Verso #16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aegner dan Janji Musim gugur
by : diiinape

Perang akan kembali kembali meletus, kali ini di sebelah utara, tepatnya Distrik Omega. Seluruh dunia menyayangkan hal tersebut, Omega terkenal akan keindahan musim gugurnya. Tetapi sekarang mesti rusak oleh perang yang terus berkecamuk.

Aegner Sky adalah remaja yang baru saja menginjak usia 16 tahun. Menjadi lelaki yang terlahir di tanah perang, memaksanya berkecimpung dalam darah walau masih dini. Meski begitu, setiap pisau atau pedang yang ia ayunkan, selalu mantap, tak ada keraguan yang tersisa dalam dirinya.

"Oy Aegner!"

Aegner mengalihkan atensinya, dari pisau pada wajah teman sesama prajurit itu.

"Ada surat untukmu," tuturnya. "Hati-hati, boleh jadi di dalamnya terdapat  bom."
Aegner segera mengantongi pisau kesayangannya, mengambil surat yang dilambai-lambaikan di depan muka. Beranjak pergi tanpa mengacuhkan temannya.

"Huh dasar cebol tak tau terimakasih!" Pria bersurai coklat itu menggerutu lantas pergi.
Dia berjalan menuju danau kecil yang tak jauh dari basis militer tersebut. Lantas duduk di bawah sebuah pohon dengan daun menguning yang mulai mengelepai. Dibukanya amplop tersebut dengan pelan. Matanya begerak membaca deretan tulisan tangan yang rapih dan kecil-kecil.

Hai Kak!

Bagaimana keadaan Kakak? Kalau aku sih baik-baik saja. Kakak juga pasti baik 'kan? Iya lah, kadet terbaik di angkatannya tidak mungkin sakit.

Kak mau tau tidak? Distrik Alfa indah sekali. Disini ada banyak pohon. Astaga aku jadi tidak sabar menunggu musim gugur! Tidak terbayang bagaimana serunya berlarian di bawah guguran daun maple.

Aku harap kita dapat bersama saat musim gugur, tak sabar menunggu Kakak pulang. Salam dari seluruh penghuni panti!

Catatan : Aku mengirim ini saat musim semi. Entah akan sampai kapan, perang mengacaukan sistem pos. Tapi kuharap bisa sampai sebelum gugur, agar kita dapat menikmati musim gugur bersama di depan perapian dengan segelas coklat panas. Ciao.

Aegner tersenyum setelah membaca surat itu. Sayang, ia tak dapat mewujudkan apa keinginan adiknya. Menjadi prajurit terbaik tentu saja membuatnya susah mengajukan izin cuti, apalagi ketika perang hendak berkecamuk di hadapan mata. Tidak lucu jika ia merengek minta pulang.

Netra hijaunya menatap jauh ke pepohonan di seberang danau. Langit yang kian memerah ditambah daun maple yang mulai bertransformasi menjadi merah.

Bloody sunset, haruskah kusebut begitu? Ah tidak, kalimat itu bernada mengerikan.

Aegner segera menghapus bayangan mengerikan yang dibentuk otaknya. Meski puluhan peperangan telah ia jajal, tetap saja, kata darah masih terdengar menakutkan.

Ia mencabut pisau kesayangannya, menatap bayang yang terpantul di sana. Lihat, bahkan luka di pelipisnya belum kering sempurna, kini harus turun lagi ke medan perang. Agaknya ia menyesal, tidak berpura-pura cacat saat perekrutan kadet dua tahun yang lalu.

"Sky."

Aegner menoleh, Rev berdiri menjulang di belakangnya.

"Kenapa kau memanggilku begitu? Ada apa?"

"Ah, tidak, hanya rindu kampung halaman, mungkin?" wajah sangar Rev tersenyum lebar.

Sebagai kadet dari daerah yang sama, membuat mereka langsung akrab di hari pertama. Di medan perang, yang menjadi prioritas Aegner adalah Rev, begitupun Rev lebih mementingkan nyawa Aegner dibanding miliknya.

"Aku baru menerima surat dari Violeta, bagaimana denganmu?" tanya Rev setelah lama hening.

"Surat dari Scarlet juga sudah tiba. Harusnya lebih cepat beberapa bulan."

"Yah." Rev menghela napas berat. "Bisa tiba di tanganmu juga sudah untung."

"Well, Rev aku mau berterimakasih atas bantuanmu saat di Beta."

Rev mengibas-ngibaskan lengannya. "Nyawamu juga nyawaku, sobat."

"Laki-laki sepertimu harusnya jadi pujaan para wanita, Rev, daripada yang mengaku badboy dan tebar pesona pada perempuan di luar sana."

"Yah, mereka punya selera tertentu. Lagipula, aku lebih senang dipuji oleh Komandan Ed."

"Dasar gila jabatan." Agner menonjok pelan bahu Rev.

"Oi, oi! Tonjokanmu itu tetap sakit!"

Aegner tersenyum lebar tanpa dosa. Menurutnya, tonjokan tadi itu sangat pelan, Rev saja yang berlebihan.

Mereka kemudian terdiam menatap ke seberang danau. Mentari perlahan dilahap pepohonan yang rapat. Semburat oranye dipantulkan oleh beningnya air danau.

"Senja berdarah," ucap keduanya bersamaan.

Setelah diperhatikan dengan lama, mata elang Aegner menangkap sesuatu yang aneh dari barisan pohon tersebut. Ada banyak orang di sana, mengintai mereka berdua. Semak belukar bergoyang. Gemerisik itu ditangkap oleh telinga sensitif Rev.

"Apa kau mendengarnya, Rev?"

Tanpa aba-aba mereka berlari hendak melapor pada Komandan Ed. Dalam hati mereka menyangkal apa yang baru saja dilihat. Musuh tak akan tiba secepat itu, 'kan?

Aegner melaporkan apa yang ia lihat, begitupun Rev. Namun perkataan mereka dianggap angin lalu.

"Mana mungkin musuh langsung menyerang ke jantung pertahanan, mereka tidak gila," jawab Komandan Ed tenang.

"Ta-tapi—"

"Kalian sedang kurang sehat, prajurit." Ed menghela napas. "Dengan itu aku putuskan, kalian tidak perlu berada di garis terdepan pada perang kali ini."

Rev melotot sedangkan Aegner diam-diam mendesah lega. Entah mengapa baginya perang kali ini amat menyeramkan, bahkan sebelum perang itu berlangsung.

"Aku masih sehat, Komandan! Mungkin Anda yang lelah jadi tidak dapat berpikir!"

"Mana kesopananmu, Rev?"

Aegner memberi hormat pada Komandan. "Keputusan Anda adalah perintah bagiku." Ia lalu menarik Rev –yang hendak mencak-mencak– keluar dari ruangan tersebut.

"Apa yang kau pikir, hah?" Rev berteriak begitu sampai di kamar Aegner.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu."

"Aku hendak protes karena dipindahtugaskan! Haru—"

"Aku takut, Rev." Aegner memotong perkataan kawannya.

Wajah sangar Rev berubah drastis, melongo tak percaya atas jawaban Aegner.

"Aku takut di perang kali ini tak bisa pulang. Scarlet pasti sedih, karena aku selalu tak bisa memenuhi keinginannya."

"Bahkan yang paling sederhana seperti minum segelas coklat panas di depan perapian," batin Aegner.

"Jangan bercanda. Kau mundur hanya karena Scarlet?"

"Hanya Scarlet katamu?" Intonasi Aegner mulai naik.

Netra tajam mereka bersitatap. Lantas Aegner menggelengkan kepala.

"Silakan jika kau ingin bertarung di front depan, Rev, aku tak ingin bertengkar denganmu. Cepat pergi."

Rev yang sudah dikuasai kemarahan lantas berbalik pergi. "Cebol pengecut, tak sudi rasanya aku menganggapmu sahabat."

Aegner hendak menjawab pernyataan tersebut dengan yang lebih pedas, tapi mulutnya kembali mengatup. Bukan begitu caranya berteman. Ia berbaring di kasurnya, mencoba tidur lebih cepat. Perlahan kesadarannya menghilang, lelaki itu sudah terbuai oleh alam mimpi.

Aegner terperangah, tubuhnya lantas bangkit. Mimpi yang baru saja ia alami serasa nyata. Teriakan prajurit yang kesakitan berkecamuk dengan suara desingan peluru. Kilasan tersebut kembali muncul.

Rev yang berada bersama pasukan terdepan.

Rev yang dengan semangat berlari menerjang musuh.

Rev yang dengan mantap menebaskan pedangnya ke depan.

Rev yang memegang pinggangnya dengan tangan berlumuran darah.

Rev yang terduduk lesu dengan mulut memuntahkan darah.

Rev yang perlahan kehilangan kesadaran lantas terinjak oleh prajurit lain.

Rev yang ... gugur.

Aegner menggeleng tegas. Rev tak akan mati selama dia bersisian di medan perang. Dia lantas bangkit, merapikan diri untuk menghadap Komandan Ed.

"Dengan penuh hormat, saya ingin ditempatkan di front depan, bersama Rev." Aegner menyampaikan maksud kedatangannya.

"Dia baru saja meminta ingin menemanimu di barisan belakang. Jadi kalian ingin bagaimana?"

Aegner terhenyak, tak menyangka hal itu akan didengarnya.

"Hei kau! Panggil si Rev kemari!" titah Ed pada pengawalnya.

Aegner dipersilakan duduk sementara menunggu Rev.

"Oi oi, kalian selalu seenaknya. Aku tengah minum coklat panas!"

Aegner menoleh pada Rev yang dibalut syal coklat dengan bibir belepotan.

"Ada apa?" tanyanya melihat tatapan lekat Aegner.

Aegner segera maju, merengkuh tubuh jangkung kawannya. Tak peduli dengan titah Komandan yang menyuruh duduk kembali.

"Terimakasih," lirih Aegner.

Rev turut mendekap tubuh kawannya. Sepengecut apapun, selemah apapun, semenyebalkan apapun, si cebol tetap sahabat terbaiknya.

"Baiklah, kami bersedia ditempatkan di mana juga. Betul 'kan, Sky?" jawab Rev setelah menyimak penjelasan Komandan.
"Ya, kami bersedia."

"Kalian merupakan dua prajurit terbaik yang kami miliki. Sayang jika hanya disimpan di belakang, bukan?"

Keduanya mengangguk paham. Tak ada perubahan formasi dan rencana. Semua tetap pada tempatnya.

"Ah satu lagi, kami sudah mengecek laporanmu, benar, di seberang danau terdapat sekumpulan orang bersenjata tak dikenal.

Tapi mereka bukan musuh kita. Entah apa tujuannya, bagian penyelidikan tengah mengadakan interogasi. Terimakasih atas laporannya, Aegner, Rev."

"Sama-sama, Komandan." Keduanya memberi hormat.

Mereka keluar dari ruangan Komandan. Melangkah gontai bersisian. Cahaya lembut purnama menyinari pepohonan yang mulai menggugurkan daunnya. Tanpa diskusi, langkah mereka berderap menuju danau kecil. Danau tampak tenang, memantulkan apa yang berada di sekelilingnya. Dedaunan berguguran memenuhi permukaan danau.

"Syukurlah, aku tak kehilangan kau seperti pohon itu kehilangan daunnya." Rev memecah keheningan.

Aegner menoleh lalu tersenyum lebar. "Sungguh puitis."

Ia bersyukur memiliki Rev sebagai kawan terbaiknya.

Desau angin membuat bendera berkelepak dengan gagah. Dua pemuda itu mengeratkan syal masing-masing.

"Kami akan selalu menang!"

Uap tipis menyertai teriakan dua pemuda tersebut. Musim gugur tahun depan aku akan menemanimu, Scarlet, aku janji.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro