03. Ramalan jalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Friska meninju bayangan yang menggumpal di depannya. Matanya menoleh ke belakang, di mana matahari mulai terbit. "SAMPE PAGI?!" tanya Friska kesal.

"Akhirnya pagi," kata Renzo yang menatap matahari dengan mata lelah.

Para bayangan itu mulai menghilang, tergantikan dengan bayangan daun dan pohon yang terkena sinar matahari. Friska langsung duduk di atas rumput dengan perasaan yang sangat lelah.

Renzo menyimpan kembali tongkatnya. "Untung saja jimatnya bisa dibuat dengan cepat, kalau tidak bisa-bisa perlu 2 malam," kata Renzo yang menatap jimat yang ia angkat di depan matanya.

"Dua?! Trus aku juga ikut?!" tanya Friska kesal.

"Tentu saja." Friska langsung menunduk lemas. "Hei, setidaknya karena ini kamu bisa mendapatkan kekuatan kegelapan. Ayo, kita pulang sekarang." Renzo berjalan terlebih dahulu.

Dengan malas Friska memaksa kakinya untuk bergerak mengikuti Renzo. "Hei aku sudah bantu jadi harus ada bayarannya loh!" gerutu Friska yang masih mengikuti Renzo malas.

"Iya-iya, aku akan mentraktirmu. Kenapa kamu suka sekali meminta bayaran sih? Tidak ikhlas sama sekali," gerutu Renzo juga.

"Habisnya ini adalah pekerjaan kak Renzo, artinya kak Renzo di bayar. Karena sudah merepotkanku sampai ikut-ikut bergadang, jadi harus bayar!" seru Friska kesal, sampai-sampai tidak sadar suaranya menarik perhatian seseorang.

"Seharusnya aku tidak bilang ini pekerjaan ya," sesal Renzo yang menatapi awan yang mulai cerah.

"Haha! Rasakan itu!" seru Friska dengan tawa lebar.

"Anak ini, walau bergadang tetep aja ada tenaga," kata Renzo yang berhenti untuk mencubit sebelah pipi Friska.

"Sapa suruh seret-seret?!" seru Friska yang melepaskan diri dari tangan Renzo.

"Terserah deh, tetapi aku akan menunggu rasa terima kasihmu karena sudah membantu meningkatkan kekuatanmu," kata Renzo bangga.

Friska melemparkan tatapan datar. "Mimpi aja ogah."

"Hei! Itu menyaitkan!" seru Renzo kesal tetapi di abaikan oleh Friska.

Davin tidak sengaja melihat Friska dan Renzo yang terlihat lemas saat membuka jendela. Ia tidak bisa mendengar semua percakapan kedua orang itu, selain yang diucapkan keras-keras. Mata Davin masih melihat Friska sampai akhirnya bayangan Friska tidak terlihat kembali. Setidaknya kenangan itu akan terus ia simpan.

...........

Beberapa minggu berlalu, Friska sampai di depan sekolah Elit yang tidak bisa ia daftar. Matanya melihat ke satu arah, Davin yang sedang menerima ucapan selamat dari teman-teman sekelas saat SMP dan beberapa fans Davin.

"Tidak mau ke sana?" tanya Amel yang berada di samping Friska.

"Kelihatannya sibuk tuh," kata Friska yang tidak berpaling.

"Sudahlah, ayo maju aja. Lagi pula setelah ini kalian ada kemungkinan tidak bertemu lagi, pakai kesempatan ini untuk menyatakan perasaanmu," kata Amel yang sangat percaya diri sambil mendorong Friska.

"HAAAH?!" seru Friska sampai semua perhatian terarah kepadanya. "Aku mengakui kadang aku gila, tetapi itu lebih gila!" seru Friska menghadap ke Amel tanpa peduli siapa saja yang melihat ke arahnya.

"Lalu perasaanmu yang ditahan selama tiga tahun ini mau diapakan?" tanya Amel malas. "Mau diabaikan begitu saja sampai tua?" tanya Amel lagi.

Friska diam dan membiarkan tubuhnya kembali didorong oleh Amel. Sampai akhirnya mereka berdua sudah di depan Devin.

"Selamat ya Vin! Tapi memang murid pintar sepertimu tidak mengagetkan bisa di terima di sekolah ini," kata Amel yang menyerahkan seikat kecil bunga kepada Davin.

"Haha, terima kasih Amel," kata Davin yang menerima bunga Amel. Matanya kini melihat Friska yang sedang menyiapkan dirinya sendiri.

"Tentu saja!" Sepasang tangan melingkar di lengan Davin. "Hanya orang-orang pintar yang bisa masuk, bukan begitu Davin sayang?" tanya seorang gadis yang juga menyukai Davin, Amara, tersenyum menggoda.

"Hei! Davin bukan milikmu!" seru salah seorang gadis yang sama-sama fans dari Davin.

"Kalau marah, sini masuk sekolah ini," tantang Amara dengan senyuman sinis. Tentu saja sebagian besar fans Davin hanya bisa menggeram kecil.

Davin melihat Friska yang menunduk lesu. Ia sangat ingin bergerak tetapi lengannya masih ditahan oleh Amara. Baru saja Davin ingin melepaskan pelukan Amara, matanya melihat Friska yang membuka ponselnya. Friska melihat kebelakang dan Renzo melambai dari salah satu pohon.

Friska menghela nafasnya dan melihat ke arah Davin yang juga melihatnya. Tangannya menyerahkan seikat kecil bunga ke arah Davin. "Ini untukmu, selamat sudah masuk SMA ini."

Davin memaksa dirinya untuk tersenyum. "Terima kasih," katanya sambil menerima bunga dari Friska sekaligus melepaskan pelukan Amara.

"Aku ... ingin tetap meminta maaf." Friska kembali menunduk lesu. "Aku sudah menyia-nyiakan waktumu."

"Sudah aku katakan, jangan meminta maaf. Mengajarimu juga membantuku lebih mengerti pembelajaran. Jadi jangan anggap waktu saat itu terbuang sia-sia," kata Davin yang kali ini memasang senyuman tulus. Friska menatap Davin sejenak sebelum akhirnya mengangguk dengan senyuman manis.

"Friska," panggil Renzo yang ternyata sudah berjalan mendekat. "Ayo, nanti sampainya bisa malam," ajak Renzo yang dibalas anggukan malas oleh Friska.

"Berangkat sekarang?" tanya Amel yang kembali dibalas anggukan Friska. "Aku tidak akan mengganti nomorku," kata Amel dengan senyuman.

Friska tertawa pelan. "Baik, akan aku catat. Aku pergi dulu," kata Friska yang melihat ke arah Amel lalu Davin yang dibalas anggukan oleh keduanya. Setelah itu Friska berbalik dan berjalan bersama Renzo.

"Aku tahu ini terlalu telat, tetapi apa Friska tidak mau menolak pergi?" tanya Renzo yang masih berjalan.

"Telat banget, memangnya aku boleh menolak?" tanya Friska dengan senyuman jail.

"Tidak. Kakek sudah mengatakan kalau sampai Friska menolak, aku harus membawa Friska bagaimana pun juga," jelas Renzo yang membuat Friska tertawa pelan. "Hanya saja, aku merasa aneh dari sebelumnya Friska sama sekali tidak protes, marah, atau menolak. Padahal itu reaksi yang sangat umum." Mata Renzo melirik Friska.

"Entahlah. Aku hanya mencoba untuk terus berpikir logis." Friska berhenti lalu melihat ke belakang, tidak sengaja bertatapan dengan Davin. "Kalau sampai dari awal aku dipamerkan kepada dunia bahwa aku verni, mungkin aku tidak bisa sampai di titik ini," kata Friska yang menatap Renzo. "Jadi setidaknya ini sebagai ungkapan terima kasih, aku rasa."

Renzo terdiam sebelum langsung menutup mulutnya yang membuat Friska panik.

"Ke-kenapa kak?"

"Friskaku sudah dewasa!!" seru Renzo yang seakan-akan menangis.

"Aish, kukira apaan," kata Friska malas sambil memukul perut Renzo pelan lalu kembali berjalan.

"Eh tapi bener loh, Friska seperti sudah menapaki tangga kedewasaan. Kakak sepupu ini bangga padamu," kata Renzo yang mengikuti Friska dari belakang.

Setelah itu mereka sampai di rumah Friska. Barang-barang Friska sudah dimasukka ke dalam mobil kantor Renzo. Friska dan kedua orang tuanya saling menyampaikan kata-kata mereka, sampai saling berpelukan. Saat sudah di mobil, Friska terus melambai kepada kedua orang tuanya sampai tidak terlihat.

"Sudah siap untuk kehidupan barumu?" tanya Renzo yang masih melihat jalan di depan.

"Memangnya kalau aku tidak siap boleh mundur lagi?" tanya Friska kembali dengan senyuman jail.

"Sayang sekali mobil ini tidak didesain untuk berjalan mundur," kata Renzo yang membuat Friska tertawa pelan.

.
.
.
.
.

Jadi mulai sekarang saya akan update setiap 2x seminggu.

Ini dia list ceritanya:

1. The 7 Element Controllers

2. New Daily Life Royal Twins

3. A Little Hope [Revisi]

4. As Blue Sea

5. My Family is Perfect But I'm Not

6. Akar Merah

Itu dia urutannya, bisa dicari setelah saya posting.

Mungkin ada perubahan dari tata bahasa dsb-dsb tapi semoga kenyamanan dalam membaca masih bisa dinikmati yaa~

Sampai jumpa kembali :3

-(26/06/23)-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro