Tania

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kalau misalnya aku suka sama Rasyid, mm ... Rasyid mau pacaran sama aku nggak?” Tania mengekori langkah Rasyid yang berjalan makin cepat di depannya.

Rasyid hanya menggeleng pelan sebelum berbelok ke arah toilet khusus pria dan masuk ke dalamnya. Dia menutup pintu dan menghela napas lega. Bisa-bisanya ada perempuan semacam Tania yang tak pernah lelah, hampir tiap hari menyatakan cinta padanya selama tiga bulan terakhir ini. Dia membuka keran, membasuh kedua tangannya, lalu berwudhu. Hanya Allah yang mampu mengatur jalan hidupnya, untuk itu dia memanjatkan doa, semoga bukan Tania atau gadis semacam dia lah yang akan menjadi jodohnya kelak. Dia membuka pintu toilet, dan kembali menghela napas. Gadis itu masih setia menunggunya di depan pintu. Tangan gadis itu bergerak maju-mundur, sepertinya dia tak bisa diam.

Rasyid berjalan cepat melewati gadis itu. Dia pura-pura tak menyadari keberadaannya seperti biasa.

“Aku harus gimana biar Rasyid mau pacaran sama aku? Kasih aku clue!” pintanya sambil melongok ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari perhatian Rasyid yang berjalan makin cepat di depannya.

Mendengar pertanyaan itu, Rasyid menghentikan langkah hingga gadis itu menubruk punggungnya. “Astagfirullah,” gumamnya sambil mengelus dada dan menghindar. Menciptakan jarak dengan Tania yang masih saja mengikutinya. “Diam di sana! Jangan ikutin aku lagi! Aku nggak pacaran sebelum nikah!” ucap Rasyid yang langsung direspon dengan kerjapan mata Tania. Gadis itu terdiam sejenak sebelum mengangguk berulang-ulang.

“Terus, aku harus gimana biar Rasyid mau nikah sama aku?” tanyanya semangat dengan mata berbinar-binar. Sebelah tangan Tania memilin pelan ujung rambutnya yang bergelombang.

“Aku akan nikah sama perempuan yang islami,” ucap Rasyid pelan. Dalam hati dia mengaminkan ucapannya.

“Oh? Yang islami, ya?” tanya Tania lesu, sesaat membuat Rasyid bersyukur. Mungkin gadis aneh itu akan menyerah, berhenti mengekori dan menyatakan cinta padanya karena sadar dirinya tidak sesuai dengan kriteria istri idaman Rasyid. Tapi dia kembali menghela napas saat dilihatnya gadis itu mengepalkan kedua tangan di depan muka, lalu mengacungkannya. “Aku akan berubah menjadi perempuan islami! Biar bisa nikah dan pacaran sama Rasyid!” serunya semangat sebelum berbalik dan melenggang pergi begitu saja.

Rasyid menghela napas. Bolehkah kali ini saja, dia mendoakan Tania gagal? Rasyid tahu seharusnya dia mendoakan hal sebaliknya, tapi menyadari konsekuensi yang akan terjadi, dirinya yang akan menjadi korban jika Tania benar-benar bisa berubah.

***

Satu tahun berlalu sejak kejadian itu. Rasyid merasa bisa bernapas dengan lega setahun terakhir ini, tanpa ada gangguan perempuan dan masalah berat lain yang menghampirinya. Dia duduk dengan tenang di salah satu kursi juri lomba tahfiz yang diadakan dalam rangka menyambut hari Nuzulul Quran.

"Yang tadi, Sofia, makhrajul hurufnya bagus, tapi tajwidnya ...," gumam juri yang duduk di sebelah kanan Rasyid. Dia tersenyum dan mengangguk menanggapi. Matanya kembali awas melihat peserta selanjutnya. Peserta putri berkerudung coklat, terlihat asal-asalan karena beberapa helai rambut mencuat dari dalamnya. Jemari peserta itu tak berhenti memilin ujung baju krem yang dikenakannya hingga kusut.

Peserta itu duduk di hadapan mereka sambil menunduk. tangannya yang bergetar, perlahan bergerak menyentuh dan mengambil mic, membawanya ke dekat bibir dan mulai melantunkan surat Al-Mulk, surat pertama juz 29, surat wajib bagi tiap peserta sebelum surat pilihan dari juri dan sambung ayat. Meski di awal, suara peserta itu terasa bergetar  tapi lambat laun, alunannya makin pas dan sangat indah meski tak begitu merdu.

Rasyid memejamkan mata, menghayati rangkaian lantunan peserta itu.

"Huwal ladzii ja'ala lakumul ardho ...."

Bayangan menjelajahi bumi Allah kembali melintas di benak Rasyid. Dia baru kembali membuka mata ketika peserta itu selesai membacakan surat itu. Suasana hening, tak ada suara. Dia kembali mengamati peserta itu, rasanya tak asing. Mungkinkah Rasyid mengenalnya?

"Hmm ... su-surat pilihannya?" tanya peserta itu sambil melirik takut-takut dari balik ujung kerudungnya yang miring ke kiri.

Rasyid menghela napas, sebelum berucap, "Al-Ma'arij." Dan lantunan indah itu kembali terdengar. Bolehkan Rasyid berharap bisa mendengarkan lantunan indah seluruh surat di Alquran darinya setiap hari? Dia menertawakan diri sedikit sebelum kembali menajamkan telinga. Dia ingat, kali ini dia berada di posisi sebagai juri lomba. Jadi dia harus objektif dengan mencatat kesalahan apapun yang ditangkap telinganya.

Sambung ayat diselesaikan peserta itu dengan lancar. Peserta itu mendongak, tatapan matanya terhubung dengan tatapan mata Rasyid, hingga dia mengernyit. Sungguh, Rasyid merasa gadis itu tak asing. Dia sangat mengenalnya, tapi di mana?

Peserta itu tersenyum, lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar.

Rasyid terkesiap. Satu nama muncul di benaknya. Tania.

Dia mengerjapkan mata dua kali, lalu memeriksa nama peserta yang tertera di lembaran yang tergeletak di atas meja. Benar! Peserta tadi adalah Tania. Gadis yang selalu mengekorinya ke mana pun dan kapan pun sebelum menghilang setahun yang lalu. Tania benar-benar berubah. Dan apa yang di rasakannya sekarang?

Rasyid tersenyum lebar. Dia membereskan berkas-berkas di atas meja, memasukkannya ke dalam ransel.

"Kamu mau ke mana?" tanya juri yang duduk di sebelah kanannya.

"Tinggal dua peserta lagi, kan? Aku mau langsung pergi setelah dua peserta itu selesai," jawabnya penuh senyum.

"Buru-buru amat," ucap juri yang dudyk di sebelah kirinya.

"Ada keperluan penting," tanggapnya sambil terkekeh pelan.

Rasyid memeriksa kembali alamat rumah yang didapatnya dari salah satu sahabat Tania lewat pesan WA. Benar. Dia mengetuk pintu rumah itu dua kali, lalu menunggu dengan sabar. Jantungnya berdegup sangat cepat. Dia tak pernah merasa segugup ini seumur hidup.

Dia semakin gugup ketika melihat gagang pintu di depannya berputar, dan pintu terbuka menampakkan seorang wanita paruh baya berhijab tapi mengenakan daster selutut. Rasyid mengernyitkan dahi sebentar sebelum kembali memasang senyum lebar.

"Bu, benar ini rumah Tania?" tanyanya sesantai dan setenang yang ia bisa.

Wanita itu mengangguk sambil menatapnya naik turun. "Bener. Ada apa? Tania bilang, dia nggak temenan sama yang bukan muhrim!" jawabnya ketus. Wanita itu memanyunkan bibirnya sambil terus memperhatikan Rasyid, tanpa mempersilahkannya masuk ke dalam.

"Hmm ... anu, Bu, bisa kita bicara di dalem aja?" tanya Rasyid gugup. Dia mulai salah tingkah menghadapi perempuan aneh di ambang pintu itu.

"Tapi kan kita bukan muhrim!" ucap wanita itu sinis.

Rasyid menghela napas. "Bapak ada, Bu?" tanyanya berusaha bersabar.

"Buat apa nyari Bapak?" tanya wanita itu ketus.

Rasyid memijit keningnya. Dia kembali menatap wanita itu, dan menghela napas. "Saya ada perlu dengan ayah Tania, Bu," ucapnya pelan.

"Bapak udah almarhum. Kamu ada perlu apa? Ngomong langsung sama ibu!" tanyanya masih ketus.

Rasyid terdiam sebentar. Dia menghirup napas, lalu menghembuskannya perlahan. "Saya mau melamar Tania, Bu," ucapnya mantap.

Wanita itu terbelalak kaget. Dia buru-buru masuk dan menutup pintu.

Rasyid tertegun di tempat. Dia bingung dengan reaksi wanita itu.

Wanita itu membuka hordeng sedikit, mengamati mukanya, lalu menunduk sebentar dan kembali mengamati muka Rasyid. Dia membuka kembali pintu itu, lalu keluar dengan sebuah foto di tangan kanan. Matanya bolak-balik mengamati foto dan muka Radyid, sebelum menyerahkan foto itu ke tangan Rasyid.


"Ini ... kamu bukan?" tanyanya.

Rasyid mengambil foto itu. Dia mengernyitkan dahi melihat foto blur dirinya yang tengah berkumur di pancuran wudhu samping masjid kampus.

"Iya, ini aku," jawab Rasyid dengan nada sedikit kesal.

"Kamu Rasyid?" tanya wanita itu masih sambil mengamati mukanya.

"Iya."

"Oh! Kenapa nggak bilang dari tadi! Sini masuk! Iya. Tania bilang, Rasyid akan datang ke sini melamarnya kalau dia beneran berubah. Tania belajar agama. Siang malem dia menghapal Quran. Belajar ngaji ke Kyai Hamid, nggak malu meski gabung sama anak-anak SD. Dia rajin beli dan baca-baca buku, ngajarin ibu pake jilbab juga!" ucap wanita itu semangat tanpa jeda sambil menggiring Rasyid memasuki ruang tamu kecil sederhana. Hanya terdapat tiga kursi dan sebuah meja kayu di tengahnya. Dinding-dindingnya bercat biru bersih meski sudah terlihat mulai terkelupas.

Rasyid duduk di salah satu kursi itu, dan ibu Tania duduk di hadapannya.

"Kamu beneran mau lamar dia?" tanyanya semangat.

"Ya. Saya mau melamarnya!"

Rasyid mengangguk. Hatinya mantap. Dia mengingat kembali saat-saat Tania mengekorinya ke mana pun. Saat-saat Tania mengganggunya hingga dia merasa kesal. Saat-saat itu terasa jauh lebih berwarna dibanding setahun belakangan saat Tania mulai menghilang. Hidupnya setahun belakangan ini terasa hening, monoton, dan tanpa emosi. Tak berwarna. Dia hanya merasa tenang, tanpa ada kebahagiaan atau kesedihan di dalamnya. Tania adalah pemberi warna. Tania bisa membuatnya kesal, tapi juga bisa membuatnya bahagia seperti saat dia mendengarkan ayat-ayat yang dilantunkan Tania saat lomba.

"Alhamdulillah ... rezeki anak salehah," ucap ibu Tania sambil menengadah lalu meraup wajahnya sendiri dengan kedua tangan. "Eh? Bentar. Rasyid tau, Tania punya kelainan?"

Rasyid mengerjapkan mata, dia menggeleng.

"Gini ... Tania itu punya OCD. Kelainan melakukan sesuatu berulang-ulang. Dia nggak bisa diem. Suka gerak-gerak atau ngomong berulang-ulang."

Rasyid mengangguk, dia paham dengan penjelasan itu karena dia sudah mengamati Tania dari lama.

"Tapi kata Kyai Hamid, OCD Tania yang membuatnya bisa hapal lebih cepet daripada anak-anak lain. Setahun dia hapal dua juz lebih. Bahkan udah mau tiga juz!" ucap ibu Tania semangat sambil mengacungkan tiga jari tangan kanannya ke depan.

Rasyid tertawa pelan, dia mengangguk sopan dan terus mendengarkan.

"Menurut Ibu, faktor kamu juga yang bikin Tania cepet belajar. Soalnya, dia bilang, kamu nggak mau nikahin dia kalau dia nggak berubah. Jadi, makasih, ya. Ibu seneng Tania, anak ibu jadi anak baik. Ibu juga jadi ketularan Tania. Ibu sekarang udah sering dateng ke pengajian."

Rasyid kembali mengangguk. Dia tersenyum. Hidayah Allah memang bisa datang dengan berbagai macam cara. Ada yang datang dengan cara yang indah seperti ini, juga ada dengan cara yang buruk seperti di sinetron-sinetron berjudul Hidayah.

"Jadi, Ibu mengizinkan saya menikahi Tania?" tanya Rasyid dengan mata berbinar-binar.

"Iya!" jawab ibu Tania sambil mengangguk dan tersenyum.

"Assalaamu'alaikum ...."

Mereka berdua tertegun di tempat. Bahkan Tania, yang hendak masuk pun menghentikan langkah. Dia mematung di ambang pintu sejenak, sebelum berteriak, "RASYID! KAMU DATANG KE RUMAHKU!" Dia berlari ke arahnya dan mengerem tepat selangkah di sampingnya. "Bukan muhrim," gumamnya.

Rasyid mengangguk sambil tertawa pelan. Tania tidak sepenuhnya berubah. Dia masih seperti dulu, tapi jauh lebih baik.

1608 kata.
Tantangan KSI.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro