20. Pilihan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara piano memenuhi ruang tengah rumah keluarga Dwipiga. Lagu yang tengah dimainkan adalah Kiss the Rain karya Yiruma. Begitu lagu tersebut dimulai, Alka langsung menutup buku dan mengalihkan perhatiannya pada Zian yang tengah bermain piano. Lagu tersebut belum pernah dimainkan Zian sebelumnya, Alka jadi curiga kalau sesuatu terjadi pada laki-laki berkaus tanpa lengan itu. 

Siang tadi, ketika mereka bertemu di parkiran, laki-laki bercelana sobek-sobek itu mengunci mulutnya rapat. Tidak ada kata apalagi cerita. Alka yang sudah paham dengan sifat Zian, hanya diam dan memperhatikan gerakan sahabat sekaligus saudaranya. 

Begitu tiba di rumah, Zian langsung mandi dan berakhir di depan piano setelahnya. Namun, hampir setengah jam ia ada di depan piano, hanya tatapan kosong yang bisa dilihat Alka. Laki-laki bertindik itu hanya duduk diam tanpa menyentuh tuts piano. Setelah sebuah teriakan keluar dari mulutnya, barulah piano tersebut dimainkan.

Begitu lagu tersebut selesai, Alka melepaskan kacamatanya. "Gue nggak pernah dengar lo main lagu ini."

Zian berbalik dengan mata yang merah, kelihatan hampir menangis. "Kayaknya gue bawa dampak buruk buat Bella."

"Ini soal berita di Lambe Jatayu? Lo tahu, berita itu bakalan redup setelah satu atau dua minggu. Lagian Bella bakalan lulus dua minggu lagi. Harusnya lo nggak perlu khawatir berlebihan sama Bella. Yang harusnya lo khawatirin itu, diri lo sendiri, Zi." Alka berbicara serius. Nada suaranya berubah menjadi lebih berat.

Zian menghela napas. "Bukan itu."

"Terus apa? Apa yang buat lo mikir, kalo lo bawa pengaruh buruk buat Bella?" Alka jadi emosi.

"Selama ini, lo pernah liat Bella bentak orang?" Zian bertanya dengan suara pelan.

Laki-laki yang sudah tidak mengenakan kacamata itu menggeleng. 

"Tadi, gue liat Bella bentak cewek di kampus. Lo tahu kenapa?"

Alka menjawab cepat. "Kenapa?"

"Karena cewek itu ngatain gue. Dia bentak orang lain karena gue. Senyebelinnya gue selama ini, dia nggak pernah bentak gue sama sekali."

Alka terdiam. Ia menghela napas dan melipat tangan di dada. Kemudian memejamkan mata untuk menenangkan diri. 

"Ka." Zian berbicara dengan suara bergetar.

"Lo mau apa?" Alka bebicara tanpa membuka mata.

"Gue mau berenti tutorial."

Alka membuka mata. Ia membelalak dan langsung bangkit berdiri. "Oke, gue ngerti, tapi lo nggak bisa seenaknya mau berenti tutorial gini. Gue udah bilang, kan? Lo harus lulus, Zi. Lo mau berenti tutorial? Oke. Sekalian aja, kita buat surat pengunduran diri dari kampus. Lo mau berenti usaha, gue juga bakal berenti. Nggak apa-apa, kita tinggal tunggu uang di rekening gue abis, terus mati kelaparan bareng-bareng."

"Ka." Kini Zian berseru.

"Ya, lo mau apa? Pilihannya cuma dua. Ikutin tutorial sampe selesai atau kita mundur bareng dari kampus!" 

Bentakan Alka membuat Zian terdiam. Ini bukan kali pertama Alka membentak Zian, tetapi ada yang menusuk dari kata-katanya.

"Kalo lo nyerah, gue juga nyerah, Zi."

Air mata yang sedari tadi ditahan oleh Zian, akhirnya berhasil meluncur. "Kenapa lo harus nyerah? Lo bisa tinggalin gue. Lo punya cukup uang buat pergi dari sini, kenapa lo masih di sini dan pilih menderita bareng gue yang udah jatuh miskin? Atau lo bahagia liat anak manja kayak gue jadi miskin dan malah bergantung sama lo?"

Alka bergerak mendekat. "Gue nggak akan biarin lo jatoh sendiri. Kalo emang mau jatoh, gue bakalan jatoh bareng lo. Lo sahabat gue dan lo saudara gue."

Zian membalas pelukan Alka. Ia tahu alasan yang tidak pernah dikatakan Alka. Ia tahu, Alka ada di sana karena benar-benar menyayanginya. Namun, emosi membuatnya melontarkan kata-kata kasar pada Alka.

Keduanya sudah duduk di meja makan dengan mangkuk masing-masing. Keduanya makan dengan damai. Namun, suasana berubah mencekam ketika satu panggilan masuk ke ponsel Alka. Zian melirik sekilas dan langsung pergi dari sana meski mi di mangkuknya belum habis. 

"Gue udah masak, lo yang cuci piring." Zian naik ke lantai dua dan langsung membanting pintu kamarnya.

Alka menghela napas dan mengambil ponselnya. "Halo, Bu."

"Kenapa uang di rekening Zian nggak berkurang sama sekali?"

Alka sudah menduga kalau hal ini akan terjadi cepat atau lambat. 

"Maaf, Bu. Sepertinya Ibu nggak perlu mengirim uang ke rekening Zian, dia nggak akan pernah pakai uang itu. Dia lebih milih mati daripada pakai uang dari Ibu."

Sebuah umpatan di telepon terdengar jelas. "Bilang sama Zian. Kalau dia terus begini, saya akan putuskan hubungan dengan dia!" 

Alka sudah sering mendengar ancaman serupa selama beberapa tahun terakhir, tetapi ia hanya akan mengakhiri telepon dengan cepat tanpa memperpanjang ancaman tersebut. 

Bu Lana atau ibunya Zian, sudah angkat kaki dari rumah ini sejak Zian berusia 8 tahun, tetapi Alka tidak pernah putus hubungan dengannya. Diam-diam, wanita yang meninggalkan keluarganya karena selingkuh itu, selalu memeriksa kondisi Zian melalui Alka. Wanita itu juga rutin mengirimkan uang ke rekening Zian. 

Satu telepon itu menarik Alka pada ingatan terakhir yang tidak mungkin ia lupakan. 

Malam itu, Pak Dwipiga, Zian dan Alka tengah menikmati makan malam ketika tiba-tiba pintu depan diketuk dengan keras. Asisten rumah tangga mereka segera membuka pintu. Alka penasaran, tetapi ia batal bangkit karena Pak Dwipiga berbicara.

"Zian, Papa minta maaf." Tatapan mata Pak Dwipiga beralih dari Zian ke Alka. "Alka, saya titip Zian."

Tidak lama kemudian, segerombolan pria berseragam muncul. Salah satunya menunjukkan surat penangkapan. "Silakan ikut kami ke kantor." 

Tanpa perlawanan, Pak Dwipiga bangkit dan sempat tersenyum pada anak-anaknya. 

"Pa!" Zian berseru, nyaris mengamuk ketika melihat tangan Pak Dwipiga diborgol.

Alka juga terkejut. Ia menggenggam tangan Zian untuk menahannya. Ia menggenggam kuat-kuat untuk menyamarkan gemetar hebat yang menyerang tubuhnya. 

Kejadian itu begitu cepat. Dalam sekejap, semua lenyap. Hanya meninggalkan Zian dan Alka yang menangis dalam diam di kamar masing-masing.

Setelah Pak Dwipiga diangkut oleh pihak berwajib karena kasus korupsi, semua aset yang dimiliki keluarga Dwipiga, habis disita. Bahkan, rekening pribadi milik Zian juga turut disita. Satu-satunya yang tersisa hanya rumah yang mereka tempati. Alka juga sempat terkejut karena ternyata rumah itu atas nama Bu Lana. Mungkin Pak Dwipiga sudah mempersiapkan semua. Kalau saja rumah tersebut atas nama Zian, pastilah mereka sudah tidur di jalanan. 

Untungnya, biaya pendidikan Alka dan Zian sudah dibayarkan melalui asuransi. Jadi, keduanya tidak perlu repot-repot memikirkan uang kuliah. Masalahnya adalah mereka hanya bisa mengandalkan uang yang ada di rekening Alka.  

Uang yang ada di rekening Alka berasal dari Pak Dwipiga. Alka sulit menerima uang jajan yang diberikan ayah angkatnya karena merasa kalau fasilitas yang diberikan Pak Dwipiga sudah lebih dari cukup. Jadi, Pak Dwipiga bilang kalau uang yang ditransfer ke rekening Alka tiap bulan adalah gaji sebagai pengawal Zian. Rekening Alka mulai menerima uang itu sejak ia diangkat jadi anak di keluarga Zian. Hal itu juga yang membuat Alka jadi terbiasa menempel pada Zian.

Alka masih mencuci piring ketika Zian muncul di belakangnya. "Kenapa?"

"Dia ngomong apa?" Zian bertanya dengan suara kelewat pelan.

Tanpa berpikir, Alka sudah tahu 'dia' yang dimaksud oleh Zian adalah Bu Lana.

"Kayak biasa, nanya kabar lo." Alka tidak berbohong, ia hanya mempercantik kalimatnya.

Zian mengangguk. "Ka, kayaknya gue bakalan terusin tutorial."

Alka berbalik dengan tangan yang masih penuh dengan sabun. "Serius?"

"Iya. Gue mikir, masa gue harus menyerah tanpa berjuang. Seenggaknya kita harus lulus untuk bisa wujudin mimpi kita, kan?" Zian tersenyum.

Alka mengangguk dan tersenyum lebar, tetapi dalam hati ia malah ragu. Apakah mimpi mereka terlalu besar untuk dicapai?

Aloha!
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro