Bab 28. Houhan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sementara itu, ular besar yang tadi datang ke kediaman Shui telah kembali ke hadapan majikannya. Kehadirannya menyela kegiatan si majikan yang tengah khusyuk berdoa di depan altar persembahan. Bunyi 'gedebuk' terdengar cukup keras ketika makhluk itu menjatuhkan diri di lantai kayu ruang doa. Namun, sang majikan tidak terburu-buru mengakhiri bacaan manteranya, sekalipun si Jugook merintih kesakitan di belakang punggungnya. Dia tetap melafalkan setiap bait kidung-kidung penyembahan dengan khidmat dan tenang.

Tak sabar untuk segera memberitahu majikannya, makhluk itu pun setengah menyeret tubuhnya ke arah pria berjubah hitam polos yang sedang bersimpuh di depan altar. Darah hitam tercecer di atas lantai kayu yang liat, menimbulkan bercak yang tak enak dilihat. Karena ruang doa tersebut tidak seberapa besar, makhluk itu tidak perlu menggeser tubuhnya terlalu jauh hingga mencapai sang majikan.

Sayangnya, pria itu tidak senang dengan tindakan si Jugook. Ketika ia menepis tangan kanannya ke belakang, Jugook itu pun terpental dan menabrak pintu ruang doa—yang anehnya mampu menahan si Jugook tanpa rusak sedikit pun.

"Siapa yang menyuruhmu menggangguku?!" Pria itu membentaknya.

Jugook itu meringkuk ketakutan. Nyalinya menciut, hingga dia memilih melingkarkan tubuhnya seperti gulungan tali. Kepala-kepala ular itu nyaris merapat dan melengkung ke tengah-tengah lingkaran, tak berani menghadapi si majikan yang kini berdiri dari tempatnya bersimpuh.

"Makhluk tidak tahu diri!" pria bermata gelap dan berambut kelabu itu memandangnya dingin. "Kau mengganggu ritualku hanya untuk mengabarkan kekalahan?" pertanyaannya tepat sasaran, hingga membuat Jugook itu menggigil ngeri.

Manusia yang satu ini memang tenang dan dingin, tetapi begitu marah, ia pun bisa melenyapkannya dalam satu serangan. Beruntung tepisan tadi tidak fatal, sehingga jiwanya tidak perlu musnah secara sia-sia. Jugook itu mendesis pelan, lalu menceritakan apa yang terjadi saat dia bertarung dengan Shorya.

Pria itu mendengarkan ceritanya dengan saksama, sebelum akhirnya menyuruh Jugook itu pergi. Tapi dia tetap di tempat dan mengemis pada majikannya supaya diberi persembahan agar bisa memulihkan diri. Luka-lukanya tak mau menutup, pun energi Shorya menggerogoti energinya sendiri hingga membuat jiwanya tersiksa. Namun yang dilakukan lelaki itu hanyalah mengibaskan tangan, tanda bahwa dia sebaiknya kembali ke dunianya sendiri.

"Pergi atau jiwamu hancur," Pria itu tidak segan mengancam si Jugook karena ular itu tak mau beranjak dari tempatnya.

Kemarahan yang terpancar dari mata makhluk itu berubah menjadi jeri. Akhirnya, tanpa mendebat, apalagi protes, makhluk itu pun lenyap dari pandangan majikannya.

Pria berambut kelabu pendek itu berdecak tak senang melihat ceceran darah Jugook yang mengotori lantai ruang doanya. Butuh waktu lama untuk membersihkan bekas darah, terutama darah Jugook. Aroma di dalam ruangan itu pun bercampur baur, antara wangi dupa yang menenangkan dan bau busuk darah yang menyengat.

Kerutan di dahi lelaki itu bertambah ketika ia mengernyit. Pelayan-pelayannya harus bekerja keras untuk membersihkannya. Ia tak suka kotor maupun aroma yang tidak sedap dan sebagian besar waktunya sering dihabiskan di ruang doa ini.

Pria itu berbalik, kemudian mendekati altar persembahan yang diterangi dua lilin merah yang menyala. Hanya itu satu-satunya penerangan yang menerangi ruangan ini. Di tengah-tengah altar, terdapar patung perunggu seekor serigala yang sedang menyeringai dan di depan patung tersebut terdapar dua mangkuk porselen yang masih kosong.

Pria itu mengambil botol bambu yang ada di dekat bantal lutut yang biasa ia gunakan untuk bersimpuh. Dituangkannya isi botol tersebut ke salah satu mangkuk, hingga cairannya memercik ke alas meja altar yang berupa kain sutera gelap bersulam emas. Warna cairan itu gelap, nyaris terlihat hitam pada suasana temaram seperti ini. Namun, dari baunya yang amis memualkan, siapa pun bisa menebak bila itu adalah darah segar.

Belum cukup dengan darah, pria itu pun mengambil kotak kayu dan menuangkan isinya ke dalam mangkuk satunya, kali ini daging segar yang masih meneteskan darah merah. Setelah itu, ia mengucapkan sebait mantera dan mencelupkan telunjuknya ke dalam mangkuk darah, lalu menyesap darah yang menempel di jarinya.

Ritualnya selesai.

Sekarang, giliran memikirkan ancaman Shorya.

"Kiarin," Suaranya yang dalam dan berwibawa terdengar jernih di ruangan yang sepi.

"Ya, Ramma?" Seseorang menyahut di depan pintu. Suaranya ringan, lembut, dan santun secara bersamaan.

"Masuk."

Gadis itu pun membuka pintu dan memasuki ruangan. Dia mengenakan setelan gelap dengan jubah luar sewarna darah. Rambut pendeknya dihiasi manik-manik berbentuk mutiara berwarna hijau. Sebuah pedang pendek terselip di sabuk kain pakaiannya. Malam ini adalah gilirannya berjaga di depan ruang doa ayahnya, sedangkan kedua saudaranya tengah bersenang-senang di pusat kota.

"Siapkan kuda dan beberapa pengawal. Ramma ingin pergi ke tempat Muruthai," jawabnya.

Kiarin mengangkat wajah, dahinya mengernyit ringan. "Ramma....berbahaya sekali bila datang ke sana secara langsung. Mengapa Ramma tidak mengirim pesan saja? Aku akan mengantarnya pada Muruthai."

Pria itu menggeleng, "Masalah ini harus dibicarakan berdua dengan Muruthai."

"Bagaimana bila orang-orang Perdana Menteri tahu? Baik Ramma maupun Muruthai akan terkena masalah," Kiarin masih berkeras supaya ayahnya tidak datang ke kediaman Muruthai.

Pria itu kembali diam, memahami kekhawatiran anak bungsunya dengan baik. "Kalau begitu, siapkan kereta kuda. Ramma akan pergi ke Imizdha."

"Baik," Kiarin mematuhi tanpa membantah lagi. Gadis itu kemudian pergi ke halaman belakang untuk meminta pelayan menyiapkan kereta kuda beserta kusir, sedangkan pria itu pergi menuju kamar tidurnya yang ada di paviliun utama.

Dia segera mengganti jubah gelapnya dengan jubah lain yang lebih bagus dan mengesankan. Luarannya berwarna hijau tua dengan sulaman-sulaman emas membentuk dahan-dahan tumbuhan yang melengkung halus. Topi hijau gelapnya dihiasi permata safir yang berkilau ditimpa sinar ruangan. Sebelum pergi, lelaki itu berpamitan pada istrinya yang berbaring di atas tempat tidur.

Mata wanita itu terpejam dan sosoknya seperti berumur tiga puluhan. Rambut hitamnya yang tebal digelung di belakang kepala dan gaun yang dikenakannya berwarna putih susu. Sekilas, wanita itu tampak seperti sedang tidur. Namun, tidak ada wanita di kekaisaran ini yang tidur dengan rambut tergelung dan perhiasan yang menggantung di leher. Tak ada pergerakan teratur di dada wanita itu, yang menunjukkan bahwa dia hidup.

Wanita itu sudah lama meninggal, tetapi jasadnya masih memperlihatkan bahwa dia seolah-olah masih hidup. Pria itu menahan jasad istrinya, tak membiarkan siapa pun membakar atau menguburnya di dalam tanah. Dalam jiwanya yang sedih dan terluka, pria tua berwajah dingin itu dijanjikan satu kehidupan yang indah. Jika dia mau mengabdi pada Muruthai, dia akan kembali mendapatkan istrinya.

Setelahnya, lelaki itu meninggalkan istrinya yang diam tanpa membalas ucapannya.

***

Imizdha merupakan sebutan untuk kompleks area yang ditinggali oleh para pendoa yang sedang menimba ilmu. Gelar dari para pendoa ini pun bermacam-macam, mulai dari Iksook yang suka berkelana atau menetap di tempat-tempat kecil, hingga Imsoon yang memilih berdiam diri di suatu kota atau ibu kota provinsi tertentu. Namun, satu-satunya gelar tertinggi yang dihormati dan disegani oleh seluruh pendoa adalah gelar Imam Agung, yang menaungi seluruh kekaisaran dan membimbing para bangsawan serta keluarga kerajaan pada Tadakhua—Sang Penguasa Semesta.

Sayangnya, bagi Houhan, gelar Imam Agung itu sekedar tempelan dan lelucon belaka. Bagaimana tidak? Orang yang paling dihormati dan disegani di Negeri ini selain keluarga kerajaan, rupanya menyembah sesuatu yang tidak semestinya. Di depan banyak orang, dia mengagungkan Tadakhua, tetapi di belakang mereka, hatinya menyembah si pemilik kekuatan gelap yang menyesatkan.

Dari mana Houhan tahu? Tentu saja karena mereka satu sekte dalam iman.

"Houhan saudaraku," sapaan itu membuyarkan lamunan Houhan.

Pria berambut kelabu pendek itu berdiri di atas bantal duduk saat menyambut kedatangan sang Imam Agung yang masih mengenakan jubah tidur sutera berwarna putih polos. Penampilannya cukup mewah untuk disebut sederhana. Namun seperti itulah Baiyuyin. Selama sepuluh tahun mengenalnya, Houhan paham, Imam Agung Shenouka ini menyukai dunia lebih dari pada para pedagang mencintai barang-barangnya.

Di balik kesahajaannya dalam menghadapi rakyat maupun kesantunannya di depan keluarga bangsawan, Baiyuyin gemar melakukan hal-hal yang tak sepantasnya dilakukan pemuka agama seperti dirinya. Hal itu juga diketahui oleh sebagian besar penghuni Imizdha—yang juga merupakan bagian dari sekte mereka yang tersembunyi.

Dengan jubah putih berkelim keemasan yang dipakai asal-asalan, serta rambut yang agak berantakan dan napas yang memburu, Houhan bisa menyimpulkan apa yang baru saja dilakukan pria itu ketika ia meminta salah satu Imsoon untuk memberitahukan kedatangannya.

"Kelihatannya aku mengganggumu," komentar Houhan sambil kembali duduk saat Baiyuyin mempersilakannya duduk di atas bantal duduk.

Seharusnya saat ini mereka berbincang di paviliun Imam Agung, tetapi karena satu dan lain hal, Baiyuyin justru menerima tamunya di paviliun doa yang mustinya dipakai untuk memanjatkan kidung pujian dan harapan pada Tadakhua. Ruang doa luas dan lebar dengan tiang-tiang kayu berwarna gelap menyangga atap-atapnya. Besar tiang-tiang itu mencapai sepelukan orang dewasa dan tatahan doa-doa di sana membentuk semacam galur melingkar yang indah dilihat.

Tidak ada apa pun di ruangan tersebut selain alas kain untuk berlutut, wadah-wadah lilin untuk acara doa malam, serta meja panjang di salah satu sisi untuk meletakkan persembahan. Orang-orang biasanya datang ke sana dan menghadap ke satu arah lalu berdoa sesuai keinginan mereka. Namun, kadang-kadang Baiyuyin pun memimpin doa dan menyampaikan sedikit nasehat mengenai kebaikan.

"Tidak biasanya kau ingin menemuiku tengah malam seperti ini," Baiyuyin duduk di seberangnya. Walau usianya sudah kepala empat, Baiyuyin terkesan masih berumur tiga puluhan. Wajahnya masih halus dan rupawan, dengan sepasang alis yang melekuk sempurna di atas kelopak mata. Hidungnya mancung dan bibirnya penuh. Dia terkesan seperti dewa agung, berkebalikan dengan Houhan yang tampak seperti pria berumur lima puluhan, padahal umurnya baru mendekati akhir tiga puluh.

"Ini tentang Jenderal Shui," ujar Houhan, tetapi ucapannya tersela saat salah satu pendoa memasuki paviliun dan membawakan senampan makanan serta satu botol arak.

"Ada apa dengan lelaki itu?" Baiyuyin menuang arak ke gelasnya maupun gelas Houhan.

"Jugook miliknya sedikit... mengkhawatirkan," komentar Houhan sembari menenggak arak yang dihidangkan sang Imam.

"Kau mengiriminya lagi?" Baiyuyin tidak terlihat terkejut. Ia kembali menuang arak ke gelas Houhan. "Bukankah sudah kubilang untuk berhenti dulu? Shorya bukan sembarang Jugook yang bisa kau serang."

"Aku tahu...," Houhan mendesah pelan, kemudian menceritakan apa yang dikatakan Jugook-nya pada sang Imam Agung.

Baiyuyin tercenung sejenak. Pandangannya tertuju pada isi gelas porselennya yang halus.

"Menurutmu, apa dia bisa melacakku?" tanya Houhan.

"Seharusnya tidak," jawab Baiyuyin perlahan. "Shorya memang kuat, tetapi Muruthai juga sangat kuat. Kalau pun dia bisa melacak jejakmu, dia tetap tidak akan bisa menemukanmu."

Houhan menghela napas lega mendengarnya. "Artinya, aku masih bisa mengganggu Shui?"

"Jangan," Baiyuyin menatapnya tajam. "Sebaiknya kau diam untuk sementara sampai Shorya mengendurkan kewaspadaannya."

"Tapi Muruthai menyuruhku mengganggunya."

"Aku akan bicara pada Muruthai besok," jawabnya. "Lagi pula, Muruthai sudah menyiapkan gangguan baru untuk Jenderal itu."

"Maksudmu, gadis dari desa itu?"

"Ya," Baiyuyin meminum araknya dalam sekali tenggak. "Muruthai akan mencoba membujuk Perdana Menteri untuk memanfaatkan kehadiran gadis itu untuk menjatuhkan Jenderal."

"Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya," Houhan mengerutkan dahi.

"Pikirkan saja tugasmu yang lain," komentar Baiyuyin. "Menguasai pasar dan mengasuh pangeran adalah tanggung jawabmu."

(27 Juni 2018)

-------------------------

Note:

Satu hal yang membuat saya ragu-ragu dalam membuat part ini adalah.... nama penceritanya. Sejujurnya, saya ingin konsisten dengan membuat dua sudut pandang dari dua tokoh yaitu Sheya dan Shui. Saya was-was, kalau terlalu memakai banyak tokoh justru akan merusak 'rasa' dari cerita ini sendiri.

Saya harap sih, nggak terjadi begitu. Dan bila kalian merasakan sesuatu yang aneh dan 'ngganjel', silakan tinggalkan saran dan kritiknya.

Bab depan, kita akan kembali ke sudut pandang Sheya :D:D:D

Selamat membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro