[11] Luka dari Sebuah Perasaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Bahagialah untuk keputusanmu yang luar biasa. Meski awal menjalaninya begitu menyakitkan."

🌷🌷🌷

TUBUH Sarah seperti berguncang. Seluruh penghuni kamar yang tak begitu luas ini seolah tak punya sepatah kata pun untuk sekedar menghibur. Pun mengeluarkan kata-kata agar Sarah bisa tertawa. Semua membisu.

Satu jam berlalu, kekacauan di kamar Sarah menyisahkan rasa abu-abu. Sarah tidak berkata banyak, ia sendiri hanya sibuk menangis sesenggukan di pelukan Bu Minnah yang kantung matanya sudah menghitam. Haidar yakin, ibu paruh baya itu tidak punya waktu untuk tidur nyenyak. Keluarganya seolah dalam masalah besar. Mereka sedang diuji. Ujian tanda cinta dari Sang Maha Kuasa.

Dokter sudah pamit lima belas menit lalu, diikuti dua suster yang membantu menenangkan Sarah yang histeris. Beberapa menit lalu ia berteriak, mengumpat dan berusaha meraih banyak barang untuk ia lempar. Satu kalimat yang Haidar ingat karena diulang-ulang oleh Sarah sebelum ia disuntik paksa oleh Dokter dengan obat penenang.

"BAJINGAN BRENGSEK! GUE BUNUH LO, BIMAAA! GUE AKAN BUNUH LO!"

Hal itu membuat wajah Bu Minnah yang terlihat lebih tua basah oleh air mata. Bu Minnah hanya bisa berusaha menyadarkan anaknya yang histeris dengan keadaannya yang terlihat sangat tragis. Baju rumah sakit berwarna biru milik Sarah robek di bagian lengan kiri, jelas bahwa yang sebenarnya ingin dirobek adalah bagian kerah. Pun kedua lengan Sarah yang memerah, menandakan bahwa Sarah dipaksa melakukan sesuatu, atau bisa jadi hal itu karena ia menolak sesuatu untuk dikerjakan.

Haidar sendiri berdiri serba salah. Niatnya ingin menjenguk orang sakit malah berujung seperti ini. Ia sebenarnya ingin pulang, namun tak kuasa melihat Bu Minnah yang sendirian di rumah sakit, mengurusi kedua orang yang dicintainya tergeletak di kamar rumah sakit yang berbeda dengan kondisi yang tak enak dipandang.

Budhe Sarah yang tadi sempat dicari Haidar ternyata sedang ada urusan, makanya dia pamit pulang sebentar.

"Si brengsek itu datang, Bu! Dia bajingan!" racau Sarah yang membuat Bu Minnah menahan tangis. Dadanya terasa lebih sakit melihat putri semata wayangnya yang kacau begini. Hatinya remuk, terluka. Sesungguhnya, ia merasa tak kuasa menanggung ujian ini.

"Sarah ingin membunuhnya, Bu! Dia jahat!"

"Ssssttt, tenang, nak!" Bu Minnah mencoba menenangkan. Tangannya yang tidak mulus lagi itu mengusap pucuk kepala Sarah. "Jangan pikirkan dia! Istighfar, sebut nama Allah, nak!"

Haidar sesungguhnya tak kuasa menahan tangis. Ia berusaha menahan harunya. Melihat betapa beratnya beban hidup yang dialami keluarga Sarah membuat hatinya ikut teriris. Apalagi cerita dari Gio mengingatkannya bahwa masalah hidupnya mungkin tak seberapa. Bu Minnah tampak tegar menghadapi semua, sementara ia sendiri sering mengeluh pada Allah. Betapa rapuhnya ia.

Haidar sedikit memutar tubuhnya ke kanan. Ia menyeka ujung matanya. Ia benar-benar tak bisa menyembunyikan air mata kesedihannya.

"Dia mau memperkosaku lagi, Bu! Bajingan itu... hiks... hiks!"

Bu Minnah terkejut, ia mempererat pelukannya saat Sarah mengatakan itu. "Astaghfirullahal 'adziiim!"

"Sampai mati pun, aku tidak akan memaafkannya, Bu! Aku tidak akan memaafkannya!" Sarah berteriak tersedu-sedu. Luka di tubuhnya mungkin tak seberapa, namun luka hatinya jelas-jelas telah menganga begitu lebarnya.

Haidar benar-benar tak kuasa menahan kesedihan, ia ingin pergi dari ruangan ini. Ia ingin menangis bebas. Cerita menyesakkan dari keluarga Bu Minnah berhasil membuat rasa ibanya tersobek. Ia baru ingin memutar tubuhnya saat suara Bu Minnah menginterupsi.

"Kemarilah, nak Haidar!" kata Bu Minnah dengan suara bergetar. Matanya mengharap Haidar menurut. "Kemarilah, saya butuh bantuanmu," tambahnya.

Haidar mau tidak mau mendekat, ia menyeka air di ujung matanya dengan satu tangannya dengan cepat, beharap Bu Minnah tidak menyadari kalau sejak tadi Haidar seperti penonton drama yang terbawa suasana.

"Bisakah, nak Haidar pura-pura tidak tahu? Pura-pura tidak ada di sini?" katanya menggantung. "Tolong... jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Begitu juga pada polisi. Tolong hentikan laporan yang nak Haidar dan teman-teman layangkan kepada Bima. Saya mohon."

Bu Minnah memohon, air wajahnya begitu sedih. Sementara Haidar dirundung kebimbangan. Jika ia dan teman-temannya menghentikan laporannya pada polisi, lantas keadilan yang semacam apa yang akan diterima oleh keluarga Sarah?

🌷🌷🌷

Sabiya menatap layar laptopnya. Matanya kosong, entah sedang fokus kepada apa. Di samping layar itu ada sebuah lampu belajar yang cahayanya berpendar, menerpa wajahnya yang tampak sedang berpikir.

Jari-jemarinya kebingungan menyentuh keyboard berisi deretan huruf yang menanti untuk dipencet dan menghasilkan deretan kata.

Layar ponselnya memperlihatkan sebuah chat WhatsApp dari sebuah nomor yang tidak diketahui namanya. Padahal, foto profilnya jelas menunjukkan siapa si empunya.

Apa balasanmu, Sabiya?

Sabiya menghela napas untuk kesekian kalinya.

Entahlah, Kak. Aku bingung.

Ia memejamkan mata beberapa detik. Ada sesuatu dalam ulu hatinya. Ada sesuatu yang membuatnya ragu pada apa yang sedang ia alami. Otaknya berusaha menghapus dan melupakan. Namun hatinya selalu penasaran. Ia benar-benar telah di unjung kebimbangan. Bukankah, seharusnya masalah ini sederhana?

Sabiya sudah cukup yakin bahwa itu benar-benar Kak Shareef. Tapi apa masalahnya? Sabiya sendiri bingung.

Saat ini, ia seharusnya bahagia. Merayakan cinta dengan segera membicarakan pinangan orang yang dicintainya kepada orangtua. Tapi ada yang aneh dengan hatinya. Ada apa?

"Masalah cinta memang tidak sederhana, Sabiya."

Ia butuh Nuriye, perempuan Turki yang seringkali menjadi orang paling bijak di antara masalah-masalah yang Sabiya alami. Ia butuh sandaran dan penasehat seperti Nuriye. Dari mulutnya lah seringkali keluar kata-kata mutiara yang menjadi keputusan final bagi Sabiya. Dan ia sering tidak menyesal. Banyak di antara masalahnya yang terselesaikan sebab petuah hebat dari Nuriye. Sabiya justru berterimakasih banyak pada perempuan itu.

"Tidak ada masalahnya kamu jatuh cinta, Sabiya. Memendam rasa pada seseorang yang mencuri perhatianmu. Perasaan itu sama sekali tidak berlaku dosa. Dosa akan berlaku saat kamu bertindak sesuatu yang dilarang Allah, di mana kamu mengatasnamakan cinta di atas segalanya."

Ia ingat, waktu itu dia juga berada dalam masalah. Terkurung oleh perasaan cinta.

Seumur-umur, Sabiya baru merasakan perasaan suka teramat sangat kepada seorang laki-laki hingga sedalam itu. Enam bulan bersama dalam satu gedung apartemen, saling menyapa setiap pagi, sering meminta bantuan sebab satu-satunya yang bisa memahami Sabiya memang orang itu. Orang yang Sabiya anggap kakak sekaligus laki-laki yang dicintainya; Shareef.

Namun benar lah, masalah cinta memang tidak sederhana.

Untuk kali pertamanya, Sabiya juga merasa sakit dan patah hati karena Kak Shareef.

Pada perkenalannya di bulan kelima, waktu perasaan Sabiya sedang mekar-mekarnya, datang seorang gadis cantik keturunan Tionghoa, katanya dia adalah tetangga Kak Shareef dan teman satu SMA-nya dulu.

Setelah berpisah saat menempuh kuliah S1, Leana, begitu ia memperkenalkan diri, mengatakan pada Sabiya bahwa ia ingin melanjutkan S2-nya di Mesir, menyusul Kak Shareef. Dan setelah itu ia akan menikah.

"Orangtua kami bersahabat sejak kami kecil. Kami tumbuh bersama. Dulu kami juga pernah satu pesantren. Kami saling mengenal dengan baik. Meski begitu, aku tidak pernah mengobrol banyak dengannya," kata Leana saat berbicara pada Sabiya, waktu itu mereka bertemu di metro saat Sabiya baru pulang kuliah.

"Bagaimana kalau besok kita makan siang bersama? Kita mengobrol? Aku ingin sedikit mencari tahu tentang Shareef dari beberapa temannya. Termasuk kehidupannya di Mesir. Aku dengar kamu salah satu tetangga yang sering berinteraksi dengannya. Mungkin, kamu bisa membantuku memutuskan sesuatu, apakah aku bisa yakin untuk menerima Shareef jadi suamiku atau tidak."

Sabiya kembali menghela napas. Memori itu berkelabatan di pikirannya.

Ada banyak pertanyaan di otaknya saat ini. Termasuk hal-hal yang sempat ia lupakan. Masalah kisah cinta Kak Shareef dengan perempuan bermata sipit bernama Leana itu.

Ia menghargai semua orang. Pun Leana yang sepertinya memang cocok untuk Shareef. Setidaknya, itu dugaannya saat itu. Saat hatinya benar-benar terbakar api cemburu. Ketika itu, Sabiya telah bulat pindah tempat tinggal. Selain ingin menghargai prinsip Kak Shareef, menghargai perasaan Leana, ia juga ingin menghargai perasaannya. Ia takut hatinya remuk. Terlalu lama berharap membuatnya ingin berbuat jahat dan merebut Kak Shareef. Ia takut, maka ia pergi ke wisma Wirdah, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia dan sibuk memperdalam agama.

Di tengah kecambuk hatinya saat itu, ia dibimbing oleh Nuriye. Diajari banyak hal. Termasuk bagaimana menyikapi rasa cinta.

"Salah satu manfaat kita belajar sejarah Islam adalah agar kesalahan yang sama tak terulang, Sabiya," kata Nuriye. "Aku ada buku bagus. Ini adalah buku tentang perempuan-perempuan dalam Al-Qur'an. Kamu baca, ya? Ada beberapa hal yang mungkin bisa kamu pelajari. Termasuk urusan cinta dari beberapa orang yang pernah hidup di zaman Nabi. Lihat! Betapa Allah sangat perhatian pada hambanya, hingga hal kecil semacam perasaan saja bisa diatur sedemikian rupa." Nuriye memberi petuah.

Sabiya tersenyum, ia teringat wajah cantik Nuriye saat memberi kata-kata nasehat. Juga ekspresinya yang bersahabat. Sekarang ia tahu apa yang harus dilakukannya.

"Libatkan Allah dalam segala urusan, Sabiya. Insya Allah, Allah akan memberimu jalan terbaik."

Ia kemudian bangkit, menyeret kursi ke belakang dengan tubuhnya. Segera ia ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Ia harus istikharah, berdoa meminta petunjuk yang terbaik. Lantas untuk menenangkan hatinya yang gelisah, ia akan tilawah atau murojaah hapalannya. Dengan begitu ia akan sedikit tenang.

Ia tersenyum dengan idenya. Setelah ini, ia akan menelpon Nuriye atau bahkan mengajaknya video call. Ia sudah rindu. Bagaimana kabar si kecil yang baru lahir beberapa hari itu? Apa secantik ibunya?

Kabar terakhir sebelum ia pulang ke Indonesia, Nuriye memang baru melahirkan. Sayang, ia ada di Turki, sementara dirinya harus segera pulang. Meski tidak sempat menjenguk, tapi Sabiya janji mau menghubungi, dan kalau ada waktu akan berkunjung ke Turki.

Sabiya kembali mengulum senyum. Lantas bergegas melaksanakan rencananya.Mengingat Nuriye selalu membuatnya merasa berubah jadi perempuan bijaksana.

Ia sudah bertekad, biarlah Allah yang mengatur semua. Bukankah, cinta sejati selalu menemukan jalannya sendiri?

Malam itu pukul 20.32 wib. Belum terlalu malam. Langit di luar sana tidak mendung. Cerah, namun hari ini, langit itu menjadi saksi atas keputusan-keputusan besar yang di ambil milyaran manusia. Termasuk Sabiya, dan entah bagaimana dengan keluarga Sarah dan Haidar, yang sejak awal berniat ingin membantu Gio.

🌷🌷🌷






"Sesungguhnya, Kami telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." Qs. Qamar:49.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro