Verso #6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alina si Ratu Musim Hujan
by asta12di


Dari kelima pemimpin Negeri Angkasa, Ratu Alina dikenal sebagai ratu yang sangat peka. Kata-kata bernada sindiran saja sudah sangat melukai hatinya.

Begitulah yang terjadi ketika dia bertemu dengan Tiara. Seorang anak perempuan yang dianggap aneh oleh seluruh penghuni Negeri Angkasa.

Belum lama ini, semua penghuni negeri berkumpul merayakan kehadiran kelima pemimpin yang dipilih sang dewa langit tertinggi. Siapa lagi kalau bukan Alina, Nageb, Gelyas, Kayla, dan Salih.

Dari kurcaci, peri, malaikat, dan berbagai makhluk angkasa di atas sana. Sudah lama mereka merindukan pemimpin yang didambakan.

Salah seorang dewa langit hadir dalam acara tersebut. Dia memberikan tongkat sakti kerajaan kepada kelima sahabat untuk bisa menjalankan kepemimpinan.

Di tengah kegiatan mereka, kedua ratu sering bertemu untuk mengobrol. Membahas apa saja yang bisa dibicarakan.

"Kerajaan kita memegang peranan penting bagi kehidupan manusia bumi. Tanpa air dan udara, mereka tak akan bisa hidup. Kita harus memberikan yang terbaik bagi mereka. Janganlah kita sampai lalai melaksanakan tugas sebagai ratu," kata Alina menyadari peran Kerajaan Air.

"Ternyata pengubahan yang dewa langit lakukan pada kita tidak cuma sebatas fisik dan penampilan saja. Kita juga punya pemikiran dan kebijaksanaan yang baru, serta lebih luas lagi. Lebih dari yang kita kira," komentar Kayla.

"Alina, kau sudah jauh berubah dari yang kukenal sewaktu kita masih jadi anak-anak manusia di bumi," ujarnya lagi.

Sampai sekarang, mereka masih mengagumi keajaiban besar yang dilakukan dewa langit tertinggi waktu itu.

"Aku merasa semua ini bagaikan mimpi." Mata Kayla berkaca-kaca saking terharunya. "Kau benar. Mukjizat besar jangan sampai membuat diri kita lengah. Sekarang aku baru mengerti maksud dari tanggung jawab kecil membuahkan tanggung jawab yang lebih besar."

"Apa tongkat saktimu sudah melakukan sesuatu bagi udara di bumi?" tanya Alina yang tiba-tiba penasaran akan hal ini.
    
"Bukankah dewa pemberi tongkat itu bilang kalau penggunaannya untuk kehidupan di bumi hanya jika terjadi sesuatu yang penting saja di sana?" Kayla mengingatkan sahabatnya ini.

"Iya juga, tapi sebagai Ratu Kerajaan Air, aku masih belum memberikan sesuatu yang nyata bagi kehidupan di bumi," sahut Alina agak kecewa.

"Justru dari yang kulihat selama hidup di bumi, air itu punya sifat unik yang bisa dilihat dan dirasakan manusia. Bahkan menjadi bagian dari tubuh semua makhluk hidup. Lihatlah, kalau aku menangis karena terharu sekarang, mataku mengeluarkan air. Padahal aku ini sudah jadi Ratu Kerajaan Angin. Berbeda jika dibandingkan dengan udara. Udara lebih ditentukan oleh alam, dan lebih susah dijangkau oleh pemikiran manusia. Bahkan mungkin di kehidupan masa depan yang serba maju sekalipun, mereka tidak akan pernah bisa meramalkan pergerakan angin," ujar Kayla menerangkan panjang lebar.

"Jadi menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan sebagai Ratu Kerajaan Air?" tanya Alina meminta saran.

Belum sempat Kayla menjawab, datanglah seorang kurcaci laki-laki yang berlari menghampiri.

"Wahai Ratu Alina, sedang terjadi keributan di dalam istana Kerajaan Air," katanya melaporkan. Napasnya terengah-engah sambil kedua tangannya memegangi lutut.

"Apa yang telah terjadi, Kiko?" tanya Alina kaget, langsung bangkit berdiri.

Kiko menjawab, "Seorang anak perempuan terus mengejek kerajaan ratu dengan tanpa merasa bersalah. Semua ucapannya sangat menyakitkan hati. Yang Mulia harus menghentikan tindakannya itu."

Benar saja. Sewaktu mereka berdua tiba di sana, Tiara sedang meledeki ketiga penjaga Kerajaan Air sambil tertawa terbahak-bahak.

"Kalian ini jelek sekali. Aku jadi ingin bertemu raja atau ratu kalian. Pasti mukanya jerawatan, rambutnya seperti sapu lidi, kulitnya dekil, dan pakaiannya bolong-bolong."

"Apa orang yang kau maksud itu aku, Nak?"

Semua yang ada di situ segera mengambil sikap hormat kepada sosok yang datang bersama Kiko ini. Perempuan dewasa berpakaian indah keperakan. Mahkota berkilauan di atas rambut hitam panjangnya.

Kemudian para penjaga melapor pada sang ratu, "Yang Mulia, anak nakal ini sedari tadi menghina Kerajaan Air kita."

"Aku bukan menghina. Aku hanya menyampaikan pendapatku saja," sanggah Tiara langsung pada mereka.

"Tapi mulutmu itu tidak pernah berhenti menjelek-jelekkan kerajaan kami." Salah seorang penjaga berkata dengan sengit.

Kedua teman baru Tiara yang penghuni Negeri Angkasa berusaha untuk menenangkan suasana. Tapi, tangan Ratu Alina sudah terangkat ke atas.

"Cukup! Aku juga sudah mendengar kalimat terakhir ejekannya yang tidak kumengerti dengan jelas," katanya tegas.

"Nak, kalau kau penasaran dengan Kerajaan Air ini, ikuti aku sekarang," ajak Alina mencoba ramah pada Tiara. Di balik sikap dan nada tegasnya.

"Aku juga punya nama, Ratu Air," protes Tiara. Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat serta kesopanan. "Namaku Tiara."

"Bukankah sudah aku bilang tadi, Ratu?" Kiko mengingatkan.

"Biarkan saja, Kiko. Aku akan coba mengatasinya sendiri. Terima kasih atas ketulusan hatimu itu. Tolong jangan cemaskan aku lagi," balas Alina, tidak ingin dirinya dikasihani.

"Baiklah, Ratu. Semoga berhasil," balas Kiko lagi. Lalu dia memohon diri untuk pamit.

"Gayanya Kiko itu lucu ya, Ratu? Pakaiannya itu juga seperti pakaian anak kecil yang baru belajar berjalan." Tiara mencoba melucu terhadap Alina.

Pakaian Kiko terdiri dari baju atas berlengan panjang, celana panjang, dan sepasang sepatu lancip, yang semuanya berwarna hijau. Warna yang sama dengan warna topi panjang dari kain, yang bagian atasnya menyempit dan menjuntai ke belakang atau ke samping.

"Lantas, apa kau sendiri sudah dewasa, Tiara?"

"Aku memang belum dewasa. Jadi, makhluk-makhluk di sini seharusnya lebih mengerti kata-kataku. Tapi mereka terlihat seperti makhluk bodoh saja."

"Jadi, kau ini anak yang paling pintar?"

"Tentu saja, Ratu!" Tiara malah kegirangan. "Papa, Mama, Om, Tante sampai kakek nenekku, semuanya bilang begitu padaku dan pada orang-orang yang lain."

"Kau ini benar-benar anak yang menyebalkan." Alina jadi makin kesal. Dalam hatinya, dia jadi setuju dengan Kiko dan para penjaga istananya.

"Berhati-hatilah dengan ucapanmu itu, Ratu." Tiara jadi teringat sesuatu. "Kata Papa dan Mama, kita harus menjaga omongan, karena itu bisa jadi sebuah doa yang tidak sengaja keluar begitu saja. Bagaimana kalau aku yang bilang muka Ratu akan tumbuh jerawat?"

"Apa sih yang selama ini kau bilang itu? Jerawat, sapu lidi, dan dekil. Juga siapa itu Papa, Mama, Om, Tante? Aku tidak tahu semua orang yang kau maksudkan itu? Kau ini anak yang aneh, Tiara."

"Ratu payah!" Malah Tiara menertawakan Alina dengan sangat gelinya. "Mama itu yang melahirkan kita ke dunia. Bersama Papa, mereka merupakan orang tua kita. Ratu Air ini makhluk mana sih, masa tidak tahu Papa Mama?"

"Sudah tidak menghormatiku sebagai pemimpin di sini, sekarang berani-beraninya kau bilang aku ini payah?" Alina mulai naik darah. Rasanya ingin sekali mengutuk anak yang super kurang ajar ini.

Mendadak terdengar suara lembut laki-laki yang sangat berwibawa di kedua telinganya.

"Alina, kendalikan dirimu. Perasaanmu. Kau dengan anak itu beda dunia. Apalagi juga, beda masa waktu hidup."

"Dewa, aku sudah tidak tahan lagi," pintanya dalam hati. "Apa yang Dewa maksudkan itu?"

Tanpa disadarinya, air mata mulai mengalir di wajah Alina. Tiara semakin meledekinya sebagai Ratu Air, dan ratu yang tidak punya rasa humor.

"Bukankah kau sudah dengar sedari tadi, Alina? Banyak ucapannya yang tidak kau mengerti. Bahkan, seluruh penghuni Negeri Angkasa pun tidak ada yang mengerti semua perkataan asing yang diucapkannya."

Nasihat dari seorang dewa itu membuatnya berpikir dan merenung.

"Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan di sini, Tiara?" tanya Ratu Alina pada si anak perempuan ini.

"Alina, apakah kau sudah punya terobosan baru bagi kebutuhan manusia bumi akan air?"

Kayla sudah mengucapkan pertanyaan itu sebanyak dua kali. Tangannya sampai melambai di depan pandangan mata sahabatnya ini.

Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya seperti baru beberapa menit yang lalu, dia menghadapi Tiara. Padahal sudah setengah harian menurut ukuran waktu Negeri Angkasa.

"Eh ... sudah, Kayla. Aku membuat suatu masa yang lebih panjang bagi kebutuhan makhluk hidup di bumi akan air. Tidak hanya untuk manusia saja."

"Apa maksudmu?"

"Apa kau sudah lupa bagaimana keadaan hujan sewaktu kita masih jadi anak-anak manusia?" tanya Alina mengingatkan.

"Iya." Kayla mencoba mengingat-ingat. "Hujan turun tidak tentu sepanjang tahun. Manusia sulit untuk menanam suatu tumbuhan. Pohon-pohon yang ada saja hampir tidak menghasilkan apa-apa."

"Benar sekali. Tidak ada satu orang pun yang bisa bercocok tanam. Makanya, manusia pada masa kita masih hidup di bumi menjadi berdarah panas. Mereka hanya makan hewan hasil buruan saja," kata Alina menjelaskan.

"Perilaku manusia menjadi kasar, dan sering tidak terkendali," ujar Kayla menambahkan. "Mereka cuma melahap makanan jenis daging saja."

"Oleh sebab itulah, di daerah tertentu yang tanahnya subur, kuturunkan hujan lebih banyak dan secara teratur," kata Alina dengan senang. "Manusia di sana akan terdorong untuk menanam lebih banyak tumbuhan."

"Kau pintar sekali, Alina." Kayla memuji sahabatnya dengan gembira dan puas. "Dari mana kau dapatkan ide itu?" tanyanya penasaran.

"Dari anak yang bernama Tiara itu."

Tentu saja Kayla jadi bingung lagi.

Maka, Alina menceritakan pertemuannya dengan anak perempuan itu.

"Kepintaran Tiara tidak terpikirkan oleh kita. Saat kutanya apa yang ingin dia lakukan di sini, dia bilang kalau cuma mau pulang. Kembali pada keluarganya. Pada orang tuanya yang telah membesarkan dia."

Hatinya jadi merasa terharu sekaligus iba. Teringat akan kedua orang tuanya. Sosok Tiara yang semula dianggapnya sangat keterlaluan itu justru akhirnya mengingatkan dirinya semasa masih jadi anak manusia berusia delapan tahun. Rasa ibanya ditujukan kepada si anak perempuan malang, yang ternyata tersesat di Negeri Angkasa ini.

"Lalu, apa hubungannya dengan lebih banyaknya hujan yang kau turunkan itu?" tanya Kayla, tambah penasaran. Pertanyaannya tadi belum dijawab dengan sempurna oleh sahabatnya ini.

"Tiara juga bilang padaku kalau siklus air di bumi tidak teratur pada masanya hidup. Dia memohon supaya aku bisa mengatur keseimbangannya dengan menurunkan lebih banyak hujan. Lalu, ya jadi kuingat masa-masa sulit manusia sewaktu kita masih tinggal di bumi," jawab Alina dengan mata menerawang.

Sambil melihat ke bumi, Kayla berucap, "Di sini, udara juga berperan untuk menghasilkan petrichor. Suatu aroma yang sangat disukai manusia."

"Nah, bukankah sekarang Kerajaan Angin punyamu juga ikut ambil bagian?" Alina ikut merasakan kebahagiaan sahabatnya.
    
"Masa waktu yang dipenuhi hujan itu tidak sebaiknya kau beri nama saja?" tanya Kayla tersenyum.

"Tentu saja Musim Hujan. Bukankah berlimpah oleh hujan?" Alina terlihat sangat ceria.

Berkat keajaiban dari tongkat sakti Kerajaan Air juga, dia telah menciptakan musim yang sangat menghidupkan semua makhluk hidup di bumi ini. Beberapa saat yang lalu.

Kemudian, para penghuni Negeri Angkasa merayakan dimulainya Musim Hujan di bumi. Tentu saja bertempat di sebuah taman di atas sana. Berkat keinginan sang ratu Kerajaan Air untuk membagikan kebahagiaannya, karena sudah merasa berguna bagi kehidupan di bumi.

Sejak saat itulah, untuk sekian bulan tertentu di beberapa negara, turunlah hujan yang lebih banyak dari biasanya. Manusia mengenalnya sebagai Musim Hujan. Sebagai penciptanya, Ratu Alina lalu juga dikenal di Negeri Angkasa sebagai Ratu Musim Hujan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro