Bab 30. Sheyana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di mana... Di mana Shonasai-ku?

Aku mencari-carinya di setiap sudut kamar, hingga membuat Aminirta—pelayan yang ditugaskan melayaniku— keheranan dengan tindakanku yang kalap. Semua isi tas sampai kusebar di atas tempat tidur, tetapi benda yang kucari tetap tidak ada. Dalam kondisi panik, aku pun memeriksa kolong tempat tidur, begitu pula dengan lemari, dan meja, tanpa mengindahkan kehadiran Aminirta yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Nona... apa yang kau cari?" tanyanya sembari memasuki kamar dan meletakkan sepoci minuman hangat di atas meja kayu bundar yang ada di tengah-tengah kamar. Gadis berambut perak sepinggang itu kebingungan melihatku mengacak-acak seisi kamar yang sudah dirapikannya.

"Salah satu barangku hilang," jawabku sambil mengangkat selimut. "Itu pemberian Tuan Shui."

Sejenak, tak terdengar sahutan apa pun dari Aminirta. Namun, ketika aku menoleh ke arahnya, air muka pelayan bergaun hijau muda itu memucat. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari, bahwa dia sedang ketakutan. Aminirta ditugaskan untuk membersihkan kamar sekaligus melayaniku. Bila ada sesuatu yang terjadi di sini, sudah jelas dia yang pertama kali akan disalahkan.

"Tolong bantu aku mencarinya," pintaku, berupaya untuk menenangkan sekaligus memberitahu, bahwa aku tidak menganggapnya sebagai pencuri. "Benda itu tersimpan dalam kantong kain berwarna putih. Ada sulaman tanduk-tanduk rusa hitam pada kainnya, serta tali kantongnya berwarna biru."

"Ba—Baik," Aminirta tergagap mematuhi perintahku. Dia pun turut mencari benda yang kumaksud, hingga menemukan kantong tersebut di dalam hiasan salah satu pajangan porselen di kamar.

"Nona... apa ini yang kau cari?" Dia menunjukkan kantong kain tersebut padaku.

Bagaimana kantong itu ada di sana? Terakhir kali melihatnya, aku menyimpan kantong tersebut di dalam tas perjalanan, yang kemudian kusimpan dalam lemari. Firasatku tidak enak dan begitu menerimanya, tebakanku menjadi kenyataan. Kantongnya memang ada, tetapi isinya tidak. Seseorang sudah mengambilnya!

"Ada yang salah, Nona?" Aminirta menyadari perubahan ekspresiku.

"Barangnya tidak ada," Aku terduduk lemas di lantai sambil meremas kantong kain Shonasai. "Benda itu benar-benar tidak ada." Aku gemetar ketakutan. Siapa pun yang membawa lambang Tuan Shui, dia bisa melakukan apa pun dan melimpahkan semua perbuatannya pada beliau.

Wajah Aminirta sepucat wajahku, bahkan mata kelabunya yang jernih menyiratkan kengerian.

"Selain kau, siapa yang masuk ke kamarku tadi?" tanyaku.

"Ha...Hanya saya dan Nona Efrani," jawabnya setengah mencicit.

Mungkinkah Efrani yang mengambilnya?

Aku ragu. Dari mana wanita itu tahu aku memiliki Shonasai dan untuk apa dia mengambilnya? Aku menepis kecurigaanku padanya. Hubunganku dengan Efrani mungkin tidak baik, tetapi bukan berarti aku beprasangka buruk padanya. Aku menggigit bibir bawah, lalu beralih menatap Aminirta yang gemetar ketakutan. Ketika pandangan kami bertemu, gadis itu langsung bersujud di hadapanku.

"Demi Tadakhua, saya tidak mengambil apa-apa, Nona!" Aminirta membentur-benturkan dahinya pada lantai. "Saya bersumpah, saya hanya membersihkan kamar Anda sesuai perintah Nyonya Suani. Saya sama sekali tidak berani menyentuh barang-barang Anda, kecuali pakaian-pakaian yang perlu dicuci!"

Aku hanya bisa memandangnya hampa. Benda sepenting itu hilang di tanganku. Lebih menyedihkan lagi, aku tidak bisa menuduh siapa pun. Apa yang harus kulakukan?

"Tolong... jangan katakan ini pada Nyonya. Saya bisa dihukum, jika Nona menceritakan ini." Dia mulai menangis dan memohon padaku. "Nyonya akan menjual saya kembali ke pasar budak, bila tahu pekerjaan saya tidak beres."

Aku mengabaikan tangisannya. "Ketika Efrani di dalam kamarku, ke mana kau pergi?"

"Saya berada di dapur, membuatkan sepoci minuman hangat serta kue beras untuk Nona." Tangisannya semakin deras.

"Kenapa kau tidak menunggu Efrani menyelesaikan tugasnya di kamarku?"

"Nona Efrani meminta saya pergi, supaya beliau bisa berkonsentrasi melantunkan kidung-kidung perlindungan." Aminirta menambahkan, "Nona Efrani selalu melakukan hal itu. Selama dia berdoa, yang diizinkan berada di dekatnya hanya kedua kawannya. Yang lain pasti disuruh pergi."

Aku menggertakkan gigi. "Selalu seperti itu?"

"Ya," Aminirta mengangguk kuat-kuat. "Selalu seperti itu. Jika kami berkeras untuk tetap berada di dalam, biasanya Nona Efrani akan mengadukan ketidaksopanan kami kepada Tuan Mahanan atau Nyonya Suani, sehingga kami mendapat teguran."

Aku memandangnya lurus-lurus, berusaha mencari kebohongan dalam ucapannya. Namun, sepertinya dia mengatakan yang sejujurnya. Tatapannya jernih, meski tersimpan ketakutan di dalamnya. Air mukanya terlihat cemas dan tubuhnya menggigil ketakutan.

Sebelum aku berangkat ke ibu kota, Shamasinaike Ornuk berpesan padaku untuk tidak terlalu memercayai orang-orang kota. Katanya, mereka mudah berbohong dan mengelabui orang lain demi kepentingan sendiri. Itu sebabnya, aku harus berhati-hati selama di sini. Hanya saja, selama seminggu aku berinteraksi dengan Aminirta, aku menyadari, gadis ini pada dasarnya adalah gadis yang polos dan patuh.

Lagi pula, selama ini aku selalu menghabiskan waktu di sekitar paviliun bersama Aminirta. Kapan dia sempat menggeledah barang-barangku? Toh, ketika dia membersihkan kamar atau mengambil pakaian yang hendak dicuci, biasanya aku pun berada di sini sembari berbincang-bincang dengannya.

Aku menepis kecurigaanku pada Aminirta. Sekarang, walau aku tidak ingin melakukannya, tetapi prasangkaku berpindah pada Efrani. Apa dia yang mengambil Shonasai-ku?

***

Tuan Shui baru kembali dari Istana setelah langit berwarna lembayung. Beliau memasuki halaman bersama Hessa dan Tuan Lokha. Tampaknya, mereka bertemu di jalan dan pulang bersama-sama. Seperti biasa, raut muka Tuan Shui terlihat lelah. Bahkan dalam sekali lihat saja, aku bisa merasakan kepenatan beliau. Tampaknya, terjadi sesuatu yang cukup serius di Istana tadi. Namun, beliau menyembunyikannya dengan baik di balik senyumnya yang lembut.

Saat itu, aku yang memang sengaja menunggu kepulangan beliau di pekarangan depan, jadi kehilangan kata-kata. Aku ingin menceritakan perihal Shonasai-ku yang hilang, tetapi... perasaanku mengatakan untuk menceritakannya nanti. Beliau baru pulang dan lelah, jadi sebaiknya aku tidak menambah kelelahan beliau. Pada akhirnya, aku cuma bisa tersenyum dan balik menyapa beliau dengan hangat, lalu menarik Hessa menuju ke paviliun kami.

Malam harinya kami makan malam bersama seperti biasa, di ruang makan yang ada di rumah utama. Rumah Tuan Shui memang besar, lebih besar dari rumahku, dengan beragam paviliun yang terpisah-pisah dan disatukan dengan lorong-lorong terbuka beratap genting. Jika sebelumnya aku berpikir bahwa rumahku sudah termasuk mewah, maka rumah Tuan Shui lebih dari mewah.

Rumah utama atau rumah induk merupakan tempat tinggal Tuan Shui, beserta Tuan Mahanan, Nyonya Suani, serta beberapa orang kepercayaan Tuan Shui. Tempat ini memiliki banyak sekali ruangan dan berada di tengah-tengah kediaman. Ketika memasuki pekarangan depan, maka bangunan rumah induklah yang akan pertama kali dilihat. Di sinilah, Tuan Shui sering menjamu tamu-tamunya yang datang pada malam hari.

Di sekitar rumah induk, terdapat beberapa paviliun dengan fungsi yang berbeda-beda. Tiap-tiap paviliun dipisahkan oleh dinding setinggi dua orang dewasa dan dihubungkan dengan lorong-lorong terbuka beratap genting. Di sekitar lorong tersebut ada taman-taman maupun halaman yang cukup luas, tetapi halaman paling luas berada di area rumah utama, arena latihan, istal, serta ruang cuci.

Setiap bangunan memiliki gaya yang berbeda pula. Rumah induk yang paling berkesan, dengan warna didominasi cokelat tua, merah untuk atapnya, dan keemasan. Sementara paviliun para pelayan terbilang yang paling sederhana. Dinding dan tiang-tiang kayunya polos, tidak seperti di paviliun tamu atau rumah utama yang ditatah sedemikian rupa hingga membentuk sulur-sulur yang cantik.

"Hari ini kami mendatangi Imizdha," Hessa mulai menceritakan pengalamannya tadi pada kami. Padahal tidak ada yang memintanya bercerita, tetapi anak itu sudah lebih dulu buka suara. Ini tidak seperti Hessa yang biasanya. Selama ini dia cenderung diam dan tertutup, tetapi semenjak di ibu kota, sikapnya berubah menjadi lebih periang dan terbuka.

"Hessa," Aku menegurnya, supaya dia tidak banyak bicara saat makan malam. Namun, Tuan Shui menyela dan menyuruhnya melanjutkan cerita.

"Saya tidak tahu, kalau ternyata Imizdha sangat—sangat—sangat luas." Sorot matanya berbinar-binar seolah melihat sesuatu yang menakjubkan. "Saya dan Tuan Lokha berkeliling di rumah doa maupun tempat belajar para pendoa. Oh, ya... kami bahkan tidak sengaja bertemu Imam Agung!"

Aku nyaris tersedak mendengar ucapannya. "Kau tidak mempermalukan dirimu, 'kan, di depan beliau?"

"Tidak," Hessa mengernyit mendengar pertanyaanku. "Tapi aku meminta restu dan doa beliau." Kali ini air mukanya dipenuhi kekaguman. "Beliau menepuk-nepuk kepalaku tiga kali dan berdoa supaya apa yang kuinginkan tercapai. Sikap beliau mengingatkanku pada Iksook Inarha."

"Seorang Imam tidak bisa disamakan dengan pendoa yang menyendiri di desa kecil," komentar Efrani, menyela pembicaraan kami. Sikapnya terlihat tenang, tetapi nada suaranya menunjukkan hal lain. Dia tidak suka Hessa membandingkan Imam Agung dengan Iksook kami di desa.

"Ah, bukan begitu maksud saya," Hessa terlihat salah bicara.

"Keramahan Imam Agung membuatnya teringat pada Iksook Inarha yang ada di desa, apa yang salah dari itu, Efra?" Tuan Shui tersenyum ke arah wanita berambut cokelat muda itu. "Dia tidak sedang membandingkan siapa pun."

Kali ini Efrani yang seperti salah bicara. Namun, dengan cepat Tuan Shui memutus kecanggungan di antara kami dengan menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan Hessa selama di Imizdha.

"Saya berkunjung ke perpustakaannya. Ruangannya besar sekali dan punya banyak buku. Pendoa-pendoa berjubah putih sibuk belajar di sana. Sayangnya, kami tidak diizinkan masuk," ujarnya. "Tapi... kalau pun diizinkan masuk, saya juga bingung akan melakukan apa. Sampai sekarang saya masih belum lancar membaca." Dia terkekeh sembari mengambil sesendok sayur dari piring hidangan dan meletakkannya di piringnya sendiri.

"Apa kau mau belajar membaca?" Pertanyaan Tuan Shui membuat Hessa menaikkan pandangannya dengan antusias.

Aku menghela napas sambil menggeleng pelan. Lagi-lagi kami merepotkan Tuan Shui dengan segala keinginan kami.

"Bolehkah, Tuan?" Dia balik bertanya yang langsung kusahut dengan jawaban 'tidak'.

Semua mata menatapku. Bahkan Tuan Mahanan dan Nyonya Suani yang berdiri di pinggir meja makan, memandangku dengan heran.

"Anu...," Aku tergagap mendapat perhatian sebanyak ini hanya gara-gara mengatakan 'tidak'. "Maksud saya, kami tidak lama di sini," jelasku. "Kami tidak ingin merepotkan Tuan Shui lebih banyak lagi. Dibiarkan tinggal di sini selama berhari-hari saja, sudah kami syukuri."

Senyum Tuan Shui melembut.

"Aku tidak merasa dibebani atau direpotkan. Jika Hessa mau, aku akan memanggil seorang guru untuk mengajarinya membaca dan berhitung," kata beliau. "Kau pun bisa belajar bersamanya. Tidak perlu memikirkan waktu atau pun biayanya. Belajar saja sesuai keinginan kalian."

Aku benar-benar malu dengan seluruh perhatian yang diberikan Tuan Shui pada kami. Ingin kutolak, tetapi kami akan dikira sombong. Namun bila diterima, entah kenapa kami serasa tidak tahu diri. Pada akhirnya aku berdiri dari kursi dan membungkuk dalam-dalam ke arah beliau.

"Terima kasih atas kebaikan Tuan," kataku tulus.

Tuan Shui tertawa dan menyuruhku duduk. Sementara ekspresi yang ditunjukkan orang-orang di ruang makan berbeda-beda. Tuan Mahanan dan Nyoya Suani ikut tersenyum melihatku berterima kasih. Efrani hanya memandangku datar, tetapi sinar matanya mengatakan bahwa dia tidak menyukai sikapku. Aku tidak tahu, kenapa aku selalu merasa bahwa wanita itu amat sangat tidak menyukaiku. Tampaknya apa pun yang kulakukan akan terlihat salah di matanya.

Percakapan kembali bergulir setelah itu. Namun yang lebih banyak bicara adalah Hessa, sedangkan yang lain menyimak. Sesekali Tuan Mahanan menimpali, begitu juga Tuan Shui, tapi beliau lebih banyak diam dari pada bicara.

Setelah makan malam, kami kembali ke paviliun masing-masing. Kami berjalan santai menyusuri jalan setapak yang membelah halaman dan menghubungkan antar satu lorong dengan lorong lain. Beberapa lilin dinyalakan dalam lampu-lampu taman yang terbuat dari batu. Hessa kelihatan senang karena bisa mempelajari sesuatu yang baru.

"Kau ini... ya..., kita di sini sebagai tamu! Jangan suka meminta sesuatu yang berlebihan!" Aku menjewer telinga Hessa ketika kami sampai di paviliun

Hessa mengaduh-aduh, memintaku untuk melepaskan telinganya. Ekspresinya tampak cemberut setelah aku memaksanya berjanji untuk tidak merepotkan orang lain lagi.

"Hessa tidak bermaksud begitu, Nona," Tuan Lokha tampak kasihan melihat Hessa kumarahi. "Lagi pula tidak ada salahnya belajar membaca."

"Belajar membaca memang tidak ada salahnya," timpalku sambil menatap Hessa tajam. "Tetapi juga harus tahu tempat dan situasi. Kita kemari bukan untuk berkunjung, tetapi karena keinginan Perdana Menteri! Jangan berpikir karena berada dalam lindungan Jenderal, kau bisa pergi sesukanya dan meminta seenaknya!"

Hessa terlihat sedikit menciut. "Aku tidak bermaksud begitu," kilahnya pelan. "Aku hanya ingin tahu tentang ibu kota. Aku cuma ingin belajar membaca. Iksook Inarha mengatakan, bahwa di sini banyak sekali hal-hal yang bisa kupelajari, terutama mengenai obat-obatan dan penyakit. Selain itu, daripada menganggur di kediaman Tuan Shui, bukankah lebih baik memanfaatkan waktu untuk belajar, Yuuni? Setidaknya, aku jadi bisa membaca buku pengobatan Iksook Inarha nanti, sepulangnya ke desa."

Aku termangu mendengar alasannya.

"Maaf, kalau aku terkesan merepotkan. Aku sungguh-sungguh tidak bermaksud seperti itu, Yuuni," lanjutnya. "Kalau Yuuni tidak mengizinkan, besok aku akan meminta Tuan Shui membatalkan pelajaran kita. Aku juga tidak akan keluar lagi sembarangan. Maafkan aku, Yuuni." Hessa berbalik kemudian berlari menuju kamarnya yang berada di sudut paviliun. Dia segera masuk dan menutupnya dengan keras, lalu menguncinya. Aku bisa mendengar denting logam yang dikaitkan dari kamarnya.

"Hessa hanya ingin belajar," Tuan Lokha tersenyum masam. "Anda terlalu berlebihan memarahinya, Nona."

Kali ini aku kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Tuan Lokha.

"Hessa tidak sekadar bermain, ketika berkeliling bersama saya. Dia juga mencoba untuk tahu berbagai jenis tanaman obat, bahkan juga bertanya-tanya pada tukang obat jalanan—meski saya pernah menegurnya untuk tidak memercayai mereka. Dan kali ini dia datang ke Imizdha, karena saya memberitahu, banyak tabib-tabib hebat biasanya berasal dari kalangan pendoa," ujar Tuan Lokha.

Aku menatap pintu kamar Hessa, merasa bersalah padanya. Dia pasti malu dan takut, karena aku memarahinya seperti tadi, seolah-olah dia telah melakukan kesalahan besar yang berbahaya.

"Aku khawatir akan keselamatannya," desahku, tak tahu lagi harus membela diri dengan alasan apa.

"Nona jangan terlalu banyak berpikir," Tuan Ruruine tersenyum lembut. "Mungkin benar, Nona menjadi incaran Perdana Menteri. Namun, selama Nona berada dalam perlindungan Jenderal, Perdana Menteri pun akan berpikir dua kali untuk membahayakan Nona."

Aku tahu itu. Tuan Shui akan melindungi kami dari gangguan Perdana Menteri. Tapi sampai kapan? Tidak mungkin kami akan tinggal terus di sini. Suatu saat, kami akan hengkang dari kediaman beliau. Jika Perdana Menteri mengulurkan tangannya saat itu, entah apa yang akan terjadi pada kami kemudian!

***

Aku tidak benar-benar bisa tidur. 

Meskipun berkali-kali mengubah posisi tidur, pikiranku sama sekali tidak mau tenang. Beragam persoalan bersliweran dalam benakku, mulai rasa bersalah karena memarahi Hessa, waktu kepulangan kami yang tidak jelas, sampai tanggal pernikahanku dan Jun yang semakin hari semakin dekat. 

Pernikahan yang tidak akan terlaksana tepat waktu.

Pada akhirnya aku bangun dan mengenakan mantel panjang yang biasa kukenakan untuk berpergian. Suasana sunyi menyambut kehadiranku di luar kamar. Bayangan-bayang gelap mengintip dari celah-celah pohon, ingin mendekat, tetapi segan untuk melakukannya. Terpujilah Shorya, karena aku tak harus berurusan dengan mereka.

Aku berjalan-jalan di sekitar halaman paviliun, berjalan bolak-balik menyusuri jalan setapak yang terbuat dari bebatuan. Penerangan di kamar Tuan Lokha dan Tuan Ruruine sudah padam, begitu juga kamar Hessa dan Aminirta. Aku menghela napas sekali lagi, lalu beranjak keluar dari area paviliunku dan pergi menuju area rumah induk yang lebih besar. Tak kusangka, aku akan bertemu Tuan Shui di sana.

Beliau tengah melihat-lihat langit di halaman samping yang menghubungkan dengan area paviliunku. Mulanya aku ingin putar badan dan kembali ke paviliun sendiri, tetapi sapaan beliau membuatku terpaksa tetap berada di tempat.

"Tidak bisa tidur?" Beliau memberi isyarat padaku untuk mendekat.

"Begitulah, Tuan," Aku mendekati beliau dan berhenti saat jarak kami tinggal tiga langkah. "Tuan sendiri, kenapa belum tidur?"

"Sama sepertimu," jawab beliau singkat sembari memandangi langit yang dipenuhi bintang.

Sesaat keheningan menguasai kami, menimbulkan kecanggungan yang tidak terlalu kentara.

"Tuan... boleh saya bertanya," Aku memberanikan diri untuk memecah kesunyian ini lebih dulu.

"Silakan," beliau mengalihkan pandangannya padaku.

"Hmm..., sampai kapan kami akan berada di sini?" tanyaku.

"Kau ingin pulang?" Tuan Shui balas bertanya.

Aku mengangguk pelan. "Saya rindu pada desa dan keluarga saya."

"Atau kau merindukan Jun?"

Pertanyaan beliau membuat pipiku memanas. Bagaimana bisa beliau menanyakan hal itu padaku?!

Tuan Shui tertawa ringan, kelihatan geli melihat reaksiku.

"Itu bukan pertanyaan yang pantas untuk perempuan yang belum menikah, Tuan," komentarku, berusaha menyembunyikan perasaan maluku baik-baik.

Beliau masih tersenyum, tetapi cenderung geli—yang membuatku merasa seperti anak kecil yang sedang diolok-olok. "Yah..., aku tidak akan heran kalau kau merindukan Jun. Sebentar lagi kalian akan jadi suami-istri," ujarnya. "Aku minta maaf, karena kalian terpaksa terlibat dalam masalahku."

"Tuan tidak perlu minta maaf," kilahku cepat-cepat.

"Tapi itu perlu." Senyum Tuan Shui terlihat sedikit sendu. Sorot matanya menunjukkan hal yang sama. "Setidaknya itu sedikit mengurangi rasa bersalahku. Orang-orang di sekitarku selalu terlibat masalah dengan Perdana Menteri, hanya karena mereka punya hubungan baik denganku."

"Yang membuat masalah ini adalah Perdana Menteri, bukan Anda, Tuan," celutukku tanpa pikir panjang, yang langsung kusesali karena Tuan Shui memandangku lekat-lekat. "Perdana Menteri-lah yang seharusnya meminta maaf, bukan Anda."

Tuan Shui tertawa kembali, tidak selepas tadi. "Ya, kau benar. Dia yang seharusnya minta maaf. Sayangnya, dia tidak akan melakukan hal itu seumur hidupnya. Baginya, apa yang dilakukannya benar. Mengusikku adalah tindakan tepat. Karena kehadiranku mengancam Rhei."

Aku teringat dengan perbincangan yang terjadi siang tadi di pusat kota. Seorang lelaki tua menginginkan Tuan Shui menjadi Kaisar dan menganggap Kaisar Rhei sebagai pembawa sial. Memang, itu hanya ucapan dari satu pria. Namun, ada berapa banyak yang berpikiran seperti itu di ibu kota ini, sampai membuat Kaisar Rhei mencurigai kakak kandungnya?

"Cepat atau lambat, kalian akan pulang ke Shamasinai," Tuan Shui membuyarkan lamunanku. "Tapi tidak sekarang. Terlalu cepat untuk merasa lega, bila berpikir pamanku sudah tidak tertarik dengan kalian. Jadi nikmatilah waktumu di sini."

Aku hanya bisa memasang senyum canggung. Itu adalah pernyataan yang tidak ingin kudengar.

"Seharusnya bulan ini... menjadi bulan pernikahan saya dan Jun," ujarku pelan, tak bisa menyembunyikan kekecewaan yang bercokol di hati. "Seharusnya... saat ini saya berada di sana."

Tuan Shui menepuk-nepuk kepalaku, sekali lagi mengucapkan maaf. "Jika keadaan sudah benar-benar aman. Aku akan mengirimmu kembali ke Shamasinai."

(9 Juli 2018)

-----------------------

Jadi... Kenapa saya update lagi?

Karena ingin aja, sih. Kebetulan lagi ngalir gitu aja idenya. Akhirnya terpikir untuk bikin chapter ini.

Saya mulai sebar clue-cluenya semakin banyak di sini. Part selanjutnya, saya masih berpikir, mau pakai sudut pandang dari Houhan atau Shui.

Kalian mau Houhan atau Shui? :D:D

Jawaban kalian akan berpengaruh untuk clue selanjutnya :D:D:D

Jangan lupa vote, komen, dan share ya~~

Terima kasih...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro