(y)our feelings matter

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditulis oleh Me_Azzafa & YuunaAnggrelita

Video itu diunggah dua hari yang lalu, telah ditonton ribuan kali, disukai ratusan orang, dan dikomentari puluhan akun anonim. Musik latar belakang yang sedang viral belakangan ini terjeda saat sebuah potongan kata diucapkan oleh seorang gadis remaja.

"—aku suka sama kamu."

Itu kata si gadis tempo hari.

Hari ini, gadis itu sedang menatap video tersebut dengan mata melotot. Tukang ojek di jok depan memang tidak mendengar isi video, tapi bisa jadi dia tahu kalau penumpangnya pagi ini sedang tidak baik-baik saja. Poni si gadis bahkan sampai meluruh saking dalamnya dia menunduk.

Padahal masih pagi, dia terus menggigit bibir bawahnya. Tolong jangan jadi begini.

Notifikasi pesan masuk tiba-tiba muncul dan menyita perhatiannya. Asalnya dari grup obrolan anak-anak kelas yang notifikasinya dia senyapkan. Sadarlah gadis itu kenapa notifikasinya bisa muncul: orang-orang pasti menyebut namanya, membicarakannya, atau bisa jadi mentertawakannya.

Si gadis menarik napas. Bersiap menghadapi serangan verbal.

[Gede juga, ya, nyalinya.] Si pentolan kelas berkomentar.

Si teman semeja menyahut: [Kaget, 'kan? Aku aja enggak pernah kepikiran kalau dia bisa confess ke anak kelas sebelah. Padahal selama ini kerjaannya cuma corat-coret kertas sambil bengong.]

[Keren juga kamu @Poppy.] Kata si pentolan kelas lagi.

Sekarang gadis di atas motor mengernyit resah. Kuku-kuku jarinya menjadi korban pelampiasan; digigit-gigit, sesekali diketukkan ke gigi hingga menimbulkan bunyi tuk, tuk, tuk.

Notifikasi pesan masuk datang lagi. Kali ini bukan dari grup.

[Poppy, aman?] Itu pesan dari si ketua kelas. Bukan di grup kelas, melainkan ruang obrolan pribadi. [Dari sudut pengambilan videonya, sih, kayaknya kamu enggak sadar lagi direkam.]

Gadis itu membaca pesannya, tapi enggan merespons.

Tiga menit berselang, pesan itu masih tidak dibalas juga.

Si ketua kelas langsung memahami situasi. Karena itulah dia kembali mengetik. [Kalau ada sesuatu yang bikin kamu enggak nyaman, bilang aja. Nanti kucoba bilang ke admin medsos kelas buat hapus videonya. Jangan bolos, Poppy. Bolos justru jadi bumerang buat kamu.]

***

Poppy hampir tidak punya teman di sekolah. Hanya Raka—satu lagi orang yang ada di dalam video tadi—yang mau berteman dengannya. Itu pun tidak setiap saat. Mereka tidak sekelas dan tidak sering berpapasan juga. Semuanya karena Poppy lebih suka diam di dalam kelas.

Meskipun tidak setampan pangeran, kepribadian Raka membuat Poppy merasa nyaman; kesukaannya pada film-film kartun membuat Poppy merasa punya teman. Itulah kenapa Poppy betah dengan keberadaan Raka.

Namanya juga tidak begitu terkenal di sekolah, tapi bagi Poppy, nama Raka akan selalu ada di hati.

Kecuali hari ini—nama mereka mungkin akan segera tenar.

Poppy berbeda dengan Raka. Semua orang menjauhi Poppy karena dia payah saat diajak mengobrol, sulit diajak bermain, sering salah tangkap dengan candaan, sering gagap kalau bicara, dan lain-lain. Mungkin salah satu alasan terkuat adalah karena perut Poppy sama bundar dengan pipi. Dia memang tidak terlihat atletis.

Namun, kalau ditanya apakah dia ingin punya teman, jawabannya sudah pasti iya.

Memangnya harus sampai kapan Poppy merana sendirian seperti sekarang ini? Kalau teman semeja saja tidak bisa dipercaya, lalu dia harus bagaimana? Kepada siapa dia harus bercerita? Raka? Dia, kan, terlibat!

Tiga hari yang lalu, Poppy memang sedang menyatakan rasa pada Raka, tapi bukan itu persisnya tujuan Poppy. Kalimatnya memang benar, tapi bukan ke sana maknanya.

Walaupun … sebenarnya Poppy senang-senang saja kalau video itu dianggap sebagai pernyataan cinta.

Masalahnya, Raka mungkin akan berpikiran lain dan mulai menjaga jarak darinya.

Poppy tidak ingin begitu.

Sungguh, setelah turun dari motor tukang ojek, Poppy baru merasakan hasrat ingin bolos sekolah. Padahal dia sudah sengaja datang pagi-pagi sekali agar tidak menjadi bahan omongan di tengah koridor. Perjalannya bahkan tinggal masuk ke dalam gang yang agak lebar, jalan terus, lalu sampailah dia di depan gerbang sekolah yang menyempil.

Poppy menarik napas. Berusaha tegar dengan mengingat pesan ketua kelas.

[Bolos justru jadi bumerang buat kamu.]

"Poppy!"

Poppy berhenti mendadak setelah terlonjak bak maling dipergok warga. Kepalanya menegaskan, Jangan nengok! Sedangkan hatinya bilang, Itu suara Raka!

"Poppy?" Suara itu semakin mendekat, terdengar agak goyah seolah-olah si empunya suara tengah berlari.

Pemikiran bahwa Raka mungkin sungguhan mengejarnya langsung membuat Poppy semakin ketar-ketir di tempat. Lari, enggak, lari, enggak, lari—

"Hei!"

Poppy terlonjak kaget sekali lagi. Dia menoleh; beradu tatap dengan laki-laki yang tidak begitu tinggi di sebelahnya.

Raka muncul dengan napas putus-putus. Pada Kamis pagi yang agak mendung ini, senyumannya justru tampak cerah; walaupun sorot matanya memantulkan pertanyaan besar.

"Kamu kenapa?" Raka bertanya, diam sejenak, lalu bertanya lagi—kali ini lebih hati-hati. "Gara-gara video itu?"

_Aduh._ Poppy sontak mundur menjaga jarak. "K-kok—"

"Ada teman sekelasku yang kasih videonya semalam, jadi aku tahu." Raka menghela napas, menyempatkan diri untuk menyugar poninya yang nyaris menyentuh alis. "Ulah teman sekelasmu, ya? Dari nama akun pengunggahnya, sih, udah kelihatan."

Poppy meringis sambil menarik-narik ujung poni. Aduh, dia malu sekali. Sudah begitu merasa bersalah pula.

"M-maaf," gumamnya, "harusnya waktu itu aku lebih hati-hati."

"Tapi, 'kan, bukan kamu yang salah?" Raka menelengkan kepala. Senyum menenangkan itu lagi-lagi timbul di bibirnya. "Enggak perlu minta maaf, Poppy. Ini ulah mereka yang asal unggah videonya tanpa izin. Udah seharusnya izin dulu ke pihak yang bersangkutan, 'kan?"

Tetap aja, akunya enggak enak sama kamu. "K-kalau misalnya video itu dihapus, masalah ini bakal selesai, 'kan?" tanya Poppy takut-takut.

"Semoga aja begitu, tapi—eh, sebentar." Raka merogoh saku celana, menarik ponselnya yang tiba-tiba bergetar dan berbunyi.

Poppy diam menunggu. Agak canggung berdiri menepi, mengusahakan agar motor dan pejalan kaki masih bisa lewat.

Setiap kali Raka mulai fokus mengetikkan sesuatu sampai tidak sadar badannya berayun menghalangi jalan, Poppy segera menarik ujung seragam pramukanya; menuntun Raka untuk tetap berada di tepi. Lucunya, Raka tampak sama sekali tidak menyadari ulah tangan Poppy menarik-narik ujung seragamnya.

Hanya dengan memikirkan itu saja, senyum Poppy mengembang. Lucu. pikirnya.

"Poppy."

"Y-ya?" Poppy terkesiap, mengerjap cepat; mendadak bersyukur Raka tidak memanggilnya sambil menoleh.

"... Aku enggak yakin masalah video itu selesai dengan cara hapus video yang asli."

Degup jantung Poppy meningkat. Ujung jari-jari tangannya mendadak dingin. "M-maksudnya?"

Dengan kening berkerut, Raka mendekatkan layar ponselnya ke arah Poppy. Air wajahnya yang tampak serius justru terasa meresahkan. Ketika Poppy menatap layar ponsel, Poppy berani menjamin kalau semua rona di wajahnya lenyap tak bersisa.

"I-ini …."

"Video yang sama, akun yang berbeda," kata Raka. "Video itu terus diunggah ulang."

Bola mata poppy mengecil. Rasa khawatir dan gelisah muncul di saat bersamaan. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" gumam Poppy. Hatinya kini begitu resah.

Raka tak menjawab. Sedangkan air mata mulai membasahi pipi Poppy. Keheningan melanda di antara mereka berdua.

"Hei! Kalian! Masuk kelas sana!" Suara seorang guru BK memecah keheningan. Poppy dan Raka langsung buru-buru berlari ke kelas masing-masing.

Selama pelajaran berlangsung, beberapa murid asik membicarakan video itu. Poppy terus-terusan menunduk dan tidak memperhatikan pelajaran baik. Ia justru mencorat-coret buku catatan sejarahnya.

"Poppy? Ada Poppy?" teriak wali kelas Poppy, Bu Anna. Poppy yang tak fokus pun tersentak kaget.

"Saya?" jawab Poppy. Bu Anna menatap tajam Poppy. Bagi Bu Anna, Poppy adalah siswi yang tidak dapat diandalkan secara utuh. Kemampuan sosial Poppy juga bisa dibilang jelek sehingga Bu Anna tidak menyukainya.

"Lain kali tolong fokus." kata Bu Anna kemudian menulis presensi di daftar absen. Bu Anna lalu menyudahi jam pelajarannya bersamaan dengan bel istirahat yang berbunyi.

Ketika Bu Anna meninggalkan kelas, seluruh mata yang berada di kelas menatap Poppy dengan berbagai tujuan. Sialan. Aku tidak menyukai ini... Apa seharusnya aku bolos?

"Poppy! Kamu mau ke kantin?" ketua kelas, Reza tiba-tiba mendekati Poppy. Membuat seluruh perhatian di kelas berpindah kepada Reza begitu saja.

Reza mengeluarkan HPnya kemudian mengetikkan sesuatu di aplikasi note. [Ayo keluar. Kita berbicara di rooftop]

Poppy menelan ludahnya. Ragu, bimbang. Tetapi menurut Poppy Reza adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya olehnya. Poppy mengangguk. Reza tersenyum. Kedua orang itu kemudian keluar dari kelas.

"Lihat dia. Berani sekali, ya?" bisik salah satu gadis berambut hitam di dalam kelas itu.

"Apa Reza akan jadi target nomor 2? Wah kasihan sekali dia... Haruskah aku pungut? Hihi,"

"Jelek sekali permainannya... kotor."

"Kalau aku jadi dia aku pasti sudah pindah sekolah! Punya muka berapa si dia? Kok berani banget sekarang deketin Reza!"

"Wah, apa ini akan menjadi bahan gosip baru?"

"Sepertinya gosip soal Poppy akan bertambah dalam waktu dekat..."

Bisik-bisik itu mengiri kepergian mereka berdua. Takut... Aku inhin kabur.. Apa seharusnya aku pindah sekolah saja?

Sesampainya di rooftop, Reza mengajak ke tepian rooftop–dekat pagar pembatas setinggi kepala. Reza lalu duduk duluan di kursi yang disediakan. "Duduklah, ini akan berat." kata Reza lalu mengalihkan pemandangan ke hamparan kota yang luas.

Poppy duduk dengan ragu-ragu. "Apa... yang mau kamu bicarakan di sini?" tanya Poppy setengah gugup. Bola matanya bergerak ke sana kemari, berharap tak ada seseorang yang memotret atau merekam mereka berdua.

Reza menghela napas, "Seperti yang kamu tau, guru-guru cukup cuek dengan masalah sosial yang terjadi di kalangan siswa-siswi. Jadi melaporkan pun tidak ada gunanya. Memanggil orang tuamu dan kedua orang tua pelaku juga tidak akan terlalu berpengaruh kepadamu," Reza berhenti sejenak. Bola mata coklatnya menatap dalam bola mata Poppy.

"Kamu bolos satu semester itu hanya akan membuat gosip reda. Tetapi ketika kamu kembali bersekolah maka gosip itu akan muncul lagi ke permukaan," tambah Reza. Membuat Poppy membeku. Kepala Poppy penuh dengan rasa gelisah, khawatir dan takut.

"Opsi terbaik saat ini hanya satu. Kamu harus tegar dan optimis bisa melalui masalah ini..." ucap Reza dengan nada prihatin. Poppy merasa tangannya sangat dingin padahal matahari sedang bersinar tepat di atas kepalanya.

"Hoi! Kalian ternyata di sini?" Suara Raka menghentikan seluruh pikiran-pikiran negatif Poppy. Semilir angin berhembus ketika Poppy menoleh.

Raka kemudian mendekat. "Reza sudah memberitahuku rencananya. Tapi– Poppy. Apa kau bisa?" tanya Raka dengan sorot mata tak yakin. Yang membuat kepercayaan diri Poppy makin turun.

"Jangan begitu. Poppy pasti bisa, ya kan?" Reza membela Poppy. Ia menatap Poppy penuh harap.

"Badai pasti berlalu. Di badai Poppy kali ini tidak ada opsi bantuan. Kalau begitu Poppy harus bisa bertahan!" Tangan kanan Reza menepuk pundak Poppy. Membuat kepercayaan diri Poppy kembali naik.

"Lagi pula menyatakan perasaan itu tidak ada salahnya. Padahal aku yakin. Gadis-gadis yang menggosipkanmu itu pasti memiliki cerita yang lebih memalukan!" tegas Reza. Poppy tersenyum tipis. Keberadaan Reza bagaikan aura positif bagi Poppy.

Beberapa hari berlalu dan Poppy memutuskan untuk mengabaikan orang-orang yang menggosipi dirinya. Walaupun rasa gelisah dan khawatir masih ada namun berhasil diatasi oleh Poppy. Setiap harinya Reza dan Raka memantau Poppy dari dekat.

[Semangat! Hari ini pasti bisa dilewati! Apa kamu mau jajan dulu sebelum masuk sekolah?]

Itu adalah pesan yang selalu dikirimkan Reza kepada Poppy setiap paginya. Membuat Poppy merasa bersemangat walaupun hanya sedikit.

Terkadang, Raka pun menyeret Poppy pergi saat Poppy berada di sekitar anak-anak yang menggosipkannya.

Minggu demi minggu berlalu dan akhirnya gosip pun sudah reda. Tak ada lagi yang membicarakan Poppy baik di lorong atau pun kelas.

Poppy berjalan riang menuju rooftop. Ketika pintu rooftop dibuka, terlihat Reza dan Raka sedang mengobrol dengan hot chocolate di tangan mereka berdua. Poppy menghampiri mereka berdua.

"Terima kasih telah mendukungku selama beberapa minggu ini! Pasti susah ya untuk terus-terusan mendukungku... pasalnya aku tipe orang yang mudah menyerah dan gampang _negative thinking_.." kata Poppy sambil melirik ke lantai.

Raka tersenyum, "Aku sudah terbiasa. Bagaimana denganmu? Reza. Kau kan tidak terbiasa dengan Poppy," celetuk Raka. Dalam hati Poppy berharap Reza menjawab dengan positif seperti biasanya.

"Yah... lumayan susah. Tapi aku berpikir, kalau semisal aku tak mendukung Poppy dia bisa depresi dan berakhir bunuh diri. Karena kakakku berakhir seperti itu..." Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Reza membuat suasana hening seketika.

Poppy buru-buru mencari topik. "Ah! Apa ini buatku? Terima kasih!" Poppy dengan seenaknya mengambil secangkir hot chocolate yang berada di atas kursi kayu rooftop.

Saat meminumnya, bola mata Poppy membulat. "Pahit! Siapa yang membeli ini!?" keluh Poppy dengan wajah kesal. Reza dan Raka tertawa ringan. Mereka kemudian mengobrol ringan sambil meminum hot chocolate khusus valentine.

The End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro