💌۱

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pondok Pesantren Darussalam Solo.

Tidak betah. Dua kata yang sampai kini tidak pernah hilang dalam benak Khairin. Di saat yang lainnya sedang sibuk mengantre untuk mengambil makanan di dapur, Khairin justru melenggang pergi jauh dari sana. Perutnya saat ini tidak terasa lapar sama sekali.

Kakinya terus melangkah untuk menghindari keramaian yang ada. Sampai tiba di ujung halaman pesantren, Khairin menatap gerbang besi tinggi yang ada di depannya. Gembok dari pintu gerbang ini begitu besar. Mustahil jika Khairin bisa membukanya. Rasanya ia ingin mempunyai kekuatan menembus tembok. Ketidakbetahan Khairin di pesantren ini sudah tidak bisa dibendung. Bertahan kurang lebih dari enam bulan cukup membuatnya tersiksa. Khairin ingin hidup normal. Ia ingin kembali saja ke sekolah biasa. Bisa bebas pulang pergi ke rumah. Bukan seperti sekarang ini.

Ketika Khairin hendak mencari jalan untuk keluar, seorang perempuan datang memanggil namanya dengan cukup keras.

"Khairin!?" Itu suara teriakan dari Yasmin, ustazah yang bertugas menjaga keamanan santri perempuan.

Khairin panik melihat Yasmin berlari, yang semakin dekat dengannya. Ingin menghindar tetapi sudah tertangkap basah. Percuma.

"Astaghfirullah. Ustazah kenapa manggil nama saya sambil teriak-teriak, gitu?" tanya Khairin, sedikit mengalihkan supaya tidak dituduh yang lain.

Beberapa kali gadis itu berusaha untuk kabur dari pesantren, tetapi selalu digagalkan oleh ustazah penjaga keamanan yang sangat ketat. Khairin curiga, jika mereka mempuyai CCTV sendiri untuk mengawasinya. Ah, tidak heran juga. Tidak ada yang mustahil bagi pesantren sebesar ini. Terbuktikan oleh dirinya yang sudah berusaha kabur ke-empat kalinya ini, tetapi selalu ketahuan. Hebat penjaga keamanan di pesantren ini, 'kan?

"Khairin, kamu mau mencoba kabur lagi, 'kan?" pekik Yasmin, matanya nyalang menatap tajam Khairin.

Seram. Bahkan, ini lebih seram dari film horor terakhir yang Khairin tonton di rumah pada waktu liburan lalu.

"Eh ... e-enggak kok, Ust," sanggah Khairin, berbohong. "Ustazah mah nuduh terus, nih."

"Jangan bohongi saya, Khairin!"

"Mana mungkin saya bohong?" elak Khairin.

"Kamu pikir saya akan percaya begitu saja? Mari ikut saya!"

Secara terpaksa Yasmin menarik lengan Khairin. Mau tidak mau Khairin menurut saja. Toh, sudah ketahuan juga. Sudah terlalu banyak masalah yang dilakukan Khairin, membuat semua ustazah kewalahan mengatasinya. Hari ini Khairin harus dihukum supaya kapok dan tidak mengulangi lagi kesalahannya. Itu pun kalau berhasil.

Khairin Talita Abbasy, gadis berumur 15 tahun yang baru merasakan bagaimana kerasnya kehidupan di pesantren. Jadi, merupakan suatu kewajaran jika ia masih belum bisa beradaptasi penuh dengan lingkungan di sini.

Sampai di ruang BK. Khairin disuruh duduk di depan meja guru BK. Yasmin melaporkan terlebih dahulu apa yang terjadi pada Khairin. Terlihat guru BK itu menggelengkan kepala pelan.

Guru BK yang akrab dipanggil Dina itu duduk di dekat Khairin. "Kenapa lagi, Khairin?"

"Tadi itu saya cuma mau cari udara di luar aja, Ust. Kebetulan udara segarnya ada di dekat gerbang. Jadi, yaudah saya ke situ," terang Khairin dengan kebohongan tentunya.

"Tapi Ustazah Yasmin bilang kalo kamu mau kabur. Benar begitu?"

Khairin mengelak, "Enggak, Ustazah."

"Khairin, jangan bohong!"

"Ish! Tapi beneran, Ust."

"Empat kali dalam enam bulan ini kamu berusaha kabur, lho. Bahkan, kamu selalu mencari alasan lain untuk menjawab. Seperti sekarang ini."

Kalau sudah begini, Khairin tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Lebih baik pasrah saja.

"Ustazah sudah tidak bisa memberi toleransi. Kamu harus dihukum," putus Dina dengan tegas. "Yasmin, bawa Khairin ke lapangan. Hukum dia berjemur sampai tiba waktu salat Asar," lanjutnya dengan penuh penekanan.

"Hah?!"

"Ayo, Khairin!"

Belum sempat protes, Khairin sudah digeret terlebih dahulu dengan Yasmin. Membuat Khairin sangat jengkel. Padahal kaburnya saja gagal, mengapa masih dihukum. Sungguh tidak adil, 'kan?

Apalagi siang begini lapangan panasnya sangat menyengat. Belum apa-apa Khairin sudah mengeluarkan banyak keringat yang bercucuran di dahi.

"Kamu pasti udah mendengar sendiri kata Ustazah Dina. Berdiri di sini sampai waktu salat Asar tiba," tegas Yasmin sambil menunjuk tempat Khairin berdiri. "Jangan sampai saya lihat kamu kabur lagi atau ... hukuman akan lebih berat." Ini lebih terdengar seperti ancaman di telinga Khairin. Mengerikan.

Terpaksa Khairin menurut dan menjalani hukumannya sampai waktu salat ashar tiba. Tidak lupa ciri khas santri yang dihukum di pesantren ini selalu memakai kalung papan bertuliskan ... Saya berusaha kabur dari pesantren.

Malu.

💌💌💌

Bagaimanakah kehidupan di pesantren?

Satu pertanyaan yang seringkali muncul sebelum Khairin tinggal di pesantren.

Awalnya Khairin sering menolak ketika disuruh untuk sekolah di pesantren. Mendengar ocehan dari kedua orang tua yang tak kunjung berakhir, terpaksa ia harus mau mengikutinya. Gadis itu juga sadar, selama 12 tahun sekolah di tempat biasa tidak pernah ada perubahan sama sekali dalam hidupnya. Mungkin dengan cara memenuhi keinginan kedua orang tua dapat membuat Khairin berubah.

Khairin berusaha dengan sekuat tenaga untuk beradaptasi dengan lingkungan pesantren. Hidup di sini juga tidak semenyeramkan yang dibayangkan Khairin. Hanya saja kehidupan antara laki-laki dan perempuan terpisah. Tidak bisa sembarangan berinteraksi dengan lawan jenis ketika tidak ada hubungan saudara.

Itu bukan masalah yang besar buat Khairin. Saat sekolah biasa, ia juga jarang dekat dengan lawan jenis. Yang terpenting di sini Khairin bisa mendapatkan teman perempuan yang baik dan tulus kepadanya.

"Hari ini jadwal hafalan kosong, 'kan?"

Yap, itu suara Inara, teman Khairin yang sering mendukung Khairin untuk kabur, padahal sudah tahu konsekuensinya besar. Terakhir kabur juga atas usul dari Inara. Yang justru mengakibatkan dirinya dihukum sampai mau pingsan. Menyesatkan tapi Khairin sayang.

"Huum," jawab Khairin santai.

Khairin mempunyai dua teman dekat di sini. Yang satu lagi masih izin pergi ke belakang.

"Aduh! Aku lupa kalo hari ini gak ada jadwal hafalan."

Baru dibicarakan, sudah datang.

Nah! Yang kedua ini namanya Najma. Jika Inara teman yang menyesatkan, tetapi Najma justru kebalikannya. Najma selalu mengingatkan Khairin untuk tidak melakukan hal yang dilarang pesantren. Sayangnya, Khairin lebih sering mendengarkan saran Inara ketimbang Najma. Sehingga, ia pun sering kena sial dan belum ada kapoknya sampai saat ini.

Dua sifat yang berketerbalikan itu tidak membuat Khairin merasa tidak nyaman, justru mereka saling melengkapi dan Khairin begitu menyayangi mereka.

💌💌💌

Jam istirahat.

Suasana di kantin cukup ramai dengan para santri yang berdesakan untuk memesan makanan dan minuman yang mereka mau. Termasuk Khairin, Inara, dan Najma juga ada di dalamnya.

Khairin merasa engap, sehingga ia memilih keluar dari kerumunan itu. Masa bodo jika hari ini tidak jajan, keselamatan paru-parunya lebih penting dari apa pun. Kharin tidak kuat jika harus berkumpul dengan banyak orang lalu berebut banyak napas. Heran dengan mereka yang mau-maunya aja menghirup napas di ruangan sempit yang penuh manusia.

Melihat sekeliling, mencari Inara dan Najma tetapi tidak ketemu. Sepertinya mereka masih berusaha mendapatkan apa yang mereka mau. Rasanya Khairin ingin meninggalkan kedua temannya, tetapi Khairin bukan tipe manusia yang tega.

Khairin melipir menuju tempat duduk di ujung dekat pintu kantin. Di sana lumayan sepi, cukup buat Khairin bernapas dengan tenang. Ia menyenderkan tubuhnya ke tembok. Sungguh kenikmatan bisa merasakan udara segar.

"Khairin."

Khairin menegakkan badannya, melihat siapa yang menyebut namanya. Itu Layla, yang Khairin tahu dia santri dari kelas sebelah.

"Iya, kenapa?"

"Tadi ada titipan buat kamu."

"Titipan apa?" tanya Khairin dengan wajah bingung.

Khairin merasa tidak pernah titip apa pun ke orang. Bahkan, ia juga tidak titip makanan ke Inara dan Najma. Kalau pun titip, pasti mereka akan memberikan langsung kepada Khairin.

"Nih!" Layla menyerahkan satu amplop kecil yang ... entah Khairin juga tidak tahu isinya apa. Mungkin uang. Eh, tidak ada yang sedang hajatan.

"Apa, nih?!" Khairin kepo sambil membolak-balikkan amplop berwarna biru itu.

"Kamu buka aja nanti. Aku pergi, ya!"

Belum sempat Khairin menahan, Layla sudah berlari layaknya anak kecil yang baru saja mengisengi dirinya. Ah, apa Khairin memang sedang diisengi?

Khairin mengedikkan bahu acuh. Melihat kembali amplop biru yang ada di tangannya. Syukur-syukur isinya uang. Lumayan. Kalau bukan uang bolehlah isinya cek satu miliar. Eh! masih uang juga, ya?

"Hey!"

Khairin terlonjak kaget akibat sentakan Inara. Tidak kira-kira kalau memanggil orang.

"Kebiasaan banget, sih. Gak mau pelan-pelan aja gitu," protes Khairin, tidak suka.

Inara justru terkekeh. "Lagian ngapain bengong begitu?"

"Nih!" Khairin menunjukkan amplop biru yang tadi diberi oleh Layla.

"Apa tuh? Surat cinta?"

"Gak tau."

"Coba buka!"

"Bentar."

Dengan perlahan Khairin membuka amplop yang berisi kertas di dalamnya, lalu membaca surat itu.

"Apa isinya?"

Bukannya Khairin menjawab, justru ia kepo dengan ...

... siapa pengirim surat ini?

💌💌💌

Yes! Part 1 well done.

Btw, penasaran nggak sama suratnya?

Ikuti terus, ya. Nanti juga terspill, kok. Wkwk

Jbr, 01 Juli 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro