Fears

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Di puncak bukit—agak lama setelah Alman puas tertawa, kedua petualang menyadari bahwa mereka saat ini sedang berada di sebuah pulau asing. Tak satu pun dari mereka mengenali kontur tepian pulau yang berbatasan langsung dengan lautan. Sisi lain bukit tertutup rimba tetapi di seberangnya mereka bisa melihat ada beberapa bangunan yang terlihat seperti rumah tinggal.

Sepintas pemandangan dari puncak bukit terlihat damai, seandainya Brendan tidak melihat beberapa ekor capung raksasa terbang beriringan mengitari sebuah danau. Untung lokasinya cukup jauh dari posisi mereka berdua.

"Sebelah Selatan adalah padang rumput—tempat kamu muncul, kan? ... Agak ke sini dikit, jamur-jamur dan pepohonan—tempat berteduh ... Di kaki bukit itu rawa tempat kita bertemu dengan Spinx. Lalu ...."

"Hebat! Kau ingat betul, ya, Red?"

"Aku harus ingat. Supaya kalau ada apa-apa kita bisa kembali ke tempat aman dengan cepat."

"Tapi ... Percuma saja, dengan kakiku, kita tidak akan bisa bergerak cepat," gumam Brendan sedih. "Anu, Red ... Ka-kalau ada apa-apa ...."

"YAP!" seru Alman mengacuhkan omongan Brendan. "Aku sudah ingat semua. Ayo, Wings! Tujuan kita desa itu. Kita perlu mencari informasi tentang lokasi pulau ini di sana. Lebih bagus lagi kalau mereka punya peta dunia."

"Oh ... Iya. Aku seperti biasa, ngikut saj- ...." Kata-kata Brendan terhenti karena Alman tengah memandang tajam ke arahnya. "A-ada apa?"

"Bukan apa-apa," jawab Alman seraya melangkah. "Cuma ... Kamu betah, ya ... jadi penurut yang hanya bisa ngikut?"

Brendan kembali tertunduk. Dalam diam dia mengejar langkah-langkah Alman.

Bukan hanya sekali dia mendengar kalimat bernada serupa. Di tempat asal teman-teman seperguruan dan saudara-saudara kandungnya juga sering mencemooh sikap pasifnya. Bahkan gurunya sempat mengajaknya bicara empat mata soal itu. Brendan tidak terlalu ingat persis kata-kata sang guru, karena waktu itu dia sibuk menangis—saking takutnya dikeluarkan dari perguruan.

"Mau gimana lagi ... Aku yang lemah ini memangnya bisa apa?"

"TUNDUK, WINGS!!!"

Seruan Alman membuat Brendan tersadar dari lamunan. Sesaat dia melihat sesuatu yang besar dan hitam menghadangnya. Berikutnya pandangannya terfokus pada sepasang capit raksasa. Ketika mengira capit-capit itu akan mengerkah kepalanya, telinganya berdenging. Kemudian segalanya gelap.

Aroma tanah lembab. Brendan mengira hujan kembali turun, sampai dengan dia membuka mata. Sekelilingnya tetap gelap, sehingga dia panik apalagi karena tongkat ulirnya tidak ada dalam genggaman. Hampir saja dia menjerit ketika seseorang meraih lengannya.

"Ssst!" desis suara yang dia kenali. "Jangan berisik, nanti dia dengar!"

Itu Alman. Brendan merasa sedikit lega.

"Nih," Alman menjejalkan sebatang kayu ke tangan Brendan. Dari tekstur ulir dan bentuk ujungnya yang membengkok Brendan menyadari bahwa itu tongkatnya. "Tadi terjatuh waktu kau dibawa oleh semut itu. Kau bisa gunakan mantra penerang sekarang, mumpung dia masih belum kembali."

Brendan bergumam lirih sebagai ganti kata setuju, lalu mulai mengumpulkan cahaya ke bulatan hijau di ujung tongkatnya dengan sihir. Perlahan pandangannya mulai meluas seiring dengan lingkup pendaran cahaya putih kehijauan. Rupanya mereka ada di sebuah gua dengan dinding yang basah bila disentuh.

Ada di depan sana terlihat lorong gua bercabang menjadi dua. Di belakang mereka buntu, dengan gundukan benda bulat-bulat yang tidak begitu jelas. Brendan memicingkan mata, karena cahaya tongkatnya tidak sampai ke sana.

"Kau tidak akan mau melihat itu, Wings!" tegur Alman, membuat Brendan menoleh kepadanya, dan terhenyak.

Daripada gundukan misterius di belakang sana, apa yang ada di hadapan Brendan jauh lebih mengejutkan. Sosok Alman yang wajahnya ditumbuhi bulu rambut dan moncong bertaring panjang yang makin mirip serigala—tepatnya anjing jenis husky. Bahkan mata birunya terlihat sedikit berpendar kekuningan dalam gelap.

"Lorong kanan aku bisa mencium aroma rumput segar, sedangkan lorong kiri lebih apek," lanjut Alman acuh. "Semut tadi mungkin pergi untuk memanggil teman-temannya, jadi kita harus segera keluar dari sini, Wings!"

Di hadapannya itu adalah rekan seperjalanannya. Bahwa pemuda berambut merah itu memiliki darah beast Brendan juga tahu,terlihat dari bentuk telinga dan juga ekornya. Tetapi baru kali ini Brendan sadar betul bahwa mereka berbeda ras. Ketakutan akan perbedaan itu membuat langkahnya terasa makin berat untuk mengikuti Alman.

"Wings!" tegur Alman, membuat Brendan terlonjak. "Waktu capit itu mengenaimu, apa yang kau lihat?"

"K-k-kenapa dengan itu?"

"Yah ... aku lupa bilang. Sepertinya semut hitam itu mampu mengenali ketakutan korbannya lalu menduplikasi apa pun yang menjadi sumber ketakutan itu. Cuma ilusi, sih ... tapi lumayan merepotkan juga kalau kita tidak tahu harus menapak ke mana."

Di lorong kanan, yang seharusnya masih dalam gua yang sama, terbentang jurang lebar dengan sungai deras di dasarnya. Brendan sangat mengenali pemandangan itu. Ujian yang harus dia tempuh ketika masih diperguruan.

Brendan ingat sekarang. Penyebab dia pingsan ketika berhadapan dengan semut raksasa sebelumnya bukanlah denging di telinganya, melainkan rasa takut berlebih yang menyergapnya ketika hampir terjatuh ke jurang dulu.

"Padahal waktu di permukaan tanah tadi aku tidak ikut melihat jurang ini. Apa karena di dalam sarang, kekuatannya jadi berlipat ganda?"

"Ba-bagaimana kau bisa setenang itu?!" seru Brendan, suaranya seperti tercekik karena sambil gemetar ketakutan.

"Yah, jurangnya tidak benar-benar ada di sini, kan? Penciumanku juga mengatakan di depan kita masih tanah padat. Aku lebih memikirkan kemungkinan si semut sudah kembali, karena itulah kita berdua melihat efek yang sama."

"Apa katamu?!"

Brendan tidak sempat menunggu rekannya menjawab karena kerah mantelnya keburu dicengkeram oleh lengan berbulu merah. Berikutnya dia merasakan pinggangnya digamit, terayun dengan kuat ke belakang lalu terlontar lebih kencang lagi menyeberangi jurang. Hantaman keras di wajah dan dada membuatnya menyadari bahwa tubuhnya sudah mendarat di tanah.

Ketika Brendan membuka mata pemandangan di hadapannya sudah berganti. Sebuah ruangan terang, seperti kamar tidur seorang anak. Di sudut ruangan, di mana biasanya tempat tidur berada, tergeletak sebuah boneka berbentuk anak laki-laki ras huma—bangsa dengan postur sedang dan telinga bulat.

Rambut hitam boneka itu dari kain flannel. Tangan dan kakinya dijahit membulat sederhana. Sepasang matanya dari kancing berwarna biru cerah.

Boneka yang terlihat manis di ruangan yang terlihat nyaman. Brendan masih mempertanyakan bagian mana dari pemandangan itu yang dimaksudkan untuk meneror mereka, ketika sebuah cakar merah muncul dan mencabik dinding ruangan berikut boneka yang ada. Dari serpihan ilusi yang perlahan memudar dia melihat sosok murka seorang Alman.

"Semut keparat. Membuat kesal saja!" geramnya dengan cakar yang mulai terlihat membara.

Telinga sayap Brendan menangkap suara ketukan langkah berirama mendekat. Pemangsa mereka sudah dekat. Tetapi daripada serangga raksasa yang mungkin bisa membunuh mereka, Brendan lebih khawatir pada apa yang akan dilakukan Alman yang wujudnya makin jauh dari sosok humanoid.

"Aku ini ... Bukan boneka!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro