[24] Saudara Seiman

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SUBUH itu halaqoh di balai Ustman bin Affan berlangsung ramai. Tema halaqoh kali ini adalah kisah Rasulullah dan Shafiyah binti Huyay, seorang istri Rasul yang berasal dari bani Israel. Keturunan Yahudi.

Para santri terlihat sangat antusias dalam menyimak penjelasan Bang Rois. Namun tak jarang di antara mereka juga ada yang terkantuk-kantuk dengan posisi duduk yang sangat lucu. Tyo menyenggol Ammar yang sudah nyaris jatuh karena mengantuk berat.

"Antum kebiasaan, Mar."

Yang disenggol hanya nyengir tak berdosa. Ia kemudian langsung membenahi letak duduknya yang nyaris condong ke arah Tyo. Haidar yang secara tidak sengaja melihat kelakukan para santri menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum yang lebar, merasa lucu dengan kelakuan mereka.

Kebanyakan santri memang sedang sibuk dengan tugas kuliah yang menumpuk. Bulan depan sudah masuk UAS. Tak heran jika menjelang subuh mereka sudah terkantuk-kantuk karena sering tidur larut demi mengerjakan tugas.

Bang Rois mengakhiri halaqoh itu dengan membuka sesi tanya jawab. Hampir semua santri mengangkat tangannya ingin bertanya. Hal itu membuat Bang Rois tersenyum senang.

"Waktu kita kayaknya nggak cukup kalau ane jawab semua pertanyaan antum. Jadi gimana nih?"

Semua santri terkekeh. Haidar mengangkat tangannya.

"Ditampung dulu aja Bang pertanyaannya. Kalau waktunya nggak memungkinkan bisa dijawab di luar jam halaqoh. Lagipula kalau mau diperpanjang waktunya juga nggak apa-apa."

"Nah, antum yang nggak apa-apa ane yang kenapa-kenapa." Bang Rois bercanda. Membuat seluruh santri ikut tertawa. Begitu juga yang sedari tadi mendengarkan sembari terkantuk-kantuk.

Bang Rois memang laki-laki yang punya jadwal padat. Nyaris sepanjang hari tak pernah absen dengan kegiatan tausiyahnya ke mana-mana. Mbak Hulya sebagai istri juga mengaku sering kesepian jika ditinggal Bang Rois pergi-pergi. Wajar saja, karena sejak usia pernikahannya yang menginjak usia 14 tahun ini, mereka belum dikaruniai seorang anak. Tapi Mbak Hulya ikhlas. Bagaimana pun, sejak memutuskan menikah dengan Bang Rois ia sudah berjanji bahwa ia rela menjadi cinta kedua setelah dakwah.

Pukul 6.30 tepat halaqoh pagi itu selesai. Hari itu entah kenapa halaqoh berjalan lebih lama dari biasanya. Hampir seluruh santri juga mengajukan pertanyaan kepada Bang Rois. Halaqoh teraktif yang pernah Bang Rois ikuti, katanya. Hal itu diam-diam membuat Haidar jadi semakin berat untuk meninggalkan tempat yang ia anggap telah membuatnya menjadi lebih baik itu. Seandainya setelah menikah masih tetap bisa tinggal, ia mungkin tidak akan semelow ini.

"Alhamdulillah, akhirnya halaqoh kita selesai juga. Gimana udah pada terjawab kan pertanyaannya?"

Sinar cahaya pagi masuk melalui jendela bambu balai Ustman bin Affan. Menerangi wajah-wajah ngantuk yang bahagia karena kesibukannya dalam bermesraan dengan Allah. Bang Rois tersenyum ketika seluruh pemuda yang ada di ruangan itu mengangguk dengan semangat. Terlepas semangat karena telah terjawab pertanyaannya atau karena halaqoh sudah benar-benar berakhir. Yang pasti setelah ini mereka akan melanjutkan jadwal paginya masing-masing. Dari menyiapkan tugas yang telah dikerjakan semalaman agar tidak ketinggalan, mandi dan bersih-bersih diri bersiap untuk kuliah, bersiap-siap menyiapkan bahan makanan untuk dimasak, atau melanjutkan dzikir hingga sholat dhuha tiba.

Suara-suara candaan khas laki-laki terdengar menyenangkan ketika mereka berebut untuk memakai sandal di depan pintu balai. Haidar memutuskan untuk itikaf sebentar sembari menunggu waktu dhuha yang tidak lama lagi. Baru dia akan mandi karena jam sembilan nanti dia akan mengantar undangan pernikahannya ke Pesantren Kyai Abdullah di Tanggerang, kenalan Ustadz Nurrokhman. Beliau meminta Haidar mengantarnya sekalian memperkenalkan diri.

Ternyata tidak hanya Haidar yang tetap tinggal di balai, di sana ada Rahman dan Gio yang masih duduk di tempatnya masing-masing. Keduanya tampak khusyuk dengan dzikirnya masing-masing. Namun berbeda dengan Rahman dan Haidar, Gio tampak menenggelamkan kepalanya ke dada. Seolah menyembunyikan ekspresi wajahnya.

Hal itu membuat konsentrasi Haidar tidak fokus ketika berdzikir. Akhirnya ia memutuskan tilawah satu juz daripada mengulang-ulang hafalan yang ia lupa akibat memikirkan Gio.

Pukul 8 kurang Rahman dan Gio tampak menyudahi itikafnya.

Rahman keluar terlebih dahulu. Ia telah menyelesaikan sholat dhuha dan dzikirnya selama satu jam setelah halaqoh selesai.

Haidar sebenarnya juga sudah selesai. Ingin keluar dari balai dan melanjutkan aktivitas pribadinya. Namun ia menunggui Gio. Hatinya tidak akan tenang jika meninggalkan laki-laki itu dengan keadaan yang kacau dan terlihat sering gelisah. Rasa-rasanya, Haidar ingin menunda pernikahannya supaya bisa membantu Gio secara tuntas. Namun itu tidak mungkin.

"Yo," panggilnya pelan.

Awalnya Gio masih diam. Matanya terpejam sembari bibirnya terus meracau melafalkan dzikir. Ketika panggilan Haidar kesekian kali, barulah laki-laki yang baru menginjak usia kepala dua itu mengangkat kepalanya.

"Sudah sholat dhuha?" tanya Haidar.

Gio tersenyum. Ia menggeleng, "Afwan, Mas. Kayaknya aku terlalu ngantuk. Jadi lupa."

Haidar mengangguk pura-pura mengerti. Ia kemudian menyuruh Gio segera sholat. Sebab ia tahu kalau Gio ada jadwal kuliah pagi jam setengah sepuluh nanti.

Haidar memilih menunggu Gio di luar balai. Tepatnya di sebuah kursi tua panjang yang terbuat dari bambu di depan balai, sebelah kanan pintu keluar.

Saat Gio keluar dan memakai sandal jepitnya. Ia terkejut dan tidak menyangka ternyata Haidar sedang menunggunya sembari memainkan ponselnya.

"Lho, kupikir Mas Haidar sudah masuk kamar."

Haidar tersenyum. Segera memasukkan ponselnya ke saku baju kokonya.

"Aku pengen ngomong sesuatu sama antum."

"Kebetulan. Aku juga ingin ngomong sesuatu sama Mas Haidar."

Haidar tersenyum lega. Gio tidak dalam keadaan sedih seperti tempo hari. Barangkali memang ia yang terlalu khawatir.

"Sini." Haidar menepuk tempat di sampingnya. Meminta Gio untuk duduk bersama.

Gio mengangguk, ia menuruti Haidar agar duduk di kursi tua berbahan dasar bambu itu. Suasana pagi itu memang sejuk. Di kota Bogor pagi itu, di tempat kos istimewa yang menjadi saksi bisu pemuda-pemuda perindu surga itu masih segar udaranya. Sebab pepohonan yang tumbuh rindang di sekitarnya memang sengaja dibiarkan tumbuh. Para santri beruntung, bukan hanya mendapatkan fasilitas fisik dan pembinaan agama yang kental, namun mereka juga mendapat tempat yang masih sesegar kampung halaman mereka.

"Antum mau ngomong apa, Yo?"

"Mas Haidar bukannya mau ngomong juga. Mas dulu aja."

Haidar tersenyum. "Dalam waktu dekat ini. Insya Allah aku tidak akan tinggal di Ustman bin Affan lagi, Yo. Setelah menikah, kalau belum benar-benar bisa menempati rumah kontrakan yang sudah kubeli dengan mencicil, kemungkinan aku akan tinggal di rumah Ustadz Nurrokhman. Kepemimpinan Ustman bin Affan insya Allah akan dipegang oleh Mas Rahman untuk sementara. Beliau paling senior di sini. Nah nanti biar beliau yang memimpin jalannya pemilihan Abi baru untuk Ustman bin Affan. Silakan kalian rembugan. Insya Allah banyak dari santri yang mumpuni untuk memegang kendali Ustman bin Affan dan bisa diamanahi untuk membimbing para santri."

Gio menunduk. Mendengar perkataan Haidar membuat hatinya tambah sedih.

"Sebenarnya, aku berat kalau melepas Mas Haidar. Bagaimana pun, Mas Haidar ini sudah aku anggap sebagai Kakak kandungku. Mas Haidar punya pengaruh yang cukup banyak dalam hidupku. Dari mulai aku pertama kali masuk kuliah, sampai banyak permasalahan yang Mas Haidar bantu."

Haidar menepuk pundak Gio.

"Dalam setiap perjalanan kehidupan. Pasti ada yang akan antum temui dan juga antum lepas untuk pergi," katanya.

"Nah, masalahnya, Yo. Aku nggak bisa pergi dengan tenang kalau melihatmu tampak paling murung di antara santri lain. Bahkan rasanya aku ingin menunda pernikahanku kalau alasanmu terlihat sedih ini karena masih masalah Sarah."

"Ah, kalau begitu antum berlebihan. Insya Allah aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Meskipun benar, kalau aku masih butuh bantuan dari orang lain. termasuk antum, Mas."

"Kalau begitu apa yang saat ini bisa aku bantu?"

Gio menundukan kepala. Ia tersenyum, mencoba terlihat tegar. Masalah Sarah memang semakin rumit. Ia merasa tidak kuat jika menghadapinya sendiri. Namun adakalanya ia sadar bahwa peristiwa ini semakin mendewasakannya.

"Tekadku untuk menikahi Sarah semakin kuat, Mas. Jadi, aku butuh bantuan antum untuk bicara kepada kedua orangtua Sarah."

"Bagaimana dengan Pak Haryo? Apa dia sudah dibebaskan?" Haidar teringat kasus Pak Haryo yang belum ia cek lagi karena terlalu sibuk dengan persiapan pernikahannya. Terakhir kali ia mendapat informasi bahwa Pak Haryo akan menjalani sidang. Entah bagaimana kabar Bu Minnah dan Sarah. Apa mereka baik-baik saja?

"Justru karena kasus Pak Haryo ini, aku jadi makin mantab, Mas. Besok Pak Haryo sidang. Keadaaan Sarah membaik. Namun Bu Minnah yang sekarang sakit-sakitan. Jika memang Pak Haryo masuk penjara sungguhan. Maka aku harus menikahi Sarah agar aku lebih leluasa untuk menjaganya."

Haidar mengembuskan napasnya. Ia diam sejenak. Berpikir.

"Sebenarnya, Yo," kata Haidar menjeda. "Aku setuju atas niat baikmu itu. Bahkan aku ingin membantu segalanya semampuku. Tapi, apa kamu sudah membicarakan hal ini dengan kedua orangtuamu di Padang? Apa antum yakin sudah mempersiapkan semuanya? Lalu... bagaimana dengan kuliahmu?"

"Itulah yang masih kupikirkan masak-masak, Mas," katanya.  "Kalau masalah kuliah, insya Allah bisa kuatasi. Tapi kalau masalah orangtua dan juga penghasilanku yang akan kugunakan untuk menafkahi Sarah, itu yang masih menjadi masalah besar buatku, Mas. Aku butuh solusi."

Haidar diam. Ia berpikir.

"Kalau masalah penghasilan... itu bisa diusahakan, Yo," tukasnya. "Alhamdulillah toko online yang kukelola akan merambah ke brand pribadi. Aku berencana untuk memproduksi kaos dakwah buatan sendiri. Sudah ada beberapa rekan yang akan membantu. Qodarullah, aku butuh seorang yang mau jadi manajer. Kamu bisa?"

"Beneran, Mas?" tukas Gio senang. "Masya Allah, tentu saja aku mau. Insya Allah aku bisa. Aku janji akan mengatur waktu sebaik mungkin. Syukron." Gio memeluk Haidar terharu. Ia terlampau senang.

"Nah, sekarang PR mu adalah meyakinkan kedua orangtuamu agar merestuimu. Nanti kalau antum kesulitan, aku bantu bicara. Kalau bisa malam ini telepon Amak dan Abakmu dengan baik-baik. Sertakan juga alasan yang logis dan bagaimana persiapanmu menghadapi kehidupan setelah menikah nanti. Insya Allah jika semua rencanamu matang, mereka tidak akan mungkin menolak permintaanmu. Apalagi ini adalah niat mulia," kata Haidar sembari tersenyum. Ia menepuk pundak Gio sebagai tanda penguatan. Hatinya diam-diam merasa terharu. Ia sangat bangga ada pemuda yang begitu pemberani dan bertanggungjawab sepertinya.

Gio mengangguk mantap. Ia begitu terharu sampai menitikan air mata bahagia. Hatinya yang selalu dihantui rasa bersalah dan gelisah luar biasa mendadak menjadi lega. Barangkali ini adalah jawaban atas doa-doa yang ia panjatkan di setiap sholatnya. Ia benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat seperti Haidar.

"Aku janji tidak akan melupakan nasehat dan seluruh kebaikanmu, akh. Jazakallah khoiran katsiran," ucap Gio sembari memeluk Haidar erat. Pipinya basah oleh air mata. Satu harapan masa depannya sudah jelas tergambar di hadapannya. Kini, ia hanya perlu melakukan apa-apa yang seharusnya ia lakukan.

Malam ini ia akan menelpon Amak dan Abak untuk meminta restu. Besok, ia akan hadir dan menemani Sarah menjadi saksi di persidangan Pak Haryo. Lalu, apapun hasilnya ia sangat berharap bahwa Sarah adalah jodohnya. Sesungguhnya ia ingin menikahi Sarah bukan karena rasa kasihan dan rasa harus bertanggungjawab atas segalanya. Karena memang Gio bukanlah orang yang seharusnya bertanggungjawab. Ia hanya menyadari, bahwa surga Allah jika memang ia bisa membantu orang lain setuntas-tuntasnya. Setidaknya dengan menikahi Sarah, satu pintu jalan menuju ridha-Nya telah ia tempuh. Dan keuntungan lain, ia bisa  dengan bebas melindungi Sarah. Ada pun cinta, ia sudah tumbuh sejak ia memutuskan untuk mencintai karena Allah ta'ala.

"Sudah, Yo. Jangan lama-lama pelukannya. Aku harus segera mandi dan pergi ke Tangerang. Lagian, apa kamu nggak malu nangis-nangis bombai begini? Nanti kalau santri lain lewat, bisa ditertawakan habis-habisan kamu."

Gio tertawa. Ia segera menyeka air mata yang berjatuhan di pipi.

"Syukron katsir, Mas Haidar."

"Afwan."

Haidar kemudian bangkit, ia ingin segera bergegas. Jarum panjang di tangannya sudah menunjukan angka 6. Artinya, ia hanya punya waktu 30 menit untuk siap-siap.

"Jangan lupa istikharah. Meminta yang terbaik dari Allah."

Gio mengangguk.

"Jangan lupa juga sesibuk apapun mengurus niat sucimu itu. Tetap bantu dan datang di acara nikahanku yang tinggal beberapa hari lagi, Yo. Aku dan Sabiya sangat butuh tenagamu."

Gio terkekeh. "Siap, Mas! Pasti aku akan datang dan membantu semampuku."

"Sip. Aku pamit dulu. Assalamu'alaikum warahmatullah."

"Wa'alikumussalam warahmatullah," jawab Gio sembari tersenyum.

🌷🌷🌷

Dari Ibnu 'Umar, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ

"Siapa yang biasa membantu hajat saudaranya, maka Allah akan senantiasa menolongnya dalam hajatnya." (HR. Bukhari no. 6951 dan Muslim no. 2580).

🌷🌷🌷






Assalamu'alaikum...
Hallo, adakah yang menunggu part ini dipublish? Hehe Asif jiddan jika kalian menunggu terlalu lama.

Nah, sejalan dengan menunggu cerita ini diupdate, pasti di antara kalian juga ada yang nungguin pengumuman mini give away dr saya. Hayooo ngakuuu? :D

Oke, langsung saja aku umumkan ya, pemenangnya adalaaaahhh...

SELAMAT kepada ... @faridhayasin :) kamu berhak mendapat buku dari Ustadz Felix Siauw berjudul Udah Putusin Aja! Yeay! Langsung DM saya untuk konfirmasi alamat rumahnya ya. Supaya bisa dikirim segera.

Yang belum menang, semoga berlapang dada. Karena kamu bisa beli kok di @tokobukueniristiani Eheheh ini mah promosi terselubung :D

Dan, yang paling penting, semoga kamu tetap mau baca Teman ke Surga. Ada atau pun tidak adanya give away :)

Syukron.

Salam,
Eni Ristiani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro