2. Bertemu Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Goresan pensil HB membentuk garis melengkung dengan pola tebal ke pudar. Jari-jari yang memegang kendali penuh atas pensil itu bergerak ringan membuat beberapa titik di atas hamparan garis melengkung yang indah. Seolah meniupkan roh, Neon mengembuskan udara hangat pada sketsa di sketchbook A6-nya.

Sebuah piring penuh nasi goreng tiba-tiba diletakkan di atas meja di depan Neon. Kilauan minyak pada nasi berwarna keemasan itu membuat serangan rasa lapar semakin kuat.

"Ini Mas makanannya sudah siap."

Seorang ibu-ibu berdaster biru melebarkan senyumnya sambil meletakkan pesanan Neon. Bedak dan lipstik yang tebal tapi ditempelkan sembarangan, sangat khas dengan image-nya sebagai seorang pemilik sekaligus koki Warteg. Bukan Warteg yang biasa Neon temui di pinggiran jalan Jakarta, tapi benar-benar sebuah warung makan yang berada di wilayah Tegal. Tepatnya di dalam wilayah Kabupaten Tegal.

"Makasih, Bu." Neon menutup sketcbook mini itu lalu memasukkannya ke tas selempang miliknya, bersiap untuk makan. Pesanan Neon termasuk spesial karena tidak ada dalam daftar menu.

"Masnya dari mana? Kok sampe masuk ke desa kecil kaya ngene?" tanya si Ibu Warteg dengan nada khas medhoknya.

"Dari Jakarta, Bu. Ke sini buat ke rumah lama." Neon menjawab singkat.

Dia makan dengan lahap, mengesampingkan ruang yang sempit, pengap, sedikit kotor, bau, dan ramai dengan para pria berkulit gelap dengan otot kekar hasil kerja keras banting-tulang mencari nafkah yang duduk bersamanya di kursi panjang di depan etalase makanan. Pun meja panjang yang menyambung dengan meja etalase yang digunakan bersama untuk makan.

"Oalah, pantesan yo bau-baunya khas kota. Beda karo wong desa. Bau gini nih kaya yang biasa ngutang." Lirikan penuh makna Ibu Warteg layangkan pada sejumlah pria di samping Neon.

*Beda sama orang desa.

"Ealah ngode-ngode gitu ana apa, ta? Wong aku bayar kok nek wis olih duit," sahut salah satu dari mereka yang lantas disetujui oleh yang lain.

*Ngode-ngode gitu kenapa sih? Orang aku bayar kok kalau sudah dapat uang.

"Iya, iya. Tak iyani bae. Apa jare bae wis." Setelah selesai dengan perdebatan kecilnya, Ibu Warteg kembali masuk ke dapur untuk memasak.

*Di-iya-in aja. Apa katamu aja deh.

"Mas, Mas." Neon menoleh saat tangannya disentuh pria berbaju partai di sampingnya.

"Mase wong kene kan, ya? Bada wingi ora balik apa pimen? Kok wayah biasa ngene balik? Ana apa ta?"

*Masnya orang sini kan, ya? Lebaran kemarin enggak pulang apa gimana? Kok waktu biasa kaya gini malah pulang? Ada apa, ya?

Neon bergeming. Dia sama sekali tidak tahu apa yang orang itu katakan. Kalau hanya sepatah atau dua patah kata, mungkin Neon masih bisa mengerti. Namun kalau sebanyak ini, dia sama sekali tidak tahu.

Menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan reaksi pemuda kota itu, si bapak berkaos partai itu pun langsung mengganti bahasanya.

"Oh, ndak ngerti bahasa sini ya Masnya? Diem gitu, bilang aja Mas kalau ndak bisa. Kan saya ngomongnya pakai bahasa Indonesia hahaha...."

Di balik tampangnya yang cukup menyeramkan dengan kumis tebal, ternyata bapak berkaos partai itu sangat ramah. Meski begitu, Neon yang memiliki kendala dalam bersosialisasi hanya bisa menampakkan sedert giginya dengan canggung.

"Ke sini mau ketemu keluarga? Kok ndak lebaran pulangnya? Rumah Masnya daerah mana emang?"

Neon menghentikan gerakan tangannya yang semula mengaduk nasi di atas piring. Pertanyaa seperti itu memang sangat remeh dan biasa. Namun karena suatu alasan, pertanyaan biasa itu sangat berbeda makna saat sampai ke gendang telinga Neon. Seperti sebuah penghinaan juga keputusasaan. Butuh beberapa detik bagi Neon untuk menenangkan diri, lalu menjawab seolah dia baik-baik saja.

"Keluarga saya enggak di sini, Pak. Ke sini cuma buat lihat kondisi rumah."

"Loh rumahnya kosong yang di sini?" Bapak partai itu lumayan terkejut mendengar jawaban Neon. "Pantesan kok kayanya ndak pernah lihat Masnya."

"Enggak kosong kok, Pak. Ada yang nungguin." Entah kenapa Neon tidak bisa mengatakan yang sejujurnya. Rumahnya yang dulu telah dijual. Meski begitu, Neon tetap ingin memanggilnya rumahnya. Egois memang.

Neon mulai terbiasa dengan percakapan ini. Jadi dia meneruskan makannya. Meski terkesan tidak sopan, dengan tidak melihat orang ia ajak bicara bisa meningkatkan kemampuan komunikasi Neon sampai 20%. Mau bagaimana lagi, kondisinya memang seperti ini sejak bertahun-tahun yang lalu.

"Oh, di daerah mana Mas rumahnya?"

Neon merasa pertanyaan yang satu ini sudah diulang beberapa kali. Apa dia lupa menjawab? Neon pun tidak tahu apa penyebab pastinya.

"Di daerah waduk, Pak."

"Ndak jauh itu, Mas." Bapak kaos partai mengambil jeda di atara kata-katanya dengan meneguk es teh manis. "Bentar lagi juga sampai."

"Seberapa jauh, Pak?" Neon mendadak penasaran.

"Ndak jauh-jauh banget kok. Masnya ikutin ini jalan besar saja. Yang aspal paling besar ini loh depan warung. Nah nanti di ujung jalan itu Waduk Cacaban. Emang rumahnya pas banget di samping waduk ya, Mas?"

"Iya, Pak. Pas banget belakang rumah saya itu Waduk Cacaban."

"Belakang? Aneh ya Mas rumahnya. Rata-rata ya yang tinggal di sana pada menghadap waduk. Kok rumah Masnya malah membelakangi."

Setelah makan selesai, Neon benar-benar mengikuti arahan si bapak kaos partai sebelumnya. Namun, setelah sepuluh menit berjalan kaki sambil menarik kopernya, Neon tak menemukan apapun.

Panas matahari yang menyengat ditambah jalanan yang aspalnya seolah habis terkena meteor membuat rasa lelah Neon bertambah puluhan kali lipat. Pemuda kota yang lemah itu memilih berteduh di bawah atap salah satu rumah penduduk di sana.

Neon memang ikut berteduh tapi dia tidak sanggup menghempaskan pantat berbalut celana jeansnya ke tanah untuk duduk. Tidak jongkok sekalipun. Dia sama sekali tidak ingin mengotori pakaiannya. Apalagi sekarang dia memakai kaos putih dan kemeja berwarna turquoise blue.

Pikiran Neon sedikit kacau. Ada keinginan untuk membuat lukian abstrak yang tak tertahankan. Ketika sudah selesai, Neon akan merobek material lukisan itu lalu membakarnya sampai tak tersisa sedikit pun. Dia sangat kesal. Kepalanya sangat panas dalam arti yang sesungguhnya.

"Permisi."

Suara bernada rendah yang lembut tiba-tiba menginterupsi kekacauan dalam kepala Neon. Ketika menoleh, Neon melihat seorang pemuda dengan kisaran usia dua puluh awal sudah berdiri di sampingnya.

"Mas bukan orang sini, ya?" Neon mengangguk pelan sebagai tanggapan. "Mas mau ke mana? Barangkali nyasar, mari saya antar."

Setelah menjelaskan secara singkat tentang keadaannya, Neon kini diantar oleh pemuda bernama Tio itu menuju waduk. Kebetulan sekali Tio merupakan salah satu bagian dari organisasi pengelola destinasi wisata di Waduk Cacaban. Pemuda ini tidak terlalu tinggi, tapi Neon sekalipun bisa melihat enam pak otot yang terbentuk dengan baik di balik kaos oblong hitamnya.

Selain itu, Tio sangat bersahabat dan penuh dengan keceriaan. Sangat berbeda dengan Neon yang wajahnya selalu penuh dengan kemurungan. Di mata Neon, satu-satunya kelemahan Tio adalah dia sangat cerewet. Meskipun niat Tio baik, yaitu untuk menjelaskan mengenai jalan dan kondisi daerah setempat, tetap saja Neon merasa tidak nyaman dengan Tio yang terlalu banyak bicara.

Neon berusaha untuk sedikit mengabaikan beberapa kata yang Tio suarakan dengan melihat ke sekeliling. Entah hanya perasaannya saja atau jalan yang kini ia lewati bersama Tio sama sekali tidak asing.

Apalagi ketika sampai di depan sebuah warung makan di suatu pertigaan dan bertemu seorang bapak-bapak berkumis tebal yang memakai kaos partai.

"Loh Mas yang tadi. Sudah selesai lihat rumahnya?" tanya Bapak itu dengan wajah tak berdosa. Neon sama sekali tidak berniat menjawab. Meski sebagian besar penyebab dia tersesat adalah buta arahnya sendiri, si bapak ini tentu saja tetap ambil bagian.

Untungnya Tio yang baik hati bersedia mewakili Neon menjawab si bapak berkaos partai.

"Ini baru mau ke sana. Sekalian saya juga mau ke sana buat beres-beres pos."

"Oalah. Kirain ini sudah mau pulan--"

"TOLONG! JAMBRET!!"

Teriakan nyaring seorang wanita terdengar cukup dekat. Beberapa warga langsung berlari menghampiri sumber suara, terutama para kaum adam termasuk Neon dan orang-orang di warung makan.

"TOLONG! TOLONG!"

Di sebuah cabang jalan yang sempit, ada seorang perempuan berteriak histeris meminta bantuan dan dua pria bertampang preman yang kini tengah menjauh dengan sepeda motor. Para pejantan yang memang sejak awal datang untuk menolong tanpa basa-basi langsung mengejar para penjambret. Mereka berlari dan berusaha keras agar dua pemjambret bisa ditangkap sementara beberapa ibu-ibu datang untuk menenangkan si korban.

Di tempat kejadian hanya tinggal sekumpulan kaum hawa dan seorang Neon. Neon tidak mengejar penjambret atau menenangkan korban. Dia hanya berdiri diam memegang kopet dan tali tas selempangnya. Sementara matanya fokus pada si korban yang rasanya tidak asing.

Korban penjambretan tadi adalah seorang perempuan muda dengan rambut panjang lurus yang digerai. Tangisnya yang berlebihan membuat lesung pipitnya sesekali terlihat. Wajahnya bulat dengan bibir mungil yang merah cerah. Tanpa sengaja, mata perempuan itu melirik ke arah Neon. Pandangan mereka bertemu. Namun, perempuan itu malah memalingkan muka dan berusaha membuat Neon tidak melihat wajahnya.

Tentu saja tindakan itu tidak berguna. Neon sudah melihat wajah itu untuk kesekian kalinya. Wajah perempuan yang keras kepala dan penghancur karir orang lain. Siapa lagi kalau bukan si penuntut yang membuat Neon kewalahan dengan kasus plagiarisme yang ia hadapi.

Orang bilang insting introver itu kuat. Dan sekarang Neon punya firasat yang sangat buruk karena semua kejadian tidak menyenangkan hari ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro