42. This Fear Belongs To Me

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'When my shadow fins perfection, only then you're truly mine.'

-Celeste-

***

Jhonny : Dia muntah lagi

Jhonny gelagapan begitu pintu toilet berderit disusul kucuran air wastafel juga suara batuk Alexia. Buru-buru Jhonny menyambar Peanut--anjing Golden Retriever--pemberian Ryder sebagai upah mau bekerja sama memata-matai sang kakak. Anjing yang masih berusia beberapa bulan itu menjilati pipi Jhonny bersamaan Alexia keluar dari toilet.

"Kenapa kau di sini?" Ada nada tak suka dari cara bicara Alexia mendapati adiknya berdiri seolah-olah hendak mencuri-curi sesuatu.

"Kenapa tidak boleh?" balas Jhonny memutar bola mata lalu berlalu menuju kamarnya.

Alexia mencibir lalu mengayunkan kaki menuju pantry untuk meneguk segelas air. Sensasi pahit dan asam berbaur jadi satu membelai permukaan lidahnya setelah mengeluarkan makanan. Dia meringis, merasakan lambungnya begitu pedih bagai ada seseorang yang meninju ulu hati. Gadis itu terpejam, memijit pelipis yang berdenyut-denyut sembari menarik napas dalam memenuhi dada yang sakit.

"Kau sakit, Alexia."

"Babe, it doesn't look like you."

Perkataan Poppy maupun dokter Richard masih terngiang-ngiang di kepala Alexia bak piringan rusak yang enggan berhenti menyala. Sebesar apa pun usahanya mengelak, hati Alexia tengah digempur kebimbangan atas langkah yang diambilnya. Dilema telah merantai lehernya diam-diam dan kini semakin dia berusaha melepaskan diri maka ikatan itu kian membunuhnya tanpa sadar.

Sebetulnya tanpa mereka suruh pun Alexia pernah melawan kehendak Thomas yang dinilai terlalu mengaturnya. Tapi, lelaki itu malah berlagak sok berkuasa atas dasar ambisi membawa Alexia ke puncak podium. Bahkan pernah sekali waktu, Alexia menanti Thomas berjam-jam untuk latihan tapi dia tidak datang dengan alasan tidak mau mendidik anak pembangkang. Akhirnya, mau tak mau, Alexia terpaksa mendatangi Thomas dan memohon ampun.

Dirogoh ponsel dari dalam saku celana jogging dan melihat ada beberapa notifikasi dari teman-temannya di mana Arya mengeluh terkilir. Sama seperti skater lain, selalu ada sisi ambisius untuk menjadi yang terbaik di antara yang terbaik, tidak peduli kaki atau tangan terkilir bahkan patah tulang, bagi mereka mengungguli skor sudah menjadi pelipur lara.

Alexia : Jangan lupa bebat dan kompres kakimu. Periksa ke dokter Richard siapa tahu ada kemungkinan retak kalau sampai bengkak seperti itu.

Arya : Fuck! Jangan sampai retak, Lex! Kalian sudah bertaruh banyak untuk pertandinganku nanti, masa aku harus mundur.

Norah : Kau mundur akan kutendang bokongmu, Arya! Aku bertaruh lima ratus!

Sayang, keributan di grup Alexia terasa kurang akibat Poppy mendadak diam. Entah karena menyibukkan diri dengan sesuatu yang lain atau justru merenggangkan jarak usai berdebat bersama Alexia di Soho. Bahkan ketika Norah mengetik nama Poppy pun, gadis itu tak kunjung muncul. Segumpal rasa bersalah memenuhi benak Alexia, apakah kalimatnya terlalu kasar?

Tidak hanya itu saja, Ryder pun bertingkah sama. Dia hanya berbicara ketika membutuhkan sesuatu yang didiskusikan di atas ring, termasuk pemilihan lagu juga koreografer untuk kompetisi yang akan diikuti. Selebihnya, lelaki itu lebih suka bungkam dan menghindari tatapan selidik Alexia. Tidak ada lelucon atau rayuan yang biasanya dilayangkan lelaki itu, pun tidak ada kecupan sambutan maupun perpisahan kecuali kalau Alexia memanggilnya.

Sungguh Alexia tidak tahu apa yang menyebabkan Ryder bersikap sedingin es yang tak terjamah. Dia merasa tidak melakukan kesalahan atau tidak ada pertengkaran, lantas kenapa?

Tapi, Alexia tidak mau ambil pusing. Toh ada tidaknya lelaki dalam kehidupannya tidak memberikan dampak besar. Dia masih mampu menjalani hari-harinya seperti dulu--tanpa ada kekasih--bergelut dengan belasan buku, menyelesaikan desain wall art yang makin laris, pergi ke Magic Mike, bahkan mendatangi konser musik.

Kalau Ryder diam, maka Alexia bisa lebih diam. Kalau dia memang tidak mau membalas pesan atau menelepon balik, Alexia bisa memblokir nomor tanpa perlu pikir panjang. Dia tidak akan mau mengemis-ngemis perhatian Ryder jikalau tidak diberi feedback serupa.

"Biarkan saja dia, Lex," gumam Alexia pada diri sendiri. "Ada tidaknya Ryder juga tidak mempengaruhi hidupmu."

###

"Jadi tebakanku benar kan?" Ryder nyaris memekik manakala mendengar pernyataan Denny mengenai kondisi yang dialami Alexia. "Aku tidak salah duga kan?"

Denny menyengguk mantap. "Tidak. Kau bercerita sekilas saja aku sudah menangkap kalau gadismu menderita bulimia dan bisa jadi mengarah ke anoreksia jika tidak segera dibawa ke rumah sakit."

Bagai ditinju tepat mengenai batok kepala, Ryder merasa sekelilingnya berputar hingga perutnya mual. Sekujur tubuhnya ikut menegang mengetahui bahwa kondisi Alexia benar-benar di luar dugaan. Ryder memang tidak buta terhadap isu ini dan pernah mendengar ada skater di Golden Skate yang mengalami hal serupa. Tapi, sekarang, kejadian itu dialami partner sekaligus kekasihnya dan Alexia masih berlagak bahwa semuanya baik-baik saja.

"Kau sudah membicarakan hal ini dengan dokter yang menangani kalian?" tanya Denny membenarkan letak kacamatanya yang agak turun. "Ini masalah serius, Ryder."

"Well ... aku memang menemui dokter Richard beberapa waktu lalu untuk menanyakan apakah dia meresepkan obat-obatan tersebut. Kemudian setelah mendengar penjelasanku, dia berkata akan berbicara empat mata tanpa memberitahuku hasilnya."

"Aku yakin dia tahu dan tidak ingin membuatmu hilang kendali," tukas Denny. "Apa kau pernah menemukan obat selain pencahar dan obat diet itu? Mungkin semacam obat anti depresi?"

Ryder menggeleng pelan. "Adiknya juga tidak menemukannya. Menurutmu, siapa yang kira-kira menjadi akar masalah ini?"

Denny menyandarkan punggung dan menaikkan satu kakinya di kaki lain. "Aku tidak berani menuduh, Ryder."

"Pelatih kami?" terka Ryder menyorot tajam Denny. "Instingku selalu berkata kalau Thomaslah yang memerintah Alexia melakukan hal gila ini."

"Sebagian besar skater perempuan sering kali mengalami fase ini, bukan hanya karena faktor pelatih melainkan tekanan dari diri mereka sendiri. Kau tidak akan paham saat wanita sudah menancapkan ambisinya, mereka sanggup berbuat apa pun walau harus berdarah-darah," terang Denny.

Seperti Cherry, sambung Ryder dalam hati.

"Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mungkin memakinya hanya karena obat-obatan itu, aku harus mencari bukti lain," keluh Ryder mengusap wajahnya gusar. "Andai bisa pun, aku ingin menyeretnya untuk berobat."

"Buatlah dia merasa berharga dan dicintai, Ryder," kata Denny. "Mendengar penjelasanmu mengenai keluarganya, pendapatku kemungkinan besar ini pelampiasan Alexia pada dirinya sendiri. Dan ... jangan libatkan amarahmu, Nak. Dia sudah rapuh dan tidak tahu kapan hatinya akan hancur lebur tanpa sisa."

"Aku..."

"Kemarahan bukan jawaban, Ryder. Menghindarinya juga bukan solusi," sela Denny. "Mereka yang berlagak kuat sejatinya membutuhkan pertolongan. Cuma rasa gengsi yang memaksa mereka menutupi segalanya."

###

Pulang dari kediaman Denny, Ryder bertolak ke salah satu kafe yang ditunjuk Poppy setelah gadis itu mengirim pesan kepadanya untuk membicarakan sesuatu. Tanpa berpikir lama, Ryder melajukan motornya dengan kecepatan tinggi sembari memikirkan bagaimana cara meredam amarah yang nyaris meledak jika tahu Alexia ternyata menyembunyikan sebuah fakta besar.

Bahwa dia tidak baik-baik saja.

Entakkan drum yang dimainkan anggota Sleep Token bertabuh kencang di earphone-nya, dibarengi teriakan sang vokalis seolah-olah membantu menumpahkan emosi yang bergulung-gulung di dada.

I want to see the other side

Won't you show me what it's like?

Perjalanan yang memakan waktu empat puluh lima menit tersebut akhirnya membawa Ryder ke sebuah lokasi kafe bernuansa modern di tengah kota. Di area outdoor, Poppy yang mengenakan mantel bernuansa terang dengan dalaman serba hitam termasuk celana kulit juga boots bertumit, melambaikan tangan dan menyunggingkan senyum tipis saat Ryder melepas helm.

Lelaki itu menghampiri Poppy sembari merapikan jaket kulit dan menanggalkan kacamata hitam yang digantung di kerah kaus abu-abunya. Dia menarik kursi tanpa membalas senyum manis Poppy, mendudukkan diri dan bertanya, "Jadi ada apa?"

"Apa kau membuat temanku tertekan?" tanya Poppy bersedekap.

"What?" Lelaki itu nyaris tersedak lidahnya sendiri tak percaya atas tuduhan tak masuk akal Poppy. "Kau menyuruhku jauh-jauh datang hanya untuk menyalahkanku? Kenapa tidak sekalian saja kau meneleponku langsung dari kantor polisi?"

Poppy memutar bola mata. "Apa benar kau menyukai temanku atau sekadar menjadikannya teman tidurmu?"

"Apa?" Mulut Ryder menganga lebar. "Wait, hold on, girl. Ke mana arah pembicaraan ini? Kau pikir aku apa sampai hati meniduri temanmu?"

"Siapa tahu bukan? Bukan rahasia umum kau merayu gadis di klub dan membuat mereka terbawa perasaan?" tuding Poppy makin berbelit-belit.

Merasa tersinggung Ryder beranjak dari kursi karena dirasa membuang-buang waktu jikalau tidak tahu tujuan pembicaraan dengan gadis itu. Dia kira, Poppy mengajaknya bertemu untuk membicarakan kondisi Alexia, setidaknya ada satu dari tiga teman kekasihnya itu menyadari ada perubahan besar pada si quad girl. Nyatanya tidak, Ryder yakin mereka hanya berteman demi popularitas bukan karena sebuah ketulusan. Pantas saja di dunia ini perempuan banyak yang munafik, batinnya kesal.

"Alexia sakit, Ryder!" seru Poppy menghentikan kaki Ryder yang hendak meninggalkannya. "Apa kau tidak sadar?"

Lelaki itu berpaling dan seketika itulah kornea Poppy berkaca-kaca dan bibirnya bergetar menahan isak tangis.

"Jika kau mencintainya, seharusnya--"

"Aku sudah tahu sebelum dirimu," sela Ryder pelan namun menggaung di telinga Poppy. Gadis itu membeliak lalu membuang muka untuk menghapus kristal bening yang akan jatuh di pipinya. "Kau pikir aku tidak menangkap perubahan tubuhnya?"

"Karena kukira kau belum move on dari Cherry," tukas Poppy tanpa basa-basi menyebut mendiang kekasih Ryder.

Ryder menghela napas panjang lalu menarik kursinya lagi dan bersandar. "Dengar, Ms. Pearson," ujar Ryder. "Ketika aku memutuskan comeback artinya sudah tidak ada sangkut pautnya dengan Cherry. Jadi, jangan menuduhku tanpa bukti!"

"Sorry," cicit gadis itu.

"Aku heran kenapa banyak orang menuduhku yang tidak-tidak," gerutu Ryder geleng-geleng kepala.

"Sejujurnya, aku bingung dan tak tahu ke mana harus memastikan alibiku. Kalau aku bercerita kepada Norah dan Arya, mereka pasti heboh dan meminta penjelasan langsung ke Alexia. Kau tahu kan Alexia paling susah disuruh berterus terang dalam artian tentang masalah pribadinya?"

Ryder melenggut pelan. "Aku paham. Hei, tolong jangan bersikap seperti ini kepadanya, oke," pintanya dengan nada memohon. "Aku sudah mendiskusikannya bersama seseorang dan kita sebagai orang terdekat Alexia, tidak perlu menjauh."

"Kau menjauh?" tuduh Poppy memicingkan mata tampak tak suka. "Lelaki macam--"

"I was fucking mad!" sela Ryder. "Siapa yang tidak akan kecewa saat tahu dia menyembunyikan rahasia lagi?"

"Rahasia ... lagi? Apa maksudmu?" Poppy diterjang rasa penasaran sebab selama ini Alexia tidak pernah membeberkan sesuatu kecuali percintaannya yang kandas. "Ryder, kau tahu sesuatu yang tidak aku atau kami ketahui?"

Yang ditanya mengangguk. "Masalah itu sudah selesai, jangan diperpanjang. Hei, sebentar lagi ulang tahunnya, kalian buat kejutan atau apalah."

"Tanpa kau suruh pun aku juga akan merayakannya bersama Norah dan Arya," cibir Poppy menitikkan air mata. "Ya ampun, aku merasa tidak mengenal Alexia meski kami sudah bersama delapan tahun. Aku merasa jadi teman tak berguna."

"Sudahlah ... Kadang tidak semua harus diceritakan. Aku paham niat baikmu, Poppy tapi melihat posisi Alexia ... aku juga mengerti kenapa dia memilih memendamnya seorang diri." Ryder kembali bangkit dan mengeluarkan sehelai sapu tangan kepada Poppy dari balik jaketnya. "Hapus air matamu, kau kelihatan jelek."

Mendengarnya, air mata Poppy makin tidak bisa terbendung ketika menerima pemberian Ryder. "Dasar sialan! Kau sudah punya Alexia jangan merayuku!"

"Siapa juga yang menggodamu? Jangan percaya diri!" ketus Ryder. "Ah, aku saja yang atur pestanya, nanti kukabari lagi. Kau tinggal terima beres."

"Baiklah," kata Poppy mengembalikan sapu tangan Ryder. "Thanks."

"Jangan jauhi gadisku, Ms. Pearson. Anggap kau tidak pernah tahu kondisi fisiknya. Jika kau diam dan menjauh, aku yakin dia berpikiran yang tidak-tidak," titah Ryder. "Karena aku sendiri merasa kelakuanku salah padanya." Kemudian dia melengang tanpa pamit membuat Poppy hanya memandangi bahu lebar lelaki itu dalam diam.

Ternyata ini yang mungkin membuatmu jatuh cinta, Lex. Ryder memahamimu lebih dari kami.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro