💌۶

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekali-kali kamu balas surat itu gapapa kali, Khai.

Rupanya perkataan Inara masih selalu membayangi otak Khairin. Beberapa kali temannya itu menyarankan untuk membalas surat dari Aqlan. Toh, pengirimnya juga sudah jelas. Apalagi yang perlu dipikirkan. Akhirnya, Khairin mengikuti saja saran dari Inara, yaitu membalas surat Aqlan. Mereka menulisnya di kamar ketika santri lain sedang sibuk di luar.

"Gimana, Nar?" tanya Khairin, meminta saran kepada Inara. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ditulis di kertas berbentuk persegi panjang ini.

"Mana?"

Khairin menyerahkan kertasnya kepada Nara untuk dibaca.

Inara membacanya sekilas sebelum berkomentar, "Ish! Jangan begitu nulis surat mah."

Memang, ya. Inara hanya bisa protes, padahal dari tadi tidak membantu sama sekali. Tidak tahu apa kalau Khairin begitu pusing memikirkan kata-kata yang harus dituangkan ke sana.

"Ya, teroosss?" sungut Khairin.

"Gini ..." Inara mengambil pena yang dipegang oleh Khairin. Kemudian, ia menyobek lagi kertas baru, menuliskan beberapa kata di kertas itu.

Ditunggu ternyata lama juga. Khairin penasaran dengan apa yang ditulis Inara. Ia mengintip sedikit dari samping supaya bisa melihat dan membacanya.

Belum juga Khairin membaca sampai selesai, tetapi sudah mengoloknya, "Apa'an! Alay, ah."

"Di mana alaynya, sih?" protes Inara. "Bagus, loh." Gadis itu tidak terima apabila karya indah ciptaan tangannya dihujat Khairin.

"Menurut kamu aja bagus. Tapi, aku enggak."

Khairin tidak habis pikir dengan Inara yang entah itu menulis puisi atau pantun. Dibaca saja rasanya Khairin ingin muntah, apalagi Aqlan yang membacanya. Dapat dipastikan harga diri Khairin langsung jatuh pada saat itu juga. Namun, Inara tetap kekeuh jika yang ia tulis ini biasa saja, tidak lebay, dan romantis. Justru Khairin yang dikatakan berlebihan.

Mereka tetap melanjutkan perdebatannya sampai surat itu selesai ditulis. Khairin memang tidak punya pengalaman menulis surat cinta, makanya sampai dibantu dengan Inara, walau agak aneh dibacanya. Ini yang membuat Khairin menjadi ragu untuk memberikannya ke Aqlan. Khairin berniat untuk mengurungkan saja daripada malu nantinya.

"Gak jadi, ah. Aku takut tiba-tiba Aqlan Ilfeel." celetuk Khairin.

"Nggak akan," balas Inara santai. "Cowok itu pasti suka dikasih surat yang kayak gitu."

Khairin geram sekali mendengar respon Inara. "Tau dari mana?"

"Tau, dong. Suratnya aja bagus isinya," ucap Inara dengan bangga. Merasa puisinya paling indah sedunia.

"Ish! Mana ada. Gak usah dikasih, deh."

"Yaelah, dipikirin amat. Kirim aja atuh."

Khairin menggeleng cepat. "GAK."

Pintu kamar asrama yang sedari tadi tertutup tiba-tiba terbuka, menampilkan Najma yang baru datang karena sempat ada urusan di luar.

"Kalian ngapain?" tanya Najma, mengambil duduk di sebelah Khairin.

"Nih! nulis surat," jawab Inara seraya menunjukkan surat yang sudah terbungkus rapi dengan amplop. Tinggal dititipkan ke Layla, beres, deh.

Najma mengerutkan keningnya, masih bingung dengan jawaban yang diberikan oleh Inara. "Surat buat siapa?"

"Aqlan, dong."

Ketika Inara melontarkan jawaban itu kepada Najma, Khairin langsung menjadi sasaran tatapan tajam dari mata Najma. Bagi Khairin, Najma ini sudah seperti ibu tiri. Banyak melarang hal ini itu, kayak orangtuanya.

"Beneran, Khai?" tanya Najma memastikan.

"Eh! E–engga, kok. Kayaknya gak jadi aku kasih, deh. Takut."

"Takut apa, sih? Cuma surat doang mah gapapa." serobot Inara.

Tuhkan! Inara mulai lagi. Ini yang sering membuat iman Khairin sering goyah. Sudah tahu kalau Khairin belum bisa menentukan arah hidupnya sendiri. Masih kebawa sana-sini. Terkadang memang membingungkan.

"Nara! Enteng banget ngomongnya."

Sontak saja itu membuat Najma ngamuk. Ternyata Najma menyeramkan juga. Tidak heran, sih. Hampir 11 12 sama dengan ustazah Yasmin. Khairin curiga kalau mereka adik kakak. Hanya saja Najma versi lebih kalem, lembut, dan tenang. Kalau ustazah Yasmin, kan senyum aja seram.

"Yah ... santai atuh, Neng." Inara pun sudah terlalu kebal menghadapi Najma.

"Jangan ngajarin Khairin yang kayak gini, deh!"

"Astaghfirullah. Santai, Neng. Gak bakal kenapa-kenapa."

"Santai-santai mulu kamu. Kalo sampe ketauan ustazah masih bisa santai?" cecar Najma tidak mau kalah.

Khairin hanya bisa menyaksikan kedua temannya berdebat lagi. Entah mengapa mereka hobi sekali ribut. Apalagi hanya karena surat ini. Memang, ya. Surat ini tuh bikin orang kesal saja. Sangat merepotkan hati dan perasaan. Tetapi, Khairin memang benar-benar bimbang mau mengirim apa tidak. Melihat temannya yang berbeda pendapat ini bukannya membantu, justru semakin membuat kepala pening.

"Khai, jangan dikirim, ya!" Tangan Najma memegang telapak tangan Khairin, matanya menatap penuh permohonan.

Aduh. Semakin membuat Khairin bimbang. Antara mau mengirim atau tidak, tetapi memang saat ini hatinya lebih condong ingin mengirim surat itu ke Aqlan. Pelet Inara memang kuat.

"Umh ..." Khairin menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Harus jawab apa, ya?

"Jangan paksa Khairin, ih!" seru Inara. "Kalo dia mau kirim, ya gapapa. Hak dia, 'kan?" Di sini Inara terlihat semakin memanasi Khairin untuk mengirim suratnya.

"Ih, kamu mah dasar, ya!"

Najma lebih mendekat ke Khairin. "Khai, plis deh! Jangan begini."

"Atuh jangan terlalu serius, Naj. Ini kan cuma iseng."

Inara memang tidak bisa diam dahulu. Sudah tahu suasana lagi panas, semakin dibuat panas. Kalau kamar asrama ini jadi kebakaran, kan tidak lucu.

"Iseng kamu bilang?"

Semakin didiamkan bukannya berhenti, malah semakin gak jelas kemana-mana. Khairin pun merasa lelah mendengar perdebatan yang tidak ada ujungnya ini.

"Udah ih udah," lerai Khairin menengahi Inara dan Najma. "Kuping aku panas dengernya," lanjutnya seraya menggosok telinga.

Seketika Inara dan Najma terdiam. Mereka sama-sama menghadap ke arah yang berlawanan.

💌💌💌

Kepala Khairin celingak-celinguk mencari Layla di sekolah. Tumben sekali di jam istirahat seperti ini, kantin masih sepi. Biasanya sudah dipenuhi dengan manusia-manusia yang kelaparan ingin membeli makanan atau sekadar ciki. Kalau begini sebenarnya lebih mudah Khairin untuk mencari Layla, tetapi herannya malah ia tidak menemukannya. Mungkin mata Khairin kurang jeli saat mencari. Kantin di sini juga termasuk luas.

Khairin melangkah menuju warung mie ayam langganannya. Ia cuma sendirian di sana, tanpa Inara dan Najma. Sengaja, jika mereka berdua diajak, takutnya akan terjadi perdebatan lagi. Apalagi ini menyangkut masalah pengiriman surat ke Aqlan. Jadi, Khairin mencari aman dengan alasan ingin membeli ciki di kantin. Inara dan Najma sudah menawari untuk mengantar, tetapi ia tolak.

"Khairin mau mie ayamnya satu, ya, Budhe. Dimakan di sini aja," ucap Khairin yang memesan mie ayam kepada wanita paruh baya, salah satu penjual makanan di kantin pesantren.

"Tunggu di sana, ya, Nak." Budhe mengangguk, menyuruh Khairin untuk duduk di meja kantin, sambil menunggu mie ayamnya siap. Tentu saja Khairin menurut.

Gadis itu mencari meja yang strategis untuk makan, biasanya ia lebih suka di pojok apalagi sendirian begini. Supaya tidak terganggu dengan santri lainnya yang banyak mengobrol.

Tidak lama dari itu makanan Khairin datang, beserta es teh yang sudah menjadi satu paket. Khairin mengucapkan terima kasih kepada Budhe dalam bahasa Jawa. Wajar, di Solo ini mayoritas orangnya bersuku Jawa, tetapi memang santrinya berasal dari berbagai kota.

Ketika memandang ke arah pintu kantin, di sana Khairin melihat Layla. Mulutnya yang sudah siap menyantap mie ayam jadi ia urungkan, untuk memanggil Layla. Untungnya saja Layla tidak terlalu jauh, jadi Khairin tidak perlu berteriak.

"Layla!"

Hanya sekali panggilan, Layla dapat mendengarnya. Sontak gadis itu berjalan ke arahnya dengan wajah penuh tanya.

"Ya. Kenapa, Khai? Soal petunjuk lagi? Bukan—"

"Enggak." Khairin memotong ucapan Layla dengan cepat. "Sini, duduk dulu!" Justru ia memerintah Layla untuk duduk di kursi yang berseberangan dengannya.

Ekspresi Layla seperti orang kebingungan, seperti ada rasa takut jika Khairin mempertanyakan hal lain tentang Aqlan. Padahal Khairin hanya ingin ... menitip surat.

Ya, keputusan Khairin sudah bulat, ia akan memberikan suratnya kepada Aqlan. Walau isinya agak meragukan, tetapi mungkin saja Aqlan suka. Ah, kenapa tiba-tiba Khairin jadi peduli dengan perasaan Aqlan?

Tidak, tidak. Seharusnya tidak seperti ini. Rasanya Aqlan sudah diizinkan masuk ke dalam kehidupan Khairin.

Saat Layla sudah duduk di hadapan Khairin, ia melihat sekeliling untuk memastikan keamanan. Jangan sampai ada ustazah atau santri lain yang tahu tentang surat yang akan ia titipkan. Yakin keadaan sudah aman, Khairin mengeluarkan amplop yang sudah ditekuk sampai mengecil dari saku. Tersenyum sekilas sebelum memberikan ke Layla.

"Nih!" Khairin menyodorkan amplopnya ke Layla. "Aku mau minta tolong, ya."

Layla mengernyit. "Ini apa? Minta tolong apa?"

"Tolong kasihkan ini ke Aqlan, ya!"

💌💌💌

Nervous. Yap, itu yang dirasakan Khairin setelah ia menitipkan surat itu kepada Layla. Rasanya jantung Khairin seperti abis lari lima kilometer, detak jantungnya begitu kuat. Baru kali ini ia mengirim surat untuk cowok, apalagi cowok itu Aqlan. Sepertinya benar kata Inara, Khairin butuh terbiasa dengan semuanya.

"Udah atuh. Sekarang tinggal nunggu aja balasan dari Aqlan."

"Emang bakal dibalas?"

Inara dengan keyakinannya berkata, "Jelas, dong."

Sebenarnya Khairin tidak terlalu mengharapkan balasan, tetapi mungkin jika dibalas itu cukup membuat hatinya merasa tenang, senang, dan bahagia mungkin.

"Aku gak ngerti banget sama kalian," celoteh Najma, raut mukanya seperti menyiratkan kesedihan. "Tujuan kalian ngafalin Al-Qur'an buat apa, kalo masih mentingin surat-suratan kayak gitu?"

Mendengarkan Najwa berkata seperti itu, hati Khairin mencelos. Mulai terjadi kembimbangan lagi dalam benaknya. Benar juga yang dikatakan Najma, tetapi ...

... Khairin hanya membalas surat Aqlan. Apa salah?

💌💌💌

Ternyata agak panjang part ini. Padahal ... saya lagi WB, pasti berantakan.

See you~

Jbr, 06 Juli 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro