Terlambat - 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bertemu kembali denganmu, adalah harapan terbesarku.
__________


"Udah bilang Lek To, kalau besok mau ke sana, Mbel?" Nia menggeleng. Kunyahan tahu tek menghambat suaranya dikeluarkan.

"Bilang dulu. Paklek sering jadi sopir ziarah wali. Terlanjur ke sana, dia nggak ada." Nia meletakkan garpu di piring yang ia pegangi pantatnya untuk menyangga. "Nggak apa-apa, Bo. Kalau nggak ketemu sama Paklek To, kan masih ada Bulek Ti. Sekalian lepas kangen." Alif manggut-manggut. Benar juga. Apalagi selama ini ia belum pernah bertandang ke Nganjuk sejak kepindahannya ke Surabaya. Yang lebih sering, keluarga di Nganjuk dan Kediri yang bertandang ke rumah Nia. Maklum, orangtua Nia memang yang dituakan oleh saudara-saudara lain.

"Perlu kutemani nggak? Kamu kan, buta arah di sini," tawar Alif. "Boleh. Emang kamu nggak ngajar besok, Bo?" Alif menggeleng.

"Nggak lah. Kan, aku nganter kamu pulang sekolah. Biar nggak ganggu."Nia mendengus. Alif seorang guru komputer di SMA dekat rumahnya. Sebenarnya ia ditawari kerja sebagai programmer di salah satu perusahaan elektronik di Surabaya. Karena tak tega meninggalkan ibunya di rumah sendirian lagi, ia pun memutuskan pulang dan menjadi guru komputer dekat rumahnya.

"Tapi aku nganterin kamu aja, Mbel. Minggu ada arisan sama tutor binaanku." Nia melirik sekilas. Matanya melotot, kemudian ia terbahak.

"Hahaha, kamu ikut arisan? Kayak emak-emak aja sih, Bo. Gendermu nggak ketuker sama anak kos di rumah, kan? Arisan? Duh Gusti ... aku ngakak dengernya, Bo." Nia tak berhenti tertawa hingga sebuah tarikan pada rambutnya, membuat gadis itu berhenti. Meringis karena sakit, ia menginjak kaki Alif. Keduanya sama-sama meringis kesakitan.

"Kalau ketawa lihat tempat, Mbel. Dilihatin banyak orang, tuh." Nia mengedarkan pandangan. Seketika ia sadar ada beberapa pasang mata yang menatapnya kesal. Tentu saja karena suaranya mengusik beberapa pasangan yang sedang menikmati kuliner di pinggir jalan seperti dirinya.

"Habisnya aku nggak nyangka, Bo. Kamu? Arisan? Itu kayak buah pisang berbuah semangka. Mustahil, kecuali ada keajaiban dari Yang Maha Esa." Alif bisa saja melempar gadis yang dipanggilnya Umbel itu ke luar angkasa biar digoreng kawanan alien.  Umbel, nama panggilan Nia dari Alif karena saat kecil Nia sering ingusan. Bahkan, ingusnya melebar hampir ke seluruh wajah, saat diusap kasar dengan kerah kaus atau punggung tangannya.

****

"Oh ... ini rumahnya? Enak, nyaman juga," puji Nia. Pandangannya menelusuri setiap sudut rumah kontrakan yang dijadikan Alif tempat usaha bimbingan belajar. Selain menjadi guru komputer, Alif mendirikan sebuah bimbingan belajar dengan sistem privat datang ke rumah. Para tutor, sebagian besar adalah mahasiswa di kota ini yang terlebih dulu menjalani tes materi pelajaran SD hingga SMA. Setiap tutor akan datang ke rumah anak didik seminggu tiga sampai empat kali tatap muka. Setiap awal bulan, tepatnya hari minggu akan diadakan acar kumpul sesama tutor, dengan agenda evaluasi bulanan serta pengambilan gaji. Sekaligus arisan kecil-kecilan sekedar untuk merekatkan hubungan antar tutor.

"Hem. Murah juga. Mungkin karena letaknya agak di dalam, dekat sawah juga." Nia mengakui itu. Memang, rumah kontrakan yang dijadikan kantor memang berada di dalam sebuah gang. Masuk ke dalam. Mungkin pada awalnya akan kesulitan mencari. Namun, karena ada kolam pemancingan keluarga yang baru dibuka di dekat sini, rute semakin mudah diingat.

"Kok kamu keren sih, Bo. Nggak nyangka, kebo yang sukanya tidur dari pagi sampai dhuhur bisa bikin ide kayak gini."

"Siapa dulu pawangnya, Umbel gitu loh!" Keduanya terbahak jika menyangkut nama panggilan masing-masing. Kebo, adalah nama yang Nia sematkan pada Alif karena laki-laki itu gampang sekali tidur. Bahkan saat sekolah dulu, Alif sering terlambat. Apalagi kalau kebiasaan bangun siangnya kumat. Untung saat SMP sudah berkurang.

"Udah. Ayo ikut aku ke ruko depan. Aku mau ambil foto copy-an absen. Besok nganter dirimu, nggak sempat ambil ntar. Ayo!" Alif menyeret lengan Nia yang masih duduk kekenyangan di atas karpet. Tahu tek tadi benar-benar memenuhi lambungnya.

Meski menggerutu, Nia tetap saja menurut. Sudah hampir jam sembilan malam, dan Alif khawatir kalau tempat ia menggandakan absen sudah tutup. Sejak selesai magrib tadi, Alif mengajak Nia berkeliling ke alun-alun.

Sebuah motor matic berwarna hitam membawa Alif dan Nia menuju rute jalan pulang. Ruko yang dimaksud Alif sedang sepi. Bukan, lebih tepatnya hampir tutup. Alif bergegas mematikan mesin dan menurunkan standar. Nia yang berencana duduk saja di atas jok motor, memutuskan membeli usus goreng. Perutnya memang kenyang, tapi untuk camilan ringan masih muat lah.

"Kok malem banget, Mas?" Alif tersenyum sembari mengecek kembali jumlah kertas di tangannya. "Iya. Tadi sekalian keluar sama adikku. Daripada besok lupa ambil, mending sekarang aja. Untung belum tutup semua." Alif kembali berkonsentrasi dengan kertas-kertas absen.

"Komputernya yang kemarin, jadi kuambil ya, Mas. Saya setuju harganya. Ima juga bilang kualitasnya masih bagus." Alif memasukkan lembaran absen yang sudah digandakan dan dijilid ke dalam kantong plastik putih.

"Wah, oke kalau begitu. Kapan bisa diambil? Kalau besok aku ke Nganjuk sampai malam. Minggu sore aja bagaimana, Mas?" Damar mengangguk setuju dengan acungan jempol kanannya.

"Bo, udah belum? Aku mules nih, ayo pulang," rengek Nia menarik-narik jaket Alif.

"Ya udah, nanti telpon aja kalau mau mampir. Aku duluan ya, Damar."

Cekalan tangan Nia terlepas. Matanya berbelok menuju sosok yang barusan berinteraksi dengan Alif. Jantung Nia serasa berdetak dengan girang. Tatapannya terarah pada laki-laki yang tersenyum mengiringi langkah Alif, yang berjalan menuju motornya.

Wajah itu masih sama, Nia ingat betul.

Akankah janjinya yang dulu ia ucapkan pada Nia, masih diingat lelaki itu?

______________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro