[16] Lingkaran Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sebab datangnya cinta tidak bisa disalahkan. Yang salah adalah saat kita tak mampu menahan gejolak rasa, sebab telah dibutakan oleh cinta."

🌷🌷🌷



SEFIRA tersenyum menatap kantung plastik putih yang dibawanya. Ia baru saja membeli beberapa minuman botol dan makanan ringan di minimarket dekat rumah sakit. Sudah dua minggu Faisal dirawat di rumah sakit. Sebagai kakak dan keluarga satu-satunya yang tinggal satu kota dengan Faisal, Sefira memiliki tanggung jawab yang cukup besar.

Kemarin, kedua orang tuanya yang dari Bantul, Jogjakarta sudah datang dan rela meninggalkan pekerjaan mereka selama satu minggu. Sefira akhirnya memaksa mereka untuk pulang supaya tidak meninggalkan banyak hal. Lagipula di Bantul masih ada si bungsu Raina yang butuh perhatian. Dia masih SD. Maka tak boleh ditinggal terlalu lama.

Sekarang ia harus pandai mengatur waktunya. Antara kuliah, organisasi, dan menjaga Faisal di rumah sakit. Ia bahkan hampir tak pernah pulang ke kosannya.

Untungnya Faisal punya banyak teman yang baik hati. Beberapa di antara mereka bahkan sering dimintai tolong oleh Sefira untuk menjaga adiknya saat di rumah sakit. Meski keadaannya jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya, namun dokter bilang bahwa Faisal masih dalam tahap penyembuhan.  Kakinya cidera, nyaris patah. Maka butuh waktu beberapa bulan untuk pulih.

Hari ini adalah jadwal Faisal dan teman-temannya liqo, itulah mengapa Sefira sengaja membeli banyak makanan.

Sefira mengetuk pintu dan mengucap salam begitu ia memasuki kamar rawat Faisal.

"Assalamu'alaikum," serunya.

"Wa'alaikumsalam warohmatullah wa barokatuh," jawab Haidar, kemudian disusul oleh kelima teman-teman Faisal.

Sefira tersenyum malu. Ia menundukkan kepala begitu kedua bola matanya bertemu dengan kedua bola mata milik Haidar. Ia agak salah tingkah saat menyadari kalau Haidar tersenyum sangat lebar kepadanya.

"Habis dari mana?" tanya Haidar.

"Eh? Hmm... dari minimarket depan," jawab Sefira sembari tangan kanannya menyentuh lehernya dengan gugup.

Haidar mengangguk.

"Habis beli makanan ya, Mbak?" tukas Ali.

"Wih, plastiknya besar banget! Pasti buat kita kaaan?!" Mata Ramli berbinar begitu melihat tangan kiri Sefira yang membawa sekantung plastik besar bertuliskan nama minimarket.

"Dasar gembul, kalau makanan aja langsung peka." Hasan mencubit Ramli.

"Ya lo juga mau, kan?"

Hasan terkekeh. Ramli melemparinya dengan tisu. "Huuu... dasar!"

"Iya, makanan ini semua buat kalian," kata Sefira. "Tadi Mbak juga beli cilok kuah. Masih hangat. Sebentar ya Mbak siapkan dulu."

"Wah, cilok kan makanan kesukaan Akh Haidar," celetuk Fadli

Tangan Sefira yang sedang cekatan membuka bungkus cilok kuah tiba-tiba berhenti.

"Iya, betul! Jangan-jangan Mbak Sefira sengaja ya beli khusus buat Akh Haidar? Hayooo!" Ali menggoda Sefira sambil terkekeh. Merasa lucu melihat pipi Sefira yang memerah.

"Hussst, jangan godain Mbak Sefira terus. Nggak boleh." Haidar yang merasa suasana dalam kamar itu canggung untuk Sefira segera bertindak. Ia tak mau menteenya jadi kebiasaan bercanda berlebihan. Apalagi posisi Sefira adalah perempuan asing baginya. Ia tak mau menimbulkan kesalahpahaman.

"Hehe... iya, Akh. Afwan, bercanda," kata Ali sambil menelungkupkan kedua telapak tangannya.

Sefira kembali menundukkan kepalanya. Melihat Haidar menegur Ali membuat dia teringat akan kejadian dua minggu lalu, saat dia dengan paniknya meminta laki-laki itu mengantarnya dengan motor. Jujur, ia sempat marah dan merasa tertolak. Namun setelah berpikir, dia lah yang merasa salah dan malu sendiri.

Sebagai aktivis dakwah kampus, ia mengakui bahwa ia belum lah sepenuhnya menerapkan syariat Allah. Ia masih memiliki kekurangan banyak. Terkadang, ia memang bisa menahan diri dari sesuatu yang tidak sesuai syariat, namun pada keadaan tertentu, seringkali ia membenarkan dirinya sendiri untuk melawan syariat. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung terkadang membuatnya berdalih. Padahal itu lah letak ujian imannya yang sesungguhnya.

Ia menghela napas, beristighfar beberapa kali dalam hati. Ia mulai menyadari, bahwa harusnya ia lebih menetapkan hati. Bagaimana pun, aturan Allah tentu baik.

Ia kembali menatap kedelapan orang yang tengah duduk di sofa. Di sana, adiknya, Faisal sedang tertawa lebar dan tampak bahagia. Rambutnya yang sudah melewati batas telinga sedikit berantakan karena terhalang perban baru yang tadi pagi dipasang oleh suster. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia benahi beberapa kali. Kakinya yang memakai gips sengaja ia luruskan ke bawah, ia takut tidak sopan jika menaruhnya terlalu tinggi. Meskipun ia tahu kalau Haidar dan teman-temannya akan memakluminya.

Sefira bersyukur, di tengah peradaban dunia yang mulai jauh dari adab-adab Islam, ia dan adiknya dipertemukan oleh orang-orang yang baik hati dan agamanya. Ia tak tahu apa jadinya jika Allah tidak berbaik hati untuk memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri. Tentu ia tak akan seperti sekarang. Ia mungkin saja akan terbawa arus dan jauh dari adab-adab Islami yang saat ini sedang ia coba terapkah secara kaffaah dalam hidupnya. Jika ia melihat kehidupannya ke belakang, ia seringkali mengangis. Maka hari ini ia ingin bersyukur sebanyak-banyaknya. Memuji Allah yang Maha Pengasih dan Maha membukakan pintu hidayah kepadanya.

"Akh, bicara tentang kondisi pemuda jaman sekarang, aku jadi ada pertanyaan nih," tukas Hamzah membuat Sefira kembali tersadar dari lamunannya. Ia kembali menatap kedelapan laki-laki yang duduk di sofa itu. Ia tak sadar kalau sejak tadi diskusi mereka sedang berlangsung kembali saat ia membagikan mangkuk berisi cilok kuah.

Ia lantas menarik kursi di dekatnya. Ia ingin sedikit mendengarkan kedelapan laki-laki itu berdiskusi.

"Boleh boleh, silakan," jawab Haidar.

"Nah, gini, Akh. Kita kan tahu ya seberapa besar kerusakan remaja yang disebabkan oleh masalah cinta. Padahal cinta itu fitrah manusia, di mana memang Allah itu memberikan perasaan saling suka antar lawan jenis sebagai bagian dari kebesaran-NYA. Tapi, justru karena perasaan itulah kini terjadi berbagai kerusakan baik secara materil maupun non materil. Baik secara moral maupun sosial," jelasnya.

"Implementasi realnya adalah pacaran. Kita sendiri tahu, seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan olehnya. Padahal jelas-jelas Allah melarangnya dalam surat Al-Isra ayat 32. Namun kenapa masih banyak orang yang mengaku Islam, namun tetap melanggar aturan Allah? Padahal mereka masih melakukan sholat, puasa, dan juga sedekah. Sebagai seorang aktivis dakwah kampus terkadang aku gregetan ingin melakukan sesuatu. Namun porsi mereka yang melanggar syariat seperti pacaran jauh lebih banyak, akh. Seperti tidak sanggup."

Haidar tersenyum. Ada perasaan bangga yang selalu muncul tiap kali mendengar menteenya mengemukakan pendapatnya. Lebih-lebih tentang kepekaan mereka kepada masalah-masalah sosial.

"Baik," kata Haidar. "Sekarang aku mau tanya sama kalian. Menurut kalian, pacaran itu masalah akhlak atau aqidah?"

Mereka bertujuh tampak berpikir.

"Akhlak?" jawab Ali tak yakin.

"Aqidah deh ya," kata Hamzah.

"Bagaimana? Masalah akhlak atau aqidah?" tanya Haidar kepada tujuh menteenya yang masih tampak berpikir keras.

"Hmm... sepertinya kalau pacaran masalah akhlak, tentu orang-orang berpendidikan dan beradab tidak ada yang mau pacaran. Tapi kalau masalah aqidah... itu bisa jadi. Karena yang benar-benar mengimani Allah pasti meyakini dan melaksakan seluruh Perintah-NYA," jawab Faisal sembari membenahi letak kacamatanya.

Haidar mengangguk. Ia tersenyum. Lantas menaruh buku Sirah Nabawiyah yang tadi dibacakannya pada sesi diskusi sebelumnya di meja.

"Betul apa kata Faisal. Pacaran itu masalah aqidah."
Hamzah, Ali, Ramli, Hasan, Fadli, dan Faisal mengguk-angguk seolah baru tahu.

"Sebagai seorang yang mempelajari ilmu agama secara mendalam, kita tentu sepakat bahwa surat Al-Isra ayat 32 adalah indikasi bahwa kita memiliki batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Perintahnya jelas. Bahwa hal-hal yang mendekati zina saja tidak boleh, apalagi melakukannya.

Memang, pacaran tidak melulu berujung zina. Namun tidak lah bijak ketika kita membenarkan segala asumsi kita hanya demi menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Itu artinya kita sedang menggadaikan aqidah kita, keimanan kita. Dikatakan masalah aqidah karena dalam perspektif ini jelas kita telah menghianati Allah dan Rasulullah, dan secara langsung menafikkan kebenaran yang disampaikan Al-Quran."

Hamzah mengangguk takzim. Begitu juga seluruh orang yang berada di ruangan itu.

Sementara Sefira yang mendengarkan penjelasan Haidar merasa takjub. Dalam hati ia memuji apa yang baru saja disampaikan Haidar.

"Nah sebagai seorang yang lebih paham, apalagi antum semua adalah bagian dari barisan dakwah kampus. Kita juga tidak boleh menyerah, apalagi merasa marah dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita. Lantas merasa malas untuk berdakwah; menyeru kepada kebaikan. Hakikat dakwah adalah kesabaran. Maka dalam menyampaikan kebenaran kita harus sabar. Masih ingat kan tentang kisah Nabi Nuh Alaihis Salaam?"

Mereka semua mengangguk.

"Beliau berdakwah selama ratusan tahun, namun pengikutnya hanya puluhan," tukasnya. "Sementara kita? Baru berapa hari? Baru berapa bulan? Tapi sudah mengeluh."

Mereka bertujuh menunduk. Merasa bersalah.

"Mengajak kepada kebaikan memang berat. Tapi tak lantas membuat kita mengeluh dan merasa itu adalah beban. Justru itu lah ladang pahala kita. Kalau saja tidak ada orang-orang yang bermaksiat, lantas kita tidak menasehatinya, darimana kita dapat pahala bersabar dan berdakwah?"

"Aku setuju, Akh," ucap Faisal. "Terkadang aku juga merasa beban ini terlalu berat. Menjadi aktivis dakwah kampus tidak mudah. Kita melakukan pertanggung jawaban dua arah. Kepada Allah dan manusia."

"Betul, maka jangan lelah untuk mengajak orang untuk berbuat baik. Kalaupun susah, ya... memang susah. Mereka tidak sempurna. Begitu pun kita. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa mengajak mereka untuk menjauhi perkara yang diharamkan Allah. Tugas kita kepada saudara-saudara muslim kita yang belum bisa meninggalkan perkara haram adalah menasehati dengan kelembutan hati. Sebab apa yang disampaikan oleh hati akan sampai ke hati. Lagipula keuntungan lain ketika kita mau mengajak kepada kebaikan, kita pasti lebih rajin memperbaki diri. Misal, kita mau mengajak orang lain sholat subuh di masjid. Paling tidak, kita lebih dulu rajin sholat subuh di masjid. Betul kan?"

Mereka semua mengangguk.

"Wahhh, mantap! Siap-siap. Jadi makin semangat." Hamzah tampak semangat. Ia lantas bertanya, "tapi kan perasaan itu susah dihindarin, Akh."

"Ah, bahasa lo, Ham." Ali meninju lengan Hamzah, yang kemudian dibalas dengan tinjuan pula. Meskipun Ali mengelak.

Faisal tertawa melihat kedua sahabatnya yang suka berantem.

"Jatuh cinta itu boleh, kok. Dan memang tidak masalah kalau kita tidak bisa menghindari perasaan itu. Bagaimana pun, itu anugerah Allah. Dosa akan dihitung saat kita tidak mampu mengekspresikan perasaan kita dengan cara yang benar.

Sebab jodoh kita sudah tertulis di lauhul mahfudz sejak pertama kali Allah ciptakan kita. Kalau kita keburu mengekspresikan cinta kita lewat pacaran, lantas pantaskah kita mengharap bahwa Allah meridhai kehidupan kita?"

"Jadi jatuh cinta itu boleh ya, Akh?" tanya Hamzah.

"Wah, jangan-jangan ada udang di balik batu, nih." Ali melirik Hamzah dengan alis yang dinaik-turunkan.

"Maksudnya apaan?"

"Maksud Ali... lo jangan-jangan lagi jatuh cinta yaaa? Tumben-tumbenan ngomongin perasaan. Biasanya juga ngajak ngomongin politik."

"Cieee siapa, Ham?"

"Anak Pertanian, ya?"

"Apaan sih. Gaje ah."

"Ngomong cinta sama orangnya juga boleh," kata Haidar sambil tersenyum geli.

"Hah? Masa, Akh? Tadi katanya nggak boleh mengekspresikan cinta sembarangan?"

"Iya. Tapi nikah dulu maksudnya," jawab Ramli, yang kemudian membuat semuanya tertawa.

Hamzah yang merasa dikerjai mengerucutkan bibirnya sebal.

"Udah-udah. Kita kembali sama diskusi kita hari ini." Haidar melerai mereka yang mulai ribut saling melempar benda.

"Intinya adalah bagaimana pun kondisi lingungan kita, saat kita merasa ada yang tidak beres, maka curigalah kepada diri kita sendiri. Jangan-jangan kita lah orang pilihan Allah yang diamanahi untuk menjadi penyeru kebenaran. Maka jangan menyerah. Sebab ada surga yang menanti bagi ia yang senantiasa menebarkan kebaikan."

Seluruh mentee Haidar tersenyum senang. Mereka bertepuk tangan. Merasa bersemangat. Ghirah aktivis dakwah mereka bangkit.

Haidar lalu menutup halaqoh itu. Sebelum benar-benar salam, Faisal mengangkat tangan kanannya hendak bertanya.

"Terakhir nih. Janji," katanya sembari membentuk huruf v dengan jarinya.

Haidar mengangguk dan mempersilakan Faisal berbicara.

"Kalau ada seorang perempuan yang diam-diam mengangumi laki-laki, bahkan selalu memperhatikan laki-laki itu saat bicara, gimana ya hukumnya dalam Islam?"

Faisal tersenyum penuh arti. Matanya melirik ke arah kanan, di mana kakaknya sedang bertopang dagu dan fokus menatap salah satu laki-laki di kerumunan itu.

Merasa bahwa adiknya sedang menyindir, Sefira langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia beristighfar. Lantas merutuki adiknya dalam hati.

"Faisal rese!" katanya dalam hati.

🌷🌷🌷




Kamus kecil:
Kaffaah : menyeluruh.
Ghirah : cemburu, semangat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro