Bab 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua ini berawal dari hari itu, ketika bahan makanan di rumah habis.

Aku berinisiatif pergi ke hutan Inairakhi untuk mencari sayuran dan akar-akar rimpang yang bisa kami makan atau kami jadikan obat. Mila dan Hessa terlihat keberatan, tetapi tidak bisa melarangku pergi. Walau hutan yang berbatasan dengan desa kami terbilang angker dan keramat, keduanya tahu, aku mengenal hutan ini jauh lebih baik dari kebanyakan orang desa. Semasa hidupnya dulu, Ayah sering mengajakku menjelajahi Inairakhi. Beliau mengenalkan banyak jenis tanaman padaku dari yang bisa dimakan, bermanfaat sebagai obat, maupun tanaman beracun.

Selain itu, yang paling menyenangkan saat Ayah mengajakku ke mari adalah, aku bisa bertemu 'kawan-kawan baru' yang tidak terduga. Dulu, aku sering menangis saat bertemu mereka, terutama yang memiliki wajah seram. Namun, seiring waktu, aku menjadi lebih terbiasa, meski kadang-kadang kaget dengan kemunculan mereka yang tiba-tiba. Apalagi yang satu ini. Dia sering datang di waktu dan tempat yang salah. Sering aku berpikir, kenapa 'makhluk ini' hobi sekali menggangguku di saat yang kurang tepat?

"Sekalipun aku minta minggir, kau tidak akan minggir kan?" tanyaku keki sambil mengendurkan tarikan busurku. Sepasang Kijang yang merumput tak jauh dari tempatku bersembunyi sudah lari saat mendengar suaraku. Kesempatan keluargaku makan daging hilang sudah. Padahal... daging kijang itu bisa diawetkan dan menjadi persediaan bahan makanan untuk beberapa hari.

Ekspresi makhluk itu tidak berubah banyak. Wajahnya tetap datar dan mengesankan kewibawaan, meski matanya sedikit memicing tidak suka. Dulu, aku terpesona dengan sosoknya yang anggun dan bersih, tetapi setelah mengenal sedikit sifatnya, kadang-kadang aku merasa sebal dengan makhluk ini.

"Jangan berburu saat ini," tegurnya tanpa menggerakkan mulut sama sekali. Bibirnya tetap mengatup rapat, meski suaranya menggema di dalam kepalaku. Tanduk hitamnya bercabang-cabang seperti ranting pohon dan mengarah ke atas. Bulu-bulunya seputih awan, berkobar bak api yang menyala. Kuku-kukunya cokelat gelap, nyaris menyerupai warna tanah yang subur. Bentuknya seperti menjangan, tetapi dia jelas-jelas bukan menjangan. Kami menyebut makhluk sepertinya dengan nama Jugook.

"Keluargaku kelaparan. Kalau tidak berburu, bagaimana kami bisa makan?" gerutuku sambil memasukkan anak panah ke dalam tabung bambu yang tersampir di punggung, lalu menyelipkan busur ke bahu.

Makhluk itu melirik keranjang bambu kecil yang tergeletak di samping kakiku. Isinya belum penuh, tapi cukup untuk makan selama 3 hari.

"Kau sudah mengambil banyak," sorot matanya berubah sayu. Nada suaranya terdengar pihatin.

"Bagiku ini masih sedikit," kutenteng keranjang tersebut, kemudian pindah ke area lain untuk mencari bahan makanan lainnya. Dengan 5 mulut yaang harus kuberi makan (bila ditambah denganku menjadi 6), sayuran ini akan habis dalam waktu singkat. Setidaknya, aku harus mencari tambahan 2 atau 3 kali dari yang kudapatkan sekarang.

Sayang... tak banyak yang bisa kuambil. Banyak tanaman yang layu, bahkan mati. Pohon-pohon kering-kerontang, daun-daunnya kuning pucat dan meranggas terlalu banyak, ranting-rantingnya berubah warna keabuan seperti habis terbakar. Tanah hitam yang dulunya liat dan gembur, sekarang keras dan kering seperti kerak. Rumput-rumput pun tampak menguning seperti warna matahari. Inairakhi yang dulunya rimbun dan sejuk, kini terasa panas membakar akibat musim kemarau yang berkepanjangan.

Hampir 2 tahun desa kami mengalami musim kemarau. Meski 1 – 2 kali hujan turun, tetapi itu tidak cukup mengembalikan kondisi Inairakhi seperti semula. Jumlah air di sungai-sungai yang kami andalkan untuk mengairi ladang maupun untuk kebutuhan sehari-hari kian menyusut. Ceruk-ceruk danau pun hanya menyisakan kerak-kerak lumpur tebal berwarna hitam. Akibat kekeringan ini, panen di desa kami merosot jatuh hingga hampir sebagian besar penduduk desa kesulitan bahan pangan. Keterbatasan air membuat kami semua berhemat, terutama untuk merawat kebun-kebun kami yang selalu terlihat kehausan.

Aku berdecak saat mendapati umbi yang berhasil kuambil ukurannya tak lebih besar dari kelingkingku. Agak sayang bila mengambil bibit-bibit muda seperti ini, tetapi... kalau dibiarkan juga sayang. Dari pada nanti umbi ini mati karena kurang air, lebih baik masuk ke dalam perut kami saja.

"Sampai kapan kemarau ini akan berlangsung?" keluhku sambil mengusap peluh yang membasahi dahi. "Sejak Kaisar Riyushi meninggal dan Putra Mahkota menggantikan beliau, rasanya langit tak pernah memberikan berkahnya. Apa Tadakhua tidak memberkati pengangkatan Putra Mahkota Rheiraka?"

Si makhluk yang sejak tadi menemaniku diam tak menyahut. Pandangannya terarah ke arah lain.

"Ada apa?" aku mengernyit melihat ekspresinya terlihat sangat serius.

"Ada orang jahat masuk ke mari."

Siapa pun orang jahat itu, aku yakin..., dia tidak akan bisa lolos dari kemarahan makhluk ini. Inairakhi dianggap angker dan keramat bukan tanpa alasan. Sebagai sosok Jungi yang menguasai hutan ini, Inaike tak pernah segan-segan terhadap siapa pun yang berani mengusik kedamaian hutan. Dari mulai warga desa maupun orang luar, siapa pun yang berniat buruk di Inairakhi taruhannya adalah nyawa!

Meski begitu, yang tidak berniat buruk pun tidak bisa lepas dari nasib sial. Ada banyak sekali makhluk yang tinggal di sini dan tidak sedikit dari mereka yang suka usil terhadap manusia. Kadang-kadang Inaike sering mengabaikan kelakuan mereka, sehingga tidak sedikit warga desa maupun orang luar yang tewas saat tersesat di hutan. Tidak anak kecil, tidak orang dewasa, semuanya diganggu. Karena itulah, ada larangan masuk ke hutan ini, kecuali mereka membawa jimat tertentu atau memang punya kemampuan khusus sepertiku dan Ayah.

"Aku akan memeriksa keadaan dulu," Inaike menatapku. Matanya yang sehijau dedaunan memandangku lekat-lekat. "Jangan mendekat ke utara."

Aku mengangguk patuh.

Dalam sekali kedipan, dia pun lenyap dari pandanganku.

***

Ke mana lagi aku harus mencari bahan makanan!

Aku terduduk lelah di bawah salah satu pohon tua yang cukup rimbun di antara pohon-pohon gundul lainnya. Sepanjang jalur yang kutelusuri tadi, terhitung dari tempatku menemukan umbi kecil, sama sekali tidak ada tanaman yang bisa diambil. Akar rimpang yang kutemukan pun tidak ada gunanya, karena sudah membusuk.

Aku mengambil kantong air yang terikat di sabuk pinggangku. Sambil beristirahat, aku memikirkan kembali area mana yang masih memiliki persediaan tanaman segar. Inaike mengatakan jangan ke utara, jadi area mana pun yang mengarah ke Inairakhi utara akan kucoret. Lagi pula, tanpa diperingatkan juga aku akan berpikir 2 kali untuk pergi ke sana. Itu area yang terlalu jauh untuk kudatangi.

Masih terlalu sibuk memikirkan peta imajiner hutan ini, aku hampir mengabaikan kedatangan seekor kijang kecil. Hewan itu sepertinya tidak menyadari kehadiranku, sehingga berani lewat di depanku. Aku terdiam sesaat, terpukau dengan kehadiran bahan makanan yang tidak disangka-sangka. Berhubung Inaike sedang sibuk mencari orang jahat yang masuk wilayahnya, aku bisa memanfaatkan momen ini untuk menyenangkan keluargaku. Hari ini makan daging!

Aku menutup kantung airku dan mengaitkannya kembali ke sabuk pinggang pelan-pelan. Dengan gerakan yang teramat hati-hati, aku menggapai anak panah dan busur yang tadi kuletakkan di sampingku. Kijang itu tengah memakan daun sesemakan yang jaraknya tak jauh dari tempatku beristirahat. Namun, baru juga akan beranjak mendekatinya, suara ranting pohon yang terinjak mengagetkan kijang tersebut. Sesaat, kami saling bertatapan dan sepertinya kijang itu punya naluri bagus, karena di detik kedua kami saling menatap, dia segera memutuskan pandangan dan meloncat kabur.

Tidak! Aku tidak bisa kehilangan daging segar itu!

Tanpa memedulikan beberapa bawaanku, aku berlari mengejar kijang itu. Aku harus mendapatkannya. Harus! Setengah bersungut karena kijang itu masih bisa melompat cepat, padahal dia tampak sama kurang makannya sepertiku, aku berusaha memanahnya meski gerakanku tidak stabil.

Panah pertama gagal.

Panah kedua meleset.

Panah ketiga masih tertahan.

Anak panahku terbatas. Aku tidak bisa melepaskannya semauku. Kijang itu harus berhenti. Dia harus diam supaya aku bisa memanahnya dengan baik!

O...Tadakhua...., semoga kijang itu berhenti dan rela menjadi makanan keluargaku, batinku. Bukannya melambat, lompatan kijang itu justru semakin jauh. Apa Tadakhua membisikkan hal sebaliknya pada kijang tersebut? Rasanya aku ingin menangis. Seolah mengerti rengekanku, kijang itu tiba-tiba berhenti, membuatku kegirangan. Namun detik berikutnya, dia justru berbalik dan melompat ke arahku. Aku buru-buru menghindarinya. Setengah heran juga bingung karena kijang itu berbalik arah, aku mengarahkan bidikanku kepadanya. Lompatannya sedikit lebih canggung dari yang tadi dan...

Dapat!

Aku bersorak dalam hati saat panahku mengenai sasaran. Kijang itu ambruk karena kaget, lalu dia berusaha berdiri lagi, tapi percuma. Mata panah sudah kulumuri dengan obat bius yang kuat, kijang itu akan mulai mati rasa. Dan benar saja, kaki-kaki kijang itu goyah untuk menopang tubuhnya. Dia kembali ambruk meski berusaha keras untuk berdiri.

"Hai," aku menyapa kijang muda itu, tersenyum penuh simpati pada usahanya untuk kabur dariku. "Maaf, aku sudah memburumu. Tapi, aku membutuhkan pengorbananmu untuk hidup keluargaku." Aku mencabut belati yang terselip di ikat pinggang.

Kijang itu meronta-ronta saat aku berusaha merebahkannya ke sisi kiri. Matanya berair, seolah menangisi kematiannya yang sebentar lagi akan datang. Rasanya miris bila harus membunuhnya saat menatap matanya yang polos ini.

"Terima kasih," ucapku pada si kijang yang rontaannya melemah. "Ini tidak akan sakit. Aku akan melakukannya dengan cepat," lanjutku sambil mengarahkan mata belati ke lehernya. "Demi Tadakhua, Penguasa Semesta Yang KasihNya meliputi seluruh kehidupan."

Kemudian kuiris nadi lehernya cukup dalam. Darah membasahi tanah yang kering. Rontaan Kijang itu semakin lama semakin lemah hingga dia tidak bergerak sama sekali. Aku tersenyum miring sambil mencabut anak panah dari tubuh kijang itu lalu memasukkannya lagi ke tabung anak panah. Baru saja aku akan menyeret tubuh kijang itu saat Inaike muncul tiba-tiba di depan wajahku. Aku terlonjak kaget, tanpa sadar melepas si kijang.

"Apa yang kau lakukan?!" menjangan itu mendesis di dalam kepalaku.

"Berburu," aku meringis ke arahnya, bertingkah seperti anak yang baru saja ketahuan mencuri.

Inaike merengut ke arah kijang yang baru saja kusembelih. Wajahnya yang biasanya datar kini berkerut-kerut penuh kemarahan. Namun bukannya lanjut mendampratku karena berani membunuh si kijang, Jugook itu justru memberiku isyarat untuk mengikutinya.

"Kijangku?" aku kembali meringis, tak rela buruanku diinggal begitu saja.

"Tidak akan ada yang mengambilnya," gerutunya.

Walau sangsi dengan janjinya, aku melepas kijang tersebut dan mengikutinya. "Ada apa?" tanyaku heran, merasa aneh dengan sikap Inaike.

"Orang-orang jahat itu mau melakukan perbuatan kotor di hutanku. Bantu aku mengusir mereka."

"Setahuku kau kuat."

Dia melirikku sebal. "Mereka penyihir," ucapnya. "Penyihir yang cukup kuat. Mereka membuat pelindung sehingga sihirku selalu terpental."

Aku mengernyit, memikirkan maksud permintaannya tadi. "Lalu kau ingin aku berbuat apa?"

"Kecilkan suaramu," desisnya. "Mereka ada di dekat sini."

Aku mulai menangkap suara-suara rapalan bernada datar dari salah satu arah. Pelan-pelan, kudekati area itu bersama Inaike. Bibirku terkatup rapat ketika melihat 4 orang berjubah hitam berdiri di dalam lingkaran berisi tulisan yang tidak kumengerti. Di tengah-tengah lingkaran tersebut, ada seorang lelaki berjubah kelabu yang duduk berlutut dengan bahu terluka. Yang membuatku tertegun, lelaki itu memiliki warna rambut yang aneh. Rambutnya keemasan dan matanya... kalau tidak salah lihat, berwarna biru gelap.

Orang asing kah?

"Mau apa mereka dengan orang itu?" bisikku ngeri ketika mengenali beberapa kata dari rapalan aneh keempat orang berjubah hitam itu. Itu jenis kata-kata yang tidak akan kau ucapkan pada orang yang kau sayangi, melainkan pada musuhmu!

"Mereka mau membuat kutukan," geram Inaike. "Orang itu akan jadi persembahannya."

Ritual pengorbanan..., aku bergidik ngeri setelah tahu maksud Inaike.

"Apa yang harus kulakukan?" cicitku.

"Rusak konsentrasi mereka." Jawabnya. "Sihirku mungkin tidak akan berpengaruh pada mereka, tetapi panahmu sudah pasti akan menembus pertahanan mereka."

"Ini panah biasa," aku balas mendesis padanya.

Sesaat Inaike tersenyum amat tipis. "Tidak jika sihirku masuk ke dalamnya."

(3 April 2017)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro