[3] Tawaran dari Faisal

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SIANG itu, cuaca Bogor mendung. Tapi tampaknya tidak ada tanda-tanda akan hujan. Sebab keadaan itu sudah berlangsung beberapa hari terakhir.

Haidar untuk sementara sibuk membantu Gio menyelesaikan masalahnya. Ia beberapa kali menenangkan Gio dan memintanya untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri. Bagaimanapun, hal ini sudah digariskan Allah, bahwa setiap kejadian tentu ada hikmahnya.

"Mungkin Allah lebih sayang sama antum, Yo. Allah pengen kamu belajar sesuatu."

Hari itu, Haidar dan Gio pergi ke rumah sakit menjenguk Sarah. Melihat keadaannya yang masih kritis, Gio merasa bersalah. Bagaimanapun, dia adalah guru lesnya. Dia pernah dekat dengan Sarah. Gio merasa perlu memperhatikan Sarah lebih banyak karena waktu itu nilai-nilai mata pelajaran Sarah anjlok. Sedangkan Ujian Nasional sudah dekat. Hal itu ternyata disalah artikan oleh Sarah. Siapa sangka, perhatian Gio kepada murid lesnya itu berakhir seperti ini.

"Benar," Respon Gio. Ia menunduk, sedangkan Haidar yang duduk di sampingnya menepuk pundak sebagai tanda simpati.

"Antum benar, Mas Haidar. Aturan Allah luar biasa benarnya. Harusnya aku nggak perlu terlalu dekat atau menunjukan perhatian berlebihan pada seorang perempuan. Perempuan itu mudah tersentuh hatinya, dia mudah salah paham dengan perhatian laki-laki. Oleh sebab itu Allah nyuruh kita para lelaki untuk tidak bersikap berlebihan."

"Wa laa taqrobuzzinaa, dan janganlah engkau mendekati zina," kata Haidar. "Sebenarnya Allah ngasih redaksi itu jelas. Perkara yang mendekati saja tidak boleh apalagi melakukannya."

Gio menoleh, menatap Haidar yang tersenyum.

"Apa yang aku lakuin itu termasuk ke dalam mendekati zina, Mas?"

Haidar tersenyum. "Aku nggak bisa mengatakan kalau perhatianmu pada Sarah hingga menyebabkan dia salah paham termasuk mendekati zina, Yo. Kita harus menilai juga bagaimana interaksimu padanya. Jangan-jangan memang Sarah tipe perempuan yang dengan mudah salah menerjemahkan perhatian laki-laki, kayak yang kamu bilang tadi."

Gio mengangguk.

"Yang pasti, wara itu perlu."

Gio terdiam. Tampak merenung.

"Lalu aku harus gimana, Mas? Apa yang harus aku lakuin sekarang?"

"Tenang, Yo. Aku percaya sama kamu. Lagian kamu sendiri yang bersumpah atas nama Allah kalau kamu bukan pelakunya. Temen-temen Utsman bin Affan juga sudah membantu menyelidiki ke teman-temannya Sarah. Insya Allah, akan terungkap yang sebenarnya. Kamu harus yakin."

Sedikit banyak, Gio lebih tenang. Ia memang sangat beruntung karena memiliki teman seperti Haidar dan seluruh santri di Ustman bin Affan. Dalam hati Gio berdoa agar diberi kemudahan. Ia beristighfar, memohon ampun pada Allah atas kelalaiannya selama ini.

🌷🌷🌷

Assalamu'alaikum, akh. Hari ini bisa ketemu? Aku mau minta pendapat.

Pesan WhatsApp itu Haidar terima dari Faisal, mentee nya. Anak bimbingnya itu memang biasa meminta pendapat terkait berbagai hal. Sama seperti sikap Haidar pada Bang Rois ketika mendapat suatu masalah.

Wa'alaikumsalam, Insya Allah. Ketemu di Masjid Kampus ba'da ashar, ya. Sekalian menghadiri pengajiannya Ust. Nur.

Haidar segera memasukkan ponselnya ke saku jaketnya. Ia harus segera pergi karena jam di ponselnya menunjukan pukul 14.06 wib.

"Antum masih mau di sini apa ikut aku pergi, Yo?"

Gio yang tadi menunduk kini mengangkat kepalanya. Ia melihat Haidar sudah siap pergi.

"Antum ada janji?"

Haidar mengangguk.

"Aku harus ke masjid kampus, sekalian menghadiri pengajiannya Ust. Nur jam setengah lima nanti. Mau ikut?"

Gio menggeleng. "Afwan. Nanti aku pulang sendiri saja."

"Ya udah. Hati-hati, ya. Jangan mengkhawatirkan yang tidak-tidak. Insya Allah semua baik-baik, Yo. Doakan juga Sarah biar sembuh."

"Insya Allah. Jazakallah khoyr, Mas."

Haidar mengangguk. Ia segera pamit dan sekali lagi meminta Gio untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.

🌷🌷🌷

"Antum kepengen diskusi tentang apa, Sal?"

Sebelum menghadiri pengajian Ust. Nur, Faisal meminta Haidar untuk berbicara di kedai jus buah tak jauh dari masjid. Mereka baru saja menunaikan ibadah sholat ashar.

Sembari menunggu pesanan disajikan, Haidar memulai pembicaaran.

Faisal tersenyum. Ia senang dengan cara Haidar menyampaikan tawarannya menjadi seorang penasehat. Ia pandai mengolah kata. Haidar sama sekali tidak mendudukkan dirinya sebagai seorang penasehat, tapi teman berdiskusi. Hal ini membuat Faisal merasa dekat sebagai sahabat tanpa sekat.

"Begini, akh. Ada yang bertanya kepadaku tentang Islam."

"Maksudmu?"

"Dia ini temanku, teman satu kelasku. Sebelumnya dia nggak pernah sekali pun tanya. Tapi kemarin saat ada diskusi kelas dia tanya dan aku sedikit susah jelasinnya."

Haidar mengernyitkan keningnya penasaran. "Memangnya dia tanya apa?"

"Dia tanya, kenapa orang Islam suka dengan bom bunuh diri, dan kenapa orang Islam selalu difitnah sebagai teroris?"

Jus yang dipesan mereka berdua telah datang. Keduanya menerima jus itu dengan mengucapkan terimakasih.

Terlihat, Faisal sangat menunggu jawaban Haidar.

"Temanmu itu bukan orang Islam?"

Faisal mengangguk.

"Mungkin karena labelku sebagai aktivis LDK, akh. Jadi dia menganggap aku lebih tahu dan bisa menjelaskan pertanyaan itu."

Haidar mengangguk, sebelum menjawab pertanyaan Faisal. Ia menyeruput jus sirsaknya.

"Dia benar. Seharusnya antum memang bisa menjelaskannya, Sal."

Faisal diam, ia tampak merenung.

"Salahku karena terlalu sedikit membaca buku. Benar kata antum, akh. Seharusnya aku lebih banyak membaca. Ini bisa menjadi salah satu jalan dakwah."

"Nggak apa, Sal. Semua ada tahapannya. Antum jawab apa waktu itu?"

"Waktu itu aku jawab itu semua tidak benar. Tuduhan itu sangat bertentangan dengan isi Al-Qur'an dan hadist Rasulullah. Agama Islam adalah agama rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Aku memberi beberapa contoh, namun ia seperti kurang puas," kata Faisal lalu menyeruput jus mangganya.

Haidar mengangguk, mendengarkan.

"Lalu karena dia tampak kurang puas, aku memintanya waktu untuk menjelaskan lebih detail. Namun tetap berusaha menjelaskan dengan pengetahuanku yang minim, akh. Saat itu lah aku baru sadar, kalau pengetahuanku sedikit. Lalu bagaimana aku bisa dengan bangganya melabeli diri sebagai aktivis dakwah kampus?"

Faisal menatap wajah Haidar dengan ekspresi menyesal, ia tampak meminta nasehat. Yang ditatap hanya tersenyum, meletakkan gelas jusnya ke meja lalu menepuk pundak Faisal, seperti yang selalu dia lakukan.

"Masya Allah, yang kamu lakukan itu sudah cukup baik, Sal. Aku suka," tukasnya. "Namun tentu penjelasan itu kurang bisa diterima, apalagi untuk orang yang tidak seiman dengan kita. Dia tidak beriman dengan kitab kita, bagaimana mungkin antum memberikan penjelasan hanya dari sudut pandang Al-Qur'an?"

"Benar, kita umat Islam tentu meyakini Al-Qur'an adalah firman Allah yang tidak perlu diragukan kebenarannya. Namun umat agama lain? Tentu menganggap kitabnya lebih benar. Maka seharusnya antum memberi penjelasan lebih global."

Faisal mendengarkan dengan seksama.

"Antum benar, bahwa dalam Al-Qur'an tentu tidak ada perintah melakukan bom bunuh diri, bahkan seperti yang tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 32 bahwa orang beriman dilarang berbuat kerusakan di bumi dan melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri. Terkait dua tuduhan itu, mungkin karena mereka membaca dan melihat bahwa media sedemikian memojokkan orang Islam sehingga berasumsi bahwa tindakan bom bunuh diri dan terorisme itu adalah benar-benar ada di dalam ajaran Islam. Padahal itu salah."

"Analoginya begini, jika ada pohon mangga atau apel yang berbuah banyak, dan salah satu dari buah itu ada yang busuk. Apakah fair mengatakan bahwa seluruh buah dalam pohon tersebut busuk?"

Faisal menggeleng.

"Begitulah. Mungkin memang ada dari orang Muslim yang salah memahami isi Al-Qur'an tentang jihad. Namun jelas, bahwa ajaran Al-Qur'an sama sekali tidak memuat hal itu. Memang perlu pengkajian lebih dalam mengenai ini, Sal. Namun tidak salah bahwa kita juga harus mengetahuinya. Untuk menghalau tuduhan ini."

Faisal tersenyum, merasa senang dengan penjelasan Haidar.

"Jazakallah khoyran katsir, akh. Aku memahami penjelasanmu."

Haidar mengangguk, tersenyum. "Alhamdulillah."

"Oh iya, ada yang ingin aku tanyakan lagi, akh. Boleh?" tanya Faisal.

"Tafadhol, Sal. Insya Allah kita masih ada Waktu. Tapi sepertinya kita harus berpindah tempat. Pengajian Ust. Nur hampir dimulai."

Haidar mendengar suara microphone dari kejauhan, moderator pengajian sudah terdengar membuka acara.

Faisal setuju, ia membayar jus yang mereka minum, meski Haidar memaksa bahwa dia yang akan membayarnya. Namun Faisal sendiri menolak, ia berkata bahwa dia yang seharusnya membayar karena dia yang mengajaknya.

"Antum tidak berniat menikah muda?" tanya Faisal begitu mereka berjalan menuju masjid.

"Apa ini yang ingin antum tanyakan, Sal?"

Faisal tersenyum. "Ah, iya. Tapi sebenarnya sedikit ada kaitannya."

"Apa itu?"

"Aku merasa antum sudah siap, akh. Makanya aku ingin menawarkan saudara perempuanku."

"Maksud antum?"

"Begini akh, entah kenapa aku sangat berharap kita menjadi saudara sungguhan. Terlepas, aku memang mengagumi antum sebagai murrobi."

"Antum terlalu berlebihan."

"Nggak. Tapi aku benar-benar ingin menawarkan saudara perempuanku. Dia juga aktivis LDK di kampus kita. Mungkin antum kurang kenal karena kita berbeda fakultas dengan dia. Antum sih, nggak ngelanjutin ke tingkat kampus, jadi pasti kurang mengenal aktivisnya."

"Aku mencukupkan di tingkat fakutas saja, Sal."

"Kalau antum berniat mengenal lebih jauh. Insya Allah, aku siap jadi perantara."

Haidar tertawa. Ia menepuk pundak adik tingkatnya itu.

🌷🌷🌷

Kamus kecil:
Wara (bahasa Arab) : hati-hati
Jazakallah khoyr [katsir] (bahasa Arab) : sama seperti ucapan terimakasih (semoga Allah melimpahkan kebaikann atas kamu)
Tafadhol (bahasa Arab) : silakan
Akh [akhi] : saudara (laki-laki) ⏩ panggilan yang biasa digunakan aktivis LDK.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro