Bab 20. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suara nyanyian serta musik yang terdengar dari kejauhan memberitahu kami bahwa perjamuan sudah dimulai, yang berarti Tuan Shui sudah datang! Kami semakin terburu-buru dalam membereskan isi rumah yang berantakan. Meski sebagian besar barang-barang yang rusak telah disimpan di gudang belakang, tetapi ada bekas-bekas kekacauan semalam yang tidak bisa disembunyikan begitu saja, seperti goresan-goresan dalam yang terbentuk di dinding maupun lantai rumah yang terlihat seperti bekas cakaran.

"Kelihatannya ini sudah cukup," Istri Shamasinaike Ornuk berkomentar sembari mengusap dahinya yang penuh peluh.

Beliau membantu kami membenahi rumah semalam suntuk, wajar bila terlihat sangat lelah dan kuyu. Di bawah mata beliau terbentuk garis-garis hitam yang samar, tanda kurang tidur. Beberapa wanita lainnya juga menampilkan ekspresi yang serupa, begitu juga dengan adik-adikku yang terlihat mengantuk karena harus ikut begadang membereskan rumah. Cuma beberapa prajurit yang ditinggalkan Jun yang masih terlihat baik-baik saja. Mungkin karena terbiasa berjaga dan melakukan tugas berat, prajurit-prajurit itu tak terlihat kepayahan seperti kami.

"Rumah sudah layak untuk dikunjungi, meski tidak banyak yang bisa dilihat," istri Shamasinaike Ornuk tak menyembunyikan kekecewaannya. Beliau mungkin merasa sayang karena harus membuang sebagian besar barang-barang kami yang hancur, padahal barang-barang tersebut masih baru seperti meja tamu, kursi, dipan, lemari kecil, dan bahkan ada beberapa potong pakaian baruku yang dirusak secara brutal.

Aku pun merasakan hal yang sama. Hampir sebagian besar pemberian Tuan Shui dirusak oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab. Itu pun jika yang merusak memang manusia. Kami tidak yakin yang merusaknya adalah manusia, terutama setelah melihat bekas-bekas cakaran yang mirip seperti cakaran binatang buas. Siapa pun atau apapun itu, beraksi saat rumah dalam keadaan kosong. Dia mengacaukan rumah ketika kami sekeluarga pergi ke rumah Shamasinaike Ornuk untuk membahas perjamuan hari ini terakhir kalinya.

Saat kami melaporkan kerusakan ini, Shamasinaike Ornuk dan beberapa warga yang lain nyaris ternganga saat melihat keadaan rumah kami. Mereka panik, karena hari ini Tuan Shui akan datang. Junuran juga terlihat cemas. Namun reaksi Iksook Inarha tampak berbeda, begitu juga Inaike. Keduanya tidak mengatakan apa pun dan terlihat tenggelam dalam pemikiran mereka sendiri. Seharian ini Inaike malah tidak mengunjungiku.

Iksook Inarha yang mengarahkan kami untuk membereskan rumah secepat mungkin, agar besok Tuan Shui bisa mengunjungi rumah ini. Bekas-bekas cakaran disembunyikan dengan permadani maupun hiasan-hiasan gantung, supaya tidak terlihat mencolok. Meja dan kursi-kursi yang rusak telah disembunyikan dan Shamasinaike Ornuk serta beberapa tuan tanah meminjamkan perabotan mereka untuk sementara, supaya tidak memancing kecurigaan Tuan Shui.

Kami benar-benar sibuk menata ulang rumah dan menyingkirkan benda-benda yang hancur. Junuran juga ikut membantu, tetapi dia lebih disibukkan untuk mencari pelaku perusakan. Dia mungkin akan terus bekerja sampai Tuan Shui datang, jika aku tidak memaksanya beristirahat dan mempersiapkan diri untuk menyambut Jenderalnya. Beberapa hal yang patut kusyukuri, tidak ada keluargaku yang jadi korban dan hadiah untuk Tuan Shui juga masih tersimpan rapi. Jika kemarin aku tidak meminta ibu untuk ikut, hari ini pasti akan lain lagi ceritanya. Kami akan disibukkan dengan kegiatan lain.

"Sheya, cepatlah bersiap-siap. Segera mandi dan ganti pakaianmu. Kalian juga," Nyonya Orutia—istri Shamasinaike Ornuk, menyuruhku dan adik-adikku untuk berbenah. "Jangan sampai Jenderal melihat penampilan kalian kotor dan bau. Lekas!"

Kami tidak punya waktu untuk membantah. Aku buru-buru mengambil setelan paling baik yang selamat dari kekacauan semalam dan segera pergi ke kamar mandi. Selain gudang dan lumbung kecil untuk menyimpan biji-bijian, Jun juga membuatkan kami kamar mandi yang letaknya terpisah dari rumah.

Kamar mandi itu berbentuk kotak persegi panjang dan terbuat dari papan-papan kayu yang bagus. Aku sempat memprotes Jun, karena menggunakan kayu yang baik hanya untuk membangun kamar mandi, tetapi dia tidak mengindahkan. Di dalam kamar mandi terdapat sebuah bak kayu kecil yang selalu kami isi dengan air dari sungai. Perlu diketahui, hal tersebut sangat merepotkan dan melelahkan. Terkadang aku tergoda untuk kembali mandi di sungai, tetapi Jun melarangku melakukannya. Kalau aku bersikeras, dia yang akan menemaniku ke sana. Bila sudah begitu, tentu saja aku yang menolak. Siapa yang mau mandi di depan lelaki?

Aku hampir berebutan mandi dengan adik-adikku, tetapi karena Hessa yang lebih dulu masuk bersama Erau, kami akhirnya menunggu di luar sambil memandangi kebun belakang yang mulai ditumbuhi tanaman-tanaman baru. Ada sebuah kursi panjang yang diletakkan menghadap ke kebun dan kami bertiga duduk di sana. Ibu masih membantu Nyonya Orutia di dalam dan mengatakan akan menyusul nanti.

"Aku tidak sabar bertemu Tuan Shui," Athila berujar sambil memainkan manik-manik gaun luarnya yang berwarna merah jambu lembut. "Kira-kira beliau senang tidak ya dengan hadiah yang kita berikan?"

Aku tersenyum sambil mengusap rambut Athila. "Beliau pasti senang dengan hadiah kita, apalagi bordiran Thila sangat bagus."

Athila tersenyum lebar mendengar pujianku. Matanya berbinar oleh harapan dan aku berharap Tuan Shui memang akan senang dengan hadiah yang kami siapkan, yaitu satu setel pakaian serta sebuah jubah baru.

Sebelumnya, kami kebingungan menyiapkan hadiah untuk beliau. Mengingat latar belakang Tuan Shui, kami tidak yakin apa pun yang kami berikan akan layak untuk beliau. Karena tidak tahu harus memberikan apa sebagai ucapan terima kasih, Iksook Inarha menyarankan kami menjahit pakaian untuk beliau. Jun membantu kami mengira-ira ukuran Tuan Shui dan dia juga menyarankan warna-warna yang sekiranya disukai beliau.

Aku, Mila, dan Athila bersama-sama membuat pakaian itu. Aku yang mengukur kain, Mila yang memotong dan menjahit potongan-potongannya, sedangkan Athila yang menyulam bordirannya. Untuk yang terakhir, aku sama sekali tidak menyangka Athila sangat berbakat dalam melakukanya. Usianya baru menginjak 7 tahun, tetapi bordirannya tergolong rapi untuk anak seusianya. Meski Mila dan Ishaara Amaria masih sering membantunya membenahi polanya yang agak kusut, tetapi Athila benar-benar piawai dalam membordir kain. Jika anak ini terus berlatih, tentu kemampuannya akan semakin berkembang.

Pintu kamar mandi terbuka dan Hessa keluar dengan mengenakan setelan baru yang berwarna cokelat tanah bercorak akar-akar hitam. Dia terlihat bersahaja seperti seorang pelajar, sedangkan Erau lebih terlihat seperti bocah tengil dengan setelannya berupa tunik putih yang dirangkap rompi panjang semata kaki berwarna hijau cerah. Tidak lupa dia memakai ikat kepala hijau gelap yang dibordir dengan motif tanduk rusa.

Mereka berdua bergegas masuk ke rumah, lalu giliran Mila dan Athila yang masuk ke kamar mandi. Tak berapa lama, kedua keluar dalam balutan gaun yang berwarna cerah. Mila mengenakan gaun berwarna kuning labu, berhias manik-manik berwarna cokelat dan merah. Athila tampak manis dalam balutan gaun merah jambu lembut.

Keduanya mengatakan ingin merapikan rambut lebih dulu dan aku mengiyakan mereka. Keceriaan di wajah mereka membuatku merasa bahagia. Setelah bertahun-tahun kami sering bersedih dan tenggelam dalam kemurungan, akhirnya ada waktu di mana kami benar-benar bisa tersenyum gembira.

Melihat mereka bahagia, aku pun merasakan hal yang sama.

***

Selesai mandi, aku bermaksud untuk berdandan sendiri. Namun Mila dan Athila sudah ribut untuk mengepang rambutku. Mereka bahkan membantu memasang hiasan rambut yang tidak perlu. Padahal aku merasa cukup hanya dengan pita, tetapi mereka menambahkan sebuah hiasan rambut berbentuk bunga-bunga merah. Kata mereka, hiasanya itu serasi dengan warna gaunku yang berwarna merah gelap. Setelah selesai bersiap-siap, kami pun segera pergi ke halaman depan.

Nyonya Orutia sudah berdiri di sana, mengenakan gaun panjang berwarna hijau gelap. Rambutnya digelung rapi dan dihiasi tusuk rambut berbentuk akar tanaman berwarna cokelat. Sementara ibuku terlihat rapi dalam balutan gaun berwarna cokelat gelap yang nyaris seperti warna hitam. Gelungannya sederhana dan hanya dihiasi tusuk rambut polos berwarna hitam. Ibu sama sekali tidak berdandan, tak ada jejak bedak ataupun pemerah bibir. Meski begitu, air muka beliau tidak terlihat pucat.

"Kemari, kemari! Berdirilah di sini!" Nyonya Orutia menyuruh kami untuk berdiri di dekatnya.

Beliau sudah menyuruh salah satu prajurit untuk memberitahu Jun, bahwa rumah siap untuk dikunjungi. Atau lebih tepatnya diinspeksi? Semalam Jun terlihat pucat pasi ketika melihat kondisi rumah yang berantakan. Pertama, dia meresahkan pelaku perusakan yang tidak terlacak jejaknya meski dia sudah menyuruh prajurit-prajuritnya menelusuri seisi Inairakhi. Kedua, pembangunan rumah ini dalam pengawasannya atas perintah Tuan Shui. Jika beliau melihat ada hal yang tidak memuaskan di rumah ini, sudah pasti Jun yang akan kena tegur atau yang lebih buruk, dia bisa kena hukuman. Meski dia merupakan ajudan Tuan Shui, beliau tidak pernah memilih-milih dalam memberikan teguran atau hukuman pada anak buahnya. Ketiga, si pelaku perusakan masih belum diketahui dan itu membua Jun was-was untuk melaporkannya pada Tuan Shui.

Kami menunggu dalam kecemasan. Sekilas, semua orang memang terlihat tenang dan kalem, tetapi dari sorot mata dan sikap tubuh yang terlalu tegang, aku tahu, kami tidak dalam kondisi terbaik untuk menyambut Tuan Shui. Mungkin hanya Erau dan Athila yang sangat bersemangat menunggu kedatangan beliau. Keduanya berceloteh riang di antara orang-orang dewasa yang tampak resah. Jika bisa, rasanya aku juga ingin melepaskan ketegangan ini dengan mengomentari halaman depan rumah yang kosong tanpa tumbuhan atau pun pohon.

Penantian kami berakhir ketika mendengar langkah-langkah kaki yang menuju kemari. Sekali lagi, ketegangan terasa mencekik di udara. Kami semua memandang ke tanah dan aku meminta Athila serta Erau untuk diam.

Semua menunggu dalam bungkam, tak ada yang berani bicara bahkan ketika melihat sepasang kaki berbalut sepatu bot kulit yang tampak mahal dan indah berdiri di ambang halaman, diikuti berpasang-pasang kaki lainnya.

Kami mengucapkan selamat pada Tuan Shui sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Aku menahan diri untuk tidak mengangkat kepala dan benar-benar menoleh ke arah beliau. Sepasang sepatu bot tersebut berjalan memasuki pekarangan rumah, diikuti tiga pasang sepatu yang lain.

"Tuan Shui!" sapaan Erau dan Athila nyaris membuat jantungku melompat.

Keduanya melambaikan tangan ke arah Tuan Shui yang kini berhenti di hadapan kami. Demi dewa..., betapa mudahnya menjadi anak kecil. Di saat kami semua sudah pucat pasi dan tegang karena takut membuat kesalahan, keduanya justru mencairkan situasi dengan menyapa Tuan Shui tanpa beban. Seharusnya aku memberitahu Athila dan Erau untuk bersikap lebih sopan!

"Lama tidak bertemu kalian," Tuan Shui membalas sapaan Erau dan Athila dengan ramah. Beliau berhenti di hadapanku kemudian berjongkok untuk mengusap kepala Athila dan Erau bergantian.

Tuan Shui tampak menawan mengenakan tunik putih yang dipadukan dengan setelan biru gelap yang luarnnya mencapai lutut. Bordiran keperakan di bajunya membentuk motif-motif asing yang terlihat mewah dan sakral. Sepasang pedang bersarung hitam dan putih terselip di sabuk kulit yang terikat di pinggangnya. Rambut beliau yang sedikit panjang diikat dengan pita hitam. Secara keseluruhan, Tuan Shui terlihat elegan dan memesona.

"Kami juga lama tidak bertemu Tuan Shui," Erau dan Athila membalas serempak, hingga membuat beliau tertawa kecil.

"Sepertinya kalian bertambah tinggi, ya," kata beliau.

"Iya!" Athila yang menyahut. "Sekarang Thila sama seperti Ammu Erau!"

"Ayuun masih lebih pendek dariku!" tukas Erau, tidak suka kalau Athila lebih tinggi darinya.

"Tapi aku hampir setinggi Ammu!"

Bukannya melerai, Tuan Shui justru tertawa semakin keras. Beliau menepuk-nepuk kepala kedua adikku, kemudian mendongak ke arahku, membuat pandangan kami bertemu sesaat.

Demi Dewa..., aku langsung melirik ke lain arah. Tertangkap basah sedang diam-diam memperhatikan seorang ningrat terasa sangat memalukan. Punggungku terasa dingin dan kaku.

"Tuan, kami membuat pakaian dari kain yang Tuan berikan," Athila kembali berbicara, kemudian membungkuk sopan ke arah beliau. "Terima kasih atas kebaikan Tuan Shui."

Adik kecilku yang satu ini kelihatannya tidak berhenti memberi banyak kejutan pada kami hari ini. Semua orang juga pasti tidak menyangka dia akan bersikap sesopan itu pada Tuan Shui.

"Kau suka dengan hadiah-hadiahku?" Tuan Shui kembali bertanya.

"Sangat suka!" Bukan hanya Athila, Erau juga menjawabnya.

"Thila paling suka ini," Athila menunjuk hiasan rambut berbentuk kupu-kupu di rambutnya, "Juga ini." Dia memperlihatkan hiasan pakaian yang tergantung di sisi kiri sabuk kainnya. Bentuknya seperti kelinci dan dibuat dengan cara merajut kemudian mengisinya dengan kapas.

"Kalau Erau suka ini," Erau menunjuk sepasang sepatunya yang berwarna biru gelap. "Sepatunya terasa sangat nyaman dan bisa dipakai berlari ke mana-mana."

Air muka Tuan Shui terlihat lebih teduh. Kemudian dia berdiri tegak dan mengatakan, "Sampai kapan kalian akan menunduk di hadapanku? Tegakkan kepala kalian."

Ucapan terima kasih terlontar canggung dari bibir kami. Meski kepala kami tak lagi menunduk, tetapi pandangan kami tidak beralih dari tanah.

"Nah..., kulihat sepertinya Junuran menyelesaikan tugasnya dengan baik," komentar Tuan Shui sambil berbalik menghadap ke rumah.

"Terima kasih, Shonja," timpal Jun.

Dari sudut mata, aku melihatnya berdiri di samping seorang prajurit yang mungkin lebih muda darinya. Saat tatapan kami bertemu, kami sama-sama tersenyum.

"Aku ingin masuk dan melihat keadaan di dalam. Jun, pandu aku."

PerintahTuan Shui membuat senyum di antara kami lenyap seketika. Sekali lagi, keteganganmenguar di udara. 

(31 Maret 2018)

-------------------

Jadi... siapa yang merusak isi rumah Sheya sebelum Shui datang berkunjung?

Kisi-kisinya mungkin akan muncul di part selanjutnya yang sedang ditulis. *siul2*

Sekitar 1 atau 2 part lagi, kelihatannya bagian pertama buku ini akan selesai sesuai rencana saya. Ini akan menjadi akhir dari gambaran perkenalan serta hubungan Sheya dan Shui.

Jangan lupa vote dan komen cerita ini ya.... (^__~)

   

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro