24. Being Heroin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'Please me, Baby. Turn around and just tease me, Baby. You got what I want and need.'

-Cardi B. ft Bruno Mars-

***

Alexia tidak menyangka bila Ryder bakal membawanya ke apartemen pribadi yang berada di kawasan elite--Belgravia. Salah satu distrik di pusat London yang terkenal dengan properti harga selangit dan hanya bisa dibeli oleh para konglomerat. Keluarga De Verley, misalnya. Rata-rata di sini berkonsep maisonette di mana terdapat dua lantai dan punya pintu utama menghadap langsung ke arah jalanan. Walau dari luar terkesan biasa, kuno, dan monoton serta jauh berbeda dibandingkan gaya bangunan di belahan lain Eropa atau Amerika, begitu masuk segalanya langsung terasa berbeda.

Setiap rumah mencerminkan kepribadian penghuninya.

Kalimat itulah yang diikrarkan Alexia dalam hati begitu pintu bercat gading terbuka. Elegan dan manly. Bola matanya membulat mengagumi interior apartemen Ryder yang sialan, sialan, dan sialan luas, nyaman, dan hangat. Mulutnya menganga bukan main nyaris menyentuh permukaan lantai marmer yang sedang dipijak. Di kepalanya turut terbayang nominal angka yang harus dibayar untuk membeli tempat ini. Manalagi lokasinya dekat dari Istana Buckingham dan stasiun bawah tanah Victoria.

Mengusung konsep kontemporer, hunian Ryder didominasi warna netral gelap dalam berbagai corak dipenuhi furnitur-furnitur mahal. Salah satunya kursi bercat hitam pekat yang memiliki dua ceruk karya sang maestro--Zaha Hadid--bersebelahan dengan sofa kulit senada. Dinding plester kremnya tampak serasi dipadu karpet geometri abu-abu Colbourns juga jendela kaca besar berlapis tirai Armani yang terhubung langsung ke balkon juga bangunan seberang. Ada satu rak asimetris berisi berbagai macam buku, vas bunga, maupun piala yang mengelilingi televisi.

Alexia penasaran bagaimana kelanjutan ruang-ruang lain hunian Ryder. Namun, tempat sebesar ini apakah tidak terlalu lengang baginya yang hidup seorang diri?

Pertanyaan dalam benak Alexia langsung buyar manakala lelaki berperawakan tinggi nan kekar itu disambut gonggongan anjing bagai tak bertemu tuannya sekian lama. Ryder langsung berjongkok menerima ciuman penuh kasih sayang dari anjing berwarna cokelat berkilau seraya mengusap kepala hewan yang dipanggil Coco dan bertanya,

"Kau bosan menungguku ya?"

Coco menyalak makin bersemangat seolah paham pertanyaan Ryder selagi menggoyang-goyangkan ekor panjangnya. Bola mata Coco membulat menangkap ada orang asing selain orang-orang yang pernah mampir ke mari. Dia menghampiri Alexia, menggesek-gesek tubuh gembulnya ke kaki gadis itu.

"Dia menyukaimu," kata Ryder. "Wah ... kau genit sekali, Coco."

Alexia turut berjongkok, membelai bulu-bulu kecokelatan Coco sambil tertawa. "Jadi, ini yang tadi mau kau tunjukkan padaku?"

Ryder melenggut. "Well ... karena kau timku, maka kukenalkan anggota kecil kita. Masuklah, anggap rumah sendiri," tuturnya lalu melepas jaket dan menyampirkannya ke sofa begitu saja.

Coco bergegas naik di atas sofa menyiratkan Alexia tuk bergabung bersamanya sementara menanti undangan Ryder makan bersama. Perhatiannya teralih ke arah barisan buku-buku fiksi maupun non-fiksi sehingga mau tak mau Alexia menuruti kata hatinya untuk meraih satu novel karya Emma Grey berjudul The Last Love Note.

"Rupanya kau benar-benar baca buku romance, Ryder," ucap Alexia meniti blurb di balik sampul berwarna biru cerah tersebut. Menarik.

"Pinjamlah sesuka hatimu. Aku sudah baca semuanya," tawar Ryder membuka kulkas dan mendapatkan beberapa makanan dalam wadah juga sebuah memo bertuliskan 'Hangatkan lagi jika kau sempat'. Dia menebak kalau ibunya datang ke sini dan tanpa pemberitahuan, seperti kedatangan ayahnya beberapa waktu lalu. Walhasil daripada repot-repot memasak yang merupakan bukan keahliannya, Ryder meraih mangkuk tersebut dan mengintip sebentar isinya sebelum dimasukkan ke dalam microwave. "Kau suka sup bawang?"

Yang ditanya mengangguk cepat sembari mendudukkan diri di sofa dan membaca buku Emma Grey. "Ya, terserah kau saja."

"Coq au vin?" tanya Ryder lagi mendapati panci berisi rebusan ayam. "Maksudku sejenis ayam yang direbus pakai anggur merah, Lex! Masakan Prancis!"

"Ya, terserah kau, Ice prince. Aku hanya tamu," balas Alexia berpaling ke arah Coco lantas berbisik. "Apa dia sering berisik seperti ini?"

Coco menelengkan kepala tanpa menanggapi sindiran Alexia terhadap majikannya, kendati tidak ada ekspresi lain selain menatapnya tanpa henti. Kemudian dia beranjak dari sofa, berjalan menghampiri Ryder yang sibuk berkutat seorang diri di dapur bergaya Amerika. Alexia melongok sejenak lalu mengekori Coco tuk membantu lelaki itu--bila memang diperlukan.

Sesaat kemudian, hidung mancungnya mengendus aroma bawang yang cukup kuat manakala Ryder mengeluarkan mangkuk dari microwave. Alexia duduk di atas kursi kayu berlapis kain Armani yang empuk di belakang konter, mengamati Ryder mengambil baguette dari lemari penyimpanan dalam diam. Berbeda dari ruang utama tadi, di sini catnya abu-abu cerah berhias lampu gantung porselen. Lebih terkesan santai, pikirnya.

"Selera interiormu bagus," puji Alexia menopang dagunya dengan tangan kiri lalu beralih memandangi mangkuk sup bawang.

Dari penyajian, memang terlihat biasa saja bahkan cenderung tidak menarik karena supnya berwarna cokelat keemasan dicampur irisan daun dihias parutan keju gruyere dan parmesan yang meleleh. Ryder menjelaskan bahwa hidangan ini sangat pas selama musim dingin apalagi dimakan bersama roti.

"Ya ... Aku suka sesuatu yang nyaman di mata dan digunakan. Harga tidak masalah selama menurutku itu sepadan," tandas Ryder mengiris baguette kemudian mencelupkannya ke dalam sup bawang selagi hangat. "Kau harus mencobanya sekali seumur hidup, Little love," sambungnya hendak menyuapi Alexia.

Ragu-ragu, Alexia menerima suapan Ryder dan tertegun kala rasa gurih, asin, pedas, dan manis berbaur jadi satu di lidah. Pipinya langsung bersemu merah kala berserobok bersama Ryder yang menanti komentar positif dari masakan ibunya. "Enak sekali. Kau--"

"Bukan. Tapi, ibuku. Dia datang ke sini dan menulis memo," ujar Ryder menunjukkan kertas kecil kepada Alexia. "Ya ampun ... tidak ada di antara kami bertiga yang diperlakukan seperti orang dewasa."

Dia berbalik lagi tuk mengambil ayam rebus dalam panci membuat dapur dipenuhi aroma rempah-rempah yang menggugah selera. Sesaat Ryder menoleh ke arah Coco yang sedang mengunyah makanannya dari mesin otomatis.

"Ada yang bisa kubantu?" tawar Alexia.

"Tentu saja, Little love, " kata Ryder antusias. "Kau bisa siapkan gelas wine, mangkuk, dan sendok."

Alexia mengangguk, membuka kabinet piring dan gelas yang ada di bawah berdekatan dengan kulkas sesuai petunjuk Ryder. Sedangkan lelaki itu mengambil botol wine hitam pekat berlabel keemasan bermerek Pont Du Rhone dari lemari di atas Alexia. Meski dirinya berdarah setengah Prancis dari pihak Lucas, minum anggur saat menyantap hidangan utama menjadi tradisi yang tidak bisa ditinggalkan.

"Thanks," ujarnya ketika Alexia menuang ayam rebus ke dalam mangkuk kemudian duduk di samping kiri gadis itu. Ryder membuka penutup wine dan menuang ke dalam gelas tulip. "Bon appetite, Mon Chou."

(Selamat menikmati, Sayang.)

"Merci," balas Alexia bersulang sebelum menyesap anggur tersebut. "Cuma itu yang kutahu," candanya seraya menyendok kuah coq au vin yang kaya akan rempah. Ditambah daging ayamnya mudah diiris tanpa perlu tenaga ekstra dan bumbu-bumbu yang tercampur merasuk sampai ke tulang. "Wow, aku tidak tahu kalau ibumu jago masak. Aku pikir orang kaya seperti kalian selalu mengandalkan asisten rumah atau koki."

"Kecuali Dad," timpal Ryder geleng-geleng kepala." Mom rela belajar langsung masakan Prancis dari nenekku sebab Dad pria yang agak pemilih masalah makanan. Kata Mom sewaktu mereka baru menikah dan pindah ke London, Dad hanya mau mendatangi restoran Prancis. Dia bilang lidahnya tidak mampu bersatu bersama makanan orang Inggris."

"Ya ampun, aneh sekali," komentar Alexia terkikik geli. "Padahal makanan tradisional kami juga tidak kalah enak dengan kalian."

"Entahlah. Aku tidak seberapa peduli yang penting perutku kenyang," tutur Ryder menenggak habis winenya. "Ah, aku baru ingat. Kau suka lagu metal? Benar-benar beda jauh dari penampilanmu, Little love. Kukira kau suka musik klasik."

Alexia memutar bola mata. "Apa aku harus punya banyak tindik dan berdandan ala emo baru boleh menyukai musik metal?"

"Aku tidak mau membayangkan," canda Ryder terbahak-bahak. "Jadi, apa alasanmu?" Dia melahap suapan terakhir dari makanannya lalu menuang lagi wine ke dalam gelas Alexia juga dirinya sendiri.

"Aku menyukai lagu berdasarkan suasana hati, Ryder. Sleep Token punya lirik indah dan jenis suara Vessel ... ya ampun, begitu merdu. Semua yang dinyanyikan olehnya seperti mewakilkan perasaan manusia walau ketukan musiknya kadang berubah, dari metal, slow, pop rock. Sungguh beda dari Slipknot. Terkadang aku ragu menyebut mereka band metal," terang Alexia mengejutkan Ryder. "Sejujurnya aku penggemar berat Lany."

"Ya, lagu mereka juga bagus-bagus. By the way, kalau membandingkan Sleep Token dengan Slipknot, jelas beda jauh. Astaga, aku terkejut kau tahu band itu," tutur Ryder mengendus sebentar aroma wine lalu menyesapnya pelan-pelan.

"Sama halnya dengan diriku. Aku kaget kau punya banyak buku romance. Pantas saja kau bersemangat memberi kritikan dari buku yang kubaca di cafe waktu itu," komentar Alexia menenggak minumannya. "Aku curiga kalau kau aktif memberi rating di goodreads."

"Well ... kadang-kadang, tanganku gatal tidak meluapkan apa yang kupikirkan setelah membaca karya mereka. But, apa aneh pria baca buku percintaan?" Ryder meletakkan gelas dan menopang dagu, meniru pose Alexia selagi memerhatikan gadis itu dalam kekaguman mengenai pengetahuannya terhadap band Sleep Token. Astaga, Ryder jadi penasaran hal apalagi yang disembunyikan Alexia.

Alexia tersipu sembari menggigit bibir bawah dan geleng-geleng kepala. "Tidak. Hanya saja jarang di antara kalian membaca ini. Kulihat ada buku Dan Brown juga tadi."

"Aku suka konspirasi walau memikirkannya bakal membuat kepala pusing," tutur Ryder.

"Pernah membayangkan virus rusa zombie bakal menular ke manusia dan menjadikan kita mayat hidup?" tanya Alexia tak mengalihkan perhatian dari mata hijau memesona Ryder. Sesekali pandangannya turun ke bibir di mana bibir itu sempat menyentuh tanpa memagut. "Atau bagaimana jika... Ada planet lain yang bisa dihuni selain mars dan punya kehidupan yang lebih baik daripada bumi?"

"Pertanyaan pertama, belum ada bukti walau secara logika bisa saja air liur bisa menularkan virus atau bakteri. Perantara lain bisa jadi dari serangan tanduk mereka atau darah yang tercemar di sungai dan tidak sengaja terkontaminasi ke tubuh manusia. Mungkin saja bisa muncul fenomena baru. Yang aku takutkan, bagaimana jika rusa-rusa yang terinfeksi itu menjadi konsumsi predator seperti serigala?"

"Dan serigala secara tak sengaja menyerang manusia."

Ryder menjentikkan jari membenarkan analisis Alexia. "Kau harus belajar menembak kepala mereka, Little love, seperti di series The Walking Dead."

Alexia terbahak-bahak seraya menganggukkan kepala. "Aku tidak sabar menjadi pemburu zombie layaknya Michone dan Maggie."

"Wow ..." Ryder makin berdecak kagum. "Kau mengikuti seriesnya?"

Alexia mengangguk. "Aku suka plot twistnya dan damn penulisnya sangat jenius menurutku."

"Sama seperti Game of Thrones," lanjut Ryder.

"Benar. Siapa karakter favoritmu?" tanya Alexia makin antusias. "I'll go fisrt. Arya Stark dan Khal Drogo?"

"What?" Ryder membeliak. "Khal Drogo? Bahkan dia tidak punya banyak scene, Lex."

"Kharismanya, Ryder, kau tidak akan paham. Sewaktu dia ..." Alexia menggantungkan kalimat di udara karena adegan yang dia suka ketika Khal Drogo membiarkan sang istri--Daenerys--menyetubuhinya penuh cinta bukan paksaan.

Alis Ryder menukik kemudian terbahak-bahak menangkap isi kepala Alexia. "Dasar gadis nakal," ledeknya. "Kalau aku suka Jon Snow dan yeah, Arya Stark. Gadis kecil yang berhasil membunuh Night King. Jangan lupakan si kerdil Tyrion Lannister, menurutku dia sosok negosiator handal walau awal-awal ... menyebalkan."

"Oke, lanjut jawaban dari pertanyaan kedua?"

"Kuyakin sebenarnya ada, langit ini tidak terbatas. Sayangnya usia dan kekuatan manusia punya batas untuk menjelajahi angkasa, belum lagi kendala di atas sana yang mengancam nyawa. Walau orang-orang bersikeras pindah ke mars atau bulan, aku tidak akan ikut. Manusia seyogyanya hidup di bumi dengan udara, tanah, dan air yang cocok bagi mereka. Kalian belum tentu betah tinggal di mars yang punya revolusi waktu lebih panjang daripada bumi atau badainya yang bisa menerbangkan rumah," terang Ryder panjang lebar.

"Hanya manusia serakah dan gila yang mau pindah, Ryder. Padahal kerusakan di planet ini karena ulah mereka sendiri," tandas Alexia lalu beranjak tuk membereskan piring dan mangkuk yang sudah kosong.

"Biar aku saja," elak Ryder namun ditepis Alexia.

"Thanks sudah menjamuku, setidaknya aku mau membantu membersihkan ini semua sebelum pulang," tukas Alexia tulus.

Mau tak mau Ryder membiarkan gadis itu menata piring dan mangkuk kotor ke dalam mesin pencuci piring otomatis. Sementara dia hendak mengembalikan botol wine ke dalam lemari penyimpanan dan tak sengaja nyaris menabrak Alexia sedang memutar badan. Beruntung botol yang dipegang Ryder tak sampai jatuh ke lantai dan melukai kaki.

Hanya saja suasana langsung berubah sepersekian detik sehingga mereka tak mampu berpindah tempat. Sama-sama terpaku seakan-akan alas yang melindungi tungkai mereka memiliki medan magnet kuat. Ryder mengeratkan genggamannya ke badan botol wine, enggan berpaling dari iris biru terang Alexia di bawah sorot penerangan dapur. Dorongan kuat dalam diri Ryder, memaksanya melangkah maju menyebabkan Alexia bergerak mundur hingga pinggangnya bersandar ke konter.

Tanpa ada jarak yang membentang, tubuh mereka berimpitan. Tangan Ryder terangkat tuk meletakkan botol wine, masih belum memindahkan perhatian terhadap pantulan dirinya di balik pupil menawan Alexia. Setelahnya, dia mengurung Alexia di antara lengan kekarnya juga pinggiran konter dapur menyiratkan agar dirinya tak lekas hengkang dari sini. Perbedaan tinggi badan yang cukup jauh membuat penampilan Alexia benar-benar mungil dibandingkan mendiang Cherry.

Dia memiringkan kepala, mencuri-curi wangi parfum yang masih tercium di balik pakaian maupun rambut pirang Alexia. Sudut bibir Ryder naik selagi hidung mancungnya mengendus-endus pelipis turun ke pipi tirusnya. Entah kenapa dia ingin mengulang kembali momen intim yang sempat terjadi jikalau Thomas tidak muncul tiba-tiba.

Sedangkan Alexia sudah tidak sanggup berpikir jernih dalam jarak sedekat ini. Dia hanya bisa menggigit bibir bawahnya menahan diri agar dentuman dalam dada tidak sampai terdengar oleh telinga Ryder. Sialnya, bola mata Alexia juga enggan mencari pemandangan lain selain yang ada di hadapannya sekarang. Betapa tinggi postur Ryder, bisepsnya yang menonjol di balik sweter gelap senada dengan iris matanya, batang hidungnya yang tinggi, serta ... bibirnya yang sialan ingin Alexia sapa.

Sekali lagi.

Jempol kanan Ryder terangkat, menarik pelan bibir bawah Alexia yang berhasil membangkitkan ribuan volt listrik dalam tubuh gadis itu. Dia nyaris meleleh di atas tungkainya sendiri. Bahkan otaknya mendadak tak mampu mengingat bagaimana caranya bernapas. Atmosfer di sekelilingnya bagai membangunkan kembali gairah yang sempat padam.

"Stop biting that fucking lips, Little love," pinta Ryder lirih dan serak walau terdengar bagai perintah. "Should I bite it for you?" bisiknya masih mengelus garis bibir Alexia. Sial! rutuknya.

"Then, why don't you do that?" balas Alexia sengaja menggigit lagi bibir bawahnya bermaksud menggoda balik. Dia ingin tahu sejauh mana keinginan Ryder membawa ketegangan yang membekap mereka berdua.

Belum sempat lelaki itu memagut bibir gadis di depannya, Coco menggonggong keras bersamaan dering ponsel Alexia tampak memanggil tak sabar. Seketika Ryder membentangkan jarak, mengusap wajahnya frustrasi sekaligus mengumpat pelan mengapa semesta tidak mau mendukungnya mencicipi bibir Alexia walau hanya sekali.

Apa aku harus meminta izin dulu baru mereka memberi kesempatan?

"I've to go," pamit Alexia begitu memutus sambungan telepon. Wajahnya tampak pucat dan tangannya gemetaran ketika mengambil barang-barangnya di ruang tamu.

Ryder mengerutkan kening, menghampiri gadis itu tapi gerakan Alexia yang terburu-buru keluar apartemen tanpa menoleh ke arahnya menimbulkan jutaan tanda tanya dalam kepala. Bahkan dia tidak sempat menawari tumpangan untuk gadis itu pulang.

What's wrong with her?

***

Baca lebih cepat di Karyakarsa ya.
Part ini ada secuil audio di Instagramku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro