Berkat dari Carousel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh Kafuusa & darulh27

Aku dan Thana sudah pacaran sebulan.

Bagaimana ya awal mulanya? Bagaimana ceritanya seorang cowok kutu buku yang amat anti dengan romansa tiba-tiba punya pacar cantik? Orang-orang takkan percaya bahwa visual seperti Thana memilih aku sebagai kekasihnya.

Thana itu manis. Thana itu imut. Thana itu baik dan ramah. Jika disandingkan denganku yang merupakan pecundang kelas, kacamata culun khas, reputasi Thana bisa merosot.

Aku bertemu Thana di suatu taman bermain.

Tempat ramai begitu tidak cocok untuk sosok introvert sepertiku, namun aku harus pergi karena adikku memaksa. Tidak mungkin aku melepasnya sendirian di tengah kerumunan.

"Kakak, ayo buruan! Liya mau main!"

"Liya, kamu cepat banget. Jangan jauh-jauh dariku. Dengar tidak?" Duh, capek. Anak itu berenergi sekali. Tidak sepertiku yang letoy.

Mempercepat langkah demi menyusul Liya, aku melewati dua pria berpakaian rapi.

"Tapi, Pak, mengoperasikan carousel saat ini terlalu bahaya untuk para penumpang. Perubahannya belum selesai sepenuhnya. Bagaimana jika terjadi kecelakaan?"

"Oh, ayolah. Kamu menanggapinya terlalu serius. Masalahnya hanya sedikit macet pada manekin kuda-kuda. Apa bahayanya itu?"

Mereka berlalu begitu saja.

"Kakak, kenapa malah diam di sana? Ayo kita pergi main. Liya mau naik bumper car."

"A-ah, iya." Aku memegang tangan adikku.

Akan tetapi, aku tak bisa tak kepikiran dengan obrolan dua pria tadi. Aku duduk di bangku, mengawasi Liya yang asyik menggila menabrakkan mobilnya ke bumper car lain.

Katanya wahana carousel sedang dalam tahap perbaikan, namun si pria yang kelihatan seorang bos, bilang tidak ada yang salah dengan permainan tersebut.

Yah, apa pun itu, jika berbahaya aku tak bisa membawa Liya memainkan wahana komedi putar. Keselamatan adikku nomor satu.

Tapi, ya...! Ini membosankan juga. Hanya duduk diam menunggu dan memantengi Liya yang ceria, lompat sana-sini, mencoba semua wahana di taman bermain. Aku yang duduk saja sudah capek, apa dia tidak?

Sekitar satu jam, akhirnya Liya berhenti berkeliaran mencicipi tiap stan permainan, mendekatiku yang tak berdaya di bangku.

"Kakak!"

"Kenapa? Sudah puas mainnya?" Aku akan senang jika Liya mengangguk, namun anak itu justru menggeleng. Aku mendesah pelan, merengek di hati. "Mau naik apa lagi? Kakak capek. Udahan ya? Kita pulang sekarang."

"Ini yang terakhir, Kak! Liya mau naik itu!"

Carousel? Jadi juga dijalankan heh?

Aku menggeleng. "Tidak boleh, Liya. Wahana itu rusak, sedang diperbaiki. Kamu bisa naik apa pun selain komedi putar."

"Lho, rusak apanya, Kak? Orang carousel-nya beroperasi tuh. Ayolah, Kakak! Aku mau naik komedi putar! Sekali ronde saja! Setelah itu kita pulang. Ya? Ya? Ya?"

Aku benar-benar bodoh. Seharusnya aku menolak, tetap bersikukuh bilang tidak, namun bujukan Liya 'akan pulang setelah naik carousel' membuatku lemah. Aku akan melakukan semuanya demi pulang ke rumah!

Jadilah aku dan Liya mengantri.

Mari kita lihat. Aku menoleh ke belakang dan menatap ke depan. Banyak juga pengunjung taman bermain hendak menaiki komedi putar.

Dua cewek di depan kami telah mendapatkan tiket mereka, giliran aku dan Liya. Tatapanku tidak lepas dari wahana carousel.

Sepuluh menit kemudian, aku dan Liya sudah naik ke wahana. Aku tak mau mengambil resiko membiarkan Liya naik ke patung kuda sendirian. Bahaya, bisa jatuh nanti.

"Carousel akan berputar dalam tiga, dua..., satu!" Pak protokol menekan tuas.

Komedi putar pun mulai bergerak.

Sejauh ini tak ada masalah. Carousel berputar normal, stabil dan tidak cepat. Phew! Aku menghela napas lega. Kupikir akan terjadi kecelakaan seperti rollercoaster di film Final Destination. Aku terlalu paranoid.

Liya di sebelahku sibuk berseru senang. Selain suaranya, aku juga mendengar seruan dari patung kuda-kuda di hadapanku. Hoo! Mereka dua cewek di antrian tadi.

Aku terlalu cepat berpikir takkan terjadi apa pun. Masalah datang dua menit kemudian.

Telingaku menangkap suara gesekan tak mulus dan derak besi yang ganjil. Apa itu? Aku mendongak. Tidak ada apa-apa di atas. Padahal aku yakin aku mendengar suara aneh dari wahana ini. Apa aku salah dengar?

Krek! Krek! Krek!

Kuda-kuda yang diduduki oleh gadis di depanku tiba-tiba tidak bergerak semulus tiga menit lalu. Si penunggang juga menyadari ada yang salah dengan patung kudanya. Bahkan tidak lagi naik-turun dengan baik.

Kenapa tiangnya tersendat-sendat seperti itu? Apa ada masalah dengan penggeraknya? Duh! Ya mana aku tahu mesin dalam wahana carousel! Bukan aku yang membuatnya.

"Thana, kenapa?" tanya temannya.

Krek! Krek! Bruk!

Gadis bernama Thana itu belum sempat menjawab, namun kudanya bergetar hebat. Dia hilang keseimbangan dan terjatuh ke lantai komedi putar. Para penumpang carousel tidak melihatnya karena dengung musik dari langit-langit wahana.

Aku menatap tiang patung kuda yang gadis itu naiki, bergoyang-goyang akan luruh.

Kurasa aku paham masalahnya sekarang. Maksud bapak-bapak tadi bilang 'perubahan' adalah mereka mengganti semua 'patung mainan' wahana carousel dan punya gadis itu bebannya terlalu berat. Mungkin tahan beberapa ronde, namun dia tidak beruntung karena tiangnya tak kuat lagi menahan.

Sebelum patung kuda itu menimpanya, entah apa yang merasuki tubuhku, aku impulsif melompat ke arahnya. Menjadikan lengan kiriku sebagai pelindung, mendekapnya erat. 

BRAKK—!

"Hei, hentikan komedi putarnya!"

"Ada dua penumpang yang jatuh! Hentikan!"

Aku tidak mendengar sorak-sorai di sekitarku sebab mataku dan mata gadis di dekapanku bertemu satu sama lain. K-kenapa... Kenapa cewek ini melihatku sedalam itu?!

KRINGGG!!

Aku tersentak mendengar bel berbunyi. Waduh, kacau. Aku larut dalam lamunanku hingga tak sadar sudah masuk jam istirahat.

"Oi, pacarmu datang tuh. Gercep banget."

Aku menoleh ke pintu. "Thana." Tidak mau membuat Thana menunggu, aku pun segera bangkit dari kursi, menyusulnya. "Aku kan sudah bilang biar aku yang jemput kamu ke kelas. Kamu selalu tiba duluan ke sini."

Thana tersenyum. "Hehe! Aku menang lagi."

"Dasar." Aku geleng-geleng kepala.

"Ayo ke tempat biasa! Hari ini aku bikin bekal super spesial untukmu."

"Iya, iya." Aku pasrah diseret Thana.

Entah bagaimana ceritanya kami berakhir pacaran padahal pertemuan pertama sangat tidak romantis melainkan tragedi. Meski begitu, aku senang berpacaran dengan Thana. Dia tulus menyukaiku, bukan karena utang budi aku menyelamatkannya kala itu.

Kami makan dengan cepat. Sesekali bersenda gurau, tertawa menonton meme di ponsel.

"Oh, iya. Kamu janji kasih cium ketika anniv satu bulan." Thana menyeringai halus sambil menyentuh pipinya. "Satu kecupan di sini."

PUFFT! Air dalam mulutku menyembur keluar, untuk tidak muncrat mengenai wajah Thana sebab aku memalingkan kepala. A-apa yang dia katakan di tempat terbuka?! Aku memang berjanji demikian, namun tidak di tempat umum.

"Ayolah, kamu sudah janji. Anniv sebulan!"

"A-anu, Thana... Itu... Bukannya aku lupa, tempatnya tidak memadai. B-bagaimana pas pulang sekolah saja?"

"Apa kamu malu? Lihat di sekelilingmu, mereka ciuman secara terang-terangan. Lagi pula ini hanya pipi! B-bukan bibir..."

"Aku tidak buta, Thana. Kamu jangan membohongiku seperti itu..."

"Kamu tidak mau karena canggung ya—"

Aku memegang bahu Thana, berbinar-binar. "Curang. Kalau kamu bikin ekspresi kayak gitu, aku mana bisa bilang tidak."

"Ekhem." Seseorang berdeham.

Aku langsung menghentikan aktivitasku, menoleh, sontak melotot. Astaga! Guru!

Thana benar-benar membuat kami dalam masalah. Ia dan aku kini telah berada di ruang BK, dihadapkan oleh muka datar Pak Sefrizal yang benar-benar sulit ditebak. Beliau sesekali memainkan pulpen di tangannya, kemudian menghela napas panjang. Setelah mengamati muka pasrah kami berdua, beliau beranjak pergi.

Selama pergi, aku dan Thana hanya diam. Ini benar-benar salah kami. Salahku yang telah berjanji akan menciumnya pada hari ketiga puluh setelah jadian kami. Salah Thana juga karena masih mengingat janji konyol itu. Kami sama-sama salah, dan kami pasrah.

Pak Sefrizal melempar buku catatan pelanggaran di meja, menyuruh kami mengisinya tanpa basa-basi. Tebak berapa poin pelanggarannya? Seratus! Aku tidak bisa kompromi, apalagi muka Pak Sefrizal seakan sudah kepalang menahan emosi. Setelah menandatangani buku poin, kami dimintai nomor ponsel orang tua. Kacau!

"Orang tua harus tau kalau kalian sudah dewasa dan pemberani," kata Pak Sefrizal.

"P-pak, kami memang salah. T-tapi, apakah poin saja tidak cukup?" Thana akhirnya bersuara.

"Dan membiarkan kalian menjadi contoh jelek?" tanya Pak Sefrizal.

Thana masih bersikeras meminta agar orang tua kami tidak dipanggil, sedangkan aku sangat sulit untuk berargumen. Suaraku kecil, dan lebih banyak terbata-bata. Aku bahkan tidak yakin argumenku akan sekuat Thana. Setidaknya, bisa membalas kata-kata Pak Sefrizal yang begitu menusuk.

Alhasil, hanya Thana yang bersitegang dengan Pak Sefrizal.

"Panggilan orang tua bisa dihapus, tapi dengan catatan kalian tidak boleh berdekatan selama di lingkungan sekolah. Kalian sanggup?"

"HAH?" teriakku dan Thana bersamaan. Aku dan Thana saling pandang. Jika dipikir-pikir, syarat itu lebih baik daripada panggilan orang tua. Namun, apakah aku betah tidak berdekatan dengan pacarku sendiri?

Setelah perdebatan batin yang panjang, akhirnya kami mengiyakan untuk tidak berdekatan selama di lingkungan sekolah. Jika sampai kedapatan dekat, maka sekolah tak segan-segan memanggil orang tua kami.

Aku dan Thana lemas, tentu saja. Ia langsung berjalan ke kelasnya tanpa berkata apa pun kepadaku, aku pun demikian. Kami sama-sama merasa bersalah atas kejadian itu.

Rumor tentang aku dan Thana yang masuk BK karena nyaris berciuman menyebar begitu cepat, bahkan lebih cepat dari berita kami berpacaran dahulu. Dulu, saat kami baru berpacaran, orang-orang menatap kami heran. Bagaimana bisa-bisanya si cantik justru berpacaran dengan si culun sepertiku. Sekarang, seusai kejadian ini, orang-orang kembali menatap kami berbeda.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Aku dan Thana menjadi dua orang yang tidak lagi saling sapa. Jangankan menyapa, melihat satu sama lain saja rasanya ingin segera menghindar. Entah hubungan apa yang kini sedang kami jalani. Masihkah pacaran atau tidak. Sesekali aku mencoba mendekati Thana di luar sekolah untuk memastikan kabarnya, tetapi ia enggan kepadaku.

Hingga hari kelulusan tiba, hubungan kami tetap tidak jelas. Aku kembali mencoba mendekatinya setelah ia turun dari panggung usai membacakan puisi perpisahan. Waktu mata kami bertatapan, mukanya mulai cemberut. "Thana, sudahi keheningan kita. Kita sudah lulus, hukuman tidak berdekatan di sekolah sudah selesai. Ayo kita lanjutkan hubungan yang sempat tertunda!" ucapku lantang.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bisa bersuara tanpa terbata-bata. Thana terdiam setelah aku mengatakannya. Meski sudah seberani ini, Thana tidak bereaksi apa pun. Ia berlalu begitu saja. Saat aku hendak mengejarnya, suara perempuan lain datang dari belakang. Adikku, Liya, membawakan buket bunga untukku.

Setelah kelulusan sekolah, kami benar-benar asing. Aku tidak melanjutkan kuliah, dan menghidupi keluarga kecilku dengan menjadi pegawai kebersihan di taman bermain. Tempat yang sama di mana aku dan Thana berjumpa.

Bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kesetiaanku terhadap taman bermain membuatku ditunjuk sebagai teknisi beberapa wahana. Mulanya hanya membantu teknisi utama memgambilkan onderdil dan memastikan wahana bermain dengan baik. Bayarannya lebih tinggi daripada hanya sebagai petugas kebersihan.

Dari uang gajianku, sebagian kumasukkan tabungan yang nantinya akan menjadi biaya pernikahan. Walau sampai saat ini aku tak tahu kabar Thana, aku tetap menantinya. Barang kali suatu saat ia kembali ke taman bermain, menaiki wahana carousel, dan bertemu denganku. Ah, indahnya!

Namun, harapan itu harus kutepis jauh-jauh. Aku harus fokus mengawasi wahana. Di wahana carousel, ada seorang perempuan yang berbincang dengan penjaga. Kudatangi mereka yang tampak tidak beres. Ternyata, perempuan itu ingin menaiki wahana carousel, tetapi wahana itu hanya diperuntukkan bagi anak kecil, bukan orang dewasa sepertinya.

Ketika aku hendak ikut campur, aku terkejut mendapati bahwa perempuan itu adalah Thana. Ia benar-benar berbeda sekarang. Makin tinggi. Makin cantik. Aku tak bisa menahan diri untuk memeluknya, menuangkan rindu padanya.

"Ini bukan sekolah lagi yang bikin kita kena poin," ucapku. Tak lama, Thana menangis di pelukanku. Kejadiannya dilihat oleh banyak orang, dan kami seakan tak peduli.

"Maaf karena kenekatanku, kita jadi masuk BK waktu itu. Aku merasa bersalah banget, makanya aku terus menghindarimu," ucap Thana penuh penyesalan. Aku berusaha menenangkannya. Ia kubawa duduk di salah satu kursi.

Kami berbincang sangat lama, tentu saja. Thana menceritakan kehidupan kuliahnya hingga lulus setahun lalu. Sampai sekarang, Thana masih menganggur karena tidak menemukan pekerjaan yang cocok baginya.

Aku pun terpikirkan ide gila. "Thana, bagaimana kalau sambil menunggu pekerjaanmu, kita menikah?"

Thana membulatkan mata. Aku kemudian menjelaskan berapa gajiku sebagai teknisi, dan berapa tabungan yang telah kusiapkan untuk menikah. Lebih tepatnya, menikahi Thana.

"Kita sudah belajar dari kesalahan masa lalu. Kita udah kapok sama itu. Dan setelah berpisah menuju kedewasaan masing-masing, aku mau kita bersatu kembali dalam ikatan yang lebih serius. Mau, kan?"

Tanpa kuduga, Thana mengangguk. "Di kampus, aku selalu nyari yang kayak kamu, tapi aku sadar itu bukan kamu."

Tanpa menunggu lama, setelah pertemuan di  wahana carousel itu, kami menikah. Berkat carousel, kami bertemu. Berkat carousel pula, kami bersatu.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro