Terdampar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Becek. Basah. Menggenang. Entah apakah tiga kata itu untuk menggambarkan cuaca saat ini, ataukah wajah Brendan Wings. Matanya masih berkaca-kaca. Isaknya juga masih sedikit bersisa, walau sudah tidak lagi terdengar raungan putus asa lagi dari mulutnya.

Beberapa jam sebelumnya, Brendan terbangun di tengah rerumputan yang mulai menguning. Masih berusaha mengingat-ingat, bagaimana dia bisa berada di tempat itu, mendadak telinganya dipekakkan oleh gelegar guruh, sekejap saja langit menjadi gelap. Beberapa helai bulu hitam berhamburan karena kagetnya.

Panik, pemuda itu bergegas bangkit, setelah meraih tongkat ulir berujung seperti kait yang tergeletak dekat kakinya. Langkah kakinya terasa sulit, terhambat oleh jubah penyihir sepanjang mata kaki yang dia kenakan. Telapak kakinya juga mulai sakit karena sepatu kulit lembutnya tidak cukup kuat melindungi dari bebatuan yang tajam. Seiring dengan butir-butir air yang berjatuhan semakin deras dari langit, semakin deras juga cucuran air matanya.

Mengapa dia bisa berada di tempat itu seorang diri?

Ke mana saudara-saudara dan teman-temannya?

Sayap-sayap berbulu hitam yang menyembul di antara helai rambut halus pemuda itu, terkulai layu. Air yang deras berjatuhan dari awan gelap yang terlihat semakin tebal saja itu memang memberi andil terhadap kondisinya. Tetapi bukan hanya itu.

Bagi bangsanya, sepasang sayap sebagai ganti daun telinga adalah hal yang lumrah. Namun yang menyembul dari kepala cokelat Brendan ukurannya di luar standar. Terlalu besar dan lebar bila dibandingkan ukuran kepalanya. Sumber ejekan dan gangguan dari orang-orang di sekeliling pemuda itu.

Terbersit sebuah alasan mengapa dia bisa berada di tempat itu dalam benaknya. Langkah kakinya melambat. Pemuda itu memeluk erat tongkat ulir di tangannya—satu-satunya benda berharga yang pernah dia terima.

Kaki-kaki Brendan berhenti di bawah sebuah pohon yang dedaunannya cukup rindang untuk berteduh. Pikirannya masih penuh dengan rasa sengsara yang tumbuh subur dalam hatinya hingga tidak menyadari keanehan di sekelilingnya. Pemuda itu bersandar pada sebuah jamur yang memiliki tudung setinggi pinggangnya.

"Padahal ," dia mulai bergumam. "Daripada sayap telinga konyol ini, aku lebih suka kalau ...."

CTARRR!!! GLARRR!!! BLEGARRR!!!

Sambaran petir terdengar sangat dekat. Mungkin mengenai pucuk pohon yang tak jauh dari situ. Beruntung bukan pohon tempat dia berteduh yang tersambar, tetapi Brendan tidak sempat memikirkan itu. Suara petir sangat menyakitkan bagi para pemilik telinga sayap, apalagi bagi yang terlalu lebar seperti miliknya. Brendan hanya bisa diam, meringkuk berusaha mengecilkan diri, dan menutup rapat-rapat kedua telinganya.

"Bodohnya. Kau itu penyihir atau bukan? Mengapa tidak gunakan satu-dua mantramu untuk melindungi telinga?"

Ah, sedang sendirian pun dia masih mendengar halusinasi yang mencemoohnya. Pikir Brendan, berusaha merapatkan sumbat telinganya.

"Hei!!!" Bentakan kali ini terdengar sangat jelas. "Mau meringkuk di situ sampai kapan?!"

Mata cokelatnya mengerjap. Rupanya suara itu bukan halusinasinya semata. Dari balik tirai rambut poninya yang masih meneteskan air, dia melihat sesosok orang berkepala merah menyala.

"Kau juga terdampar di sini?" tanya kepala merah itu lagi.

Ketika Brendan menyibakkan rambut poninya, dia bisa melihat sepasang mata biru cemerlang menatap balik padanya dari tempat dia bertengger di atas sebuah gundukan yang lebih tinggi dari kepalanya. Sepasang telinga runcing berbulu merah mencuat dari balik rambut ikal berwarna sama. Bergerak-gerak penuh minat. Itu saja sudah cukup menakjubkan.

Namun benaknya tidak bisa beristirahat terlalu lama karena sehelai daun menampar wajahnya. Mungkin rontok akibat guyuran air dari langit. Ya, itu hal yang biasa terjadi, kecuali ukuran helainya hampir empat kali piring makan. Setelah mengusap mata beberapa kali, pemuda itu baru bisa memastikan bahwa dua gundukan raksasa di hadapannya adalah jamur.

"Aku Red Alman," tambah pemuda berambut merah itu lagi, seraya bediri dan menunjukkan jempolnya ke dada. "Kalau kamu?"

"B-brendan," dia terbatuk. Suaranya masih meliuk akibat sisa menangis. "Brendan Wings."

"Wings, ya? Bagus! Karena sudah ada 2 orang pengguna sihir di sini, kita pasti bisa keluar dari tempat ini dengan mudah!" Red melompat dari puncak jamur tertinggi. Brendan bisa melihat ekor berwarna sama dengan kepalanya menyembul dari bawah mantel pendek yan dia kenakan.

"Dua?" ulang Brendan, bingung. Dia tidak melihat orang lain selain mereka berdua di situ.

"Yap. Aku, Druid nomor satu di dunia, dan kau—eh, kamu pengguna sihir macam apa, Wings?"

Brendan tidak berani menjawab. Dia juga sama dengan Red, seorang Druid. Tetapi dia tidak pernah sukses menggunakan mantra selain pendeteksi sihir. Ragu-ragu pemuda itu menatap wajah yang masih menunggu jawaban darinya.

Apakah sikap ramah orang di hadapannya bakal pudar juga kalau tahu sihirnya tidak terlalu berguna?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro