22. Tutorial

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk pertama kalinya dalam dua bulan Bella menjadi tutor Zian, mereka pulang bersama. Gadis berponi itu terus tersenyum ketika melihat Zian kelihatan kelewat nyaman ketika menaiki angkutan umum. Ia duduk dengan tenang sambil terus memperhatikan sekitar. Rambut hitamnya yang sudah mulai panjang bergerak mengikuti semilir angin, untuk sejenak, Bella terpesona. Bella tidak pernah menduga kalau wajah tidak ramah dengan garis rahang tajam itu bisa membuatnya senang hanya dengan melihat.

Bella sempat hampir lupa bernapas ketika laki-laki berjaket denim itu melepaskan jaket untuk menyelimuti Bella yang tengah mengenakan rok pendek. 

"Tumben banget lo pake rok." Zian menyeringai setelah berhasil membuat wajah Bella merona.

"Tadi ngasdos." Bella menunduk malu. Namun, matanya sempat melihat tato di lengan kanan Zian yang mencuat karena kaus lengan pendeknya tidak berhasil menutupi.

Laki-laki bercelana sobek-sobek itu berdecak. "Kemaren-kemaren juga lo ngasdos, tapi nggak pake rok."

"Kenapa, sih, emangnya?" Bella jadi sensi.

"Nggak apa-apa. Lo cantik pake rok." Setelah menyelesaikan kalimatnya, laki-laki yang mengenakan kaus hitam itu turun dari angkutan umum dan bergerak membantu seorang ibu yang kerepotan membawa beberapa plastik belanjaan. Setelah membantu mengangkat belanjaan, Zian duduk di kursi paling ujung dekat pintu. Penampilan berantakan itu sudah cukup untuk membuatnya diduga sebagai kenek angkot.

Bella tersenyum. Rasa bangga membuatnya senang. Ia juga merasa kalau penilaiannya tidak salah, Zian baik, bahkan sangat baik. Namun, gadis berambut panjang itu masih tidak menyadari getaran asing yang ada di hatinya.

"Keneknya kayak preman, ya." 

Bella melirik ibu-ibu yang ada di sampingnya dengan tatapan sinis. Angkutan ini tidak memiliki kenek, jelas mereka sedang membicarakan Zian. Entah mengapa, Bella merasa tidak terima.

"Hus, penampilannya boleh kayak preman, tapi baik banget, lho. Ramah juga." Ibu yang tadi ditolong oleh Zian langsung membela. 

"Iya juga, ya. Jarang ada kenek yang bantuin sambil nyapa ramah kayak masnya tadi."

Diam-diam, Bella tersenyum. Ia bisa memastikan kalau Zian tidak mendengar percakapan itu karena ia kelihatan menikmati perjalanannya. Sesekali, Zian meletakkan tangannya di pintu angkot. Saat seperti itu, ia benar-benar kelihatan seperti kenek angkot penuh pengalaman.

"Kiri, Bang." Zian menghentikan angkutan tersebut dan menoleh pada Bella. "Ayo."

"Loh, bukan keneknya, toh." Ibu yang tadi menyebut Zian preman, langsung membelalak.

Bella tersenyum. "Permisi, Bu."

"Walah, pacar Mbak, toh. Maaf, ya. Ibu kira kenek."

Bella tersenyum dan melewati kedua ibu tersebut dengan sopan. 

Zian sudah membayar ongkos mereka, segera setelah ia turun. Ia juga menyambut Bella dengan memegangi tas ransel yang dipakai gadis berponi itu. Diam-diam, Zian memegangi tas tersebut sepanjang jalan karena ia tahu kalau tas Bella penuh dan kelihatan berat. 

Bella langsung mengembalikan jaket yang dipinjamkan laki-laki bertindik itu padanya. Ia sempat mendengkus ketika melihat Zian malah buang muka. Namun, senyum di wajahnya tidak hilang. "Zi, lo dikatain preman."

"Udah biasa." Zian menyampirkan jaket denimnya di bahu.

"Ibu-ibu tadi bilang lo ramah banget. Baik juga." Bella menghentikan langkahnya dan menatap Zian yang kelihatan salah tingkah. "Lo bantuin gue juga, kan? Tasnya jadi nggak kerasa berat."

Zian diam. Wajahnya jadi memerah ketika Bella berjinjit dan menepuk kepalanya pelan.

"Makasih karena udah baik banget." Bella tersenyum sangat lebar. Gadis yang mengenakan blus krem dan rok hitam itu melanjutkan langkahnya dan Zian mengikuti dengan cepat karena tangannya masih menahan tas Bella.

"Bagus, ya. Gue nungguin lo di parkiran. Malah naik angkot sama Bella. Ngomong, dong. Jangan main kabur gitu aja." 

Bella dan Zian kompak saling pandang setelah mendengar repetan Alka. 

"Lain kali, bilang!" Alka masih marah dengan sepenuh hati.

Zian berdecak. Ia memasuki rumah dengan santai. "Lo aja yang suka ngelamun. Makanya kalo gue ngomong itu didengerin. Udah kayak cowok gamon aja, suka ngelamun."

Kalau saja Zian bukan saudaranya, Alka pasti sudah melayangkan tinju dan mengajaknya bertengkar sungguhan, tetapi Alka malah tersenyum dan mengepalkan tangan. "Kebiasaan, ya. Udah salah, nggak minta maaf. Pake ngatain gue gamon lagi! Siapa yang ngajarin gitu?"

"Kalo lagi begini, Alka lagi mode nyokap. Lo perhatiin, deh. Repetannya bakal makin panjang pasti." Bukannya menanggapi Alka, Zian malah sibuk berbisik pada Bella.

Gadis itu melirik Alka. Ia tertawa kecil karena kata-kata laki-laki bertindik di sampingnya.

"Bagus, ya. Lo berdua. Nggak ada yang dengerin gue!" Alka makin emosi.

"Maaf, Ka. Gue tadi buru-buru, jadi baru sempet chat lo pas udah di angkot." Zian berbicara dengan tenang. Ia menatap Alka dan membiarkan laki-laki berkacamata itu menyelidikinya dengan tatapan mata.

"Lain kali, ngomong. Gue hampir obrak-abrik arsi kalo lo nggak nongol setengah jam lagi." Alka sudah menurunkan volume suaranya. "Ruang belajarnya udah siap. Gue tadi beli jeruk, udah gue taro di ruang belajar."

Zian dan Bella kembali melangkah berdampingan setelah Alka menarik diri dan kembali membaca buku di sudut ruang tengah.

"Alka itu punya banyak mode. Kayak yang lo liat. Dia tuh, bisa jadi sahabat, saudara, nyokap, bokap, bahkan musuh gue di saat yang sama."

"Persahabatan kalian emang seru banget, kayak saudara malah." Bella jadi antusias karena Zian bercerita lebih dulu.

"Gue emang saudara sama Alka. Nggak ada hubungan darah, tapi dia udah diangkat bokap dari kecil."

Bella mengangguk. "Kepribadian kalian keliatan beda banget, gue heran, kalian bisa sedekat itu."

Zian menutup pintu dan segera duduk di kursinya. "Alka itu mirip sama gue, dia suka seni, masak, bercanda, suka bela diri juga, dia punya banyak gelar dari bela diri beda-beda."

Bella mengerjap. Ia tidak percaya kalau laki-laki berkacamata yang kelihatan seperti kutu buku itu malah punya banyak gelar bela diri. Namun, ia jadi tertarik pada hal lain. "Kalo lo?"

Zian berdehem. "Ya, kan, gue bilang mirip. Ya, nggak jauh beda sama Alka." Laki-laki berbibir tipis itu menjawab terbata-bata.

"Lo punya gelar bela diri juga?" Sungguh, Bella bertanya karena penasaran.

"Punya." Zian menjawab dengan penuh keyakinan. "Nggak sebanyak Alka, sih. Dia, tuh, sering menang kejuaraan juga. Lo liat tuh, piala yang di lemari sana, itu punya dia semua."

Mata Bella mengikuti arah jari Zian. Ia tidak sadar kalau ada satu lemari besar di ruangan itu yang memajang banyak piala dan medali. Meski kagum, Bella tidak beranjak dari kursinya. Ia berusaha mendengarkan Zian lebih banyak.

"Pasti ada yang mau lo tanya, kan?" Zian menyeringai. "Tanya aja."

"Lo cemburu sama Alka?" Bella bertanya hati-hati.

"Untuk yang itu, iya. Makanya gue suka cari perhatian sama bokap. Gue udah coba buat bokap bangga, pake prestasi akademik gue, tapi yang gue dapet cuma tambahan digit di rekening uang jajan bulanan." Zian tersenyum miris. "Alka tuh, bisa bersyukur sama semua yang dia dapet. Kalo lo jadi gue, pasti lo udah muak sama rasa terima kasihnya Alka. Dia itu hobi banget bilang makasih sama gue, tapi itu dulu. Kalo sekarang, sih, boro-boro. Kayaknya karena gue udah miskin, dia jadi makin berani buat lawan gue."

Bella tertawa. "Alka nggak kayak gitu, kali!"

"Iya, sih. Dia itu, salah satu orang yang keberadaannya selalu gue syukuri."

Bella mengangguk, ia mulai mengerti Zian. Laki-laki itu akan banyak bicara tentang hal penting ketika merasa nyaman. "Oke, udah ngobrolnya. Ayo, belajar."

Bella berpindah dari hadapan Zian, ke sampingnya. Gadis berponi itu menjelaskan dengan jarak yang sangat dekat. Bella bisa merasakan panas tubuh Zian ketika tangan mereka tidak sengaja bersentuhan. Bella segera menarik tangannya dan menatap laki-laki berkaus hitam dan celana sobek-sobek itu.

Bella sempat terkejut ketika menyadari kalau Zian yang bertopang dagu, menatapnya sambil tersenyum, bukan menatap soal yang tengah dibahas.

Bella kehilangan fokus. Udara di sekitarnya terasa semakin panas, padahal rambutnya bergerak karena terkena AC. Jantungnya berdegup kencang. Ia sendiri bingung dengan respons tubuhnya yang bereaksi berlebihan pada Zian yang notabenenya adalah preman kampus.

Aloha!
Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro