The Auditor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh elferis & divarvni_

Suma melangkah masuk pada lift kosong. Langit di luar gedung sudah terlihat gelap dan waktu di jam dinding menujukkan hampir pukul sepuluh malam. Tombol bernomor tiga ditekan pelan oleh Suma, demi mengantar pemuda itu pada lantai tujuan agar pekerjaannya segera selesai.

Lift bergerak naik dan layar di atas pintu berganti-ganti hingga menunjukan angka tiga. Akan tetapi, bukannya segera membuka, lift terus naik lebih lama dan berhenti di lantai empat.

"Eh? Bukannya lantai empat udah gak ada orang?" Suma bergumam. Pemuda magang itu merasa sedikit tidak enak dan punya firasat buruk.

Benar saja, ketika angka empat tertera di layar atas lift, pintu pun terbuka dan menampakkan koridor kosong nan gelap yang membuatnya ngeri. Inilah yang Suma benci, sebab dia bisa melihat dan merasakan hal yang tidak bisa dilihat kebanyakan orang secara kasatmata.

Bila koridor gelap di hadapannya itu lengang, sebetulnya mata Suma tidak menangkap demikian. Laki-laki itu bisa melihat berbagai sosok yang berlalu lalang dan terdiam di sudut-sudut koridor itu. Dia berusaha untuk tidak menatap mereka, tetapi matanya tidak sengaja beradu pandang dengan sosok perempuan bergaun putih yang bergerak memasuki lift.

Bulu kuduk Suma berdiri. Walau sedari kecil mata Suma memang spesial, tetapi dia tidak pernah terbiasa dengan kondisi seperti ini. Belum lagi hantu perempuan itu menarik-narik ujung baju Suma untuk menadapat perhatiannya.

Untungnya, lift bergerak turun dan sesaat setelah terbuka di lantai tiga, Suma buru-buru pergi ke meja kerjanya.

"Masih lama gak?" kata Suma saat menelpon rekan sesama anak magang yang pamit untuk makan malam di luar.

"Sebentar lagi. Mau nitip dibawain apa? Mumpung masih di luar nih banyak jajanan."

"Gak usah. Pokoknya cepetan ke sini kalau gak mau kita lembur sampai pagi!" Suma memutuskan sambungan telepon WhatsApp-nya.

Di sini, Suma bukanlah karyawan. Dia hanya salah satu Auditor dari perusahaan lain untuk melakukan audit keuangan dan membuat laporan sesuai kontrak. Dia harus cepat-cepat menyelesaikan semua tugas itu, tapi posisinya masihlah seorang anak magang yang banyak diberi tugas oleh senior-seniornya. Sehingga berakhirlah Suma mendekam sendiri di kantor ini sementara rekannya yang lain pamit untuk mengisi perut.

Ujung mata Suma melirik ke arah koridor dan mendapati bahwa gadis bergaun putih itu mengikutinya.

"Tolong." Begitu kiranya gerak bibir yang terbaca oleh Suma.

Suma menatap perempuan itu agak takut, walau sebetulnya sosok hantu itu tidak menyeramkan oleh bekas luka yang berdarah-darah. Wujud hantu perempuan itu seperti gadis biasa, berpakaian rapi dan anggun. Memiliki wajah manis meski lebih pucat dari manusia hidup.

Suma tidak terbiasa berinteraksi dengan makhluk dari dunia lain, tapi dia pun berjalan mendekati perempuan itu, hanya untuk menilai apakah hantu itu layak ditolong atau tidak.

"Kenapa?"

Hantu perempuan itu menatap Suma penuh pengharapan. Sementara pemuda yang ditatap memancarkan aura ketegasan dan keingintahuan, seakan sisi penakutnya lenyap terbawa angin malam.

"Bantu aku mencari kekasihku, dia ... bisa mati jika tidak segera ditolong."

Suma masih memandang perempuan itu. Dapat terlihat dari sorot matanya bahwa gadis itu mengharapkan bantuan Suma. Namun, apa yang bisa dia lakukan? Pemikiran realistisnya menolak untuk menerima mentah-mentah. Bisa saja dia sedang dibohongi dan berakhir terjerumus pada hal-hal negatif. Namun, hatinya seakan tergerak untuk melakukan sesuatu karena hantu perempuan itu sangat ingin menolong kekasihnya. Suma jadi teringat Padma, satu-satunya perempuan yang telah berhasil merebut dan menguasai hatinya. Pemuda itu seketika membayangkan bagaimana Padma telah menjadi hantu dan memohon pada orang lain untuk mencegah Suma dari bahaya. Namun, hantu perempuan ini bukan Padma.

"Namanya Kavi Wistara, kumohon bantu aku mencarinya."

Sekali lagi, perempuan itu memohon. Namun, belum sempat Suma menjawab permintaan itu, suara lift berbunyi memecah semuanya. Rekan-rekan Suma telah kembali dan membuat arwah perempuan itu menghilang.

***

"Kavi Wistara," Suma bergumam. Hari minggu pagi membuatnya malas setengah mati untuk bergerak dari kasur.

Kendati demikian, jarinya bergerak menggulir layar ponsel dan mengetik nama 'Kavi Wistara' yang terus terngiang-ngiang dalam ingatannya.

"Kambing! Siapa sih dia?"

Suma agak frustrasi ketika tidak menemukan informasi yang menguntungkan. Dia melempar ponselnya di kasur dan memilih untuk pergi ke kamar mandi lalu bersepeda.

Suma bukan berasal dari Jakarta, tapi dia tinggal di sana karena tuntutan pekerjaan untuk sementara waktu. Untungnya biaya sewa kamar dibayarkan oleh perusahaan tempat Suma bekerja, sehingga uang hasil gajinya bisa dia pakai untuk kebutuhan lain.

Saat pemuda itu mengayuh sepeda, dia melintasi gedung tempat kliennya berada tempo hari. Di sana juga lah Suma dimintai bantuan oleh sang arwah perempuan.

"Kirain hari libur gini gedungnya juga tutup," gumam Suma.

Suma bertegur sapa dengan satpam yang bertugas hingga akhirnya diizinkan masuk dengan dalih bertemu salah seorang karyawan di sana yang kebetulan sedang bekerja. Meski satpam tersebut tampak curiga, Suma mengabaikannya dan segera pergi ke lantai empat.

Di sana suasananya sepi, tetapi lebih terang di banding malam. Dia melihat ke sekeliling dan berharap menemukan sosok perempuan bergaun putih kemarin. Namun, arwah gadis itu tidak ada di mana pun. Hingga akhirnya Suma menunggu hari beranjak gelap selayaknya orang bodoh yang tidak punya kerjaan.

"Kamu di mana?" Sebuah pesan singkat masuk ke WhatsApp milik Suma. Itu pesan dari Padma.

"Di kantor."

"Ngapain? Bukannya lagi libur?" balas Padma.

"Aku mau tanya sesuatu," kata Suma mengalihkan pertanyaan Padma. "Menurutmu, apa yang harus kulakukan kalau ada yang minta tolong?"

"Tentu saja dibantu kalau kita mampu. Jahat kalau sampai diabaikan."

"Meskipun dia hantu?"

Padma cukup lama tidak membalas.

"Jangan ngaco. Tapi ... kalau kamu mau bantuin, hati-hati ya."

Suma terdiam hingga akhirnya dia dapat melihat sosok yang sedari tadi ditunggu. Arwah perempuan itu datang dengan malu-malu sambil bersembunyi dari makhluk lain.

Suma berjalan menghampiri. Semula arwah perempuan itu tampak terkejut melihat Suma datang lagi dan bersedia berkomunikasi dengannya. Namun, dia merasa lega bahwa ternyata ada orang baik yang mau menolongnya.

"Kamu mau menolongku mencari Kavi?"

Suma mengangguk. "Aku butuh informasi lebih selain nama."

Arwah perempuan itu tampak kebingungan dan berusaha mengingat informasi yang seakan sudah pudar dari kepalanya.

"Maaf aku gak banyak mengingat sesuatu, tapi Kavi itu penulis yang cukup populer. Dia ... oh! Aku baru ingat, Kavi punya pekerjaan di perpustakaan nasional."

Suma mengangguk. Informasi itu cukup membantu. Untungnya, dia punya rekan yang sering berkunjung ke perpusnas dan segera menghubunginya.

"Sebenernya cuma kenal beberapa pegawai yang sering interaksi aja."

"Boleh minta tolong tanyakan ada yang kenal Kavi Wistara?"

Selagi Suma berkomunikasi dengan temannya, sang arwah perempuan tersenyum bahagia. Namun, wajah Suma perlahan-lahan tampak tidak meyakinkan. Hingga akhirnya pemuda itu berkata.

"Maaf, kayanya ... aku gak bisa bantuin kamu," ujar pemuda itu. "Karena Kavi udah gak bekerja di sana. Dia ... udah meninggal dua bulan lalu."

Suma tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana ketika melihat raut terkejut Arwah perempuan tersebut. Apalagi ketika dia mulai terisak dengan begitu menyedihkan. Hawa dingin dan suram seketika memenuhi ruangan. Suma bisa merasakan kesedihannya, tetapi dia juga tidak tahu harus berbuat apalagi.

"Kalau begitu, bantu aku mencarinya."

Suma mengernyit. "Bagaimana caranya? Dia sudah meninggal dan tidak mungkin kan aku menyusuri seluruh kota Jakarta untuk mencarinya?"

"Kenapa tidak? Kumohon, bantu aku sekali lagi. Hanya kamu yang bisa membantuku. Aku tidak akan bisa istirahat dengan tenang sebelum bertemu dengannya. Aku mohon, Suma."

Sungguh, Suma tidak akan masalah jika dia tahu harus mencarinya di mana. Terlalu sulit seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.

"Kita bisa menggunakan ritual khusus untuk memanggil arwahnya."

"Tidak," ucap Suma dengan tegas. "Terlalu bahaya karena bisa memanggil roh jahat. Sebentar, aku perlu berpikir untuk mencari jalan keluar."

Sesaat keheningan menguasai tempat itu. Sang Arwah perempuan tidak henti-hentinya menatap Suma penuh harap membuat pemuda itu frustasi setengah mati.

"Di mana pertama kali kau berada saat meninggal?" tanya Suma tiba-tiba.

"Di rumahku sendiri."

"Lalu apa yang kau lakukan setelahnya?"

Arwah perempuan itu diam sejenak. Matanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. "Aku langsung mencari keberadaan Kavi karena dia tidak datang dalam pemakamanku. Namun, hasilnya nihil. Bahkan dia tidak ada di rumahnya sendiri. Aku mencarinya ke mana-mana tapi tidak bisa juga menemukannya."

"Apakah kalian saling mencintai?"

Wajah perempuan itu tampak terganggu. "Tentu saja! Kami bahkan sudah merencanakan pernikahan, tetapi gagal karena kematianku sendiri."

"Mungkin ada tempat yang sering kalian kunjungi? Siapa tahu dia ada di sana."

Sang Arwah kembali diam, tampak berpikir untuk beberapa saat sebelum akhirnya berbicara dengan penuh antusias. "Aku tahu! Tapi mungkinkah dia ada di sana?"

"Kita tidak akan tahu sebelum memastikannya. Siapa sangka dia tengah menunggumu di tempat itu."

Setelahnya, mereka segera menuju tempat yang dimaksud oleh sang arwah perempuan yang kini Suma ketahui bernama Saskia. Mereka menuju sebuah dermaga yang sepi pengunjung. Suma mengikuti langkah Saskia yang tampak terburu-buru. Jika dia masih hidup, perempuan itu pasti bisa merasakan jantungnya yang berdetak cepat. Apalagi ketika melihat sesosok pria memakai kemeja putih yang begitu lusuh berdiri di sisi jembatan sambil menatap air laut.

Tanpa banyak bicara, Saskia langsung berlari menghampirinya dan langsung memeluknya erat. Suma lega melihatnya. Tugasnya selesai dengan cukup cepat.

"Kamu ke mana saja? Aku sudah menunggumu selama dua bulan lamanya," ucap Kavi membalas pelukan sang kekasih.

"Aku mencarimu, tapi tidak kusangka kamu akan datang ke tempat ini."

"Tentu saja. Kita sudah sama-sama berjanji untuk datang ke tempat ini. Meksipun menunggu cukup lama, setidaknya sekarang kita sudah bisa bersama."

Keduanya kembali berpelukan membuat Suma memalingkan wajah. Untuk pertama kalinya dia melihat kisah romansa sepasang hantu dan itu terasa sangat aneh untuknya. Sekarang apa yang akan mereka lakukan? Pergi ke akhirat bersama-sama?

"Suma, terima kasih karena sudah membantuku menemukannya. Sekarang, aku bisa bersama dengan dia untuk selama-lamanya. Kuharap kamu dan kekasihmu juga tidak akan pernah terpisahkan. Semoga kalian bahagia selalu. Aku dan Kavi pamit. Kami harus segera pergi dari dunia ini."

Suma hanya mengangguk dan tersenyum, tidak tahu harus membalas bagaimana. Namun, perkataan Saskia membuat dia ingat akan Padma. Setelah kepergian sepasang hantu itu, dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam berukuran kecil. Sudah lama benda itu tersimpan di dalam sakunya. Suma selalu membawanya ke mana-mana berharap dia sampai di titik keberaniannya untuk melamar Padma berubah nyata, tidak hanya sekadar ilusi.

Ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari sang kekasih.

'Kamu masih lama, ya. Bisa antarkan aku ke toko bunga? Nanti malam ulang tahun Bunda kamu enggak lupa, kan?'

Suma tersenyum melihat pesan itu dan segera pergi dari sana untuk menjemput sang kekasih. Mereka lalu pergi ke toko bunga untuk membeli salah satu hadiah ulang tahun sang Ibu.

"Kamu suka bunga yang mana?" tanya Suma kepada Padma.

Wanita cantik itu spontan menatapnya. "Kenapa? Kamu mau belikan buat aku?"

"Emm, boleh?"

Padam tertawa kecil. "Tentu saja. Semua bunga tampak semakin cantik kalau kamu yang ngasih."

"Enggak, aku serius. Kamu suka bunga apa?" Agak memalukan jika bertanya langsung seperti ini. Namun, percayalah meskipun mereka sudah berhubungan cukup lama. Hal sepele seperti apa saja kesukaan keduanya banyak yang masing-masing tidak mengetahuinya.

"Bunga itu." Padma menunjuk sebuah bunga berwarna hitam pekat yang memang tampak elegan dan tegas. "Cantik," lanjutnya penuh kekaguman.

Suma tidak bertanya kenapa, tetapi dia langsung membelikannya.

"Kenapa tumben sekali kamu ngasih aku hadiah bunga seperti ini. Eh, kamu enggak ngelakuin hal buruk, kan?"

Suma tersenyum lalu menggeleng. "Gak ada apa-apa, Padma. Hanya ingin saja."

Padma tidak lagi membalas dan kembali sibuk mengagumi bunga pemberian sang kekasih. Sampai dia tidak sadar mobil sudah berhenti di depan rumahnya sendiri.

"Padma, bisa lihat aku sebentar?"

"Kenapa?"

Perempuan itu mendadak diam membisu dengan jantung berdetak kencang melihat tangan Suma yang menggantung di depannya. Di tangan kanan pria itu terdapat cincin yang masih terselip dengan rapi di dalam kotak.

"Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melukis kebahagiaan bersamamu. Padma, Maukah kamu menikah denganku?"

Tidak butuh waktu lama bagi Padma untuk mengangguk dengan tegas sebagai jawaban. Hal yang membuat Suma hampir meraihnya ke dalam pelukan secepat mungkin. Beruntung pria itu berhasil mengendalikan perasaannya sendiri dan langsung menyelipkan cincin itu di jari manis sang calon istri sebelum akhirnya benar-benar meraihnya mendekat lalu mendekapnya dengan begitu erat.

"Aku tidak tahu rasanya akan selega dan sebahagia ini," gumam Suma dengan mata berkaca-kaca.

Padma tersenyum. "Terima kasih karena sudah mempercayai aku sebagai pendamping hidupmu, Suma."

Dua bulan setelahnya, keduanya menikah dan sah menjadi sepasang suami istri. Namun, di tengah ramainya orang yang hadir, perhatian Suma berpusat pada dua orang yang tampak seperti sepasang kekasih tengah tersenyum dengan begitu hangat kepadanya.

Sampai kemudian bayangan keduanya menghilang.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro