[30] Laki-Laki di Perpustakaan Kota

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SUBUH itu rumah Haidar tampak sudah ramai oleh aktivitas manusia. Baik Haidar maupun Sabiya sepakat akan saling mendukung dalam rangka berlomba-lomba dalam kebaikan. Saling mengingatkan untuk senantiasa taat kepada Allah ta'ala. Apapun yang dilakukan mereka berdua sebagai sepasang suami istri, mereka niatkan hanya untuk menggapai ridha Allah.

Setelah menunaikan ibadah sebagai sepasang suami istri. Keduanya biasanya akan tidur hingga pukul 3 pagi. Dengan usapan lembut dan ciuman hangat di pipi, Haidar akan membangunkan istrinya dan mengajak ia sholat tahajud bersama.

Bagi Sabiya, tidak ada yang lebih romantis daripada itu. Kadang, saat ia sedang sangat malas karena kelelahan mengurus rumah, ia akan sedikit terlambat bangun. Namun Haidar tidak pernah marah. Yang ia lakukan justru seringkali membuat Sabiya merasa bersalah.

Pernah suatu kali Sabiya kelelahan. Tubuhnya seperti remuk karena mengurus rumah dari pagi hingga siang tanpa bantuan Haidar yang sekarang sudah mulai sibuk mengurusi bisnis produksi kaos dakwahnya. Ia harus membersihkan dan memindahkan beberapa perabot yang baru saja Haidar beli. Haidar selalu dengan lembut berusaha membuat Sabiya nyaman. Kalau pun menasehati, ia akan mengatakan dengan sehalus mungkin.

Cita-cita Haidar menjadi seorang yang dapat bermanfaat untuk dakwah akhirnya terwujud. Dulu ia memang beberapa kali pernah diminta mengisi materi di berbagai acara training. Sebagai mantan mas'ul LDF yang memiliki reputasi baik, apalagi Haidar memang lulusan pondok ternama di Pekalongan, Haidar cukup luwes dan memiliki bakat untuk jadi penceramah. Meski levelnya belum bisa dikatakan ustadz atau trainer kondang. Namun Haidar tetap senang bisa ikut andil dalam barisan dakwah.

Sejak buku Jatuh Cinta? Ya Menikah Dong! laku keras dipasaran, Haidar mulai kebanjiran job untuk mengisi acara-acara. Namun hal itu tidak membuat Haidar lupa akan fitrahnya sebagai suami yang berusaha memuliakan istrinya. Seberapa pun lelahnya ia bekerja di luar rumah, ia tetap melaksanakan kewajibannya dengan baik. Bersikap penyayang dan sebisa mungkin membantu Sabiya.

Pagi itu sehabis sholat subuh, Haidar seperti biasa mengajak Sabiya tilawah dan murojaah hafalan.

Sabiya bilang, ia ingin memperindah bacaan al-Qur'annya. Maka dia minta Haidar untuk menyimak bacaan al-Qur'annya sebelum mereka sama-sama menambah atau murojaah hafalan.

"Idzaa wako'atil waaki'ah. Laysali wako'atihaa kaadziba. Khoofidhotun raafi'a. I...."

Haidar menyentuh jemari Sabiya, membuat perempuan itu menoleh dan berhenti membaca al-Qur'an secara tiba-tiba. "Kenapa, Bi?"

"Sayang, coba deh benerin cara pengucapan Qo dan Khoo-nya," katanya. "Qof itu beda dengan huruf Kaf. Qof keluarnya dari pangkal lidah paling belakang. Qo, bukan ko. Lalu, huruf khoo. Panjangnya mungkin sudah benar, tapi coba perhatikan, kho keluar dari ujung tenggorokan. Bunyinya seperti orang serak. Hm, dengerin Abi dulu ya."

Haidar mencontohkan bacaannya dengan tartil.

Tersenyum, Sabiya mendengarkan Haidar ketika mencontohkan bagaimana cara membaca dengan benar.

"Bisa?"

Ia mengangguk, lalu mengulangi bacaannya. Saat surat al-waqiah telah selesai ia baca, Haidar tersenyum kemudian mencium puncak kepala Sabiya sebagai apresiasi. Ia senang karena bacaan Sabiya sudah lebih sempurna. Meski terkadang masih lupa. Ia sangat senang mendengar Sabiya tilawah. Suara yang lembut dan halus selalu membuat ia betah.

Sabiya tersenyum. Ia baru akan mengambil segelas air putih sebelum dicegah oleh Haidar.

"Abi harus pergi jam setengah tujuh buat nyiapin beberapa berkas bukti untuk diajukan pengadilan bersama Gio. Boleh?"

Sabiya duduk kembali. Ia melirik ke arah dinding melihat jam. Masih jam setengah enam. Seharusnya mereka melakukan murojaah hafalan. Biasanya Haidar akan menyetorkan dua lembar hafalan barunya, sementara Sabiya hanya bisa setoran dua hari sekali dan melakukan murojaah setiap hari. Tapi akhir-akhir ini ia memang harus sedikit merelakan waktu istimewanya dengan Haidar. Menjelang sidang perkara Pak Haryo, Haidar mulai sibuk membantu Gio mempersiapkan segala bukti dan berkas lainnya untuk menguatkan kedudukan keluarga Sarah di hadapan hukum.

Pak Haryo dan Bima mungkin sudah tidak ada di dunia, namun nama baik keluarga Sarah harus dibersihkan. Apalagi, ibu Bima yang tidak terima mendiang anaknya dituduh memperkosa dan melakukan percobaan pembunuhan terhadap Pak Haryo dan Sarah kini mulai memaksa Gio untuk bertahan dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya bukti tentang kejahatan Bima. Kalau tidak kelaurga Sarah terancam akan dijebloskan ke penjara karena tuduhan pencemaran nama baik. Kini, semua seolah tertumpuk di pundak Gio. Untuk itulah Haidar berusaha dengan keras membantu Gio.

Dua bulan ini mereka sangat sibuk. Sidang pertama yang mereka lalui cukup menjadi cambuk semnagat Haidar untuk memenangkan Gio. Bagaimana pun, kejahatan tidak boleh dibiarkan menang terus-terusan.

Sabiya memaklumi. Apalagi, ia sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kalau Sarah kini mengalami stres berat. Seringkali bahkan Sarah seperti orang kurang waras. Menangis, berbicara, dan marah-marah secara tiba-tiba. Beberapa kali bahkan ia sempat ingin bunuh diri. Hal itu membuatnya tidak tega. Apalagi melihat Gio dan bu Minnah yang sedih menyaksikan kondisi Sarah.

Sabiya akhirnya mengangguk. Ia tersenyum dan membuat Haidar memeluknya erat-erat meskipun tubuhnya cukup sulit digerakkan karena ia masih memakai mukena.

🌷🌷🌷

"Bi, kamu jadi nemenin aku ke perpustakaan kota kan?"

Tangan kiri Lisa sibuk memegang ponsel, sementara tangan kanannya sedang sibuk mencari setting spray-nya. Terik panas matahari membuat ia khawatir make upnya tidak tahan lama. Ia butuh botol itu untuk disemprotkan ke wajah.

Beberapa minggu di Indonesia membuat ia harus hati-hati dengan perawatan wajahnya. Menurutnya meski panas matahari di Indonesia dan Mesir tidak berbeda jauh, namun polusi udara di Indonesia membuat ia sedikit tidak nyaman. Oleh karena itu ia harus sering-sering ke salon. Melakukan pijatan dan perawatan kulit penuaan dini.

Awalnya ia meminta Sabiya untuk menemaninya melakukan perawatan. Tapi ia tahu, Sabiya bukan tipe perempuan yang meluangkan waktunya untuk berlama-lama di salon. Meski Sabiya bukan orang yang anti perawatan. Tapi tetap saja, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk perawatan di salon adalah bukan kebiasaan Sabiya. Oleh karena itu, ia cukup tahu diri kalau mau minta tolong Sabiya menemaninya. Lisa selektif. Makanya untuk urusan ditemani ke perpustakaan kota sepertinya tidak buruk.

"Iya Lisa sayang. Aku baru saja ijin sama Haidar," kata Sabiya di ujung telepon.

Lisa tersenyum. Ia telah menemukan botol setting spray-nya. Ia memilih duduk di salah satu kursi kafe dekat salon untuk istirahat sembari menyemprotkan setting spray ke wajahnya. "Dia nggak melarang kan?"

Sabiya menggeleng. "Alhamdulillah enggak, Lis."

"Syukurlah! Kupikir, Haidar tipe suami yang lebih suka istrinya di rumah saja."

Sabiya tertawa. Membuat Lisa mengernyitkan kulit keningnya.

"You know what, Lisa. Of course, perempuan apalagi seorang istri itu lebih baik mencintai rumahnya daripada rajin keluar rumah dan main ke mana-mana. But, kalau kegiatan itu penting tidak apa-apa. Apalagi kalau memang misalnya untuk berdakwah, memberikan ilmu kepada muslimah-muslimah lain. Menolong sesama, seperti dokter. Asal suami ridha, insya Allah semua akan jadi pahala."

Lisa mengangguk-angguk meski Sabiya tidak akan melihatnya.

"Seandainya aku sudah punya suami. Pasti seru. Hehehe."

"Ya udah, gih! Cepet nikah, Lis. Biar hidup kamu pahala semua."

"Ah, nanti deh. Kalau Allah ngasih!" katanya. Membuat Sabiya tertawa. "By the way, Bi. Kamu yang jemput aku kan? Aku malas pakai Go Car. Ya?"

"Yakin? Aku pakai motor, Lis. Kamu kan habis nyalon!"

"Its okay. Aku save. Kan pakai sunblock dan setting spray. Lagipula aku kan pakai jilbab yang sangat tertutup. Aku tidak akan hitam dan kusam gara-gara naik motor. Aku tunggu 15 menit, ya? Oke?"

Sabiya menggelengkan kepala. "Lis! Fungsi jilbab itu bukan untuk melindungi kita dari panas matahari. Tapi dari panasnya api neraka."

"Okay, okay! Afwan. Jadi aku tunggu ya!"

🌷🌷🌷

Lisa membuka pintu perpusakaan dengan sangat semangat. Bahkan ia beberapa kali menyenandungkan nada dan siulan. Membuat Sabiya menggeleng-gelengkan kepala. Sabiya kira itu hanya karena suasana hati Lisa yang sedang bahagia karena habis nyalon dan pijat. Tapi nyatanya ada hal lain yang membuat Lisa begitu bahagia hari ini.

"Kamu lihat laki-laki bersweater abu-abu tadi, Bi?" tanya Lisa begitu mereka sampai ke rak berisi buku tafsir Qur'an. Sabiya berniat untuk meminjam buku Ibnu Katsir. Lisa yang entah ingin meminjam buku apa ternyata mengekor di belakang Sabiya.

"Bi, lihat nggak?" tanya Lisa menarik ujung khimar Sabiya. Membuat perempuan itu menoleh ke arahnya.

"Yang mana?"

"Itu, yang jadi petugas perputakaan depan."

Sabiya mengernyitkan kening. Ia menatap Lisa lekat-lekat. Ia baru menyadari apa yang terjadi dengan sahabatnya. Senyum terkembang di bibir Lisa menjelaskan semua saat ia membicarakan seorang laki-laki petugas perpustakaan kota.

Sabiya melipat kedua tangannya di dada. Tersenyum lebar ke arah Lisa.

"Jadi, kamu ngajak aku ke sini karena mau ketemu seseorang?"

"Eh, bukan. Aku mau nyari buku kok. Dapet rekomendasi dari Shareef buat penyempurnaan penelitian aku."

"Masa?" kata Sabiya tidak percaya.

Lisa yang sudah kepalang basah mengangguk keras. Sabiya memang sangat pintar, ia bisa menangkap kode Lisa dengan baik. Rencana Lisa hanya ingin menanyakan pendapat Sabiya terkait laki-laki yang mencuri perhatiannya dua minggu terakhir ini terbongkar dengan cepat. Sangat tidak elegan menurut Lisa.

"Tuh kan wajahnya merah!" Ledek Sabiya.

"Ah, jadi penasaran. Kayak apa sih laki-laki itu. Sampai membuat mahasiswa dengan nilai tesis tinggi di Alexandria ini mati gaya."

Sabiya yang penasaran tidak ambil waktu yang lama untuk melihat sosok yang mencuri perhatian sahabatnya.

Ia menyusuri lorong rak menuju meja panjang. Lisa mengekori. Hatinya tiba-tiba saja dirundung rasa tidak enak dan malu yang luar biasa.

Ketika Sabiya sampai di meja panjang tempat di mana para petugas perpustakaan berada, ia tak menemukan laki-laki yang dimaksud Lisa.

Hanya seorang laki-laki tua dan seorang perempuan yang sedang sibuk melayani administrasi peminjaman buku di pojok meja panjang.

Laki-laki tua yang rambutnya sudah memutih itu berdiri menyambut Sabiya ketika perempuan itu menyapu pandangannya ke segala penjuru.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya laki-laki tua itu sembari membenahi letak kacamatanya.

Lisa menyenggol lengan Sabiya. Ia menggelengkan kepala tanda menyuruh Sabiya untuk tidak berkata apapun dan memilih kembali menuju rak dan fokus mencari buku saja.

"Hm, eh... sebenarnya enggak ada, pak."

Laki-laki tua itu mengernyitkan keningnya.

"Oh baiklah," katanya kemudian. Mungkin laki-laki tua itu mengira Sabiya hanya salah ruangan saja.

"Oh iya, Pak. Ada petugas laki-laki bersweater abu-abu di sini?"

Lisa tidak percaya. Sabiya bisa senekat itu.

"Oh, maksud anda Demian?" tanyanya.

"Demian?"

"Iya. Itu... dia baru saja datang dari toilet," tunjuk laki-laki tua itu kepada seorang yang berjalan menuju ke arah mereka.

Lisa seketika kaku. Jantungnya berdetak lebih kencang daripada biasanya.

Namun, Sabiya justru memicingkan matanya. Ada yang tidak asing dari laki-laki berkacamata yang berjalan ke arahnya. Seperti pernah ia kenal. Tapi, ia lupa di mana.

Saat laki-laki itu semakin mendekat, Sabiya kemudian bisa lebih jelas memerhatikan. Ia pernah melihat Haidar menunjukkan sebuah foto. Dan Sabiya yakin bahwa laki-laki bersweater yang dimaksud Lisa ini adalah....

"Bima?!"

🌷🌷🌷











Assalamu'alaikum warahmatullah teman-teman. Mohon maaf lama apdet.
Dan ceritanya makin gaje.

But, tolong percaya. Ini adalah cerita pertama saya yg saya tulis se-panjang ini. Jadi mohon maklum rada aneh. Tapi sy lagi berusaha nggak akan keluar dr line yg sy buat pertama kali.

And hope you enjoy this story.

Jazakumullah khoyr😇

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro