[7] Kabar dari Sarah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Setan adalah tukang rias paling cerdik, dia akan berupaya menghias maksiat-maksiat atas nama cinta. Sepertinya indah, padahal buruk."
-Arif Rahman Lubis-

🌷🌷🌷


"CEPAT sedikit, Mas! Aku benar-benar khawatir!"

"Istighfar, Dar. Kalau kita berkendara dengan kecepatan tinggi, nasib kita bisa sama mengenaskan seperti Faisal!" Rahman mengingatkan. Sedang Haidar duduk di belakang dengan wajah yang sangat khawatir.

Tadi setelah mendengarkan pengajian Ust. Nurrohman, ponselnya berbunyi. Salah satu menteenya yaitu Hamzah menelpon dan memberitahukan bahwa Faisal kecelakaan. Dia ditabrak oleh truk besar dari arah berlawanan saat Faisal ingin pulang.

Otak Haidar langsung teringat dengan seorang gadis yang memaksa minta diantar ke rumah sakit Medika Dramaga. Wajah Haidar sama paniknya dengan gadis itu.

Setelah beberapa menit, mereka akhirnya sampai. Tak menunggu lama, Haidar langsung berlari ke dalam, menanyakan keberadaan Faisal kepada resepsionis rumah sakit.

"Pasien bernama Faisal Ramdhani sudah ada di ruangan rawat inap 241."

Dengan sigap Haidar berlari, menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang sedikit ramai diikuti oleh Rahman yang telah mengingatkan agar Haidar tetap bersikap tenang dan hati-hati.

Napas Haidar tersenggal. Ia sampai tepat di depan kamar 241 dan melihat dua orang gadis baru keluar dari ruangan itu.

"Eh, Nisa dan Se... fira, ya?" Rahman mengucap nama Sefira ragu. Ia sedikit tidak yakin dengan nama gadis itu. Sebab ia hanya satu kali bertemu dengannya, yaitu ketika acara FSLDKD (Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus Daerah) Bogor empat bulan lalu.

Sefira mengangguk.

"Anda... Kakaknya Faisal?" tanya Haidar pada Sefira. Ia pun mengangguk.

Haidar menarik napasnya panjang. Ia merasa kelelahan setelah berlari dengan panik menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang cukup panjang. "Gimana keadaan Faisal?"

"Alhamdulillah, satu jam lalu dia baru menjalani operasi. Kakinya patah dan ada beberapa luka jadi harus dijahit. Sekarang dia sedang istirahat. Semoga tidak terjadi sesuatu yang lebih membahayakan. Mohon doanya," jawabnya. Suara Sefira sedikit sengau. Ia habis mengangis.

"Kalian sudah sholat?" tanya Nisa.

"Alhamdulillah sudah. Tadi sholat di masjid kampus dan langsung ke sini," jawab Rahman yang diikuti oleh anggukan Nisa.

"Oh, ya Mas Haidar, ini kunci motornya. Terima kasih," kata Nisa kepada Haidar. Ia menerimanya sembari tersenyum.

"Ah, seharusnya saya yang berterimakasih," kata Sefira pada Haidar. "Jazakallah khoyr, Mas."

Haidar mengangguk.

"Kasus ini, apakah sudah ditangani oleh polisi?" tanya Haidar kemudian.

"Sudah. Setengah jam yang lalu polisi selesai memeriksa dan memberikan laporan kejadian kepada saya. Kata polisi, sedang dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab sebenarnya. Untuk sementara polisi menduga bahwa sopir truk itu kelelahan dan ngantuk jadi tidak fokus menyetir dan akhirnya menabrak Faisal."

Haidar mengangguk. Ia ingin segera melihat kondisi Faisal. Bagaimanapun, Faisal sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri.

"Kami boleh masuk?" tanya Haidar yang kemudian dijawab anggukan oleh Sefira.

"Hm... kalau begitu, saya pamit ya? Afwan, sudah ditunggu Ibu di rumah. Lagipula sudah malam," kata Nisa ketika Haidar dan Rahman ingin masuk.

"Anti naik apa, Nis?" tanya Rahman sedikit khawatir.

"Mungkin angkutan umum atau taksi."

"Apa, sebaiknya jangan. Sudah malam soalnya."

Haidar, Sefira, dan Nisa terlihat kaget mendengar apa yang dikatakan Rahman. Haidar sendiri tahu bahwa Rahman khawatir.

"Ah, gini, sepertinya kita kenal supir taksi, Mas," tukas Haidar kepada Rahman.

Rahman mengernyitkan kening.

"Mas nggak inget, tetangga kita, Pak Sulaiman kan supir taksi? Mungkin kita bisa meminta tolong supaya beliau mengantar Nisa pulang. Insya Allah beliau amanah dan bisa dipercaya. Bagaimana?" Haidar seperti meminta persetujuan kepada Rahman dan Nisa.

Nisa terlihat ragu. Namun bagi Rahman itu lebih baik daripada membiarkan Nisa pulang sendiri.

"Kalau begitu sebentar, sepertinya aku punya nomor telponnya. Biar aku yang telpon."

Rahman menelpon sedikit menjauh. Haidar tersenyum, sementara Nisa tampak ingin mencegah namun Rahman sudah sibuk menelpon. Mungkin ia ingin mengatakan tidak usah repot-repot.

Entah kenapa Haidar suka dengan sikap terang-terangan Rahman.

"Pak Sulaiman insya Allah akan sampai sepuluh menit Lagi," kata Rahman begitu selesai menelpon.

"Sefira, bisa antar Nisa ke lobi? Biar kami yang menjaga Faisal sekalian ingin melihat kondisinya," pinta Rahman pada Sefira yang direspon dengan sedikit terkejut.

"Oh, oke. Ayo, Nis. Kuantar."

Nisa mengangguk. Ada sedikit rasa senang yang diam-diam merasuk ke ulu hatinya saat mendapat perhatian dari Rahman.

"Kalau begitu, Nisa pamit. Mas Rahman... Mas Haidar. Syukron. Assalamu'alaikum," katanya lembut sembari sedikit menundukan kepala sebagai tanda terimakasih.

Kedua gadis itu kemudian pergi, belok kiri dan menghilang di ujung lorong.

Rahman memerhatikan, saat tangan Haidar menepuk pundak Rahman, ia tampak terkejut.

"Sudah, Mas. Jangan dipandangi terus. Nanti jadi zina mata."

Rahman langsung tersadar dan mengucap istighfar. Keduanya kemudian masuk ke kamar Faisal.

🌷🌷🌷


Ruangan itu sedikit gelap. Mungkin lampu utama sengaja dimatikan agar membuat pasien lebih nyaman untuk istirahat. Udaranya hangat, sementara Faisal yang baru saja menjalani kejadian yang tak mengenakan itu sedang tertidur di ranjangnya. Wajahnya tampak tenang. Kaki kirinya diperban. Haidar membayangkan betapa sakit kaki menteenya itu. Tulangnya patah, sementara kulit dagingnya sobek dan harus dijahit beberapa kali. Infus terpasang di tangannya. Haidar nyaris ingin menangis melihatnya.

"Seperti tidak percaya. Tadi siang dia baru saja menelpon minta jadwal liqo diganti," kata Haidar lirih.

Rahman menyentuh pundak Haidar pelan sebagai tanda simpati.

"Sebaiknya kita doakan, Dar. Insya Allah, Allah kasih kesembuhan."

Haidar mengangguk. Lalu ia memejamkan mata dan mengangkat kedua tangannya.

"Allahumma robbannaasi adzhibil ba'sa wasyfihi antasyaafi laa syifaai illaa syifaauka syifaa an laa yugaadiru saqoman." *

Rahman mengamini. Kemudian ia teringat sesuatu.

"Dar, bagaimana kalau kita sekalian jenguk Sarah juga. Bukankah, dia juga dirawat di sini?"

"Iya, Mas. Aku juga baru ingat. Gio bilang katanya sudah baikan."

"Ya sudah, nanti kita jenguk habis sholat isya, ya?"

Haidar setuju.

🌷🌷🌷


Selesai sholat isya di dekat rumah sakit mereka berdua langsung menuju kamar di mana Sarah dirawat. Sebelumnya ia pamit kepada Sefira, dan gadis itu beberapa kali mengucap terimakasih karena sudah menjenguk adiknya dan meminta maaf. Saat Haidar tanya kenapa harus minta maaf padahal tidak punya salah, gadis itu hanya mengatakan,

"Karena prinsip anda, saya jadi langsung bermuhasabah diri."

Namun Haidar tak mempermasalahkannya. Tidak menanggapinya dengan serius. Baginya, itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Apalagi itu memang yang seharusnya dilakukannya sebagai seorang Muslim. Kalau pun keteguhan prinsipnya membuat orang lain ingat pada kewajibannya, dia hanya bisa bersyukur.

"Dar, itu seperti Gio? Kamu lihat nggak? Yang barusan masuk ke lobi sambil membawa plastik hitam?"

Haidar memerhatikan arah yang dituju Rahman. "Iya, Mas. Itu Gio. Jaketnya memang seperti yang biasa dipakai Gio."

"Giooo!" panggil Rahman. Mereka berdua bergegas sebelum Gio menghilang jauh.

"Mas Haidar dan Mas Rahman kok di sini, tho?"

"Ceritanya panjang. Kamu mau jenguk Sarah?"

Gio mengangguk. "Tidak hanya Sarah. Tapi Pak Haryo juga."

"Innalillah, memang Pak Haryo kenapa, Yo?" tanya Haidar.

"Aku dapat kabar dari Bu Minnah, istrinya, katanya dia kena tusukan pisau, Mas."

"Astaghfirullah, kok bisa? Ceritanya gimana?" Rahman terkejut.

"Untuk itu aku buru-buru ke sini dari kosan, Mas."

"Kalau begitu tunggu apalagi. Ayo cepat ke sana!" ajak Haidar yang kemudian dijawab anggukan oleh kedua orang itu.

Mereka bertiga langsung menuju ruangan di mana Pak Haryo dirawat dengan langkah tergesa-gesa.

🌷🌷🌷


Mereka bertiga masuk kamar 105. Ruangan tempat Pak Haryo; ayah Sarah dirawat. Di sebelah barat kamar adalah ruangan tempat Sarah dirawat, yaitu kamar 104.

Yang pertama kali mereka lihat begitu memasuki kamar adalah Bu Minnah yang tampak sedih. Matanya sayu, tampak kurang tidur. Beliau sedang mengaji, membaca ayat Al-Qur'an. Sepertinya beliau habis sholat isya.

"Assalamu'alaikum," ucap mereka nyaris bebarengan.

"Wa'aaikumsalam wa rahmatullah," jawab istri Pak Haryo dengan suara lirih.

"Nak Gio, dan teman-temannya, ya?"

Gio mengangguk.

"Maaf, bu. Gio terlambat datang. Tadi Gio habis ada kegiatan kampus sampai sore," kata Gio sembari meletakkan plastik berisi buah ke nakas.

"Tidak apa-apa. Saya justru berterimakasih, Nak Gio dan teman-temannya sampai repot-repot kemari."

Bu Minnah menutup mushafnya. Ia taruh kitab suci itu di nakas paling atas.

"Bagaimana kondisi Pak Haryo, Bu?" tanya Rahman.

"Luka tusukannya sudah ditangani oleh dokter. Alhamdulillah, lukanya tidak sampai membahayakan organ dalam."

Mereka bertiga mengucap syukur.

"Lalu kondisi Sarah sekarang bagaimana, Bu?"

Bu Minnah mempersilakan ketiga pemuda itu duduk di sofa.

"Sarah sudah baikan. Tapi setelah mendengar ayahnya ditusuk oleh tangan kanannya Bima hingga menyebabkan ayahnya koma seperti ini, kondisinya kembali kritis. Untungnya sudah ditangani juga. Dan sekarang ia dijaga oleh Budhenya."

"Kalau begitu, saya harus menjenguknya, boleh Bu?"

"Silakan, Nak."

"Sebentar," tukas Haidar. "Bima itu siapa, Bu?"

"Bukannya itu pacarnya Sarah, ya?" tukas Rahman. "Kamu masih ingat, Dar. Waktu kamu meminta temen-temen Ustman bin Affan menyelidiki siapa pacar Sarah? Salah satu temen Sarah mengatakan kalau nama pacar Sarah Bima. Tapi sudah putus satu bulan lalu. Katanya itu karena Sarah menyukai orang lain yang kuduga adalah Gio."

"Jadi maksud antum, tangan kanannya Bima itu mau mencelakakan Pak Haryo, Mas?" tanya Gio khawatir. "Tapi kenapa?"

"Mungkin karena dugaan kita benar bahwa Bima yang menghamili Sarah?" kata Haidar.

"Bisa jadi," kata Rahman mantap. "Apa ada keributan yang terjadi antara Bima dan Pak Haryo sebelumnya, Bu?"

Istri Pak Haryo berkaca-kaca. Ia mengangguk. "Setahu saya, sebelum peristiwa penusukan itu, ada yang menelpon Sarah. Dan Bapak yang mengangkatnya. Entah apa yang dibicarakan Bapak ditelpon, dia marah-marah, mengancam ingin membunuh dan menjebloskan orang dalam telpon ke penjara. Dia juga menyebut-nyebut nama Bima dan mengumpatnya. Bapak tampak sangat marah. Lalu dia pamit. Beberapa waktu setelah itu, saya mendapat informasi bahwa Bapak kena tusuk seseorang. Saya yakin itu adalah orang yang telpon Sarah. Dan itu pasti Bima."

Bu Minnah menangis sesenggukan. Haidar, Gio dan Rahman merasa tidak tega. Mereka hanya bisa memberi semangat dan meminta Bu Minnah untuk sabar.

"Saya janji akan membantu, Bu. Saya akan lebih keras mencari kebenarannya. Bagaimana pun kita perlu bukti bahwa pelakunya benar-benar Bima itu." Gio tampak sangat bersalah. Bagaimanapun dia ingin ikut bertanggung jawab. Ia merasa Sarah dan musibah yang mengenai Pak Haryo juga ada kaitannya dengannya.

"Benar, saya dan teman-teman di Ustman bin Affan juga insya Allah akan membantu sebisanya."

"Terima kasih, Nak. Kalian baik sekali." Bu Minnah menyeka air matanya yang meleleh.

Setelah mendoakan Pak Haryo untuk kesembuhannya. Mereka bertiga langsung ke ruang 104 untuk melihat kondisi Sarah. Ia masih terkulai lemas di ranjangnya. Wajah putihnya pucat. Dan Gio tanpa sengaja menangis.

"Sabar, Yo. Insya Allah Sarah akan segera pulih dan bisa memberikan keterangan. Jadi kita bisa tahu apakah memang Bima pelakunya atau bukan."

🌷🌷🌷



Kamus kecil:
* artinya : Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia kesembuhan, Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit lain. (HR Bukhari 535 dan Muslim 2191)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro