Suara 05

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ke-35. Begitulah yang tertulis depan mata gue.

"Merida ...." Ah, lagi-lagi suara itu. Gue enggak permasalahkan selagi suaranya mampu obati rasa rindu padanya.

"Aku ... menyayangimu ...." Aw, gue juga merindukan—

"Kau wanita paling menjijikkan yang pernah kulihat." Tunggu, kok tiba-tiba dia menghina? H-heh, lo enggak tahu seberapa sukanya gue sama lo dan ini hasilnya? "Baik aku menikahi babi ketimbang mencium punggung tanganmu."

Satu kata: Kejam.

"Baiklah jika itu yang kamu mau, 05." Sebentar, ini suara gue? Serius? Kenapa gue enggak ingat? "Aku bakal menjauh darimu, tapi berikan aku keringanan untuk mengagumi dari jauh."

Gue dengar dia mendesah gusar. Buset, lembut juga suara gue ternyata. "Baiklah, selama kamu tidak tunjukkan muka di setiap langkahku berpijak, atau berkata kamu menyukaiku."

"Dan ... bila sesuatu buruk terjadi padamu, jangan berharap aku mau membantu dengan sukarela," kata suara gue. Serius, itu bukan gue yang ngomong.

"Merida!" Mendadak kobaran api menjadi latar belakang dia menjerit. "Tolong selamatkan aku! Aku berjanji akan mencintaimu sampai kita tua!"

Kemudian, sabetan pedang mengakhiri suara yang masuk ke telinga gue. Barusan itu ... apa? Enggak mungkin kan si Suara Lembut membunuhnya? Gue yakin dia enggan bunuh itu cowok.

"Hari ke-35." Perlahan gue buka mata. Pemandangan pertama berupa puluhan pasangan—kebanyakan cewek sih—bergaun cantik tengah berbincang penuh elegan. Di balik kipas bulu yang menutupi mulut mereka, banyak mata tertuju pada gue dengan jijik.

Memang ada yang salah sama pakaian gue, ya? Lantas gue lihat sekujur badan. Gaun gue berwarna merah darah, entah cocok apa kagak sama gue yang urakan. Bagian bawah gaunnya enggak mengembang kayak mereka, lebih menjuntai belai lantai.

"Temukan sosok yang kau cari." Apa? Maksud lo ... gue kudu cari mayat cowok yang terbunuh itu? Lo gila atau bagaimana? Mustahil bisa cari target.

"Semangat!" Aku berdecak kesal. Omongan gue enggak didengar ternyata.

"Karena kau akan jadi pusat perhatian bagi semua orang." Tunggu, gue belum ngeh sama keadaan! Kalau gue amati lebih lama lagi, kelihatannya gue paling mencolok di antara seluruh penghuni ruangan super gede ini.

Maksud gue, siapa lagi cewek yang gaunnya kayak gue? Siapa lagi cewek yang menjomblo kayak gue? Dan siapa lagi cewek yang privasinya terbuka kayak gue (tanpa kipas bulu maupun topeng yang suka ada di film)? Entah kenapa wajah gue terasa berat, seperti ada yang halangi pemandangan kalau mau tengok?

"Topeng berhasil terpasang." Sialan, suara kampret itu lagi, berasa lagi teleponan sama operator.

Paling penting, gue bisa jalan-jalan sekarang ketimbang diam dengar ocehan di mulut cewek berbisa itu. Setidaknya wajah gue tertutup topeng mata. Toh, gue pergi tanpa arah tujuan pun pasti dikira cari pasangan buat berdansa. Biasanya gedung beginian suka jadi arena dansa pasangan.

Namun, gue enggak tahu cowok yang sesuai sama suara masa lalu itu? Jangankan kenal muka dan perawakannya, dia ada di mana pun enggak tahu. Masa gue kudu colek satu per satu cowok di ballroom, termasuk para pemain musik yang ternyata seorang pangeran? Lalu, nama dia 05? Lo kira sosok yang gue cari seorang robot? Please deh, ini kerajaan, bukan markas cyber.

"Permisi, Nona bergaun merah."

Suara cowok, tapi enggak mirip dengan suara 05. Gue maklum, lekas gue hargai dengan bungkuk hormat seperti wanita bangsawan.

"Kau menarik perhatianku," kata dia mulai ulurkan tangan pada gue. "Maukah kamu berdansa denganku? Aku yakin kamu jauh lebih cantik bila berdansa menggunakan gaun itu."

Jadi lo lihat kecantikan gue dari gaun, hah?

"Jadi kamu lihat kecantikanku dari gaun, hm?" Ucapan gue .... Dia mengikuti ucapan gue dengan bahasa sopan? Namun, gue lihat dia mulai berdiri tegak dan kepalanya bergerak sembarang arah.

"Bukan begitu maksudku, Nona .... Aku cuma—"

Bodo amat gue dengar alasan klise lo.

"Persetan aku dengar alasan klise kamu, Tuan." Namun, gue lihat sekitar. Sudah tidak ada cowok yang sendirian berdiri luntang-lantung. Yah, terpaksa gue terima ajakan lo, cowok memandang fisik.

"Tapi, baiklah." Lekas gue gaet lengan dia. "Aku mau berdansa denganmu. Selagi dia tidak ada di sini."

Acara dansa pun dimulai, tapi gue merasa enggak nyaman bersama dia. Seperti ada niat jahat, sayangnya gue enggak tahu tanda-tandanya.

"Mengenai 'dia'," sudah gue duga! "kenapa kamu cari dia? Apakah 'dia' yang kamu maksud sangat spesial? Sebab itukah kamu rela sendirian di ballroom?"

"Entah," kata Suara Lembut mengikuti ucapan gue. "Mungkin ... aku merasa dia spesial, tapi bukan itu tujuan aku sendirian di sini. Bahkan aku tak minat dengan acara seperti ini."

Yep, seperti gue yang malas hadir ke acara perpisahan semasa sekolah.

"Waw," dia tertawa renyah, "Kau jenis wanita terunik yang pernah kutemui, Nona ...."

"Terunik atau teraneh, aku tak mengetahui apakah itu pujian atau bukan." Satu kali aku berputar sambil cengkeram lengan dia. Sialan, bagus banget gaun gue, mengembang kayak bunga baru mekar. "Dan ... kenapa kamu mau berdansa denganku? Baru putus hubungan dengan kekasihmu? Kau dan dia sering bertengkar?"

"Ya, bisa dibilang begitu," jawabnya berdeham sumbang. "Aku cinta mati dengan dia, tapi wanita tak tahu diri itu terus memikirkan seorang pangeran di kerajaan ini. Padahal aku yakin rumor terbunuhnya beliau adalah fakta."

"Pangeran di kerajaan ini?" tanyaku mengernyit penuh selidik. Kayaknya gue bisa manfaatkan emosinya yang labil. "Rumor seperti apa yang kau tahu tentang dia?"

"Rumor ... yah, hanya berita tentang terbunuhnya pangeran secara misterius. Yang aku tahu, pangeran terjerat masalah asmara yang mengakibatkan si pembunuh dendam padanya."

"Jangan dengarkan dia, Merida."

Aku langsung melotot. Suara 05 lagi. Namun, kali ini aku merasa nadanya mulai lembut.

"Aku akan datang menemuimu."

"Kau tidak apa-apa, Nona?"

Gue sedikit tersentak waktu dia bertanya sambil mengelus pipi gue begitu lembut. "Apa ceritaku buat kamu ketakutan, Nona?"

Gue bergeming. Suara 05 yang tiba-tiba merasuki indra pendengaran gue jauh lebih menakutkan. Dan gue baru sadar, musik telah berhenti. Puluhan sejoli enggak berdansa penuh cinta lagi. Semua ... berbisik-bisik pun melihat sesuatu.

"Bukankah dia sudah tewas?" Giliran cowok yang ajak gue dansa yang berbicara. Gue penasaran, makanya ikut melirik sesuatu yang menarik perhatian semua orang.

Seketika gue terbelalak enggak percaya. Bukankah dia ... sosok yang gue perbaiki semenjak gue injak kaki di wilayah gersang?

"Merida!" Dia memekik turun tangga. Suaranya mirip sama si 05. Apakah dia ... cowok yang gue kagumi hingga terbentuknya audio masa lalu?

Cowok itu segera saja menggenggam kedua tangan gue, dia kelihatan menggebu-gebu, tapi tangannya sangat dingin. “Merida akhirnya ... akhirnya aku menemukanmu.”

Dia tersenyum, yang harus gue akui sangatlah manis, sampai-sampai gue pun tertular melengkungkan bibir juga. Dan ... perasaan gue saja atau matanya tampak lembap? Ya Tuhan, apa dia terisak?

Katakan halo.

Huh, kenapa gue harus dengarkan lo? Tapi dengan kurang ajar mulut gue menurut. “Um, halo?”

Terduga pemilik Suara 05 tiba-tiba saja menggaet sisi pinggang gue kemudian menuntun tubuh gue berdansa. Ini bukan waktunya, astaga, tapi seolah tersihir, tubuh gue mengikuti pergerakan langkahnya, putaran lengannya dan kerlingan matanya dengan sangat lihai dan mulus. Seakan ....

Seakan gue dan dia—kita?—pernah lakukan ini sebelumnya.

Gaun merah gue mekar dalam tarian putaran bunga ketika kami saling mengikuti gerak tubuh masing-masing. Para tamu undangan serempak menjauhi lintasan dansa kami, dengan tatapan resah bercampur gelisah yang mereka layangkan. Gue enggak peduli, sih, mereka cuma latar belakang. Enggak relevan sama sekali.

Yang terpenting saat ini, cuma gue dan cowok itu dan jantung gue yang berdetak enggak karuan.

Kau lihat lehernya?

Refleks mata gue melayang menuju ceruk leher cowok itu. Ada sesuatu di sana, garis-garis gelap enggak rata yang menebas keluar dari neckcloth yang dia pakai. Butuh beberapa detik baru gue paham bahwa itu adalah bekas luka. Sebuah sayatan yang sangat dalam. Mungkin dihasilkan oleh pedang.

Kenapa lehernya memang? Tanyaku dalam hati.

Cekik.

Heh?

Apa-apaan?

“Mengapa diam, Merida?” Suara 05 bertanya di sela-sela dansa kami.

“Tidak, hanya ... menikmati,” jawab gue.

Cowok itu tersenyum lagi. “Aku pun begitu.”

Eliminasi. Cekik dia.

Kenapa aku mesti melakukannya Keras kepala sekali.

Ini perintah. Laksanakan!

Lo bukan bos gue!

Merida-HA35, kau sudah lakukan ini sebelumnya. Berulang-ulang kali. Sekarang lakukan sekali lagi, sebagaimana yang kau sudah diprogram.

Huh?

Apa?

Ngomong apa dia ini?

Laksanakan, Prajurit!

“LO BUKAN BOS GUE!”

“M-Merida ...?” Suara 05 terkesiap, dia mengusap sisi wajah gue yang baru gue sadari sekarang basah oleh keringat. “Mengapa mendadak berteriak? Ada yang mengganggumu? Apa kau sakit?”

Ups, apa gue baru saja bersuara besar-besar?

Gue menggeleng kuat-kuat. Suara aneh itu tidak muncul di kepala gue lagi, huh? “Baik-baik saja. Ayo lanjutkan.”

Cowok itu tersenyum miring, membungkuk rendah sejenak sebelum mengecup telapak tangan gue. “Keinginanmu adalah komandoku.”

Bersama, kami terus berdansa, seolah waktu berhenti, seolah dunia hanya milik kami.

***

[Sistem korup.]
[Rute tidak terkonfirmasi, data 505 tidak ditemukan.]
[Anomali pada stabilitas realitas dan otak organik terdeteksi.]
[Simulasi akan dipaksa berhenti pada tiga ... dua ... sat—]
[Koneksi terputus.]

***

[Koneksi Terhubung.]

Dr. Avery melepas alat komunikasi dari telinganya, sementara beragam grafik dan antarmuka pemrograman yang berlalu lalang pada layar raksasa terpantul di kacamata perseginya.

Ia mendesah.

Lima simulasi, lima pula pengulangan kalibrasi algoritma dan ke semuanya hanya berakhir pada satu skenario spesifik. Gagal, gagal dan gagal.

“Sudah kubilang berulang kali padamu, Doktor.” Direktur Stephenson mengetuk-ngetuk meja bundar tak sabaran. “Prototipe Merida-HA35 tidak dapat lagi diperbaiki. Otak organik hibridamu telah korup! Karena kau adalah pegawai favoritku, jadi dengarkan aku, hapus semua ini dan mulailah lagi dari awal. Broker telah menemukan pembeli untuk proyek kita dan mereka menginginkan semuanya selesai tepat tiga bulan dari sekarang.”

Dr. Avery tak mendengar, fokusnya telah dimiliki oleh satu kalimat spesifik. “Kau ingin aku menghapusnya?”

Direktur Stephenson mengibaskan tangan. “Ya, karena aku sadar betapa prototipe satu ini mendistraksimu dari bisnis kita. Dan aku ingin proyek ini rampung tiga bulan mendatang, tidak lebih!”

Mengetuk meja sekali lagi, Direktur Stephenson mengumumkan audiensi telah berakhir kemudian seketika itu juga beranjak keluar dari ruangan, diikuti peneliti-peneliti penjilat yang turut memberi Dr. Avery tatapan sinis ketika melewati pintu.

Dr. Avery tak tersinggung diperlakukan demikian, ia telah kenyang segala intimidasi dan cemoohan rekan kerjanya, bahkan. Karena ia tahu perusahaan ini membutuhkannya dan semata duitan apa pun Direktur Stephenson, pria itu tak akan sudi kehilangan asetnya yang paling berguna.

Tidak, Dr. Avery tersinggung oleh hal lain. Bisa-bisanya mereka menyebut Merida-HA35 sebuah kegagalan, bahkan ingin memusnahkannya. Jika mereka mau berpikir sedikit saja, prototipe ini sesungguhnya adalah sebuah sukses besar.

Ketika Institusi Stevanie mengajaknya bekerja sama membangun kecerdasan buatan super nyaris dua tahun yang lalu, Dr. Avery bahkan tak pernah bermimpi dapat sampai ke titik ini. Kecerdasan artifisial telah berjamur di dunia siber, dan Institusi memesan khusus agar proyek mereka ini lain daripada yang lain. Bahkan hingga menyewa grup lintas komunitas demi mengonstruksi dari awal sebuah otak organik.

Mereka ingin kecerdasan buatan ini berpikir selayaknya manusia, seidentik mungkin yang Dr. Avery bisa. Dan dirinya sukses. Terlampau sukses bahkan, hingga menggagalkan seluruh simulasi karena prototipe tersebut terlalu manusiawi. Merida-HA35 selalu berakhir melanggar perintah jika terlalu sering diekspos oleh hubungan emosional.

Ya, kelemahan terbesar salah satu kecerdasan artifisial tercanggih di dunia adalah cinta.

Dr. Avery termenung cukup lama di kursi kerjanya, sebelum akhirnya mengumpulkan tenaga untuk meraih papan ketik dan tetikus. Beragam formulasi kode ia masuki, beragam akses ia konfirmasi, hingga akhirnya bertemu sebuah antarmuka final.

Anda yakin ingin menghapus berkas secara permanen?
[Ya]   [Tidak]

Telapak tangannya melepas-genggam tetikus dengan bimbang. Apakah benar ini yang dirinya inginkan?

Menengok sekilas ke layar besar, kedua matanya menangkap cuplikan Merida-HA35 yang masih berdansa. Simulasi telah berakhir, tetapi mereka tetap saling menatap satu sama lain; berputar, bertukar haluan, berotasi dalam gravitasi cinta masing-masing.

Bukan cinta, Doktor, suara Direktur Stephenson mampir di kepalanya. Mereka hanya kumpulan kode. Tidak nyata. Kau terlalu sentimental, demi Tuhan.

Darah Dr. Avery mendadak serasa mendidih. Mengapa memangnya? Dr. Avery berargumen dalam hati. Hanya karena perasaan tersebut terasa palsu bagimu, adalah sebuah rekayasa komputer, bukan berarti itu tidak nyata bagi mereka.

Dr. Avery segera saja meralat semua perubahan yang telah ia buat pada kode Merida-HA35. Ia punya rencana lain dan tiada seorang pun yang dapat menghalanginya.

Sejenak, ia pandangi lagi layar di hadapannya, prototipe Merida-HA35—ralat, Merida—dan lelaki pujaannya yang saling berdekap dalam dansa. Tersenyum. Bahagia.

Dr. Avery ingin mengabadikan itu semua.

Anda yakin ingin mengarsipkan berkas secara permanen?
[Ya]   [Tidak]

Klik.

[Ya]

***END***
Ditulis oleh Maryjanee___ & singulari_tas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro