BAGIAN 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari libur. Sabtu pagi yang berbeda bagi Thea. Kini, dihabiskan dengan keluar rumah bersama...ah...Thea tidak mau memikirkannya lagi. Pokoknya hari Sabtu sekarang sangat berbeda, sampai Tante Nera—Adik Ibunya yang mengurusnya dari jarak jauh—yang menelponnya pagi tadi tidak cukup menanyakan satu kali. Memastikan yang didengar telinganya lewat speaker ponsel.

Sekarang, Thea di dalam angkot bersama Dora menuju toko kue Mama Asri. Thea pernah melewati toko itu beberapa kali, pernah tergerak untuk membeli sekaligus menyapa Mama Asri, tapi langkahnya selalu terhenti saat melihat Abian dan Dora di dalam sana. Saling bercanda, tertawa dan Mama Asri nimbrung bareng mereka. Waktunya selalu saja tepat. Thea sudah di luar toko itu, dan mereka berada di dalam sana. Takdir? Bila itu adalah takdir, berarti takdir gemar menjailinya.

Mama Asri tersenyum sumringah sambil merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan mereka, terutama kepada Thea. Tatapannya membuat hati hangat dan saat Mama Asri mendadak memeluknya sekilas, senyuman Thea tak kalah sumringah.

"Tante udah nunggu-nunggu kamu lho, Thea." Mama Asri tahu Thea berkali-kali mengurungkan langkah untuk melewati ambang pintu toko kue ini. Sekarang, rasanya begitu bahagia gadis itu berhasil melangkahkan kaki lebih dalam bersama putrinya. "Duduk duduk ayo," ajak Mama Asri masih dengan tangan merangkul pundak Thea.

Cheese cake mereka datang bersamaan dengan datangnya orang yang hendak mereka temui hari ini. Bang Rengga disambut salah satu pelayan lalu diarahkan ke meja Dora dan Thea.

"Dora, apa kabar?" tanya Bang Rengga sambil menyalami Dora. Lalu dia berganti ke Thea dan menatapnya sejenak, seperti sedang meneliti.

"Kamu...aku pernah lihat di mana ya..." Tangan Bang Rengga yang hendak menyalami Thea masih menggantung di udara. Dia tak mengindahkan tangannya yang masih menggenggam udara karena otaknya sedang mencari sosok di depannya ini dalam benaknya.

"Odithea." Thea menyebutkan nama aslinya dan langsung menarik uluran tangan Bang Rengga tanpa Bang Rengga sadari karena masih sibuk dengan ingatannya.

"Nah itu...di majalah sekolah. Namanya susah sih. Si juara umum itu?" Bang Rengga mencoba akrab karena dia bisa langsung menilai sosok Thea yang kesulitan membuka diri.

Thea hanya tersenyum sekilas. Semakin lama label juara umum seperti menempel di keningnya. Salah. Tepatnya seperti nama panjangnya, karena saat menyetuskan nama Odithea Wastari, 'juara umum' langsung mengiringinya. Odithea Wastari Juara Umum.

"Thea. Panggil saja Thea," ujar Thea sambil mencoba tersenyum lebih lebar. Bila sosok berumur 20 tahun an di depannya ini bersanding dengan Tiar, maka kebanyakan orang tidak akan menganggap mereka adalah kakak-adik. Mata Tiar cenderung sipit dibandingkan Bang Rengga yang bulat nyaris belo. Alis mata mereka ada kemiripin bentuk, hanya milik Bang Rengga lebih menukik dan tidak sehitam Tiar. Hidung bangir Tiar menambah kerupawanan cowok itu, dibandingkan Bang Rengga yang tampak biasa saja. Kemudian, saat menjadi satu-kesatuan mereka benar-benar berbeda. Hanya senyumannya saja yang langsung mengingatkan Thea pada Tiar. Bisa jadi itu karena mereka mempunyai bibir tipis. Namun, bagi Thea memandangi Bang Rengga lebih nyaman karena sorot matanya dan senyumannya sangat bersahabat, tidak dibuat-buat. Dibandingkan Tiar yang di istirahat kemarin tidak begitu baik menyambut mereka.

Thea tiba-tiba menyadari sesuatu. Tiar yang seperti itu mengingatkannya pada dirinya sendiri. Aahh..itu tidak penting sekarang. Thea agak menegakkan tubuhnya. Dora nyaris memekik saat  melihat Thea tersenyum lebar membalas senyuman hangat Bang Rengga.

"Jadi, apa yang mau kalian bicarakan?" Bang Rengga membuka obrolan.

"Dora, kamu nggak pernah lepas ya dari tas itu," cetus Bang Rengga tanpa sadar membuat Dora langsung menatapnya. "Kamu kayak Dora The Explorer, bedanya bukan tas ransel yang nyangkol di badan kamu, tapi waist bag itu."

Dora tersenyum malu. Waist bag dan tubuhnya tidak bisa dipisahkan, kecuali ke kamar mandi dan tidur tentunya. Keluar rumah tanpa kehadiran benda ini terasa hampa, seperti berjalan tanpa arah, tanpa tujuan yang jelas.

"Coba aja muka kamu mirip juga Dora The Explorer pasti disangka kembarannya mirip, walaupun perbedaannya di tas aja."

Dora terkikik. Menjawab bahwa itu juga yang diharapkannya, sedangkan rambutnya tidak sependek Dora The Explorer, tapi agak panjang menyentuh bahu. Bentuk mata Dora seperti kacang almond, dengan ujung mata meruncing dan di atasnya terlukis alis tipis panjang. Dora The Explorer yang wajahnya bulat menggemaskan, berbanding terbalik dengan wajahnya berbentuk hati.

"Tiar maksa-maksa aku ketemu kalian dengan nada gengsinya karena duluan ngehubungin aku," kikikan Bang Rengga menyertai ucapannya. "Katanya ada hal penting yang mau kalian tanyakan—eh tapi sebelumnya aku mau berterima kasih karena berkat kalian si Tiar itu ngehubungin aku setelah dua tahun ini ogah buka suara duluan."

Dora terpaksa menghubungi Tiar kemarin malam untuk meminta nomor Bang Rengga. Sebelumnya, Dora mencoba ke teman-teman OSIS, tapi mereka terlalu banyak tanya ini itu, memperlakukan Bang Rengga seperti presiden yang harus selalu dijaga keberadaannya. Muak dengan mereka yang terlalu banyak omong, maka dengan dada sesak, Dora ikhlas menerima gemingan Tiar di ujung sana. Cowok itu cukup lama terdiam. Akhirnya terdengar helaan napas dan hanya mengucapkan kata "tunggu".

Bukan deretan nomor ponsel yang masuk ke chat WA Dora, tapi Tiar meminta alamat pertemuan mereka. Dora menurut-nurut saja, tak ingin menanyakan lagi. Sudah beruntung Tiar menjawab "tunggu" yang artinya dia akan membantu. Kemudian, Tiar mengabari Abangnya akan datang pukul sepuluh pagi ke Toko Stay With Cake.

Aneh, memang. Bukannya memberitahukan saja nomor Bang Rengga, tapi cowok itu melakukan hal yang paling enggan dilakukannya. Menjadi jembatan antara Bang Rengga dan Dora. Setelah mendengar Bang Rengga tadi, Dora menyadari sesuatu. Tiar memaksa Bang Rengga untuk meluangkan waktunya berarti Tiar khawatir terhadap Abian. Dengan sikapnya itu dia mencoba membantu Dora dan Thea yang mendapatkan jawaban tidak memuaskan darinya.

"Syukurlah," ucap Dora lega.

"The Bookish Club." Perkataan Thea menelusup begitu saja, memecah basa-basi yang membuatnya bosan. Jujur, Thea lebih suka to the point. Sudah cukup membicarakan Dora The Explorer. Sudah cukup membicarakan hubungan Tiar dan kakaknya.

Perkatan itu juga menelusup mengagetkan, membuat raut Bang Rengga menegang dalam sepersekian detik.

Hasil analisis Thea, mendengar 'The Bookish Club' seperti menghadapi bencana alam. Wajah Bondi, anggota jurnalistik lain—kecuali Kinan—dan Bang Rengga menampilkan raut persis dalam waktu sangat singkat. Mereka tercengang. Mereka menegang. Bahkan, Bang Rengga mesti membenarkan posisi duduknya karena The Bookish Club mengganggu kenyamanannya.

"Kami ingin tahu tentang klub itu." Thea cepat mengambil alih lagi, sebelum Bang Rengga membelokkan pembicaraan atau malah meneruskan basa-basinya.

Butuh waktu sekitar satu menit ditambah beberapa detik menunggu pelayan pergi dari meja mereka setelah mengantarkan pesanan Bang Rengga.

"Kenapa?" Bukannya jawaban, tapi tanya memantul kembali ke mereka berdua.

"Abian nggak masuk sekolah tiga hari kemarin Bang. Setelah kita telusuri, terakhir kali dia terlihat di perpustakaan. Terakhir kali dia dan empat temannya yang hilang juga lagi ngerencanain The Bookish Club. Terakhir kali kita menyebutkan The Bookish Club, Bondi—si ketua jurnalistik—nggak begitu senang karena terakhir kali yang ditanyain Bian ke anggota jurnalistik adalah tentang klub itu. Maka semuanya mengarah ke The Bookish Club," Papar Dora yang sukses meningkatkan ketegangan di raut Bang Rengga.

"Dan terakhir kali juga hal yang ditanyain Abian ke Bang Rengga adalah The Bookish Club," imbuh Thea meningkatkan intensitas ketegangan. "Ekskul. Ekskul The Bookish Club."

Bang Rengga menyesap kopinya. Kesepuluh jemarinya bertautan membentuk dasar untuk dagunya hinggap di sana. Dia termenung dalam posisi tersebut dan dua cewek di depannya tetap sabar menunggu. Ini bukan pertama kalinya bersabar menunggu orang yang sedang mereka tanyai mengolah informasi di benaknya. Walaupun yang dilakukan Bang Rengga kali ini bukanlah mengingat-ngingat kejadian seperti yang dilakukan Tiar, Kinan dan Cecil, tapi sedang menimbang apakah kumpulan informasi tentang The Bookish Club pantas diceritakan? Apakah aman untuk diceritakan?

"Terakhir kali juga salah satu dari mereka me-riview sebuah novel. The Houses." Thea tak ingin diam saja memandangi Bang Rengga, maka luncuran kalimatnya itu berhasil menekan Bang Rengga dan kembali membenahi posisi duduknya.

"Terakhir kali, penulis novel itu meminta ketemuan," imbuh Dora semakin menyudutkan Bang Rengga agar membuka mulutnya.

Sukses besar. Mata Bang Rengga melotot. Tangannya nyaris menumpahkan kopi di samping tangannya. Dia mengusap tengkuknya, memijat keningnya lalu menatap intens mereka berdua bergantian. Informasi itu justru mengguncangnya lebih kuat.

"Sejauh apa yang kalian tahu?" tanya Bang Rengga dengan mulut bergetar.

"Hanya sampai mereka berlima dan penulis itu rupanya ketemuan di sana." Thea menunjuk ke samping kanannya, ke arah coffe shop.

"Nggak mungkin. Kalian salah. Penulis novel itu udah lama meninggal."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro