💌۲۲

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan hari. Khairin baru pulang sekolah bersama Inara dan Najma. Mereka berjalan santai menikmati angin yang berembus pada siang hari. Tak biasanya siang-siang begini ada angin, kecuali jika mau hujan. Mungkin dari sini mereka paham, jika sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi.

Namun, bukannya tiga gadis itu bergegas untuk sampai asrama, mereka justru asyik sendiri. Padahal, jemuran juga banyak. Ah, teman sekamar tidak sejahat itu. Biasanya saling membantu jika memang dibutuhkan.

Ketika Khairin hendak memasuki gerbang asrama putri, samar-samar ia mendengar seperti ada seseorang yang memanggilnya. Itu suara dari perempuan, tetapi tidak terlalu jelas. Khairin jadi berpikir, jika ia sedangnberhalusinasi.

"Khai, dipanggil Layla, tuh."

Oh, ternyata benar. Bukan Khairin yang berhalusinasi. Memang benar adanya jika Layla, perempuan yang telah memanggilnya. Untung saja Inara dengan baik hati mau memberitahunya.

"Hehehe. Maaf, aku gak terlalu denger tadi," ucap Khairin, terkekeh.

Khairin mendekat ke Layla yang ada di belakangnya. Pasti sama-sama baru pulang sekolah, tetapi buat apa Layla menemuinya lagi. Bukannya semua urusan sudah selesai.

"Ini ada surat dari Aqlan buat kamu." Tangan Layla menyodorkan satu amplop.

Khairin mengerutkan kening. Ternyata Aqlan masih saja membalas surat terakhir yang ia kirim. Padahal, di surat itu sudah tertulis jelas bahwa hubungan mereka telah berakhir. Harusnya tidak perlu ada balasan lagi.

"Dibales, ya?" tanya Khairin heran. "Sebenernya aku gak butuh balasan, Lay." Jujur apa adanya, tidak ada gunanya juga berbohong 'kan? Karena, memang Khairin sudah tidak berharap apa-apa lagi ke Aqlan. Kalau sudah selesai, ya selesai.

"Diterima aja dulu. Siapa tau ada hal penting."

Khairin bergumam. Hal penting kata Layla. Bukankah Khairin sudah bilang ... tidak ada yang penting lagi dari Aqlan saat ini. Melihat ke arah Inara dan Najma untuk mencari persetujuan menerima surat dari Aqlan apa tidak. Mereka mengangguk. Yah, tidak buruk juga. Mungkin benar ini penting dan bakal jadi surat yang terakhir dari Aqlan.

"Oke, aku terima. Makasih, Lay."

Saat sudah membalas ucapan dari Khairin, Layla langsung melenggang pergi dari sana alias masuk ke asrama lebih dulu.

"Buka di sini?" tanya Khairin, matanya meneliti surat tersebut.

"Boleh."

Seringnya Najma menyuruh untuk membuka ketika sudah sampai di kamar, tetapi kali ini membolehkan dibuka di sini. Bisa jadi karena urgent juga.

"Buka aja, deh, Khai," timpal Inara yang rupanya juga tidak sabar. Orang dengan kekepoan maksimal mana bisa untuk sabar.

Sudah mendapat persejutuan dari Inara dan Najma, Khairin menurut saja untuk membuka suratnya. Ia merobek amplop kecil itu sampai muncul satu kertas di sana. Perlahan ia keluarkan lalu membaca surat itu sampai selesai.

"Gimana, Khai?"

Ck, ternyata salah dugaan Khairin. Yang dianggap penting, tidak sepenting itu. Bahkan, rasanya seperti Aqlan tidak mempunyai rasa kapok dengan kasus yang terjadi pada waktu lalu. Iya, di suratnya Aqlan justru menulis ingin bertemu dengan Khairin. Apalagi, Aqlan malah menolak saat hubungannya diakhiri. Ya, tentu saja Khairin juga menolak untuk diajak ketemu.

Khairin menyerahkan surat itu kepada Inara, supaya mereka bisa membacanya sendiri. Dari ekspresi Khairin yang masam, sepertinya mereka bisa menebak isi suratnya tidak sesuai pengharapan.

"Ini serius Aqlan ngajak ketemu?" tekan Inara pada pertanyaannya. "Kok kayak gak ada kapok-kapoknya gitu, ya?" Heran. Khairin juga heran. Ternyata Aqlan malah terlihat lebih bandel dibanding Khairin.

"Jangan mau deh, Khai," cegah Najma. "Kalo nanti ketauan sama Ustazah bisa jadi masalah lagi."

Benar. Khairin tidak akan mengabaikan perkataan Najma kali ini. Jangan sampai ia lalai lagi, melakukan kesalahan yang sama.

"Huum."

Tidak mungkin di saat hubungan dengan keluarga belum membaik, Khairin membuat ulah lagi. Terhitung dari awal masalah sampai saat ini, abi dan ummah belum menelepon. Padahal, Khairin sangat merindukan suara mereka.

💌💌💌

Tanpa disangka-sangka, usai salat Isha Aqlan menunggu Khairin di persimpangan jalan antara masjid dan asrama. Khairin pura-pura tidak melihat keberadaan Aqlan supaya tidak dipanggil. Ini tempat umum, apalagi baru selesai salat Isha. Kalau sampai ketahuan ustazah yang pulang dari masjid bisa bahaya.

Namun, rupaya Aqlan tidak akan berpikir sejauh itu. Bahkan saat ini Aqlan nampak egois. Tekadnya yang begitu kuat sampai mrmbuat Khairin merasa kelimpungan sendiri. Ia bersembunyi di balik badan Najma supaya tidak terlihat Aqlan, tetapi sayang sekali, ternyata Aqlan masih bisa melihatnya.

Aduh. Khairin bingung. Rasanya campur aduk. Menoleh ke kanan kiri melihat keadaan yang ramai membuatnya semakin takut apabila ada yang mengetahui dan melaporkan ke ustazah Dina.

"Aku cuma mau ngomong bentar," pinta Aqlan dengan serius.

"Apa, sih?" balas Khairin acuh. "Kamu gak sadar ini di mana? Kalo sampe diliat Ustazah gimana? Mau kena masalah lagi?" sungut Khairin, sebal. Aqlan ini tidak mau ngerti-ngerti.

"Ya Allah. Enggak."

Khairin bingung sekali. Menoleh ke Inara dan Najma untuk meminta pertolongan supaya menjauhkan dirinya dari Aqlan.

"Bentar doang," imbuh Aqlan memohon. "Oke, gini. Aku minta maaf kalo gara-gara hubungan itu kita kena masalah. Aku juga gak nyangka ada yang ngelaporin dan aku juga gak tau siapa yang ngelaporin."

"Udah, ih. Gak perlu dibahas lagi. Kalo kamu cuma mau minta maaf, aku udah maafin," balas Khairin dengan emosi.

Rasanya was-was melihat keadaan sekitar. Namun, kemudian Najma berjanji jika ada orang yang melaporkan hal ini ke ustazah Dina, ia mau memberi kesaksian jika pertemuan ini bukan atas kemauan Khairin. Supaya tidak menambah beban juga nantinya.

Khairin melihat Aqlan mengacak rambut, seperti orang frustasi. Jujur saja, ini pertama kali Khairin mengobrol dengan Aqlan secara langsung, tetapi jangan salah, di sini Khairin benar-benar sudah tidak punya perasaan terhadap Aqlan. Semoga ini bukan kebohongan.

"Kalo kamu emang gak mau surat-suratan lagi gapapa. Tapi, bisa nggak sih jangan mutusin hubungan secara sepihak gini?"

Khairin mengerutkan kening, tidak paham dengan maksud Aqlan yang memutuskan hubungan secara sepihak. Jadi, maunya Aqlan bagaimana?

"Aku gak mau," lanjut Aqlan.

"Hah?" Khairin cengo. "Maksud gak mau?"

"Ya, jangan mutusin hubungan, Khairin."

"Terus ... kamu maunya gimana?" racau Khairin. "Bener-bener gak ada kapoknya, ya kamu? Hukuman yang kemarin belum cukup? Kamu tau nggak? Gara-gara aku berhubungan sama kamu, hafalan aku jadi berantakan." jelasnya dengan nada tinggi.

Aqlan menunduk, seperti memikirkan kata-kata yang akan ia lontarkan. "Aku janji ... abis ini aku gak akan sering-sering kasih surat buat kamu, tapi jangan mutusin secara sepihak." Masih pada pendiriannya, Aqlan meminta mempertahankan hubungan tak halal itu.

"Cukup, Aqlan," cemooh Khairin. "Hafalan kamu sudah nyampe surat Al-Isra ayat 32? Pahami artinya dengan baik dan abis ini jangan pernah melakukan hal ini lagi. Harusnya kamu malu sama hafalanmu, kalau di lain sisi kamu masih berani menentang hukum Allah."

💌💌💌

Radang belum sembuh. :")

Jbr, 22 Juli 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro