertahan selama itu? Dania seolah tersadara ketika keraguan memanjat naik ke dalam hatinya. Seketika ingatan tentang pertengkaran mereka tadi malam membuat keindahan di hadapannya ini hanyalah imajinasi yang membayang di benaknya.

"Lepaskan tanganmu dariku, Dewa," ucap Dania dengan wajah yang berubah datar dalam sedetik.

Dewa menahan senyum, melirik ke arah lengan dan kaki Dania yang melingkari tubuhnya seperti tanaman rambat. "Bukankah seharusnya kau mengatakan itu pada dirimu sendiri."

Tatapan Dania mengikuti arah pandangan Dewa, ia melihat kenyataan yang menamparnya keras-keras. Dania melompat bangun dan mendorong tubuh Dewa menjauh.


***


Thursday, 3 December 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro