36. Something behind you

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'The scar, I can't reverse and the more it heals, the worse it hurts.'

-MIIA-

***

"Oke ..." Thomas memantau Alexia dan Ryder mengeksekusi death spin di tengah arena es. "Perhatikan langkah kalian, guys." Matanya mengikuti setiap detail gerakan mereka, menghitung ketukan demi ketukan menggunakan tangan.

Yang diberi perintah melenggut, meluncur mundur begitu kompak seraya berpegangan kemudian Alexia bermanuver sekali sebelum mengulurkan sebelah tangan kanan tuk memulai trik tersulit dalam pairs. Ryder menekuk lutut, mempertahankan genggaman tangannya pada Alexia sebagai kunci keberhasilan putaran kematian ini.

Pelan-pelan Alexia menurunkan badan hingga menyentuh permukaan es selagi meluruskan kaki dengan kepala terdongak. Dia menganggap putaran ini seperti ina bauer, hanya beda di derajat lengkungan punggung yang hampir 180 derajat dan ada tahanan di tangan. Sebelah kakinya terangkat, sementara yang lain menggores permukaan es menciptakan lingkaran menggunakan bagian tepi dalam sepatu skating.

"Good, pertahankan." Thomas menjumlah berapa banyak rotasi yang dilampaui supaya mencapai poin sesuai standar kompetisi. Sesaat kemudian, dia mencebik kala Alexia jatuh terduduk akibat pegangan tangannya terlepas. Kepalanya nyaris mencium ujung sepatu Ryder jika lelaki itu tidak refleks mundur. "Come one, Lex! Padahal putaran ke depan itu yang termudah!" tegurnya frustrasi karena ini sudah nyaris seminggu mereka latihan trik yang sama tapi belum sempurna juga. Padahal tes senior tinggal beberapa hari lagi dan mereka tidak punya banyak waktu. Maju atau tidak sama sekali.

"Kau baik-baik saja?" bisik Ryder mengusap kepala belakang Alexia dan membantu gadis itu berdiri.

"Ya," jawab Alexia singkat lalu menatap Thomas yang tampaknya agak kesal. "Sorry, tadi ..."

"Kita sudah latihan di studio berjam-jam, berhari-hari, kau pun sudah hafal triknya di luar kepala. Tapi kenapa di sini malah seperti itu?" omel Thomas membuat Ryder melempar pandangan tajam kepadanya.

"Ini baru seminggu, apa yang kau harapkan?" protes Ryder membela Alexia. "Cherry saja dulu kesusahan juga kan? Kau pikir ini mudah?"

"Mudah jika kalian bisa bekerja sama!" hardik Thomas lalu membuang muka. "Sudahlah, ayo coba lagi."

"Dasar cerewet!" gerutu Ryder yang didengar Thomas.

"Sudahlah, ini juga salahku," ujar Alexia lalu terdengar perutnya keroncongan.

"Kau tak sarapan?" Tatapan Ryder jatuh di perut Alexia dan entah kenapa bentuk tubuh gadis itu makin kurus. Apa aku melewatkan sesuatu? batinnya penasaran. "Kau yakin sudah makan teratur?" tanyanya lagi.

"Hei, ayo latihan!" tegur Thomas menyiratkan anak didiknya meneruskan latihan mereka.

"Sudah," jawab Alexia berdusta. "Ayo!" ajaknya untuk fokus ke death spin yang sialan membuatnya berada di pinggir jurang kematian. Ini baru trik maju dengan bagian tepi dalam sepatu, belum bagian luar sepatu termasuk trik mundur hingga posisi tembak bebek maupun eagle spread.

Mereka kembali melaju mundur, mengulangi gerakan tadi dari awal secara cermat. Thomas bersedekap, mengawasi anak didiknya dengan waswas berharap Alexia bisa berhasil melakukannya tanpa jatuh lagi.

"Perhatikan genggaman tangan kalian," kata Thomas mengingatkan begitu Ryder mengambil posisinya di tengah sebagai poros. "Turun pelan ... satu ... dua ..."

Permukaan es yang tersayat pisau sepatu skating begitu dekat di telinga Alexia. Bahkan dinginnya lapisan-lapisan beku ini terasa membelai pipi namun tidak dengan detak jantungnya yang begitu cepat. Dengan posisi kepala mendongak yang berarti di sekelilingnya tampak terbalik, Alexia berputar saat Ryder terus menahan beban tubuhnya sebelum bangkit dan diakhiri putaran mundur sebagai akhir sesi death spin.

"Finally!" Thomas bertepuk tangan. "Good enough, tapi aku ingin yang jauh lebih baik."

"Bisa kita istirahat?" pinta Ryder ngos-ngosan. "Aku sialan haus, Dude."

"Istirahat dua puluh menit, setelah itu latihan lagi," tandas Thomas. "Dan Lex ..."

Alexia melenggut paham apa yang dimaksud Thomas. "Akan kuingat lagi langkah-langkah tadi," ujarnya tak ingin Ryder menangkap bahwa di balik kalimatnya ada maksud tersembunyi.

Begitu Thomas meluncur keluar arena, Ryder menarik lengan Alexia mencuri beberapa menit untuk mengorek sesuatu dari balik iris mata biru itu.

"Hei," kata Ryder pelan. Sebelah tangannya menyisir poni Alexia yang berantakan dan mengelap peluh keringat di dahi tanpa merasa risih. "Are you okay, Little love? Kau marah?"

"Entahlah. Menurutmu?" Alexia bersedekap seraya berpaling ke arah gadis yang merayu Ryder tengah duduk menonton lelaki ini.

Ryder mengikuti arah pandang Alexia lalu paham apa yang membuat gadis di depannya ini uring-uringan lagi. "Kami hanya berteman, bukan apa-apa."

"Berteman dan saling menggoda dalam bahasa Prancis rasanya beda tipis," kilah Alexia lalu meluncur menuju pinggir arena. Dia menyambar hard guards dibuntuti Ryder dari belakang. "No me importa tu mierda!" gerutunya.

(Aku tidak peduli dengan omong kosongmu!)

"Kau bilang apa?" tanya Ryder tak paham. "Intonasimu sepertinya sedang mengutukiku."

Sebelum Ryder meraih lengan Alexia tuk menuntut penjelasan, Rebecca memanggilnya penuh semangat.

"Ryder!"

Fuck!

Ryder menggeram tak mampu mengelak karena gerakan Rebecca sialan cepat. Dia melirik Alexia yang duduk agak jauh dan masih bersedekap seakan-akan membentengi diri.

"Untukmu," kata Rebecca menyerahkan sebuah bingkisan.

"Thanks," ujar Ryder. "Aku harus menemuinya," tunjuknya ke arah Alexia.

"Kekasihmu?" terka Rebecca memicingkan mata tak suka.

"Well ... bisa dibilang begitu," kata Ryder membuat Rebecca membeliak tak percaya. "Sorry."

"Fuck you!" pekik Rebecca tiba-tiba membuat Alexia menoleh ke arah mereka berdua.

Alexia menganga tak percaya. "Wow." Dia menyunggingkan seringai menyambut Ryder. "Kau belum bilang padanya?"

"Barusan," jawab Ryder. "Kau mau?" tawarnya menyodorkan bungkusan dari Rebecca.

Alexia menggeleng pelan. "Aku lebih suka makan makananku sendiri. Kalau kau mau bersamanya silakan, aku benci orang labil."

Ryder terkekeh dan mencolek hidung Alexia begitu gemas. "Kau lucu kalau cemburu. Jadi, maksudmu kau membawakanku sesuatu? Mana?"

Gadis itu menunjuk ranselnya dengan dagu. Ryder meraih tas tersebut dan membongkar isinya dan mendapati kotak makanan berisi chicken wrap. "Aku suka ini," tukasnya langsung melahap tanpa sungkan. "Lebih enak buatan tanganmu daripada dia."

"Jadi, kau sering menerima pemberian darinya?" tuduh Alexia kesal.

"Tidak! Baru hari ini," kilah Ryder masih lahap menghabiskan makanannya. "Kau mau aku buang makanan darinya?"

"Terserah kau." Alexia masih kesal dan ingin sekali mencolok mata gadis yang merayu Ryder.

Ryder mengedarkan pandang lalu berteriak, "Hei, Bro!" Dia melambaikan tangan pada seorang pria paruh baya yang membawa peralatan bersih-bersih dari arah kanan kemudian beranjak sembari membawakannya kotak makan dari Rebecca.

Meski Alexia tidak mendengar obrolan mereka, dia yakin Ryder menyerahkan pemberian si gadis jalang kepada pria yang tampak senang menerima bungkusan tersebut. Sesekali Ryder menunjuk Alexia sembari tertawa lalu menepuk pundak sebelum kembali menghampirinya.

"Sudah kuberikan padanya," kata Ryder menyambar sisa chicken wrap dari wadah lalu memakannya sampai habis. "Aku bilang masakanmu jauh lebih enak."

"And?"

"Kubilang kau gadisku," jawab Ryder menimbulkan rona merah di wajah Alexia. "Jangan marah lagi, oke? Aku minta maaf jika dia membuatmu kesal."

"Untuk apa aku marah? Kalau kau mau dengannya silakan, aku tinggal mencari pria lain," balas Alexia menaikkan sudut bibirnya. "Sudah kubilangkan, aku adalah cerminan dirimu, Ryder."

"Oke. Oke. Aku kalah." Ryder mengangkat tangan. "But don't you dare looking for other guy," ancamnya menangkup wajah Alexia lantas mencium bibirnya mesra.

"Thomas bisa melihat kita, Ryder," bisik Alexia menepis lengan Ryder namun lelaki itu bersikukuh seolah-olah tidak peduli bahwa hubungannya bakal ketahuan sang pelatih. "Cukup gadis itu saja yang tahu supaya tidak terus-terusan mendekatimu."

"Okay, Mam." Ryder melepas pelukannya tapi menangkup wajah Alexia dan mendaratkan kecupan singkat. "Dan apa tadi? Kau bicara bahasa Spanyol?"

"Kau bicara dengannya dengan bahasa Prancis, kenapa aku tidak?" Alexia tersenyum miring.

"Aku benci tidak tahu artinya." Ryder geleng-geleng kepala. "Jangan marah lagi, oke?"

"Tergantung kau masih tebar pesona atau tidak." Alexia menyandarkan punggung ke kursi lalu mengalihkan topik pembicaraan, "Hei, menurutmu apa aku bisa?"

Ryder membuka botol minum dan menenggaknya sejenak lantas mengerutkan kening. "Kau pasti bisa. Mana ambisimu yang biasanya itu?" godanya mencolek puncak hidung mancung Alexia. "Kau si quad girl, aku percaya kau bisa melibas gerakan pairs, Little love."

"I hope so."

###

Guyuran air yang keluar dari flush toilet memenuhi bilik ketika Alexia baru saja mengeluarkan makanan setelah diajak datang ke restoran Cina bersama Ryder. Bersandar di dinding bilik, Alexia menengadahkan kepala merutuki diri sendiri kenapa harus begitu kalap menghabiskan hidangan yang sialan enak. Bahkan Ryder sempat heran karena Alexia melahap hingga dua porsi besar tapi tidak memberikan tanggapan apa-apa.

Selain itu, Thomas sempat mengingatkannya agar tidak terlalu terbawa perasaan selama latihan. Sedikit banyak, pelatihnya sudah menangkap ada sinyal-sinyal bukan teman biasa antara Ryder dan Alexia.

Sialnya, aku mengingkari janjiku sendiri untuk tidak terjebak cinta seperti ini.

Namun, sebagai manusia yang dikaruniai rasa, Alexia tidak mampu menghindar bahwa benih-benih cinta itu tumbuh tanpa disadarinya. Bagai ombak yang berhasil menyeretnya ke tengah lautan, Alexia sudah tenggelam dalam pesona yang dipancarkan Ryder. Sekali pun dia berusaha berenang, tetap saja hari-hari kebersamaan mereka tidak bisa dilupakan begitu saja.

Buku. Musik. Perdebatan dan ...

Ciuman.

Kilasan mereka di toilet kediaman Olive menari-nari di pelupuk mata, melilit perut Alexia di mana Ryder terang-terangan menaruh rasa. Gairah yang mereka nyalakan malam itu memang berhasil menarik sisi lain Alexia untuk merasakan kembali bagaimana jatuh cinta dan dicintai.

"Aku tidak mau ada cinta di antara kalian."

Kebahagiaan yang nyaris dia cicipi nyatanya harus kandas karena perintah Thomas padanya. Menimbulkan dilema yang lamat-lamat meracuni diri Alexia agar tetap fokus pada tujuan utama. Medali emas. Sering kali Thomas mengingatkan bahwa cinta membutakan manusia, melemahkan ego, juga membunuh mimpi yang terlanjur dibangun setinggi langit.

"Cinta hanya membuatmu bodoh, Lex," tutur Thomas. "Seperti hubunganmu dengan Elliot."

"Kalau begitu, kenapa kau mencintai istrimu, Tom? Artinya kau bodoh juga kan?" balas Alexia tak terima.

"Aku mencintai istriku ketika aku sudah puas dengan apa yang kucapai. Sementara kau ... usiamu masih muda, kariermu masih panjang, dan banyak hal yang belum kau gapai, Nak. Aku jauh lebih memahami apa artinya cinta bagi manusia."

Jika seperti ini, haruskah Alexia menjaga jarak sementara bersama Ryder segala di hadapan mereka terasa begitu menyenangkan?

Ketukan di balik pintu membuyarkan lamunan yang diselami Alexia seakan-akan memaksanya kembali ke permukaan. Akhirnya dia keluar dan mendapati seorang wanita paruh baya menatap sinis sembari menggerutu dalam bahasa Italia yang tidak dimengerti.

Gadis itu mencuci tangan di wastafel dan berkumur kemudian menatap dirinya di cermin. Binar matanya tak lagi sama. Wajahnya makin sayu walau riasan juga lipstik merah telah menyembunyikannya, pipinya juga terlihat makin tirus seperti orang tua, dan jemarinya gemetaran seiring debaran di dada akibat terlalu banyak makanan juga cairan yang dikeluarkan.

"Hanya dirimu yang bisa memahami sebatas mana dietmu, Ms. Ross, bukan orang lain. Kau cantik apa pun bentuk tubuhmu, Nona."

Kata-kata psikiater yang pernah ditemui Alexia berputar di kepala. Ekspresi ibanya masih bisa diingat ketika dia memberikan terapi dan seharusnya Alexia kembali kontrol untuk mengevaluasi seberapa jauh dosis fluoxetine yang dikonsumsi. Tapi, ini sudah berminggu-minggu bahkan tahun pun telah berganti, obat itu pun sudah musnah di kloset ketika Alexia memutuskan menjalani diet lagi.

Jika begini, kau bisa mati, Lex.

"Aku tidak akan mati," gumam gadis itu menarik bibirnya membentuk senyuman lalu keluar toilet menemui Ryder.

Lelaki itu duduk seraya mengutak-atik sesuatu di ponsel lalu berpaling saat Alexia berjalan menghampirinya. Dia melempar senyum simpul dan diam-diam memerhatikan tingkah laku gadis itu setiap kali mengajaknya makan. Tanpa diketahui Alexia, Ryder mencatat berapa banyak makanan juga berapa lama waktu yang dihabiskannya di toilet. Sekarang jumlah yang tercatat adalah dua puluh menit di toilet, dua porsi yum cha set, serta dua porsi cheese cake.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Alexia menarik kursi berhadapan dengan Ryder.

"Tidak ada." Ryder menggeleng cepat. "Kau baik-baik saja?"

Yang ditanya mengangguk seolah-olah memang tidak ada sesuatu yang buruk. "Aku baik-baik saja. Hanya tadi ingin buang air kecil."

Buang air kecil sampai dua puluh menit setiap kali kita makan," batin Ryder menangkap sinyal kebohongan di mata Alexia.

"Aku ingin latihan lagi, Ryder."

"Apa?" Ryder tercengang beberapa saat. "Apa kau tidak lelah, Little love?"

Alexia menggeleng pelan. "Aku ingin menuntaskan apa yang diperintah Thomas. Please."

"Tidak, Lex! Kau harus istirahat atau kau malah kena cedera. Aku tidak mau itu!" tolak Ryder tersulut emosi. "Jangan membahayakan dirimu hanya karena omong kosongnya! Lagi pula, death spin mu sudah jauh lebih baik, apa yang harus diperbaiki lagi?"

"Ryder ..."

"Jawabannya tidak, Lex! Kalau kau ingin latihan, latihanlah sendiri!" ketus Ryder beranjak dari kursi lalu pergi meninggalkan Alexia.

Ketika dirinya sudah sampai di ambang pintu, Ryder menggeram menyesali ucapannya yang dinilai kasar lalu mengumpat pelan seraya kembali mendatangi Alexia. "Hanya satu jam, tidak lebih oke. Come on, Little love."

"Thanks, Ryder," ucap Alexia senang lalu beranjak dari kursi, menenteng tas jinjingnya lalu menerima uluran tangan Ryder yang mengisi sela-sela jemarinya.

Lelaki itu menyengguk lantas mencium tangan Alexia penuh kasih sayang sebelum menghadiahinya cumbuan mesra di bibir.

"Ryder! Kita di depan umum," bisik Alexia membelalakkan mata sembari bergegas keluar restoran.

"Hukumanmu memaksaku latihan lagi," balas Ryder melingkarkan tangannya ke bahu Alexia yang dibalas cubitan di perut. "Kuanggap cubitan kasih sayang."

***

Daftar Istilah :

Death Spin : Putaran/spiral kematian dalam figure skating berpasangan di mana satu pasangan menurunkan pasangan lainnya, sementara satunya yang mendekati es melengkung ke belakang dengan satu kaki.


Ina bauer : Gerakan di mana skater meluncur dengan dua bilah pisau sepatu skating. Satu kaki ditekuk di depan (melaju dengan bagian dalam pisau skating) dan satunya lurus ke belakang (melaju dengan bagian luar pisau skating). Kalau dalam balet, posisi keempat. Posisi saat meluncur, punggung boleh melengkung ke belakang atau tidak.

Ada yang tahu apa yang dialami Alexia?
Merangsang muntah, makan tak terkendali, dan olahraga berlebihan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro