Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng




Jangan cintai aku

Apa adanya

Jangan....

Tuntutlah sesuatu

Biar kita jalan ke depan

            Kala menyumpal telingnya dengan headset, kemudian ikut bersenandung mengikuti suara penyanyi idolanya itu. Pagi ini seperti biasa dia berada di atas ojek yang membawanya ke sekolah tempatnya mengajar. Hari Senin dan kemacetan sudah menjadi makanan sehari-harinya sejak tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang lalu, Kala memutuskan untuk melamar menjadi guru matematika di salah satu sekolah swasta ternama di Jakarta. Tanpa ekspektasi apapun, dia takut kalau ternyata ekspektasinya tidak sesuai dengan realita. Tetapi ternyata dia diterima, sesuatu yang sangat membuat Kala bahagia sekaligus bersyukur bisa mengajar di sekolah ini.

            Sejak lulus kuliah, Kala memang sempat mengajar di beberapa sekolah, dia juga mengajar di bimbingan belajar. Namun semenjak diterima di sekolah ini, Kala bisa sedikit bernapas, penghasilannya cukup untuk membayar kosan dan makannya. Tidak dimungkiri kalau biaya hidup di Jakarta lebih tinggi dari kota asalnya. Tetapi dia belum ingin kembali ke Jambi. Setidaknya sampai dia diterima menjadi seorang PNS. Kala menghela napas mengingat itu. Kalau memang dia tidak ingin kembali sebelum diterima menjadi pegawai negeri, sepertinya dia akan selamanya hidup di sini, pikirnya kemudian.

            Ibukota memang kejam, tetapi terbukti sejak kuliah dan bekerja di ibukota, Kala merasa lebih nyaman di kota ini daripada kota asalnya. Bukan karena dia tidak menyukai Jambi, tentu dia sangat mencintai tanah kelahirannya itu. Keluarganya lah yang membuat Kala malas untuk pulang, kecuali lebaran dan acara-acara penting lainnya. Rasanya dia lebih kuat menahan lapar di tanggal tua di kota ini, daripada makan enak dan kenyang tetapi ditekan dari segala sisi oleh keluarga tentang nasibnya yang tidak ada kejelasan.

            Kalau perempuan-perempuan seusianya dituntut untuk menikah, maka Kala tidak mengalami itu. Mamanya malah selalu mengatakan seperti ini. "Kamu nikahnya nanti aja, kalau udah keterima PNS, Satria mau nunggu, kan?"

            Tentu saja Satria mau menunggunya. Lebih tepatnya itu juga tuntutan dari Satria dan keluarganya. "Aku akan dukung kamu supaya bisa lulus. Nanti setelah lulus kita baru nikah, ya," ucap Satria beberapa waktu lalu. Kala sendiri bingung kenapa untuk keluarganya dan keluarga Satria hal itu penting sekali.

            "Lo kenapa nggak putus aja sama si Satria ini?"  Ucapan Ayumi, sahabatnya yang juga rekan kerjanya itu kembali berputar di kepala Kala. "Iya, kenapa nggak putus aja?" bisik suara hatinya.

            Kala bukannya tidak pernah menyuarakan hal ini pada Satria. Menurutnya, seharusnya pasangan itu menerima kekurangan pasangannya, bukan malah menekannya seperti ini. Bagaimana kalau dia memang tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang pegawai negeri? Apa mereka tidak akan menikah? Apa Satria akan menikahi perempuan lain?

Jambi 2018...

            Kala mengembuskan napas berulang kali. Dia gugup berada di tempat ini. Terakhir kali dia bertemu dengan keluarga besar Satria, ada kejadian yang tidak mengenakan yang terjadi padanya. Kala berharap pertemuannya kali ini lancar-lancar saja. Hari ini kakak perempuan Satria bertunangan. Kala sengaja datang dari Jakarta khusus untuk acara pernikahan Sabrina, karena sejak berpacaran dengan Satria, Sabrina adalah orang yang paling banyak membantu Kala mengenal Satria dan memberikan masukan-masukan untuk hubungan mereka.

            Sabrina sosok perempuan baik yang selalu objektif kalau menurut Kala. Walaupun Satria adiknya, Sabrina selalu memberi pendapat yang tidak memihak. Itu yang membuat Kala dekat dan menyayangi Sabrina.

            Kala duduk di kursi tamu bersama dengan keluarga Satria yang lain. Satria sendiri sedang sibuk berbicara dengan omnya di depan sana. "Pacar Satria, ya?" Kala menoleh saat seorang ibu menyapanya. "Iya, Bu."

            "Saya Uwaknya, Satria."      

            Kala langsung menyalami ibu itu. Kalau melihat wajahnya, sepertinya ini keluarga dari mama Satria. "Kerja di mana?"

            Entah kenapa pertanyaan ini membuat Kala gugup. Bukannya tidak bangga dengan pekerjaannya sekarang, tetapi Kala sepertinya tahu pembicaraan ini akan berujung ke mana. "Saya guru, Wak. Ngajar di Jakarta."

            "Oh. PNS?"

            Kala menahan rasa untuk meringis mendengar pertanyaan itu. "Belum, Wak."

            "Oh, belum. Kenapa ngajarnya jauh banget?"

            "Rezekinya dapet di sana, Wak," jawab Kala.

            "Oh, kirain mau deketin Satria sampe ngajar di Jakarta. Nggak sayang apa? Biaya hidup di sana kan mahal. Apalagi belum jadi PNS."

            Kala menghela napas. Dia baru ingin menjawab pertanyaan ibu di sampingnya ini ketika ibu ini kembali bicara. "Nggak papa ngajar aja di sini, kalau jodoh, nggak ke mana. Cowok risih kalau diikutin gitu."

            "Bukan..." ucapan Kala terputus karena kehadiran Satria. "Kal, dipanggil Mbak Sabrina, ke sana yuk," ajaknya. Kala mengembuskan napas pelan, ada baiknya dia memang menjauh dari sini.

******

Oh... oh... Bunda ada dan tiada

Dirimu kan selalu...

Ada di dalam hatiku...

            Kala terpesona melihat penampilan dari paduan suara yang sedang berlatih di ruangan ini. Dia memang tidak ada jadwal mengajar di jam ini. Makanya Kala menyempatkan diri untuk melihat Padus Harapan Bangsa berlatih. Saat sekolah dulu Kala sangat ingin mengikuti ekstrakulikuler paduan suara. Namun, ibunya lebih mengarahkannya untuk ikut paskribraka atau bulutangkis.

            Karena Kala tidak bisa menantang keinginan ibunya, akhrinya dia memilih ekskul bulutangkis. Kalau dipikir-pikir selama ini Kala selalu mengikuti kemauan orangtuanya. Kala sadar dia berbeda, prestasinya kalah dengan kedua kakaknya yang selalu juara kelas dan juara umum. Sedangkan Kala? Dia memang tidak pernah keluar dari sepuluh besar, namun menurut mama dan papanya, kalau bukan juara satu, tidak ada yang bisa dibanggakan.

            Satu-satunya cara menyenangkan orangtuanya adalah dengan mengikuti kemauan mereka. Walau keinginan mamanya agar dia kembali ke Jambi belum bisa Kala penuhi. Dia takut pulang. Takut gila karena banyaknya tekanan.

            Kala memperhatikan salah satu anggota padus yang menurut Kala memiliki suara yang khas. Namanya Aleta, gadis itu memiliki suara sopran yang khas. Sanggup menyanyi dengan suara-suara bernada tinggi, mengingatkan Kala pada salah satu penyanyi perempuan favoritnya, Isyana Sarasvati. Aleta juga sering diminta menyanyi solo saat sekolah mereka menggelar acara. Kala tidak mengajar kelas Aleta, tetapi sejak anak itu masuk di Harapan Bangsa dan menunjukkan kebolehannya dalam bidang musik, Kala sangat menyukainya. Aleta juga gadis yang cantik dan ceria, Kala sering mendengar murid laki-lakinya menyusun cara agar bisa menarik perhatian Aleta. Tetapi sepertinya Aleta tidak tertarik untuk hubungan lawan jenis. Kala sangat salut akan hal itu, karena anak-anak seusianya ini biasanya sedang dalam masa penasaran soal cinta. "Lah, dia di sini. Kirain ke mana." Ayumi menepuk pundak Kala.

            "Iya, lagi lihatin anak padus latihan. Aduh suara mereka bagus-bagus banget, sih."

            "Suara lo juga bagus, kok," puji Ayumi.

            Kala melirik temannya itu. "Ngejek ya, lo?"

            Ayumi tertawa. Suara Kala bisa dikatakan lumayan, masih enak didengar. Keduanya diam dan mendengarkan anak-anak padus kembali menyanyikan lagu Bunda. "Gila ya, suara mereka bagus banget. Gue ngomong aja fals," keluh Ayumi.

            "Untung sadar."

            Ayumi mengerucutkan bibirnya. "Tapi si Aleta ini suaranya khas banget, lho. Kalau padus gini nggak kentara, tapi kalau nyanyi solo kelihatan banget bakatnya. Kenapa dia nggak ikut audisi jadi penyanyi gitu, ya?"

            Kala mengangkat bahu. "Mungkin ini cuma hobi aja. Dia mau ngejar yang lain."

            "Menurut gue sih, dia mau jadi penyanyi. Dia ini anaknya nggak neko-neko sih, tahu nggak dulu waktu kelas sepuluh ditembak sama ketua Osis, eh malah ditolak sama dia."

            Kala menoleh pada Ayumi. "Tahu aja ya lo gosip begituan."

            "Tahu dong, gue kan guru gaul," ucapnya bangga. "Tapi maksud gue, Aleta ini emang beda sama anak seusianya yang lagi puber dan pasti pengin dapet perhatian dari lawan jenis," lanjutnya

            "Bagus dong. Gue suka anak yang kayak gitu."

            Ayumi tiba-tiba teringat sesuatu. "Eh, lo dipanggil kepala sekolah tadi."

            Kala langsung melebarkan matanya. "Kenapa lo baru ngomong?!"

            "Ya gue lupa."

            "Astaga. Ya udah, gue ke kantor beliau dulu," kata Kala dan bergegas pergi dari ruangan itu.

*****


Sampai ketemu hari Kamis.

Happy reading....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro