Uncanny

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, alasanmu menghilang mendadak, adalah ... karena mengkhawatirkan keselamatan kami?"

Ralhgi si anak Ogre mengangguk pelan. Matanya terus tertuju pada cangkirnya sendiri. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Brendan yang duduk di hadapannya.

Memahami maksud Ralhgi, Brendan menunjukkan belakang kepalanya yang kini tampak rapih dengan jalinan rambut. Keributan tempohari mengenai model rambut Brendan yang biasa dianggap sebagai panji kematian bagi orang sepertinya. Kemampuan Ralhgi mengenali tanda-tanda seperti itulah yang menyebabkan dia terkurung dalam buah persik raksasa.

"Melihat panji-panji kematian ... Kemampuan yang luar biasa," komentar Brendan. Masih agak sulit percaya.

"Bukan hal yang aneh, itu 'kan hanya sejenis ramalan. Kebetulan bocah ini tingkat akurasi ramalannya di atas rata-rata." Alman menanggapi dengan santai. "Yang perlu diperhatikan di sini, adalah cara kerja ramalannya."

Brendan menghirup teh di cangkirnya. "Apa betul, yang mengirim Ralhgi ke pulau ini adalah ibumu, Red?" tanyanya ragu.

"Mendengar deksripsi anak ini soal orang yang menemuinya di dekat bandara udara, aku bisa yakin yang dia temui adalah ibuku," jawab Alman seraya mengisi kembali teko di tangannya dengan air panas. "Berarti, yang mengirim aku kemari juga beliau."

"Kalau begitu, siapa yang mengirim aku ke pulau ini?" gumam Brendan sangat pelan.

"Mungkin ibuku juga," jawab Alman tak acuh. "...Atas permintaan orang-orang di desamu, Wings," tambahnya lagi sebelum Brendan mengutarakan protesnya.

"Mengenai alasan mengapa orang-orang dari desamu mengirimmu kemari, kau tanyakan saja sendiri pada mereka, setelah kita berhasil kembali."

Brendan menghela napas panjang. Biasanya dia percaya saja pada kata-kata Alman dan menurutinya tanpa banyak bertanya. Namun setelah pengalaman tak menyenangkan yang dia alami ketika dipaksa merapal mantra, tidak bisa tidak, pemuda Avian itu meragukan Alman.

"Lalu ... Apa kau yakin, kita tak mendapat masalah membicarakan semua hal tadi di sini? Bagaimana kalau ada tuas-tuas bercapit yang memata-matai, Red?"

Alman menuangkan teh ke cangkirnya sendiri dengan khidmad. Senyumnya tersungging lebar.

Seseorang berjubah panjang dengan tudung menutupi setengah wajahnya keluar dari sebuah ruangan. Langkahnya tergesa-gesa. Hampir saja dia menabrak orang lain yang juga melangkah di lorong yang sama.

"Bagaimana kondisi anak-anak itu?" tanya lelaki paruh baya, berpenampilan rapih dan kelimis pada orang yang sedang duduk mengamati bola-bola raksasa yang menampilkan berbagai pemandangan.

"Mereka sudah berkumpul kembali sejak kemarin. Hari ini mereka sedang minum teh di bangunan C41-3. Sepertinya hari ini mereka masih memilih untuk bersantai dulu."

"Hari ini juga santai? Kemarin mereka hanya bermain bersama anak Ogre itu seharian. Dasar ... Apa bocah-bocah itu sudah tak punya keinginan mencari cara untuk pulang?"

"Mungkin mereka sudah merasa nyaman di kota yang kita buat, jadi sudah tak merasa perlu untuk pulang?" canda orang yang lebih muda seraya tertawa meremehkan.

Kedua orang itu sedang menertawakan candaan mereka, ketika tiba-tiba pintu di belakang mereka terbanting membuka.

"Tidak sopan!" hardik yang lebih tua. Berang. "Apa kau tidak pernah mengenal yang namanya mengetuk pintu?!"

"M-maaf, Tuan Besar ... Ini darurat. Mohon izinkan saya melapor!" ujar yang baru saja masuk seraya membungkuk hormat.

"Hmph!" dengkus lelaki kelimis yang dipanggil Tuan Besar itu seraya melipat lengan. "Sedarurat apa memangnya, laporanmu?"

"Tim kami memantau adanya gelombang sihir yang sangat kuat ... Cukup kuat untuk membuka portal dimensi!"

"Apa kalian yakin?" tanya lelaki itu sangsi. "Bukan karena terlalu santai hingga salah memantau tempat lain, kan?"

"Ka-kami sudah mengecek berulang kali," ujar orang berjubah yang masih membungkuk hormat.

Lelaki kelimis di hadapannya segera memutar badan, meminta pengawas mencari ruang tempat bocah-bocah yang mereka awasi sedang duduk santai, menikmati acara minum teh.

"Lihat! Mereka masih bersantai di sana. Pendeteksimu pasti salah!"

Orang berjubah yang tadinya masih membungkuk hormat, memberanikan diri untuk mendongak. Dia ikut mengamati pemandangan yang menurutnya sangat menakjubkan, Tuan Muda Conlaed, cucu Tuan Besar yang angkuh itu sedang menuangkan teh ke cangkir kedua orang temannya. Mereka terlihat damai.

Dia baru saja mengamini tuduhan Tuan Besar, bahwa timnya melakukan kesalahan, ketika menyadari satu hal yang ganjil. Tuan Muda Conlaed berkali-kali menuangkan isi tekonya untuk mengisi ulang cangkir teman-temannya tetapi tidak pernah menyeduh teh baru, bahkan tidak juga menambahkan kembali air panas. Segera saja dia utarakan keganjilan itu pada dua orang lain dalam ruangan.

"Si-siapa tahu poci yang digunakan adalah poci ajaib?" orang yang bertugas memonitor mencoba berargumen, walau dia sendiri tak terlalu yakin.

"Putar kembali waktu monitornya hingga ke awal mereka mulai minum!" perintah Tuan Besar. Wajahnya tampak masam, hingga petugas monitor segera menuruti.

"BUUUODOH SEMUA!!!" maki sang Tuan Besar seraya memukulkan tongkat yang dia bawa pada meja terdekat hingga patah, dengan wajah merah padam. "Walau poci ajaib, memangnya di dunia ini ada orang yang minum terus-menerus, tanpa henti selama berjam-jam?!" serunya lagi hingga urat-urat di wajahnya menonjol.

Gemetar karena rasa takut pada amukan sang Tuan Besar, kedua orang berjubah di ruangan itu tak mampu berkata apa-apa lagi.

"Kumpulkan orang-orang yang ahli deteksi sihir," perintah Tuan Besar setelah mendapatkan kembali ketenangannya. "CEPAT! Cari posisi terakhir mereka bertiga! Terutama anjing terkutuk yang membawa setengah darah puteri bodohku itu!!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro