Bagian 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Audisi Voice tiga tinggal beberapa hari lagi dan semakin mendekati hari H, Aleta semakin gugup. Dia bahkan tidak bisa berkonsentrasi belajar, membuatnya yang selama ini sudah mulai menguasai materi pelajaran matematika kembali blank. Kala yang mengetahui apa yang sedang dipikirkan Aleta selalu meminta anak itu fokus. Seperti hari ini, mereka berdua berada di lantai atas rumah Aleta untuk kursus matematika, namun gadis itu tidak bisa fokus pada apa yang dijelaskan oleh Kala. "Kamu nggak bisa gini, lho, Al," tegur Kala.

Aleta mengambuskan napas frustrasi. "Aku gugup banget, Bu." Jujur dia juga merasa bersalah pada Kala yang harus menjelaskan materi berulang kali namun dia tidak bisa mengerti. "Sekali lagi ya, Bu."

Kini giliran Kala yang menghela napas. Dia mengambil gelas berisi air putih dan meneguknya hingga setengah, kemudian dia memandang wajah Aleta dan berkata, "Kayaknya kamu beneran nggak bisa konsen hari ini." Kala membuka ponselnya dan menaruhnya di depan Aleta. "Itu pesan yang selalu dikirimkan oleh kakak kamu, setiap kita belajar. Setelah Ibu pulang dari sini, Mas Zyan selalu nanya tentang kamu. Kamu tahu Ibu nggak mungkin membohongi dia tentang hari ini."

Aleta tertunduk, dia merasa bersalah. "Maaf, Bu." Aleta memandang Kala dengan tatapan memohon. "Tapi plisss, jangan kasih tahu Mas Zyan ya, Bu," katanya sambil menangkupkan tangan, memohon pada Kala.

"Terus Ibu harus jawab apa?"

"Aku juga bingung. Maunya aku bisa konsentrasi, tapi audisinya dua hari lagi. Aku beneran gugup."

Kala menutup buku pelajarannya, dan membuka kacamata minusnya. "Waktu lomba padus kamu segugup ini juga?"

Aleta menggeleng. "Nggak. Aku juga nggak tahu kenapa sekarang gugup banget. Mungkin karena aku merasa ini gerbang untuk aku bisa meraih mimpiku selama ini."

Kala mengerti apa yang berkecamuk di dalam diri Aleta. Sebenarnya dia ingin mengingatkan untuk jangan terlalu berekspektasi, namun takut hal itu akan menyakiti hati Aleta. "Ya udahlah, untuk hari ini kita sampai di sini dulu."

"Terus nanti Ibu bilang apa ke Mas Zyan?"

Kala mengedikkan bahu. "Ya jawab jujur."

"Ibuuu..." rengeknya.

Kala tersenyum. "Cuma untuk kali ini ya, Al. Ibu udah merasa bersalah karena kasih saran untuk masalah audisi. Ditambah ini..."

"Aku makasih banget sama Ibu, nggak banyak yang berada dipihak aku, Bu. Semuanya nggak suka aku jadi penyanyi. Jadi tolong ya, Bu. Kali ini aja."

Kala mengehela napas kembali. "Kenapa kamu nggak kayak anak-anak sekarang, unggah video nyanyi ke Youtube?" Kala mengalihkan pembicaraan mereka.

"Udah pernah, dan ketahuan sama Mas Zyan, terus dia marah besar." Aleta ingat sekali bagaimana reaksi Zyan waktu dia mengunggah videonya bernyanyi, padahal saat itu penontonnya sudah banyak.

"Hm... sayang banget, ya. Padahal sebenernya jalan kamu untuk jadi penyanyi bisa lebih mudah dengan cara itu. Ibu juga yakin kalau banyak peserta-peserta lain yang punya channel Youtube gitu."

Apa yang dikatakan Kala memang benar, untuk menjadi terkenal sekarang jauh lebih mudah, sudah banyak media sosial yang bisa digunakannya. "Di Instagram gimana?" tanya Kala.

"Banyak video nyanyiku di sana, tapi nggak aku private, karena lagi-lagi aku takut ketahuan Mas Zyan." Dan Papa, batinnya.

"Ibu jadi sangsi kalau Mas Zyan bakal kasih kamu izin setelah tahu ini."

Ucapan Kala semakin membuat Aleta semakin sedih. Menyadari apa yang telah diungkapkannya itu, dia jadi merasa bersalah. Kala menarik tangan Aleta dan menggenggamnya. "Tapi nggak papa, kan dicoba dulu, siapa tahu tebakan kita salah."

Aleta kembali memandangnya. "Iya sih, aku juga berharap begitu." Aleta mengeluarkan ponselnya. "UsernameIG Ibu apa? Sini aku follow."

Kala tertawa lalu menyebutkan nama Instagram-nya. Aleta langsung mengikuti akun itu. "Terima ya, Bu. Di follback, juga. hehe..."

"Iya, iya." Kala membuka ponselnya dan menerima permintaan Aleta kemudian balik mengikutinya. Aleta langsung melihat-lihat apa yang di posting di Instagram ibu gurunya itu. "Wah, Ibu sering jalan-jalan, ya?" kata Aleta ketika melihat foto-foto Kala yang lebih banyak di ambil di luar Jakarta.

"Nggak kok. Paling juga ke Bandung, Jogja. Enaknya jadi guru kan anak muridnya libur, gurunya juga libur."

"Iya sih, eh, ini pacar Ibu?" tanya Aleta saat melihat foto Kala duduk berdampingan bersama Satria, di foto itu keduanya terlihat tersenyum lebar. Kala ingat foto itu diambil saat lebaran tahun lalu, ketika keduanya berada di Jambi. "Hm."

"Yah, Ibu ternyata udah punya pacar. Padahal, aku mau jodohin sama Mas Zyan."

"Hah?" Kala terkejut mendengar ucapan Aleta itu. Anak itu tersenyum lebar. "Aku pikir kayaknya seru kalau punya kakak ipar yang bisa nyambung ngobrol sama aku. Terus aku kepikiran sama Ibu."

"Kamu tuh ada-ada aja."

"Ibu lagi ada masalah sama pacarnya, ya?"

"Eh?"

Lagi-lagi Aleta nyengir. "Hehe... aku becanda, kok. Aku nggak pernah tahu kisah cinta Mas Zyan, tapi aku takut aja kalau tiba-tiba Mas Zyan pulang terus bawa cewek yang ternyata mirip sama dia."

Kala mengerutkan kening. "Mirip gimana?"

"Ya Ibu udah lihat kan, gimana masku?"

Tentu saja Kala sudah melihat kakaknya yang tampan, cool dan misterius itu. Kala malah tidak percaya kalau Zyan belum punya pasangan, dengan semua kesempurnaannya.

"Mas Zyan itu kaku, dingin, suka ngomelin aku. Banyak aturan juga. Kalau aku dapet kakak ipar yang sama kayak dia sifatnya. Aku nggak yakin bisa tinggal bareng lagi."

"Terus kamu yakin kalau Ibu jadi kakak ipar kamu, terus Ibu bisa baik dan nggak ngomelin kamu? Gimana kalau nggak?" tantang Kala. Karena anak ini sudah mengajaknya untuk membahas hal yang mustahil terjadi, sekalian saja dia menimpali.

"Seenggaknya kita punya hobi yang sama, punya idola yang sama juga. Jadi aku nggak begitu tertekan. Ibu pernah nggak sih ngerasa tertekan? Kayak dipaksa melakukan apa yang nggak kita mau?"

Kala tidak menjawab pertanyaan itu. Tentu saja dia pernah, bahkan sampai sekarang merasakan apa yang namanya tertekan dan dipaksa untuk menjalani apa yang sebenarnya tidak pernah ingin dia lakukan. "Udahlah, Ibu mau pulang dulu. Nanti keburu malam."

"Yah, padahal lagi seru cerita. Tapi ya udah deh, makasih ya, Bu. Makasih udah mau bohong buat aku."

Kala menyipitkan matanya. "Siapa bilang Ibu bakal bohong?"

"Ibuuuuu..."

*****

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Aleta menunggu dengan harap-harap cemas di depan ruang audisi, dia ke sini bersama Laluna, namun tantenya itu tidak bisa masuk dan harus menunggu di luar. Mereka memberitahu Zyan kalau hari ini keduanya ingin menghabiskan waktu dengan berbelanja di mall, dan untungnya kakaknya itu langsung mengizinkan. Semalam Aleta tidak bisa tidur, mungkin perpaduan excited dan rasa gugup.

Aleta mengembuskan napas berulang kali, sambil melihat nomor peserta yang tertempel di dadanya. Nomor 59. Semoga nomor ini menjadi angka keberuntungannya. Aleta mengedarkan pandangan ke sekeliling, satu persatu, para peserta masuk dan keluar dari ruang audisi, ada yang wajahnya dipenuhi senyuman karena berhasil lolos ke babak selanjutnya, ada juga yang berwajah sendu karena gagal.

Menurut info dari Mia, audisi pertama ini para juri bukan dari kalangan artis. Ini benar-benar penyaringan awal, katanya setelah lolos tahap awal ini, mereka baru bisa bertemu dengan juri artis, walaupun perjalannya masih panjang untuk bisa sampai tampil di televisi.

"Nomor Lima puluh sembilan."

Aleta langsung berdiri saat nomornya dipanggil, dia tidak berhenti menghela napas dan berdoa hingga masuk ke ruangan audisi. Ternyata di dalam dia masih harus menunggu lagi, karena para juri masih menilai peserta yang lain. Aleta melihat salah satu juri mengangkat kartu kuning, lalu panitia menyatakan kalau peserta itu tidak lolos seleksi. Aleta semakin gugup, bagaimana kalau dia gugur?

"Silakan," ucap salah satu panitia acara. Aleta langsung berjalan dan berdiri di depan para juri, ada tiga juri dan ketiganya memang bukan artis. Salah satu dari mereka mengisyaratkan Aleta untuk menyanyi. Aleta berdehem beberapa kali lalu mulai menyanyi.

Luruh
Seluruh harapku
Luruh
Semua janjimu
Ketika jalanku dan jalanmu
Tak bertemu

Saat Aleta mulai menyanyikan lagu luruh tersebut, para juri berpandangan. Kemudian meraka saling mengangguk, kemudian salah satunya meminta Aleta berhenti menyanyi. Aleta gugup, kaki dan tangannya gemetar, apa dia tidak lolos? Ketiga juri itu tersenyum. "Silakan tanya jadwal audisi selanjutnya ke panitia."

Aleta tidak bisa berkata-kata, namun dia langsung menguasai diri. "Makasih Mas, Mbak." Aleta langsung digiring oleh salah satu panitia. "Audisi selanjutnya, dua minggu lagi, di sini juga, ya," ucap panitia tersebut sambil menuliskan sesuatu di kertas yang tertempel pada papan yang sedari tadi dibawanya. Aleta benar-benar bahagia, dia lolos seleksi awal. Artinya langkahnya untuk menjadi penyanyi seperti mamanya semakin dekat.

******  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro