Chapter 12: The Call

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Denting besi terus beradu, organ tubuh terburai, berlumur darah di segala tempat. Pasukan Roladia terhimpit. Semakin banyak prajurit yang mati dari pihak mereka. Pasukan Tiodore terus muncul seolah tak ada habisnya. Pertarungan yang semula berada di lembah, terus bergulir ke utara, mendekati wilayah perkemahan pasukan Roladia.

Tobias bisa melihat Blaine dan kawan-kawannya dikepung oleh beberapa pasukan berzirah hitam. Dia sendiri bertahan dengan perisai sihir yang sekali waktu dibuat untuk menghindari serangan fatal. Tobias merasa pasukannya sudah bergerak mundur terlalu jauh, lebih jauh dari lembah dan area kekuasaan prajurit Tiodore. Dan saat menyapukan pandangannya ke seantero pertempuran, Tobias bisa melihat bahaya yang mendekat. Jumlah invanteri mereka berkurang dengan cepat, sementara para kalvaleri kehilangan kuda-kuda mereka. Mungkin mereka akan segera kalah sebentar lagi.

Seperti yang sudah-sudah, pasukan Roladia berhasil ditekan hingga melewati perbatasan. Malam sudah menjelang saat lembah dikuasai oleh prajurit zirah hitam bangsa Tiodore. Tobias sudah bisa memperkirakan hal itu, mengingat seluruh ksatria mereka adalah makhluk buatan dari sihir gelap. Namun, pemuda itu memilih untuk tidak ikut campur lebih banyak.

Selain serangan Glyph of Barrage –serangan sihir yang mengeluarkan panah tadi– yang berhasil menghancurkan lima ksatria hitam sebelumnya, Tobias tidak melakukan apa-apa lagi. Dia semata-mata bertahan dengan perisainya dan tombak panjang yang dia pungut dari mayat ksatria yang mati.

Langit gelap berbintang menaungi peperangan mereka, mengantarkan kematian para prajurit yang mayatnya terus bergelimpangan di tanah yang mereka pijak sendiri. Di kejauhan, Elaine sudah kehilangan kudanya, bertempur dengan helm besi yang sudah terlepas. Rambut emasnya penuh noda darah, wajahnya berlapis debu dan keringat. Meski tampak kusam, tetapi kharisma sang Jenderal masih terasa kuat.

Sekali waktu, dia menyerukan perintah pada ksatria di dekatnya, atau sekadar kata-kata pembakar semangat. Namun, dia lebih sering mengayunkan pedangnya, menebas tubuh-tubuh musuh tanpa ampun. Sayangnya, di titik ini, gadis itu tampaknya sudah menyadari kalau pasukannya terdesak. Pertempuran bisa mencapai perkemahan sewaktu-waktu, dan di saat gelap seperti ini, pasukan Roladia benar-benar tidak diuntungkan.

Tepat pada saat Elaine hendak menarik pasukannya demi menghentikan pertempuran, mendadak prajurit mulai Tiodore berhenti menyerang. Satu per satu mereka lantas berjalan mundur, meininggalkan pasukan Roladia yang sebagian besar sudah terkapar, entah mati atau terluka berat. Pemandangan aneh itu hanya disaksikan oleh pasukan Roladia dalam diam. Sebagian besar prajurit yang masih bertahan terlalu lelah untuk mengejar atau melawan balik pasukan Tiodore yang mulai bergerak mundur menyeberangi lembah. Pertempuran seolah berhenti di tengah jalan, menggantung ganjil tanpa hasil yang jelas. Tiodore seperti hanya bermain-main dengan pasukan Roladia dan seenaknya berhenti saat sudah bosan bertempur.

Tobias menurunkan tombak dan perisainya. Liam dan Ethan yang sedari tadi bertempur di dekatnya juga turut menurunkan senjata mereka, tampak bingung.

"Mereka sudah hampir menang, tapi kenapa berhenti menyerang tiba-tiba?" tanya Ethan sambil menyarungkan pedangnya yang bersih tanpa noda darah.

"Batas sihir," ucap Tobias tanpa sadar. Ada jeda waktu yang membatasi kekuatan sihir dapat berlangsung, terutama yang berskala besar seperti sekarang. Selain itu, pengguna sihir ini juga memiliki batas area untuk mengejawantahkan kemampuannya. Jika melebihi area serang, makan kekuatannya tidak akan bisa mempengaruhi para prajurit buatan.

"Apa itu?" Liam bertanya, penasaran.

Tobias menghela napas panjang, enggan menjelaskannya saat ini juga. Tubuhnya lelah karena seharian bertarung sebagai ksatria, dan perutnya lapar karena belum makan sama sekali sejak pagi tadi. Namun, entah apakah nafsu makannya masih tersisa setelah melihat tebaran tubuh-tubuh tanpa nyawa yang tergeletak sepanjang lembah.

"Kita bantu orang-orang yang terluka dulu," tukas Tobias lantas membuang tombaknya dan berjalan ke arah prajurit yang terluka di dekatnya,

Liam dan Ethan mengikutinya, turut memapah ksatria yang patah tulang, atau menggendong prajurit yang tak sadarkan diri. Tandu-tandu paramedis sudah siap di bibir perkemahan, membawa para korban ke tenda penyembuh di dekat bibir hutan. Sementara itu, tubuh orang-orang yang tewas masih dibiarkan terbaring di sana, dan baru akan diambil keesokan harinya.

***

Makan malam hari sehabis pertempuran bernuansa muram. Tobias belakangan mengetahui bahwa Blaine terluka parah dan harus dirawat di tenda paramedis sehingga tidak bisa hadir bersama mereka. Godwin muncul setelah cukup larut, dengan dada diperban dan pipi tersayat. Terlepas dari usianya yang sudah matang, sebagai ksatria Godwin memang memiliki ketahanan yang cukup baik. Terlebih setelah dadanya jelas terluka oleh tusukan benda tajam dan masih mengeluarkan darah meski sudah dibebat, pria itu tetap memilih kembali ke tendanya dan bersiap untuk pertempuran selanjutnya.

"Kenapa tidak beristirahat di tenda paramedis?" tanya rekannya yang juga satu tenda dengan mereka.

"Kau lihat saja tempat itu sudah seperti pasar malam. Terlalu banyak prajurit yang terluka, sampai-sampai dibaringkan di luar tenda dan jalan setapak. Bagaimana aku bisa beristirahat di tempat seperti itu?" kilah Godwin sambil mencomot daging rusa yang sudah disimpan sejak kemarin, dihangatkan lagi dengan api unggun seadanya.

"Kalian bertiga tampak baik-baik saja. Pengalaman memang tidak pernah berbohong. Kalian pasti sudah sering menghadapi beragam pertempuran," komentar Godwin melihat Liam, Ethan dan Tobias. Mereka bertiga memang tidak terluka sama sekali. Ethan dan Liam punya kerja sama yang baik, sehingga mereka bisa menghindari serangan dengan lihai. Sementara Tobias semata-mata menggunakan sihir pelindung di saat terdesak, selebihnya dia tidak menyerang dengan terlalu agresif.

"Aku memang sudah pernah mengalami berbagai jenis pertempuran. Melawan, kaum bar-bar, kelompok separatis, bahkan assassin gurun. Tapi musuh kalian di sini jauh berbeda dari semua itu. mereka jelas bukan manusia," sahut Ethan sambil mendesah panjang.

Godwin terkekeh. "Itu yang kubilang kemarin. Kalian lihat sendiri bagaimana prajurit itu tidak terluka meski kita serang atau potong bagian tubuhnya. Mereka juga terus muncul seolah tidak ada habisnya," ujarnya setengah menggerutu. "Entah kapan perang ini akan berakhir. Mungkin setelah semua prajurit kita mati tak bersisa," lanjutnya.

Tobias terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri dan mempertimbangkan apakah perlu membagi informasi yang dia ketahui. Namun, belum sampai ia mengambil keputusan, Sir Nicholas, pemandu pelatihan prajurit, terlihat berjalan mendekat bersama dua ksatria lainnya, lantas berdiri di dekat perkemahan mereka.

"Kau, anak baru. Tobias Wright, benar?" kata Sir Nicholas sambil menunjuk ke arah Tobias.

"Ya?" celetuk Tobas sambil mendongak.

"Ikut aku," tukas Sir Nicholas dengan nada memerintah.

Tobias mengernyitkan alis dengan bingung. Meski begitu dia tetap bangun berdiri sambil menatap rekan-rekannya yang juga tampak gamang. Seketika Liam bangkit berdiri, sementara Ethan mencengkeram tangan Tobias, mencegahnya untuk pergi.

"Anda tidak bisa membawa orang begitu saja tanpa penjelasan. Kami baru selesai bertempur, jadi sudah seharusnya kami mendapat istirahat," sergah Liam tiba-tiba.

"Sir Nicholas menghentikan langkahnya, lantas berbalik menatap Liam dengan tajam. "Di sini, akulah atasannya. Kalian adalah prajurit di bawah komandoku. Seharusnya kau tahu posisimu," kecam pria itu dengan suara rendah.

"Kau tidak berhak memperlakukan kami seperti budakmu. Kami bukan prajurit Roladia," balas Liam tak kalah tajam.

"Kalian menerima uangnya, jadi aku berhak atas kepatuhan kalian." Enteng, Sir Nicholas menyahut.

"Kau!" Liam sudah nyaris meledak marah. Bahkan Ethan pun ikut bangkit berdiri. Namun, Tobias buru-buru melerai mereka sebelum terjadi pertikaian yang tidak perlu.

"Sudah cukup. Aku tidak apa-apa. Aku akan ikut Sir Nicholas. Terima kasih sudah membelaku, teman-teman. Aku akan segera kembali ke tenda," ucap Tobias sambil berjalan ke depan Liam dan menenangkan rekannya tersebut.

Kemarahan Liam dan Ethan berhasil diredam. Akhirnya Tobias pun dibawa pergi oleh Sir Nicholas, menjauh dari tendanya menuju ke tengah perkemahan. Pria itu tidak banyak bicara sepanjang perjalanan. Dua ajudannya juga diam saja, dan hanya berjalan di belakang Tobias seolah sedang menggiring narapidana.

Mau tidak mau Tobias pun jadi waswas. Dalam hatinya bertanya-tanya kenapa mendadak dia dipanggil oleh orang berwenang dan digiring dengan pengawalan semacam itu. Seolah-olah dia bisa kabur kapan saja. Apa ini karena statusnya sebagai Sejarawan Sihir? Bukan sekali dua kali dia diminta untuk mengubah sejarah, atau menghilangkan fakta yang menyudutkan salah satu pihak. Misalnya menghapus kisah yang terlalu kejam, atau kecurangan yang sempat dilakukan. Sayangnya, semua itu tampaknya mustahil karena perang ini belum selesai. Bahkan sepertinya pihak Roladia yang kemungkinan besar akan kalah. Lantas apa yang akan mereka minta dari Tobias?

Tak perlu menunggu lama, Tobias akhirnya sampai di depan tenda utama, tempat tinggal Elaine Calder sekaligus tempat rapat para petinggi pasukan merancang strategi. Sepasang prajurit berbaju zirah berjaga di pintu masuk berupa tirai kain. Mereka membungkuk sopan lalu mempersilakan Sir Nicholas untuk masuk bersama Tobias.

Ini pertama kalinya Tobias memasuki tenda tersebut. Sebuah ruangan luas beralas karpet jerami menyambutnya, lengkap dengan meja kayu panjang yang di atasnya terdapat peta geografi lokasi pertarungan mereka. Putri Elaine dan Komandan Arne tampak berdiri di sisi meja, saling berhadapan sambil memperhatikan peta di depan mereka. Saat Sir Nicholas dan Tobias masuk, mereka berdua lantas menoleh sambil melipat tangan.

"Saya membawa prajurit yang dimaksud, Yang Mulia," ujar Sir Nicholas sambil membungkuk ke arah Elaine.

Tobias mengikuti gerakan curtsy sopan tersebut untuk menyapa sang putri. Gadis itu berdiri tegas, dan meski tanpa baju zirah, tetapi hawa keberadaannya sudah cukup kuat dan sedikit mengintimidasi. Rambut emasnya tampak berkilau, diterangi lentera yang menggantung di atas tenda. Bekas noda darah dan debu sudah bersih dibasuh. Kini Elaine tampak seperti gadis biasa tanpa zirahnya, meski tetap dengan pembawaan yang tajam dan berwibawa.

"Terima kasih, Nicholas. Silakan bergabung dengan kami," ujar gadis itu dengan suara tenang.

"Baik, Yang Mulia," jawab Sir Nicholas lantas berjalan ke seberang meja. Ia mengedik pada Tobias, memberinya kode agar mengikuti. Tobias menurut, dan berjalan di belakang Sir Nicholas. Keduanya berbaris di sisi meja yang berseberangan dengan Putri Elaine.

"Kau Tobias Wright, benar?" tanya Elaine menatap Tobias dengan mata birunya yang jernih.

Tobias balas memandangnya. Hatinya sedikit bergetar saat kedua mata mereka bertemu. Namun, pemuda itu segera menguasai diri. "Benar, Yang Mulia," jawabnya sambil sedikit membungkuk.

"Apa benar kau seorang penyihir?" tanya gadis itu tanpa basa-basi.

Tobias masih tertunduk, berusaha berpikir cepat untuk memberi jawaban yang tepat. Sia-sia saja berbohong. Sepertinya ada yang melihatnya membuat lingkaran sihir saat pertarungan tadi. Dan lagipula, dia juga tidak berniat untuk menyembunyikan identitasnya.

"Benar, Yang Mulia," jawab Tobias dengan kalimat yang sama.

Elaine masih memandangi Tobias. Sekali itu saja, Tobias tidak bisa membaca benak gadis itu. Biasanya semua pikiran seseorang bisa terlihat dari gestur atau arah pembicaraannya, tetapi kali ini, dia tidak bisa menebak apa yang diinginkan lawan bicaranya.

"Pinjamkan kekuatanmu," kata Elaine tiba-tiba.

Sontak Tobias pun mendongak dan menatap Elaine dengan alis berkerut. "Saya memang penyihir, tetapi saya juga seorang sejarawan. Anda tahu arti markah ini tentunya," sergah pemuda itu sembari mengangkat punggung tangannya yang bermarkah emas.

Elaine melihatnya tanpa ekspresi. "Pembantaian terjadi di depan matamu. Dan semua itu adalah ulah penyihir. Sebanyak apa pun tenaga manusia yang dikerahkan, untuk melawan kaummu itu tidak mudah. Bukankah adil jika sihir dilawan dengan sihir?" tajam, gadis itu menjawab.

Tobias menghela napas, hampir kehilangan kata-kata. "Saya akan membantu dengan memberikan informasi yang saya ketahui, Yang Mulia. Tidak bisa lebih dari itu," ujarnya kemudian. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro