Part 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Take Love

Dewa & Dania

🌹🌹🌹

Part 6

🌹🌹🌹

Keduanya berdiri sangat lama, hingga Dania mulai merasakan pegal di kaki dan hendak terjatuh. Dewa menangkap pinggan Dania, menarik kepalanya dan berputar mulai mencari sesuatu untuk duduk. Kursi di samping kakinya menjadi pilihan, ia menarik Dania dan mendudukkan wanita itu di pangkuannya. Memeluk tubuh rapuh itu dengan erat-erat dan tetap akan melakukannya meski Dania berniat menolak.

Dania tak pernah menyangka pelukan Dewa akan senyaman dan sehangat ini. Semua perasaan yang bercampur aduk di dadanya kini mengurai dan memberinya ruang kosong yang sangat melegakan.

"Aku tidak bisa kehilangan kalian, Dan. Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi."

Tangisan dalam suara Dewa membuat mata Dania memanas. Tangan Dania terangkat, mengalung di leher Dewa dan telapak tangannya mengelus rambut di kepala Dewa yang masih lembut meski terlihat kusut. "Maaf, aku pergi tanpa memberitahumu."

"Kenapa kau menandatangi surat sialan itu?" desis Dewa geram.

"Aku tidak bisa kembali ke rumahmu, Dewa."

Dewa mengurai pelukan mereka. Menatap seluruh wajah Dania dalam pandangannya. "Kenapa?"

Bibir Dania sudah terbuka tapi kembali menutup.

"Apa mama yang melarangmu?"

"Mamamu hanya menyayangimu dan kak Raka. Tidak ada yang salah dengan caranya untuk melindungi kalian berdua."

"Aku juga ingin melindungi anakku."

"Dia akan baik-baik saja."

"Apa kauyakin dia akan baik-baik saja tanpa sosok seorang ayah di sisinya?"

"Suatu saat dia pasti akan memahami keadaan kita."

"Aku yang tidak baik-baik saja tanpa kalian!" Suara Dewa penuh penegasan yang kuat.

"Kenapa?"

"Kauingin aku menjawab apa, Dan?"

"Aku hanya tak mengerti hubungan macam apa yang kita pertahankan saat ini."

"Maka kau tak perlu mengerti. Aku tahu kauingin bersamaku. Jadi percaya saja naluri yang ada di hatimu."

"Tidak semudah itu, Dewa. Ada kak Raka, ada mamamu yang akan selalu tersakiti dengan pernikahan ini."

"Kita bisa mencari tempat sendiri. Aku akan mengurusnya."

Dania sudah membuka mulut, tapi tak ada alasan apa pun yang mampu keluar dari bibirnya. Apakah ia juga berharap bisa bersama dengan Dewa lagi?

"Aku sudah merobek surat gugatan perceraian yang kau tandatangani. Dan jangan coba-coba kau bersaksi pernikahan kita atas pemaksaanku saja. Kau juga ikut andil dalam pernikahan kita. Kita sepakat untuk menikah."

Dania masih membungkam. Mengusir kelegaan di benaknya karena Dewa telah membuat tanda tangannya tak berarti apa pun, meski hatinya menyetujui perbuatan Dewa.

"Katakan sesuatu, Dan. Aku tahu kau ingin memberi anak kita keluarga yang utuh. Jika tidak, kau tak mungkin menerima pelukanku baru saja."

Dania merasa pipinya memanas. "Aku punya syarat untukmu."

"Katakan, sebelum aku berubah pikiran."

"Hentikan sikap penuh permusuhanmu dengan kak Raka."

Tubuh Dewa menegang menahan geraman yang hendak meluap tanpa mampu ia cegah. "Dia yang membuatmu pergi dari sisiku," desisnya tajam.

"Ini atas keputusanku sendiri, Dewa. Sepenuhnya."

"Atas dorongan mama dan dia."

Dania berdiri, ia tak akan berdebat. Bahkan syaratnya belum mendapatkan persetujuan saja Dewa sudah mulai mengajaknya berdebat.

"Baiklah!" Dewa terkejut dengan jawaban yang keluar dari bibirnya sendiri. Juga pada tangannya yang kini melingkar di pergelangan tangan Dania. Mencegah wanita itu pergi.

Dania kembali duduk. Kali ini di tempat kosong di samping Dewa. Lalu tangannya menggenggam tangan Dewa dan mulai berbicara lembut meminta pengertian Dewa dengan sungguh. "Hubunganku dengan kak Raka dimulai secara baik-baik, kami pun akan menyelesaikannya dengan cara baik-baik. Kau tak perlu mengkhawatirkan apa pun."

"Dengan satu syarat."

"Apa?"

"Jika sekali lagi kau meninggalkanku, kesepakatan apa pun yang kita sepakati hari ini, otomatis akan batal. Dan anak dalam kandunganmu sepenuhnya menjadi hakku."

"Apa kau mencoba menahanku menggunakan anak ini?"

"Ini satu-satunya cara agar aku merasa aman."

"Aman dari?"

"Kau tahu apa yang kukhawatirkan, Dan. Tak perlu diperjelas."

Dari milik Dewa yang akan direbut oleh orang lain -kak Richard, juga kak Raka-. Dania paham. Pria itu seolah merasakan trauma atas kehilangan kak Zaf dalam hidupnya. Ya, delapan tahun bukan waktu yang sebentar bagi Dewa berusaha mengisi hati kak Zaf. Pemikiran bahwa hidup bahagia bersama kak Zaf sudah tertanam dalam-dalam di masa depan yang Dewa impikan. Tentu kehancuran dan kehilangan rancangan kehidupan bahagia yang sudah dibangun selama delapan tahun lebih, sedikit banyak memberikan trauma pada Dewa.

"Bagaimana? Apa kau setuju?"

Dania akhirnya mengangguk.

Dewa menarik Dania dalam pelukannya. "Terima kasih."

Dania tak memercayai indera pendengarannya. Apakah baru saja Dewa mengucapkan kata terima kasih? Padanya?

***

"Jadi, kapan kita kembali?"

"Bagaimana dengan mamamu?"

Dewa tak tahu, tapi Dewa berharap mamanya mengerti dan menerima keputusan yang ia buat. "Aku sudah melihat beberapa tempat yang bagus untuk kita. Apa kau ingin melihatnya? Pilihlah yang kau suka dan membuatmu nyaman." Dewa menyodorkan ponselnya.

Dania menggeleng. "Apa kau keberatan jika tinggal di apartemenku?"

Dewa mengingat setiap detail apartemen Dania. Ruangan yang hanya memiliki luas tak lebih dari kamar tidurnya yang dibagi tiga bagian. Ruang tamu, dapur berserta pantri kecil, dan kamar tidur. Bahkan gedung itu tak memiliki tempat parkir yang memadai dan keamananya tentu hanya sekedar pos kecil dengan penjaga yang makan gaji buta. "Apa kauyakin tempat itu baik untuk ibu hamil?"

Dania merasa tersinggung. "Tempatku tak seburuk itu, Dewa. Aku tinggal di sana sudah lebih dari setahun."

"Berapa jarak rumah sakit terdekat?"

"Di pusat kota. Sekitar satu atau dua jam. Entahlah, aku belum pernah ke rumah sakit selama tinggal di sana."

"Bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu dan aku tak ada di dekatmu."

Dania mendesah lemah, merasa jengah dengan pertanyaan Dewa yang seolah menyudutkan tempat tinggalnya. "Aku merasa sedikit kesulitan menyesuaikan diri dengan tempat baru, Dewa. Jika kau juga seperti itu, kau bisa tetap tinggal di rumahmu dan ...."

Dewa menggeram. "Hanya sementara. Jika ada sesuatu yang membahayakan, aku akan menyeretmu keluar dan menjual apartemenmu dengan harga sangat murah."

Dania berdecak kesal, tapi senyum tipis tertarik di sudut bibirnya. Terkadang berdebat dengan Dewa terasa tak mengganggu.

Dewa menunduk sedikit, mengecup bibir Dania. Tetapi wanita itu menarik wajahnya menjauh. Saat itulah ia baru menyadari, bahwa mereka tengah duduk di ruang keluarga dengan kedua orang tua Dania di seberang sana. "Mereka sibuk dengan keromantisan mereka sendiri," lirih Dewa. Menatap Raya yang menyandarkan kepala di bahu Bima, keduanya menghadap layar televisi yang memutar film roman. Dewa merasa iri, bahkan mereka akan segera memiliki cucu dan masih bersikap seperti pasangan anak muda.

Dania mengikuti arah pandangan Dewa. Senyumnya semakin melebar. Apakah ia dan Dewa akan seperti itu di masa depan nanti? Pertanyaan itu muncul begitu saja. Dania hanya berharap, apa pun yang mereka mulai saat ini, benar-benar atas kehendak hatinya dan Dewa.

"Apa yang kaulakukan di sini?" Suara dingin dan tajam yang tiba-tiba muncul menyela kehangatan di seluruh ruangan.

Pandangan Dewa dan Dania teralih ke arah Richard yang berdiri di tengah ruang tamu. Kemarahan begitu jelas menguasai emosi Richard.

Bibir Richard menipis, menatap keras pada Dewa. Seakan belum cukup Dewa memporak-porandakan hidupnya dan Dania. Kini pria itu berada di tengah keluarganya tanpa tahu malu. Dengan lengan merangkul pundak Dania yang setengah bersandar di sisi tubuh Dewa. Serta mama dan papa tirinya yang berbincang hangat di sudut ruangan lainnya.

"Richard?" Raya berusaha tersenyum di antara ketegangan yang tiba-tiba memenuhi seluruh ruang keluarga.

Richard melanjutkan langkahnya dan berdiri menjulang di depan Dewa dan Dania. Dewa dengan ekspresi datar dan terkesan tak peduli dengan kemarahan Richard, sedangkan Dania dengan kepucatan dan kekhawatiran akan terjadi baku hantam seperti sebelum-sebelumnya.

"Keluar kau dari rumah kami!" usir Richard menunjuk pintu keluar yang masih terjemblak lebar.

"Sekarang?" dengus Dewa mengejek. Tak perlu merasa harus takut sedikit pun pada gertakan Richard. "Kemas barangmu, Dan."

Richard tercengang sesaat, menoleh ke arah Dania yang kini sudah berdiri dan berusaha menghadap tatapannya ke arah Dewa. Sialan! Apa adiknya ini akan membela Dewa lagi?

"Kak, kita bicara sebentar." Dania menarik lengan Richard ke arah teras belakang. Richard tak bergerak, tapi tarikan Dania yang lebih kuat akhirnya membuat Richard mengalah dengan geram.

***

"Apa kau sudah gila, Dan!"

"Kali ini keputusan Dania sendiri. Kami ingin memulai semuanya dari awal."

"Kau sudah melakukannya dan lihat apa yang terjadi? Dia menyakitimu lagi."

"Kami lebih saling menyakiti satu sama lain jika berjauhan."

Richard lebih dari sekedar terpukul mendengar pengakuan Dania. "Jangan bilang kau mulai mencintainya? Tak mungkin secepat itu, Dan. Kauyakin itu bukan halusinasimu saja?"

"Dan tak tahu, Kak. Hanya saja, berpisah selama tiga hari, Dan merasa ada yang kurang. Kami membutuhkah Dewa, mungkin karena kehamilan Dan."

Richard mengerang dalam hati. Begitu kesal pada Dewa karena kini pria itu berhasil merebut Dania. "Dia bukan pria baik-baik, Dan."

"Dan percaya dia akan jadi ayah yang baik untuk anaknya."

"Sialan kau, Dan!" Richard membelah rambut di kepalanya dengan kelima jari tangan kanannya dan meradang bukan main.

"Kami hanya perlu memulainya untuk diri kami sendiri, Kak. Tanpa ada pihak-pihak yang ikut campur dalam pernikahan kami."

"Apa kaupikir aku pengganggu di antara hubungan kalian?" sengit Richard tak terima.

"Kak Rich tahu bukan itu maksud Dan."

"Omong kosong, Dan. Jika dia saja bisa segila itu untuk menggunakan pernikahan demi balas dendam, kaupikir kegilaan apa lagi yang akan dia lakukan untuk mendapatkan anakmu? Apa pun yang dia katakan padamu, kakak yakin itu hanya demi anakmu. Bukan untukmu."

Dania diam sesaat. "Setidaknya Dan bisa memberikan anak Dan kekasih yang utuh, bukan. Akan lebih baik jika dengan keluarga yang utuh juga."

Aarrgghhh .... Richard benar-benar akan gila mendengar ketololan adiknya lebih jauh lagi. Dewa benar-benar telah mencuci otak adiknya

Dania mendekat. Memeluk lengan Richard dan mendongak dengan raut memelas. "Terima Dewa sebagai satu-satunya ayah dari keponakan kakak. Apa itu membuat kak Rich merasa lebih baik?"

"Tidak!" jawab Richard tegas. Membuang muka ke mana pun asalkan bukan wajah Dania.

"Kakk ..." rengek Dania. Menggoyangkan lengan Richard.

"Tidak, Dan!"

"Demi anak Dan."

Mata Richard terpejam. Richard tak punya pilihan selain menuruti keinginan adiknya satu ini saat Dania sudah menunjukkan ekspresi memohon seperti itu. Merasa sangat kesal atas kelemahannya pada Dania. Richard hanya berharap keputusan Dania kali ini benar. "Sekali lagi kakak mendengar dia menyakitimu, tak ada lagi kesempatan bagi Dewa dan kau pun tak akan menghentikan kakak. Apa kau mengerti?!"

Dania melebarkan senyum di wajahnya. Kaki Dania berjinjit dan mengecup pipi Richard dengan riang. "Terima kasih, Kak. Kami akan berusaha baik-baik saja. Dania berjanji tak akan membuat kak Rich khawatir lagi."

"Jangan berharap terlalu tinggi, Dan. Kakak tetap tak akan melepaskan kalian berdua dengan mudah."

🌹🌹🌹



Double up???? Komen 'mau' sesuka kalian.



Thursday, 14 May 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro