47. Mai Soli

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

'It's paradise, the stars and I are catching up like old friends. My heart is learning how to love again.'

-Lany-

***

Sesuai dugaan yang dikatakan Ryder, Thomas mengunggah foto di mana dirinya mengalami lebam-lebam akibat pukulan yang diterima secara mendadak di gelanggang Lee Valley. Termasuk memamerkan hasil rontgen adanya patah tulang hidung juga retak bagian rusuk lelaki itu. Thomas juga menuliskan kronologi lengkap yang dilebih-lebihkan seolah-olah dialah korban yang patut dibela. Walhasil, postingan tersebut dibanjiri berbagai macam komentar yang kebanyakan dari mereka menyayangkan aksi Ryder.

Aku bertindak yang terbaik untuk semua anak didikku tanpa pandang bulu, terutama Alexia. Kami telah bekerja sama selama delapan tahun dan terpaksa hancur karena kelakuan anarkis seorang bocah kemarin sore.

Tak lama, pemberitaan itu dibalas dengan sebuah artikel resmi yang menyebutkan bahwa Alexia mengalami bulimia nervosa akibat ulah Thomas. Ryder sebagai partner skating Alexia memberi keterangan saat diwawancara kalau yang bersangkutan tidak diizinkan makan dan minum selama latihan maupun saat tes senior kemarin. Dia juga menambahkan jika Alexia mengalami penurunan berat badan secara signifikan dalam beberapa minggu, menyimpan berbagai macam obat diet dan pencahar, suka merangsang muntah yang menyebabkan dirinya harus dirawat di rumah sakit karena dehidrasi serta mengalami iritasi lambung kronis.

Artikel itu menunjukkan perbandingan proporsi badan Alexia sebelum dan sesudah dididik Thomas. Bagaimana tadinya tubuh Alexia terlihat normal dan ideal kini berubah kurus kering tak terawat. Walau wajahnya menyunggingkan senyum di atas podium tak menutupi sorot matanya tidak secerah kali pertama. Ditambah, ada satu foto enam tahun tahun lalu ketika Alexia menangis sesenggukan usai dinobatkan sebagai juara kedua Olimpiade Beijing.

"Kau menjanjikanku juara pertama, Tom. But you lied! Aku sudah seperti ini tapi ... tapi dia yang menempati posisi pertama! You're fucking bullshit!"

Kalimat tersebut berhasil dikutip melalui video yang direkam oleh wartawan saat menyorot gerak bibir Alexia. Sementara Thomas berusaha membujuk agar gadis itu tetap naik ke podium untuk penyerahan medali. Walhasil, dengan eyeliner yang luruh menghiasi pipi, Alexia naik dan menerima maskot boneka panda juga medali perak tanpa senyum sama sekali.

"Wow, aku tidak menyangka bila keadaannya makin memanas," komentar Jhonny kala duduk di sebelah kakaknya yang menonton siaran berita. Masih membicarakan topik yang sama. "Are you okay?"

Sebelum gadis itu menjawab, pintu kamarnya terbuka memunculkan sosok Nancy mengenakan long coat hitam. Rambut pirangnya agak awut-awutan pun lingkaran hitam juga kerutan di bawah matanya begitu kentara seakan-akan wanita paruh baya di sana telah melalui perjalanan melelahkan selama berhari-hari. Tidak ada senyuman yang terbit di bibir melainkan ekspresi datar saat menghampiri putri sulungnya. "Can we talk?" pintanya tanpa basa-basi.

"No need to talk," timpal Jhonny menolak kehadiran Nancy yang dirasa sia-sia. "You know the truth, Mom."

Alexia memegang tangan adiknya lalu menyiratkan keluar sekadar memberikan ruang sebentar untuknya dan ibu mereka berbicara empat mata. Jhonny menghela napas sembari memutar bola mata lantas beranjak pergi.

Nancy mendudukkan diri di kursi yang ditempati Jhonny bersamaan Alexia mematikan saluran televisi. Mendadak atmosfer di sekitar mereka berubah hening sekaligus kaku layaknya terdakwa yang disekap dalam ruang interogasi. Setiap helaan napas yang diraup Alexia bagaikan racun yang merasuk ke dalam sel-sel darah. Dia menggigit bibir bawah kala memori buruk menerjang tanpa aba-aba mengakibatkan rasa sesak yang mencekik.

Bernapas, Lex... Bernapas...

Otomatis Alexia berpaling ke arah jendela demi menghindari tatapan selidik atau raut muka Nancy yang pasti ingin melemparinya berbagai macam pertanyaan dan pernyataan. Rasa gelisah memasung Alexia hingga tanpa sadar jemarinya memilin ujung selimut hingga kusut. Bibirnya gemetaran dan korneanya mulai terasa pedih membayangkan emosi macam apa yang akan keluar dari benaknya nanti.

Don't cry, don't cry, don't cry...

"Benarkah yang mereka katakan, Lex?" Suara Nancy akhirnya memecah kebisuan setelah beberapa menit saling membisu. Nada bicaranya pelan, tapi entah kenapa terasa seperti sebuah tuduhan yang dilayangkan padanya. "Kau keberatan atas apa yang kami lakukan?"

Alih-alih menjawab, Alexia memejamkan mata sembari menarik oksigen banyak-banyak melonggarkan dadanya yang dipenuhi jutaan duri tajam atas sikap Nancy. Tangan Alexia sudah mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih menghadang gelombang afeksi yang mungkin sebentar lagi tumpah ruah. Dalam hati, seharusnya Nancy paham bahwa anaknya terbaring sakit secara fisik dan mental akibat tekanan yang diberikannya selama bertahun-tahun bukan malah melempar kalimat omong kosong seakan-akan dialah yang benar dan Alexia yang salah.

"Kenapa kau tak bilang?" imbuh Nancy lagi. "Mom pikir--"

"I told you, but you forced me," sela Alexia enggan mengalihkan pandangan. "I told you thousand times, Mom, but you said that you always knew what the best for me."

"Lex ..." Nancy meraih tangan putri sulungnya namun ditepis kasar bersamaan Alexia menoleh kepadanya dengan mata memerah.

"I told you ... but you never understood me, Mom ... " Suara Alexia terdengar parau ketika dia memukul dadanya yang sialan sakit. "Aku berusaha menjelaskan segalanya kepadamu bahwa ini menyakitiku. Aku kelaparan. Aku lelah. Aku haus. Aku ingin makan bebas seperti teman-temanku. Tapi kau ... kau selalu bilang harus diet, diet, diet. Kau harus diet supaya bisa melompat dan berputar. Kau harus menuruti ucapan Thomas. Kau lebih cantik kalau kurus Alexia. Kau akan juara satu jika tubuhmu lebih ramping. Lengan dan kakimu jelek karena berlemak, kau--"

"Enough!" seru Nancy menitikkan air mata memotong semua kalimat yang pernah diucapkan kepada Alexia. "A-aku ... a-aku melakukannya karena kau putriku."

"Tidakkah kau sadar bahwa kau telah memenjarakan semua kebebasanku, Mom?"

"Lex ..."

"Skating memang impianku, tapi bukan seperti ini caranya, Mom. Aku selalu meminta dukunganmu, tapi kau berpihak kepada Thomas. Kau ingat kan kalau aku pernah dihina teman-teman sekolahku dan kau menganggapnya hanya candaan anak-anak. Aku pernah dilempar makanan busuk karena mereka melihatku seperti seekor babi, Mom. Dan ..." Alexia kembali berpaling tuk menghapus jejak basah yang tak mampu dibendung lagi. "Sudahlah, aku tidak mau membicarakan ini. Aku lelah."

"Lex..."

"Setiap kali aku makan yang terbayang adalah wajahmu dan Thomas. Setiap suapan yang masuk ke dalam mulut, kepalaku selalu dipenuhi ejekan kalian. Kau, Thomas, teman-teman di sekolah," sambung Alexia. "Itu membuatku diliputi rasa bersalah dan akhirnya aku selalu memaksa makanan itu keluar lagi. Aku tidak peduli berapa banyak obat yang kutelan agar badanku tetap ramping. Aku tidak peduli berapa banyak cairan yang keluar dari tubuhku supaya bisa melompat lebih tinggi. Tapi, di saat bercermin, aku selalu menyalahkan diriku sendiri kenapa terlahir seperti ini. Kenapa aku harus menuruni genmu, Mom. Kenapa aku tidak mewarisi gen milik Dad supaya tidak perlu menderita seperti ini."

Kristal bening di pelupuk mata Alexia meleleh tanpa bisa dihalau lebih lama. Tangannya meremas selimut selagi terisak akhirnya beban lain yang dipikulnya seorang diri luluh lantak tak tersisa. Topeng terakhir yang dikenakan Alexia terlepas meninggalkan gadis mungil yang butuh perhatian serta kasih sayang murni dari sang ibu bukan tuntutan demi tuntutan menjejali mulutnya setiap hari. Matanya pedih. Bahunya terguncang. Napasnya terasa amat sesak tapi dia enggan menerima pelukan Nancy yang berusaha mendekatinya.

"You are too late to care about me," ucap Alexia sesenggukan.

"I'm so sorry, Alexia ..." Nancy ikut menitikkan air mata karena tidak menyangka jika langkah yang diambilnya selama belasan tahun ternyata salah. Ambisi telah membutakan mata batin sehingga terlalu memaksa Alexia mengikuti semua perintahnya. Tanpa bertanya apakah gadis itu baik-baik saja. "Tapi aku menyayangimu."

"Your love hurts me, Mom."

Kalimat itu seperti mencabut jantung Nancy tanpa aba-aba hingga tangannya gemetaran. Bagaimana bisa anak yang dilahirkannya sepenuh hati kini berbalik membencinya setengah mati. Dosa macam apa yang Nancy perbuat di masa lalu sampai-sampai putrinya tak mau disentuh olehnya? Tidakkah Alexia paham jikalau dia bisa berada di posisi ini karena usaha Nancy?

"Lex ... I'm so sorry ..."

"It's too late, Mom."

"Aku akan menunggumu. Kau putriku. Kau anakku. Kau lahir dari rahimku, Alexia. Sebesar apa pun masalah di antara kita, aku tidak bisa membiarkanmu sendirian," ujar Nancy membalikkan badan lantas melenggang pergi menyisakan Alexia yang tenggelam dalam kesedihannya.

###

Skandal yang menimpa Alexia terdengar sampai ke telinga ketiga temannya. Poppy yang sejak awal mengendus ada yang aneh pada diri Alexia, menangis tersedu-sedu dan menyebut dirinya sebagai teman tak tahu diri. Begitu juga Arya dan Norah yang sama sekali tidak menyadari perubahan ekstrem yang terjadi pada Alexia.

Ruang VIP kembali menjadi saksi bisu air mata yang tak mau berjeda. Saling mengumpat bahwa tidak semestinya persahabatan yang terjalin selama delapan tahun terselubung oleh rahasia. Seharusnya mereka lebih peka tuk berbagi duka, bukannya selalu ada dalam suka.

"It's my fault," kata Norah menarik tisu dan mengeluarkan ingusnya keras-keras. "A-aku gadis payah yang hanya mementingkan tugas sialan dari dosenku. A-aku ... a-aku tidak pantas kau sebut teman, Lex."

"Aku juga." Arya memeluk bantal dan menenggelamkan wajahnya sembari berteriak. "Ya ampun, Lex ... tolong benturkan kepalaku ke tembok supaya aku tidak buta bahwa kau ... kau membutuhkan kami, Babe. Aku--"

"Don't blame yourself," sela Alexia menghapus jejak basah di wajah Norah lalu menarik pelan bantal yang menghalangi wajah cantik Arya. "Ini salahku. Aku yang merahasiakannya dari kalian. Aku juga tidak mau kalian tahu masalahku dengan Thomas."

"Ah, Sialan!" rutuk Norah. "Aku tidak menyangka Tom bisa sekejam ini padamu, Lex."

"Kenapa kau tidak pernah cerita pada kami?" Poppy tergugu dan merebut tisu dari pangkuan Norah. "Kau tahu arti pertemanan ini bagiku, Lex? Kau seperti saudariku. Kita sudah lama saling kenal. Tapi ... tapi ... kau ..."

"Maafkan aku," ujar Alexia menengadahkan kepala. "I'm okay right now. Really, gurls. I'm okay. Ryder sudah mengurusnya segalanya kan? Kalian tenang saja."

"Mulai sekarang, tidak ada rahasia, Lex, please." Norah memohon sembari meremas tangan Alexia penuh harap. "Tidak peduli berapa ukuran bra dan celana dalammu, aku ingin tahu semuanya tanpa celah. Kau harus makan dan nikmati hidupmu sebaik mungkin, oke?"

"Kau sudah tahu ukuranku, Norah," tukas Alexia terkekeh membuat Arya dan Poppy tertawa. "Bahkan ukuran sepatuku juga."

"No more lies and secrets?" Poppy menyodorkan jari kelingking kanannya. "Mari berjanji sehidup semati tanpa ada yang disembunyikan lagi."

Alexia dan Norah mengaitkan kelingkingnya bersamaan.

"Ehm ..." Arya tampak ragu-ragu membuat Alexia mengerutkan kening. "Aku ingin melakukan pengakuan dosa pada kalian. Tapi, jangan hakimi aku."

Norah menarik tisu lagi dengan mata bengkak menatap ekspresi Arya yang bimbang. "Jangan bilang kau memesan tiket konser Chase Atlantic tanpa sepengetahuanku," cibirnya memukul lengan Arya. "Kita sudah pesan tiket festival di Budapest kan?"

"Damn ... bukan ..." Arya merajuk selagi mengelus lengannya. "Aku ... sedang ... menjalin ..."

"Kau tidak pacaran dengan Elliot kan?" tuduh Poppy membuat Alexia membeliakkan mata.

"Fuck, Poppy! Bukan!" kilah Arya semakin kesal. "Aku ... dan Nathan ..."

"Nathan siapa? Kau pikir nama itu--"

Ucapan Norah terhenti saat Alexia menyela, "Nathan De Verley? Kau pacaran dengannya?"

Anggukan kecil Arya menjawab pertanyaan Alexia. Kontan ketiga gadis di depannya langsung menganga bukan main mengetahui jikalau Arya--si gadis penggemar dating app--terjerat cinta pemain hockey macam Nathan.

"Jadi, rupanya kau?" Alexia terkekeh sembari menarik ingus. "Ryder sudah memberitahuku, hanya saja tidak memberi detail siapa yang berkencan dengan adiknya. Kupikir itu Norah."

"Tidak!" Norah memutar bola mata. "Mr. Gray--"

"What' wrong with Mr. Nicolas Gray?" tanya Alexia memicingkan mata. "Aku mencium aroma kalau kau tidak terlalu membenci dosenmu."

"Aku tidak membencinya, aku hanya tidak suka mulutnya yang kasar," ungkap Norah dengan intonasi cepat. "Lagi pula siapa yang bakal tahan terhadap omelan pria itu? Telingaku sampai merah! Lihat!" Dia menunjukkan telinganya yang memang agak kemerahan. Entah karena terlalu banyak menangkap cecaran dosennya atau hal lain.

"Tapi, dia seksi," imbuh Arya menyeka air matanya dengan tangan. "Bisa jadi telingamu merah karena dia membangkitkan gairahmu, Norah. Kau sudah lama tidak bercinta kan?"

"Shut up!" Norah mencubit lengan Arya dengan wajah merah padam. "Kau Poppy? Kau pasti punya pria yang menggelayuti pikiranmu kan?" tanyanya mengalihkan topik.

"I don't know." Poppy mengangkat bahunya dan tak lama ponselnya bergetar memunculkan notifikasi bertuliskan 'DickHeath."

"DickHeath," cibir Arya mengintip nama yang diberikan Poppy. "Aku suka panggilan yang kau sematkan untuknya."

"Biar kutebak. Teman kakakmu yang sering menjemputmu meski ada tornado datang? Yang berlagak posesif melebihi Joey?" sambung Alexia.

Poppy melenggut dan mematikan ponselnya. "Sudahlah. Ayo berjanji, jangan ada rahasia lagi."

"Janji."

"Sampai mati?" Poppy menegaskan lagi.

"Sampai mati."

"Aku mencintai kalian," kata Alexia memeluk ketiga temannya. "Thanks for being my best friends."

***

Btw, aku suka banget sama si Poppy panggil temen kakaknya kayak gitu 🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro