Chapter 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Salsha's POV

"Woi!"

Aku segera menoleh saat mendengar suara yang memanggilku.Namun saat badanku berbalik, tak ada siapapun.

"Cewek Telat Kuliah!"

Suara Karel? Mana orangnya dah?Batinku sambil celingukan.

Tiba tiba, aku merasakan mataku ditutup dari belakang. Dalam bekapan paksa itu, aku memutar mataku malas. Kupukul dengan kencang kedua punggung tangan itu agar lepas dari wajahku.

"Adaw! Buset, makan apa lo tadi pagi? Kenceng amat bos,"gerutunya sambil mengibas ngibaskan tangannya yang memerah.

"Bodo! Lagian lo ngapain ke sini? Bolos kerja lo?"tanyaku heran.

Diantara para sahabat sahabatku—Iqbaal, Steffi, aku, dan Karel—hanya Karel-lah yang langsung masuk kuliah Fakultas Kedokteran dan lulus dengan cepat.

Ditambah dengan ayahnya yang seorang pemilik rumah sakit, perkerjaan dokter pun dengan mudah sampai ke tangannya.

"Enak aja. Gue kesini buat kerjaan tahu,"jawabnya sambil menendang batu batu kerikil dekat kami.

"Hah? Emang dokter jaman sekarang harus ngikutin pasiennya kemanapun ya? Untung gue kagak jadi dokter,"cerocosku.

Karel terkekeh dan menoyor kepalaku, "Emang ya, lo dari dulu tuh nggak peka. Gue kesini buat mantau lo."

Seketika aku terdiam. Harusnya aku tahu, topik ini dan Karel tidak terlalu jauh. Dan kini aku harus kembali menghadapi bahwa aku mengidap penyakit entah-apa-namanya- itu.

"Gue disuruh sama Om Hasdi. Papa gue langsung setuju dan nyuruh gue mulai hari ini jadi bodyguard sekaligus dokter lo,"ucap Karel.

Mataku membulat. Kini semua terasa masuk di akal. Aku sempat heran mengapa Papa dan Mama begitu mudahnya mengijinkanku—terlepas dari perdebatan melankolisku dengan Mama—pergi kuliah.

Karek berdeham, membuatku tersadar dari lamunanku. "Meskipun gue disuruh jagain lo, gue nggak bakalan ngasihanin lo. Gue tau lo nggak suka. You still got your freedom."

Senyumku segera merekah di wajahku. Untung saja Papa mengenal Karel. Karena aku yakin, bila yang berdiri di depanku bukan Karel, pasti aku diperlakukan selayaknya orang sekarat.

"AAAAA!!! THAT'S KAREELLLL!!"

Aku dan Karel segera menoleh ke arah suara cempreng itu. Well, hanya aku yang sempat melihat. Karena Karel langsung ditubruk oleh sosok astral penghasil suara diatas 20kHz itu.

"Aduuhh, Cassie! Kebiasaan deh ya!"omel Karel sambil menggerutu.

"Iya nih, kebiasaan meluk cowok lain di depan pacar,"imbuhku sambil melirik cowok—dengan duck face—di sebelahku.

Cassie pun sadar bahwa ia tengah bersama pacarnya, Randy. Gadis import itu pun akhirnya berdeham dan berusaha memecah akwardness.

"Sori, baru inget ada Randy,"tutur Cassie polos. Wajah Randy yang sudah masam bertambah masam.

Berbeda dengan Randy, Karel malah tertawa kencang.Cowok satu ini emang nyebelin. Sahabatnya sendiri lagi cemburu malah diketawain.

"Tenang aja kali, Ran. Gue tahu kok Cassie udah punya lo,"gurau Karel sambil meninju pelan bahu Randy.

"Lo ngapain emangnya di sini? Perasaan hari ini jadwal jaga lo deh,"tanya Randy heran. Randy memang bekerja di rumah sakit milik keluarga Karel.

"Gue ada pasien spesial,"jawab Karel sambil melirikku sekilas. Sedangkan aku hanya menghindar.

"Cieee...,siap-"

"Eh, gue cabut dulu ya. Ada urusan,"pamitku buru buru pergi.

Aku akan berterima kasih bila Karel mengurangi bebanku dengan memberitahu mereka. Namun, aku tak berniat menyaksikannya.

*****

"Seriusan lo Sal?"tanya Steffi tak percaya.

"Perlu gue bawain surat labnya? Baru lo percaya?"balasku sarkastik.

Rasanya sangat menjengkelkan saat ceritamu tak dipercaya. Dan inilah yang terjadi.

"Oh, God. My poor Salsha,"isak Steffi sambil memelukku erat.

Melankolis. Seperti biasa.

Sebenarnya, nggak ada yang bisa di kasihanin dari gue. Toh, meskipun gue nggak sakit, tetep bakalan mati. Hanya masalah waktu. Batinku mencoba tidak ikut sedih.

"So...what's your plan now?"tanya Iqbaal yang sedari tadi diam. Aku tak pernah bisa membaca pikirannya. Bahkan aku tak tahu dia percaya atau tidak dengan ceritaku.

Namun di saat seperti ini, aku cukup lega. Karena sejujurnya, yang kubutuhkan sekarang bukanlah airmata, pelukan, maupun perhatian.

"Gue udah ada rencana sih. Dan jujur aja, di rencana gue nggak ada yang namanya pengobatan. Gue nggak berniat memerangi penyakit ini. Karena hasilnya bakal sama aja."

Steffi terbelalak mendengar penuturanku. Ia menatapku dengan tatapan 'are-you-serious'. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

"Sal. Sejak kapan lo jadi pengecut kayak gini? Belum juga nyoba udah nyerah,"tukas Iqbaal dengan nada datar.

Sontak aku menunduk. Bagi yang tak mengenal Iqbaal, mungkin itu biasa. Namun bagiku yang sudah mengenalnya sejak kecil, ia sedang marah.

"Baal! Jahat banget sih,"omel Steffi sambil menginjak kaki Iqbaal.

"Habisnya, dia greget banget tau nggak. Skenario lo kacangan banget. Drama abis,"ucap Iqbaal.

Plak

Aku menggertakkan gigiku menahan amarah. Di saat seperti ini dia malah mengira aku bercanda. Kukepalkan tanganku yang sempat melayang di pipi Iqbaal.

"Denger ya, Mister-tahu-segalanya. Gue nggak kesenengen pas tahu nyawa gue bakal melayang dalam 1 tahun bahkan kurang dari itu! Gue nggak nangis bukan berarti gue nggak sedih! Iqbaal bego!"

Iqbaal balas menatapku dengan tatapan tajamnya, "Lo kira gue sebego itu, nggak bisa bedain kapan lo bercanda kapan serius?!"

Aku menunduk, membiarkan butiran butiran bening itu berjatuhan. Untunglah kami bertiga di taman belakang kampus yang sepi.

"Kenapa, Baal? Kenapa dari dulu lo selalu aja jahat sih? Ucapan lo tuh nyakitin banget tau nggak?"lirihku sambil terisak. Aku bisa merasakan elusan tangan Steffi di bahuku.

"Kenapa? Lo nanya kenapa? Karena dari dulu lo selalu minta disakitin dulu, Sal. Kenapa sih, nggak bisa jujur aja? Kenapa coba lo harus selalu gue pancing baru lo bisa jujur sama perasaan lo sendiri.

Kalau tadi gue nggak bikin lo kesel, lo bakalan tetep bilang I'm fine ke diri lo sendiri kan? Padahal kenyataannya lo sama sekali nggak fine. Lo bilang gue jahat? Lo lebih jahat tahu, Sal! Gue sahabat lo dari kita masih ingusan, tapi lo nggak pernah bisa jujur sama gue. Lo kira gue nggak sedih?!"

Aku terduduk di atas tanah mendengar penuturan panjang lebar dari Iqbaal. Air mataku sudah mengalir deras membasahi cardiganku.

Kepalaku mendongak saat melihat ransel hitam di depanku terangkat. Aku menatap ke arah Iqbaal yang tengah membereskan barang barangnya.

"Mau kemana, Baal?"cegah Steffi sambil menahan lengan Iqbaal yang menarik lengannya.

Aku ingin menahan, namun tubuhku kaku. Iqbaal menatapku dengan tatapan marahnya.

"Capek nggak dianggep terus. Lo kuat kan? kalau gitu hadepin aja sendiri. Good luck,"sinis Iqbaal sambil menarik tangan Steffi.

Aku menatap Iqbaal dengan linangan air mata. Aku menatap Steffi yang terus meronta di genggaman Iqbaal. Meski perlahan lahan, bayangan mereka berdua tertutup air mata.

Iqbaal benar.

Aku sama sekali nggak sekuat itu. Aku nggak sehebat itu. Aku nggak seoptimis itu.

Dan aku...

Butuh teman temanku.

.

.

.

.

.

Wohoooo

Part ini kok agak nyesek ya.

Btw, jujur aja nih ye.

Gue HAMPIR nangis.

H-A-M-P-I-R.

Oke?

Bye!

Salam Tentakel!

-Viannaz

P.s: Well, gue tahu akhir" ini jumlah pembaca gue turun drastis. Yes, I noticed that. Bukannya gue ngelarangin kalian pergi dari lapak gue sih. Gue juga sadar, gue itu labil, ngaret, molor, ngegantung, PHP dan banyak lagi salahnya. Well. . . .

Can I have a second chance? Forgive me, readers.

Lafyuuu!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro