Chapter 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shoose PoV

Malem itu gue baru aja selesai mengurus tugas dokumen dari sekolah dan bersiap untuk tidur. Eh baru aja rampung gosok gigi, mau naik ke atas kasur dan memejamkan mata, ditelpon lah gue sama si jerapah tiang listrik Luz, minta gue dateng ke rumahnya sekarang juga.

Sambil misuh-misuh setengah ngantuk, gue memutuskan bersiap. Gue ambil coat panjang musim dingin warna cokelat tua lalu bersiap ke pintu gue. Lon yang baru dari dapur bingung.

"Mau kemana lo jam segini?"

"Ini si Luz telpon, minta gue dateng ke rumahnya sekarang juga. Penting banget katanya." sahut gue sambil mengenakan sepatu di depan.

"Malem-malem gini?? Ini udah mau jam 11 loh... emangnya ada masalah apa sih?" Lon kaget sekaligus heran. Gue mengangkat bahu, "Mungkin ada kaitannya sama kasus Kashi? Coba nanti gue selesain secara cepat."

Lon menatap khawatir. Gue hanya tersenyum, mengusap kepalanya lalu mencium kening istri gue itu. "Ngga apa-apa. Semua bakal baik-baik aja," hibur gue. Lon kini tersenyum meski masih agak khawatir, "Hati-hati, ya. Ini sudah malam."

Gue mengangguk, kemudian berangkat.

-

-

-

Akhirnya gue sampai juga di rumah besar di atas bukit itu. Dari dulu rumah ini ngga berubah. Lantas gue masuk ke halaman, lalu mulai membunyikan bel. Terdengar suara dari dalam, "Siapa?"

"Saya Pak Shoose," jawabku. Pintu kemudian terbuka. Tampak seorang pelayan membukakan pintu. "Silakan, Pak, Tuan Muda sudah menunggu Anda di dalam."

Dengan tuntunan si pelayan, gue diantar ke ruang tengah. Rupanya disana ngga cuma ada Luz. Ada Soraru dan Mafu juga.

"Ada apa ini? Kenapa kamu panggil Bapak malam-malam gini?"

Luz menyerahkan sesuatu ke gue: kemeja dan celana seragam yang berlumur darah. Gue tentu saja kaget bukan main. "...Punya siapa ini?"

"Soraru, Pak," jawab Soraru lirih sembari menunduk. Pemuda itu kini mengenakan sweater turtle neck putih dan celana hitam yang sepertinya, dua-duanya punya Luz.

Tambah kagetlah gue. "Gimana ceritanya kok bisa jadi sampe kek gitu??"

Soraru kemudian menceritakan semuanya. Mulai dari dia disuruh balik duluan, makan udon di depan stasiun kemudian ngga ingat apa-apa, saat sadar sudah di tengah hutan, menemukan kuil,lalu dia sadar sekujur tubuhnya dilumuri darah, ia panik lalu menelpon Mafu sampai akhirnya Luz datang menjemput.

"Soraru takut sekali, Pak, bagaimana kalau Soraru membunuh orang yang ngga bersalah?" ujar anak itu gemetaran. Mafu yang berada di sebelahnya merangkul, mengusap bahu sahabatnya agar tenang.

"Tenang dulu, Sor," kata gue, "ini belum tentu kasus pembunuhan. Haduh... ini sudah ketiga kalinya hari ini," gumam gue.

Mafu, Luz, dan Soraru terkejut. "Tiga kali? Apanya, Pak?" seru Mafu.

"Iya, tiga kali Bapak dihubungi begini. Yang pertama tadi siang Piko ngadu di sekolah, katanya dia, Kradness, dan Kain diserang kawanan bertopeng. Sore tadi hal yang sama terjadi pada Kogeinu dan Kuroneko. Untung mereka bisa mengatasinya dengan mudah. Dan sekarang, kalian."

Luz tersentak, "Mereka diserang orang-orang bertopeng? Sama seperti Kashi, Soraru, dan Mafu hari minggu kemarin?" Gue membalas dengan anggukan. "Kalau begitu... siapa lagi orang-orang bertopeng ini?" Mafu mengusap dagu, berpikir.

"A-anu... sebenarnya..." Pandangan kami semua kini tertuju pada Soraru, yang mana tengah memainkan jarinya, agak ragu untuk bicara. Ia lantas menunduk, "Sebenarnya salah satu orang yang menyerang kami hari minggu kemarin... yang langsung menyerang saya... itu Culprit Master. Saya tahu dari suaranya."

Kami langsung kaget. "Yang menyergapmu itu??!" Mafu bertanya setengah teriak. Soraru mengangguk.

Gue terdiam sebentar, lantas berujar, "Berarti setidaknya kita kini punya petunjuk: anak buah Culprit Master mengenakan topeng. Jadi kalau kalian diserang orang bertopeng, itu anak buah Culprit Master."

Mereka serempak mengangguk. Lalu, kami kembali ke masalah seragam penuh darah itu. Memang mengkhawatirkan. Soraru sudah berusaha mengingat-ingat, tetapi hasilnya dihil. Ia tetap tidak bisa mengingat apapun.

"Atau jangan-jangan, sebenarnya ada yang membuatmu tidak sadar lalu berniat mangambinghitamkan kamu? " sentak Mafu tiba-tiba.

"Bisa jadi," tanggap Luz, "itu menjelaskan kenapa kamu ngga ingat apapun."

"Baiklah, begini saja," putus gue akhirnya, "kita tunggu sampai besok. Kalau besok tidak muncul berita ditemukannya jasad orang atau apapun yang mencurigakan sampai jam sekolah selesai, kita berkumpul lagi di rumah Luz. Paham?"

"Kalau ada berita seperti itu?" Mafu bertanya.

"Kita langsung bicarakan saja di sekolah, dengan teman-teman kalian yang lain."

Dengan keputusan itu, Soraru, Mafu, dan gue kembali ke rumah. Menanti esok hari.

-

-

-

Paginya saat baru sampai di kelas, gue langsung mengecek koran pagi. Tidak ada. Dimanapun gue cari tidak ada berita atau artikel yang memuat penemuan mayat antara rentang waktu kemarin sampai hari ini. Hal ini semakin membuat gue bingung.

"Oh, Pagi, Pak!"

Gue menoleh ke pintu, mendapati si sepupu kembar Sou dan Eve disana. "Lagi apa, Pak?" tanya Sou yang berada di depan.

Gue menjentikkan jari. "Nah! Pas sekali kalian dateng!"

Mereka menghampiri sementara gue merogoh sesuatu dari tas. Gue mengeluarkan seragam Soraru semalam, yang langsung membuat mereka shock.

"Oi... Jangan bilang..." Eve pucat.

"Di kelas kita yang pakai seragam biru cuma aku, kamu, Piko, sama Soraru, kan?" Sou menambahi. Gue segera menukas, "Iya, ini punya Soraru."

Langsung dah mereka masang wajah horor.

"Ey, kalem dong, kalem! Ini bukan darah Soraru, kok. Bapak pegin tau, kira-kira ini darah udah nempel di baju ini sejak kapan? Kalian bisa engga bantuin Bapak?"

Eve memandang Sou datar. "Noh, forensik kan bagian lu, Sou."

Yang bersangkutan memicingkan mata, agak sebel sebenarnya. Tapi yasudahlah. Dia akhirnya mengeluarkan seragam Soraru dari plastik dan mulai menganalisis.

Bocah itu mengendus, mengusap-usap pakaian dan darah yang menempel, mengamati dengan saksama. Untungya gak sampai dijilat. Setelah beberapa waktu, ia menyerahkan kembali seragam itu pada gue.

"Ini sekitar tujuh sampai delapan jam yang lalu, Pak. Dan untuk kemeja putihnya, sempat dicuci dan dibilas dengan air sekitar tiga sampai empat jam setelahnya." tandas Sou mantap.

Gue mengusap dagu. "Hm... berarti antara pukul enam sampai tujuh malam, ya?" Sou membalas dengan anggukan. Setelah itu tidak ada hal khusus lain. Kelas berlangsung seperti biasanya. Soraru masuk juga. Untung dia punya seragam cadangan. Untuk tasnya yang hilang, sedang dalam proses pencarian.

Sampai jam pulang sekolah, masih belum ada berita. Akhirnya gue bersama Soraru, Mafu, Luz, dengan tambahan Amatsuki dan Kashi pergi ke tempat Luz.

"Tidak ada pemberitaan," ujar gue ketika kami sudah berkumpul, "Bapak juga sudah tanya Pak Aisu dan dia bilang tidak ada penemuan mayat hari ini.

"Kalau begitu, orang yang berurusan dengan Soraru ini kemungkinan bukan rakyat sipil, tapi seseorang yang berhubungan dengan organisasi kriminal," sambung Luz.

"Maksudmu seperti gangster atau sesuatu?" tanggap Mafu, "apa mungkin serangan anak buah Culprit Master?"

Luz menggeleng. "Tidak, korban gangster tidak mungkin dibereskan serapi ini. Mereka biasanya tetap akan membuang jasad korban atau anggota yang tewas ke suatu tempat dengan modus tertentu. Tetapi ini tidak ada kabar sama sekali. Kalau anak buah Culprit Master, Pak Aisu biasanya yang membereskan. Sedangkan Pak Shoose bilang Pak Aisu tidak mengurusi pengumpulan mayat sejak kemarin."

Kashi mengusap dagu. "Kamu benar, Luz. Ini rapi sekali."

"Iya, itu artinya ini pekerjaan Mafia," tandas Luz, membuat yang lain kaget.

Luz melanjutkan, "Orang yang dihabisi Soraru kemungkinan besar memiliki kaitan dengan suatu sindikat atau malah merupakan anggotanya. Aku bisa memastikan Soraru yang melakukannya. Sebab kalau kamu hanya sebagai kambing hitam, mereka ngga akan melepaskanmu semudah itu, Sor."

"...Maksudnya?" Amatsuki bingung.

"Soraru menemukan dirinya sadar di tengah hutan. Kalau memang mau dikambinghitamkan, akan lebih mudah meninggalkannya di tempat yang mudah ditemukan orang atau dekat dengan kantor polisi. Lagian, kan, dari tadi ngga ada penemuan mayat juga?"

"Mafia itu bukan organisasi ceroboh yang meninggalkan mayat korban mereka atau mayat anggota begitu saja. Mereka akan diurus sampai bersih, sampai sama sekali ngga ada jejak kalau yang bersangkutan bahkan pernah hidup."

Kami terdiam mendengar penjelasan Luz. "Kalau begitu," Mafu memicingkan mata, "Ngga ada organisasi mafia disini sekalin Cityfog, kan?"

Luz menatap kesal. "Bangke lu, Maf. Bukan Cityfog, lah! Nih ya kukasih tau. Yang ngurusin masalah pemberesan mayat seperti ini di Cityfog sekarang aku. Dan dari kemarin ngga ada laporan masuk mengenai adanya anggota yang tewas, tau!"

"Ih canda doang juga! Ah, Luz ngga bisa diajak becanda nih, gak seru!" cibir Mafu kesal. Kemudian dia menatap Kashi, "Kalau begitu, Kash, langsung ketahuan, kan, siapa dalang dari yang menyerang Soraru semalam?"

"...Ekor Naga Emas..." desis Kashi. Mafu mengangguk. "Itu benar, satu-satunya mafia yang sedang berurusan dengan kita saat ini."

"Eh, bukti darimana ini kamu bisa ngomong seperti ini, Maf?" gue bertanya penasaran. Mafu menyeringai. "Gimana, Luz, sesuai rencana?"

Luz ikut membalas seringai Mafu. "Saya, Mafu, dan Soraru sudah mempersiapkan ini dari jam istirahat siang," ujar pemuda itu, "para mafia ini pasti akan membereskan semua bukti yang ada, termasuk saksi mata..."

-

-

-

"...Ah, kayaknya kita terlambat, Nqrse..." gumam Araki sambil garuk-garuk kepala. Nqrse yang berdiri di sebelahnya menghela napas.

Di hadapan mereka, seonggok tubuh berlumur darah tergeletak, tak bernyawa dengan banyak luka tembakan.

Araki mengambil ponselnya lalu mulai menelpon, "Luz, penjual Udonnya sudah mereka bereskan," lapor dia.

"...Ah, sayang sekali. Aku akan mengurus uang kompensasi untuk keluarganya. Seingatku, di warung itu ada CCTV, kan? Coba cek ruangannya. Ada di sebelah kananmu, masuk setelah gudang penyimpanan," jawab Luz dari seberang telpon.

Araki dan Nqrse bergerak. Ternyata benar, ada sebuah pintu kecil tersembunyi di bagian belakang gudang makanan. Keduanya masuk. Itu sebuah ruangan kecil.

"Aha, sepertinya mereka belum sampai menemukan ruangan ini," gumam si apel sambil berdecak. Ia baru akan maju ketika tiba-tiba sebuah tangan menariknya ke belakang, kemudian menghempaskannya keluar dengan cepat.

Nqrse terkejut. Gadis itu dengan cepat mengambil sepasang handgun yang tersimpan di balik roknya. Nqrse cepat menembak orang itu tiga kali, langsung tumbang. Setelah mendepak tubuh pria itu keluar ruangan dan mengenai beberapa temannya yang ada di luar, Nqrse turut keluar dan mengunci ruangan CCTV itu.

Beberapa tembakan melayang dan gadis itu bermanuver mundur ke belakang. Araki melakukan hal yang sama. Mereka berdua kembali ke dapur tadi.

Seorang musuh lain rupanya menerjang dari arah pintu masuk. Refleks Araki mendepak, berputar sembari kedua tangannya cekatan menyambar pisau daging dan pisau dapur dari tempat alat masak di dapur itu.

Araki kembali mendepak orang tadi dan satu orang tambahan menggunakan lutut. Pemuda itu lalu melompat ke belakang musuh dan menikam keduanya dengan pisau hasil jarahan.

Musuh lain menyerang si pemuda apel dari bagian belakang mengayunkan sebuah linggis. Nqrse dengan cepat menembak tangan orang itu. Si musuh menjerit lalu kepala serta dada mendapatkan tembakan tambahan, membuatnya tersungkur tak bernyawa.

Araki melompat mundur dengan cepat ke samping Nqrse. "Wah, wah, wah... Sudah kuduga mereka bakal kembali lagi untuk membereskan mayat Pak tua penjual udon itu," gumam Araki. Nqrse menghela napas, "Bisa engga nggausah santai gitu ngomongnya? Kesian si bapak."

Araki menyeringai dan Nqrse turut siaga. "Sepertinya, kita harus 'sedikit' melakukan pemberesan disini."

***

To be Continued...

AHAHAHAHAH AKHIRNYA ABANG BERAKSI—

UHHUK!!

Ekhem, baiklah cukup cuap"nya.

Terus ikuti petualangan Anak" kelas X-C!! Sampai jumpa chapter selanjutnya 😃😃😃😃

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro