Bab 17. Shuikan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ada saatnya Shui teringat perjalanannya bersama sang Guru. Menyusuri lembah, mendaki pegunungan terjal, berhadapan dengan para perampok, atau pun membantu rakyat yang kesulitan, semua itu seolah menjadi makanannya sehari-hari. Mulanya semua itu terasa sulit, tetapi lama-lama ia menjadi terbiasa dengan pola didikan sang Guru yang sedikit nyentrik.

Gurunya memang agak aneh. Meski pun tahu bahwa ia adalah putera pertama Kaisar Riyushi, dia tidak segan membentak, menghukum, atau bahkan membiarkan Shui membereskan kesulitannya sendirian. Seperti saat ia kesulitan menjahit bajunya atau sepatunya yang sobek, sang guru hanya diam saja tanpa memberinya arahan, yang berakhir dengan sobekan bajunya yang bertambah lebar atau tangannya yang terluka karena tidak menggunakan jarum dengan benar. Yang lebih menjengkelkan, kadang-kadang beliau memberikan perintah yang tidak jelas. Suatu kali, gurunya pernah menyuruhnya untuk naik ke atas bukit Dhakhan yang berada di perbatasan Shenouka dengan padang Anzelrha di daerah barat sana.

Ia harus berangkat sebelum matahari terbit dan baru boleh pulang setelah matahari condong di arah barat. Gurunya memerintahkannya untuk merenung. Namun, ia sendiri bingung harus merenungkan apa. Alih-alih, dari pada diam di atas bukit, ia memilih berburu dan mencari air untuk makanannya hari itu. Sang guru tak pernah membekalinya saat menaiki bukit.

Hari pertama, gurunya hanya menggelengkan kepala ketika ia menceritakan apa yang ia lakukan hari itu. Hari kedua, satu pukulan mendarat di kakinya ketika ia masih melakukan hal yang sama. Hari ketiga dan seterusnya, hukumannya bertambah semakin berat. Sampai gurunya menemaninya mendaki bukit dan memperlihatkan sesuatu yang Shui abaikan selama ini, yaitu bentangan alam, sumber daya alam di sekitarnya, topologi daerah, pemetaan titik-titik strategis, sampai prakiraan lokasi musuh. Dari situ, Shui mulai memahami, bahwa apa yang terlihat, tidak sesederhana yang ia pikirkan. Ada keuntungan atau pun kerugian di baliknya, yang membuat cara pandangnya terhadap sesuatu berubah.

Waktu itu... usianya sebelas tahun.

"Apa ada sesuatu yang membuat Shonja tertawa?" pertanyaan Kokhan membuyarkan lamunannya.

Mereka sedang menginspeksi kota Kirei, salah satu benteng pertahanan bagian timur Shenouka yang berbatasan langsung dengan wilayah Jajinham. Di hadapan mereka, terbentang pohon-pohon kering yang masih berdiri dan mengapit sebuah jalur selebar enam gerobak yang mengarah langsung ke pintu gerbang kota Kirei. Jika dilihat dari atas sini, kondisi di sekitar sini baik-baik saja, tanpa permasalahan berarti. Namun, Shui mendengar beberapa laporan mengenai pencurian senjata maupun ransum prajurit di kota ini.

"Apa pendapatmu mengenai hutan di bawah sana?" Shui balik bertanya pada ajudannya.

Kokhan masih sangat muda. Usianya delapan belas tahun dan memiliki semangat yang tinggi serta rasa ingin tahu besar. Walau terkadang bisa bertindak gegabah karena bersemangat, pemuda itu selalu mendengar kata-katanya. Selain itu, keteguhan serta kejujurannya membuat Shui ingin mengajarinya lebih banyak mengenai seluk-beluk dunia kemiliteran, sama seperti gurunya dulu mengajarinya. Yang Shui harapkan, kelak ada seseorang yang memikirkan keamanan Negara ini seperti memikirkan nyawanya sendiri.

Kokhan juga memiliki latar belakang bagus. Ayahnya adalah Lianshi Erikainam Maliwari –– gubernur provinsi Kashaki (provinsi barat Shenouka), salah seorang pejabat yang loyal terhadap negara dan tidak takut mengatakan 'tidak' pada perintah yang dianggapnya menindas rakyat. Walau keberadaan Lianshi seperti duri yang mengganggu, adiknya tidak bisa menyingkirkannya begitu saja karena Lianshi disukai rakyat dan memiliki pendukung yang kuat. Bukan tidak mungkin akan terjadi kegemparan dan perlawanan bila tiba-tiba Lianshi diturunkan dari jabatannya dan dihukum mati.

Kokhan mengernyit melihat batang-batang pohon yang mirip seperti dahan mati serta dedaunannya yang kekuningan. Hampir semua pohon bernasib seperti itu, hanya satu – dua yang terlihat sedikit hijau. "Tempat persembunyian yang bagus bagi para bandit atau pun penyusup?" pemuda berambut hitam pendek itu balik bertanya.

"Setengahnya benar," Shui beranjak dari pos, kemudian berjalan menyusuri atap benteng menuju ke pos lainnya.

Kokhan mengikutinya, begitu juga dengan Kapten kota Kirei serta pengawal Shui. Kota Kirei dilindungi dinding batu yang tebal dan kokoh setinggi enam orang dewasa. Dengan tebal hampir dua lengan, bagian atasnya digunakan sebagai jalur patroli bagi para penjaga. Terdapat pos-pos di beberapa titik dan pos utama berada di atas gerbang timur serta gerbang barat.

"Hutan adalah tempat yang paling ideal untuk bersembunyi maupun menyerang. Karena keberadaan pepohonan serta semak-semak menutupi keberadaan kita. Jika kondisi gelap, bayang-bayang pohon akan menutupi pergerakan kita. Dengan kata lain, area itu adalah area yang perlu diwaspadai," ujar Shui.

Kokhan sudah tahu hal itu, tetapi tetap menyimaknya.

"Karena itu, kita harus memahami areanya dengan baik. Di mana letak sumber mata air, jurang, maupun titik-titik rawan yang bisa dipakai lawan untuk bersembunyi," lanjut Shui.

Kokhan teringat permintaan Shui seminggu yang lalu, untuk menyempurnakan peta topografi Kirei maupun daerah di sekitarnya sampai ke kota perbatasan milik Jajinham. Setelah melihat peta dan letak-letak sumber mata air serta titik-titik prakiraan rawan kejahatan, Shui pun menginstruksikan untuk memasang jebakan di beberapa tempat, tentunya masih di area Shenouka. Batas antara Shenouka dan Jajinham dipisahkan oleh sebuah bukit dan di leren bukit itulah beberapa perangkap terpasng rapi.

"Karena itu, Shonja meminta peta topografi yang lebih detail pada Kapten Ershiki dan memasang beberapa perangkat di sana?" Kokhan berkomentar.

"Perangkap-perangkap itu tidak akan menghalangi mereka, tetapi sedikit menghambat. Setidaknya itu membantu meringankan tugas penjaga perbatasan. Namun, perangkap-perangkap itu tidak bisa dipakai selamanya. Setelah beberapa bulan, semuanya harus digeser dan diubah, supaya musuh kebingungan karena pemetaan mereka yang kacau," komentarnya.

Bibir Kokhan terbuka, tapi tak ada satu kalimat pun yang keluar, sehingga dia menutup mulutnya kembali. Jenderalnya selalu bisa membuatnya merasa kagum. Dia benar-benar merasa bangga bisa melayaninya.

"Apa jebakan-jebakan tersebut juga akan berlaku pada dua kota perbatasan yang lain?" Kokhan kembali bertanya.

Selain Kirie, ada Namashi dan Undart. Meski tidak berbeda jauh dari Kirie, tetapi kedua kota perbatasan tersebut sedikit lebih sepi karena jalur lalu lintasnya tidak semudah memasuki Kirie, lebih terjal dan berbahaya.

"Aku tidak yakin," Shui berhenti, lantas melemparkan pandangannya ke bagian dalam benteng. Penduduk Kirie beraktivitas tanpa beban, seolah-olah tidak ada ancaman apa pun dari luar dinding benteng. Padahal... pihak musuh telah beberapa kali mencuri senjata dan ransum milik prajurit Kirie. "Situasi Namashi dan Undart sedikit berbeda."

Air muka Shui berubah sedikit muram. Ada hal lain yang dipikirkannya dan itu kemungkinan besar mengenai Rhogos dan Admena, dua pedagang besar yang tinggal di sana. Keduanya memiliki hubungan baik dengan pedagang-pedagang Jajinham dan bukan maksudnya untuk mencurigai mereka tanpa dasar, tetapi... kedua orang itu juga punya hubungan khusus dengan beberapa pejabat tinggi di Shasenka. Salah satunya adalah Narshima, Paman tirinya.

Secara teratur mereka mengantar barang ke Shasenka setiap tiga bulan sekali. Barang-barang yang diantar berupa kain, minyak wangi, maupun batu permata. Tidak ada yang aneh dalam pengiriman tersebut. Namun, Shui mendapatkan informasi bahwa mereka memesan beberapa tipe senjata tertentu pada salah satu pandai besi di Jajinham selama dua tahun terakhir. Hal ini masih ia usut dan informannya belum memberikan kabar yang berarti.

"Kita kembali ke Umarish," Shui tidak melanjutkan perbincangan dan berbalik menuju pos utama.

***

"Kau terganggu mengenai rumor pemesanan senjata itu?" Shorya muncul setelah ia meletakkan pedangnya di atas meja kamar.

Perjalanan dari Kirie menuju Umarish tidak jauh, hanya sekitar setengah jam perjalanan. Dibanding ketiga kota perbatasan yang lain, Umarish merupakan induknya atau kota utama. Kota ini merupakan salah satu dari lima kota induk perbatasan yang menjadi pangkalan militer sekaligus gudang sumber daya militer bagi kota-kota perbatasan yang terletak di pinggiran. Dengan pemecahan kekuatan militer seperti ini, pengelolaan kekuatan militer memang menjadi lebih mahal, tetapi pertahanan Negara menjadi lebih kuat.

Begitu banyaknya sumber daya militer yang harus dicukupi membuat beberapa pejabat mengajukan permintaan untuk melebur beberapa pasukan militer, bahkan menggabungkan kekuasaan militer dengan sipil untuk lebih menyerderhanakan jenjang kepemimpinan. Namun, sebagian pejabat yang lain menolak keras wacana tersebut karena hal itu membahayakan keamanan negara.

Jajinham, Myrtala, dan Sondakh selalu mencari-cari kelemahan Shenouka supaya bisa menyerang dengan mudah. Dengan pertahanan militer seperti ini saja, kerajaan-kerajaan tersebut masih bisa mengelabui mereka, bagaimana jadinya bila perhatian anak buahnya terbagi dengan urusan sipil? Bukan tidak mungkin akan terjadi kekacauan.

"Aku penasaran, kabar itu benar atau tidak," Shui menuang teh dari teko ke gelas porselennya. Ia merasa sangat penat dan ingin segera beristirahat, tetapi mengingat beberapa tumpukan dokumen yang masih menggunung di atas meja kerjanya, Shui mengurungkan niatnya.

"Jika itu benar, untuk apa senjata-senjata tersebut dipesan? Apa ada hubungannya dengan orang-orang Shansenka? Jika itu tidak benar, dari siapa rumor itu berasal? Kenapa dia menyebarkannya? Apakah untuk membuat situasi tidak kondusif?" Shui melanjutkan setelah menyeruput teh.

Dengan melemparkan isu sensitif seperti itu, siapa pun pelakunya tentu ingin menciptakan kecurigaan di antara mereka. Apa motifnya? Kemungkinan untuk mengadu domba mereka.

Shorya terkekeh pelan sambil beranjak menuju jendela kamar Shui yang terbuka. Dia duduk di pinggir jendela, dengan kepala melongok keluar. Kedua matanya yang sewarna senja tak sengaja bersirobok dengan tatapan Kokhan yang tengah melintas taman. Pemuda itu berjengit, sebelum buru-buru membuang pandangannya. Melihat hal itu, Shorya justru menyeringai lebar.

"Kau sudah mendapatkan informasi mengenai pedagang-pedagang maupun pejabat yang berhubungan dengan Rammuimu. Kenapa tidak segera kembali ke Shasenka?" tanyanya. "Bukankah kau sudah memetakan ulang pasukan yang berjaga di sini?"

Shui bungkam sejenak, lantas melirik meja kerja yang berada di sisi lain kamarnya. "Aku berniat pergi setelah rumah Sheya selesai dibangun."

"Oh..., gadis itu," Shorya menatapnya dengan salah satu alis terangkat. "Kau begitu perhatian padanya, melengkapi kebutuhannya, bahkan memperhatikan kesehatan keluarganya. Aku paham, kau melakukannya karena berhutang nyawa. Namun, tindakanmu bisa disalahpahami oleh orang lain. Setidaknya, pikirkan masa depan gadis itu. Jika kau memberinya terlalu banyak perhatian, bisa-bisa orang akan mengira kau menyukainya dan ingin menjadikannya sebagai simpanan. Tidak akan ada yang berani melamarnya nanti."

Shui tertawa mendengar kritikan Shorya. Bila semua bawahannya hanya diam dan melaksanakan semua perintahnya tanpa banyak bertanya, hanya Shorya yang berani mengkritisi tindakannya. Mungkin ini adalah sebuah keberuntungan, karena ia memiliki teman Jugook yang tidak segan memberinya saran dan celaan.

Manusia tidak bisa hidup hanya berdasarkan pujian saja, bukan?

Saat membuat keputusan untuk menerima Shorya sebagai kawannya, Shui sempat merasa bimbang. Makhluk itu berkata akan mendukung dan membantunya, tetapi bisakah ucapan Jugook dipercaya? Memahami keraguan Shui, Shorya pun menjelma menjadi sebuah pedang putih yang indah dan juga kuat. Shui menamainya Shonsahui atau pedang yang menguasai dirinya sendiri. Pedang itu dan pedang pemberian ayahnya kini menemaninya setiap waktu dan medali pemberian ayahnya telah ia simpan di tempat khusus.

"Sheya memberiku semua yang ia miliki," Shui berujar. Sorot matanya meredup ketika teringat kondisi gadis itu ketia ia meninggalkannya.

"Aku paham," Shorya mengerti mengenai hal itu. "Tapi jangan sampai kebaikanmu disalahpahami orang lain. Kau harus menarik batas tegas antara dirimu dan dirinya. Gadis itu pun berhak mendapatkan pernikahan yang baik, Shui."

Shui tersenyum tipis. Sheya memang pantas mendapatkan pernikahan yang baik dan layak dan ia akan memastikan gadis itu benar-benar menemukan calon suami yang pantas.

"Kau juga seharusnya sudah mulai memikirkan pernikahan, Shui," lanjut Shorya. "Usiamua sudah seperempat abad. Bukankah itu usia yang sudah terlalu layak untuk menikah?"

"Aku memikirkannya," Shui mendesah pelan. Ucapan Shorya mengingatkannya pada setumpuk masalah lain di ibukota. Ada beberapa keluarga yang ingin melamarnya menjadi suami anak perempuan mereka, semuanya dari keluarga pejabat yang berpengaruh. Tapi, yang membuatnya pusing adalah... memilih istri dari keluarga yang tidak akan membuat adiknya mencurigai kesetiaannya.

Itu adalahhal yang paling sulit, mengingat... ia sudah jatuh cinta pada putri Menteri Pertahanan.   

(28 Januari 2018)

-----------------------------

Note:

Semoga chapter ini menjadi obat rindu selama 2 minggu ini, ya. Maaf, untuk 2 cerita yang lain belum sempat up, karena memang ide ceritanya mampet. :'(

Untuk chapter selanjutnya, sudut pandang akan pindah di sisi Sheya. Mau tahu bagaimana kelanjutannya? Nantikan ya~~~

btw, saya pengin pamer cover The Golden Anshok yang udah jadi ah...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro