Bab 45. Houhan : Membalikkan Takdir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jika ingat tampang keduanya tadi, aku selalu ingin tertawa. Yang laki-laki seperti digiring ke tempat jagal, sedangkan yang perempuan seolah-olah disuruh menginjak bara api. Walau mereka berpura-pura terlihat saling mencintai, tapi siapa pun bisa melihat kekakuan dalam cara mereka berinteraksi," Baiyuyin menceritakan kembali suasana pernikahan Sheya dan Shui tadi pagi pada Houhan.

"Aku masih tidak mengerti, apa manfaatnya menjodohkan mereka berdua," Houhan menyesap araknya perlahan-lahan. "Dengan atau tanpa perjodohan ini, kita tetap bisa membinasakan mereka."

Tawa Baiyuyin semakin keras hingga terdengar sampai ke lorong kamar.

"Kelihatannya saja tidak membawa pengaruh apa-apa, padahal sebaliknya, itu memberikan dampak yang baik untuk rencana kita," Baiyuyin menuang kembali arak ke dalam cawan minumnya.

Suasana di sekitar paviliun tempat tinggal Baiyuyin sangat sepi, tetapi lelaki itu tidak segan untuk membicarakan rahasia mereka dengan lantang. Jika bukan karena seisi Imizdha telah dikuasainya, Baiyuyin tidak akan berani melakukannya.

"Hubungan Kaisar dan Jenderal akan semakin meruncing. Tinggal tunggu waktu sampai Kaisar menggila dan mereka saling bunuh karena kebencian." Dia menenggak araknya dalam sekali teguk. "Atau... kalau mereka tidak saling bunuh, kita bisa gunakan cara lain untuk menyingkirkan keduanya sekaligus."

Houhan menghela napas sembari meletakkan cawan minumnnya di atas meja kayu berkaki pendek. Dia bersandar pada tumpukan bantal berhias sulaman tangan yang ada di belakang punggungnya.

"Sekalipun bisa memprovokasi Kaisar, aku tidak yakin kita bisa melakukan hal serupa pada Jenderal," gumamnya. "Dia terlalu setia pada adiknya."

"Hati manusia bisa berubah kapan pun," Baiyuyin menyeringai. "Kalau pun hatinya tidak berubah, maka kita gerakkan Kaisar untuk membunuhnya sendiri."

"Pengaruh Shasenka tidak sekuat dulu, mengapa Muruthai tidak langsung membunuh Kaisar saja?" Houhan mendadak terdiam, seakan memikirkan kembali pertanyaannya barusan.

Sebenarnya Muruthai bisa membunuh Kaisar sesukanya, terutama karena perlindungan Shasenka tidak sekuat dulu. Namun, kalau itu terjadi, maka yang akan memegang tampuk kekuasaan adalah Shui dan itu akan menimbulkan kesulitan baru. Yah..., memang lebih baik kedua bersaudara itu saling bunuh. Bila Shui berhasil membunuh Rhei, maka akan lebih mudah menyulut pertikaian antara Narashima dan Shui.

"Sebenarnya, kalau bisa, Muruthai ingin membinasakan mereka semua sekaligus. Sayangnya, itu hanya akan memancing perhatian ketiga penguasa yang mendiami kekaisaran ini," Baiyuyin terkekeh sembari menuang arak ke gelasnya yang kosong. "Shasenkai, Shoryaken, dan Hariam." Dia menyebutkan ketiga Jugook yang menguasai Shenouka saat ini. "Akan sangat merepotkan kalau melawan mereka bertiga sekaligus. Terlebih Martimuran belum bangkit sepenuhnya."

"Shasenkai sudah tidak peduli pada Kekaisaran ini, apa yang perlu ditakutkan?" Houhan menaikkan salah satu alisnya. "Shoryaken dan Hariam tidak sekuat Shasenkai, kan?"

"Jangan salah," Baiyuyin berdecak sambil menyamankan diri dengan bersandar pada bantal besar di belakang punggungnya. "Sekalipun ikatan Shasenkai dengan Kaisar Shenouka retak, tetapi Jugook itu masih mengawasi kekaisaran ini. Dia masih peduli. Buktinya adalah Jugook kecil yang sekarang mendiami Shasuiren."

Houhan mendesah pelan, lantas menyesap arak di cawannya perlahan. "Mengapa sulit sekali menjatuhkan sebuah kekaisaran."

"Kalau mudah, sudah ratusan tahun lalu Muruthai menguasai tanah ini," timpal Baiyuyin sembari menenggak araknya sampai habis. "Muruthai sudah bersabar sangat lama demi melihat kebangkitan Mirmizdi sekali lagi."

"Aku juga tidak sabar melihat kebangkitan Martimuran," ujar Houhan datar, yang disambut tawa Baiyuyin.

Dia tahu apa yang membuat Houhan tidak sabar melihat kebangkitan Martimuran, tak lain karena Jugook tersebut mampu menghidupkan kembali yang telah mati. "Kalau kau ingin cepat melihatnya bangkit, maka bekerjalah dengan baik."

"Bukankah kau lihat sendiri hasil pekerjaanku?"

Baiyuyin kembali tertawa mendengar nada sinis dalam pertanyaan Houhan. Tentu saja selama ini Houhan melakukan tugasnya dengan sangat baik, bila tidak, maka sudah jauh-jauh hari siasat mereka terungkap.

"Bagaimana dengan rencana selanjutnya? Kau sudah menyiapkan persembahan?"

"Semua persiapan sudah selesai. Tinggal menunggu perintah dari Muruthai," Houhan mengambil botol araknya, kemudian menuang isinya ke cawannya yang telah kosong.

Senyum Baiyuyin menipis, menunjukkan kepuasan. Ia menengadahkan wajahnya ke atas, menatap beragam tulisan yang tercipta di langit-langit kamarnya. Tulisan tersebut berisi doa-doa perlindungan yang biasa dinyanyikan esok dan malam hari. Bagi mereka yang mengagungkan Tadakhua, tulisan tersebut sama seperti perisai. Namun baginya, tulisan itu tak ubahnya goresan tinta yang bisa dihapus dan diganti dengan goresan lain.

Houhan mendongak, menatap ke arah yang ditatap Baiyuyin. Lilin-lilin yang menyala di tengah kamar membuatnya bisa membaca jelas setiap huruf yang ditulis di langit-langit kamar. Tulisan tersebut bewarna hitam dan saling menyambung dengan garis-garis sudut yang tajam. Isinya adalah doa berisi harapan dan perlindungan.

"Kukira kau sudah mengganti tulisannya, ternyata tidak?" Houhan memandang Baiyuyin yang masih tersenyum-senyum sendiri.

"Setelah kupikirkan, sepertinya tidak perlu menggantinya," Baiyuyin meraih botol porselen araknya dan menuang isinya ke cawannya. "Itu hanya tulisan biasa."

"Imam sebelummu akan mengutukmu bila mendengarnya," komentar Houhan.

Tawa Baiyuyin semakin keras. "Aku memang sudah dikutuk sejak lahir," ujarnya sinis. "Lahir dari keluarga miskin, besar di lingkungan menyedihkan, dan bergaul dengan orang-orang gila. Kalau Muruthai tidak menolongku, mungkin sekarang aku sudah mati menjadi santapan binatang buas."

Baiyuyin melanjutkan, "Para Imam selalu mengatakan, bahwa Tadakhua akan menolong siapa pun. Dia akan membantu dan melindungi siapa pun." Dia mendecih sementara tatapan menyipit. "Tapi beribu kali aku memohon dan meminta perlindunganNya, Dia tidak pernah mengulurkan tanganNya padaku. Dia terus melemparku pada orang-orang biadab. Yang menolongku justru Muruthai yang dianggap sebagai penyihir oleh para Imam."

Sekali lagi dia tertawa, kali ini suaranya terdengar getir dan penuh dendam.

"Para pendoa, Iksook, Imsoon, maupun para Imam selalu menganjurkan untuk berdoa dan memohon pada Tadakhua bila dalam kesulitan. Tapi anjuran mereka hanyalah janji manis semata. Aku selalu berdoa di pagi, siang, maupun petang, memohon supaya Ayahku berhenti memukuli Ibu dan adik-adikku. Aku berharap dia cepat mati. Dan nyatanya, ibuku yang meninggal lebih dulu."

"Aku memohon pada Tadakhua supaya melindungiku dan adik-adikku, tetapi mereka justru dijual dan dilecehkan oleh orang-orang bejat. Aku meminta supaya Tadakhua menyelamatkanku, tapi justru dilempar ke tangan lelaki gila yang menyukai anak kecil. Kalau ingat itu semua, rasanya aku ingin memaki-maki semua Imam yang mengajariku berdoa dan berharap." Baiyuyin mencengkeram erat cawan gelasnya. Air mukanya terlihat kelam bersamaan dengan nada suaranya yang menajam.

"Harapan dan doa adalah kebohongan. Mereka hanya ingin menghibur hati kami yang terluka," ujarnya geram.

Houhan mengalihkan perhatiannya ke arah jendela kamar Baiyuyin yang besar. Di sana, ia bisa melihat kemegahan langit malam yang berwarna hitam. Bintang-bintang bersinar, memperlihatkan keberadaannya yang kontras dengan warna langit yang gelap.

Para pemuka agama sering mengibaratkan apa yang terjadi dalam kehidupan mereka serupa langit dan bintang-bintang tersebut. Ketika jiwa mereka terpuruk, maka dikatakan jiwa mereka dalam kegelapan dan cahaya Tadakhua atau bintang-bintang itulah yang akan membawa mereka ke arah yang benar. Namun, dari mana mereka bisa tahu bahwa itu cahaya yang akan menuntun mereka? Kenapa mereka tidak berpikir bahwa bisa saja bintang itu adalah ilusi dan selamanya mereka terjebak dalam kegelapan?

Houhan bisa memahami kemarahan dan kekecewaaan Baiyuyin, karena ia juga mengalaminya.

Berdoa tapi tak kunjung diberi.

Berharap tetapi diabaikan.

Memohon tapi tak dipedulikan.

Ketika istrinya sakit keras belasan tahun silam, ia pontang-panting mencari obat demi kesembuhan wanita yang dicintainya. Ia datang pada satu tabib ke tabib lainnya. Berderma di sana-sini, karena menganggap itu bisa membalikkan sakit yang dialami istrinya. Kemudian memohon doa dan restu pada setiap pendoa, Imsoon, Iksook, bahkan ia memohon berkat pada Imam Agung sebelum Baiyuyin. Namun, apa yang didapatnya?

Kekecewaan.

Imam Agung sebelum Baiyuyin mengatakan bahwa apa yang dialami istrinya adalah takdir dan ia harus menerima semuanya dengan lapang dada. Kemarahan di dada Houhan membara ketika mengingat kembali ucapan Imam Agung tersebut.

"Sakit yang dialami istrimu merupakan takdirnya. Sekeras apa pun kau mencari cara untuk menyembuhkannya, kau tidak akan bisa menyelamatkannya. Kau harus menerimanya dengan lapang dada."

Houhan terpaku ketika mendengar pernyataan Imam Agung. Dia sudah bersujud, memohon-mohon pada lelaki itu untuk menyelamatkan istrinya, tapi apa yang ia dengar? Sebuah penolakan yang dingin. Waktu itu Houhan membantah pernyataan Imam Agung. Ia mengatakan, bahwa Tadakhua pun melihat usaha setiap manusia, tapi pernyataan Imam Agung adalah mutlak. Ia tak bisa membantahnya.

Mau tidak mau, Houhan pulang dari Imizdha dengan tangan hampa dan hatinya hancur manakala mendengar tangisan serta ratapan sedih bergema dari kediamannya, ketika kembali dari Imizdha. Istrinya meninggal di saat ia tidak berada di sisinya dan itu benar-benar membuatnya terpuruk.

Hatinya bergetar oleh amarah dan keputusasaan. Rasa dendam memenuhi dadanya ketika ia mendekap jasad istrinya. Doa, permohonan, puja-puji, apapun itu.... semuanya adalah kebohongan! Tidak ada doa, tidak ada puja-puji, tidak ada harapan! Semuanya adalah kepalsuan yang diciptakan para Imam Agung. Tadakhua tidak ada di dunia ini!

Houhan melarang siapa pun memakamkan istrinya, bahkan tidak membiarkan para pelayan untuk memandikan jenazah istrinya. Ia bertingkah seperti orang kesetanan selama tiga hari, lupa makan, lupa minum, hanya terus meratapi kematian istrinya di kamar. Bahkan kedatangan salah satu Imam pun tak dipedulikannya.

Ketika Imam tersebut mencoba membujuknya untuk memakamkan istrinya, ia mengusir orang itu dan menyiramnya dengan air dan debu. Semua orang menganggapnya gila karena telah kehilangan istri, tetapi karena kegilaannya saat itu, ia bertemu Baiyuyin dan Muruthai yang menyelamatkannya dari kehampaan.

"Aku akan membantumu mewujudkan keinginanmu."

Itu yang dikatakan Muruthai setelah mereka dipertemukan oleh Baiyuyin—yang saat itu masih menjadi pendoa di Imizdha.

"Kau bisa berkumpul lagi dengan istrimu dan berbahagia di dunia ini, asal mau membantuku."

"Apa pun permintaanmu akan kupenuhi," Dia menjawab mantap ketika itu. "Asalkan aku bisa kembali bersama istriku. Aku akan melakukannya, bahkan bila kau menyuruhku terjun dari tebing."

Semenjak itu, ia menjadi pengikut Muruthai bersama Baiyuyin. Mereka merencanakan dan mengatur semuanya dengan hati-hati. Tahun demi tahun mereka habiskan dengan sabar, hingga akhirnya masa ini tiba.

"Jika mengingat kembali masa lalu, kadang aku masih tidak percaya bisa berada di posisi ini," ujar Baiyuyin.

"Aku lebih tidak percaya lagi, karena kau bisa berada di posisi ini," timpal Houhan. "Mengingat semua tingkah burukmu selama ini, aku selalu ragu kau bisa bertahan di Imizdha. Sayang, ternyata kau memang bisa bertahan dan akhirnya bertengger di posisi teratas."

Baiyuyin tertawa nyaring mendengar sindirannya.

"Melawan Imam Agung itu tidak mudah," ujar Baiyuyin. "Aku sedikit kerepotan saat membunuhnya. Perlawanannya cukup lumayan, hanya saja... aku lebih kuat darinya."

"Sombong sekali," cibir Houhan datar.

"Itu kenyataannya," Baiyuyin tersenyum ringan. "Ketika mengambil alih Imizdha, tidak sedikit yang melawan. Imam Agung dan para pengikutnya melawan dengan sangat keras, tetapi untungnya, mereka bisa dibunuh dalam waktu singkat. Jika tidak, keributan di Imizdha akan terdengar sampai ke Kaisar." Lelaki berambut hitam kecokelatan pendek itu menyeringai sembari mengangkat cawan araknya ke arah Houhan. "Terima kasih padamu yang mau membantu kami membunuh mereka."

Houhan tidak berkomentar dan memilih menyesap araknya perlahan-lahan seperti sedang menikmati teh.

"Beruntunglah, karena Imam Agung sebelummu tidak sekuat Imam Agung sebelumnya. Bila dia sama seperti Imam Agung Murkhayan, maka kau akan tamat dalam sekali langkah. Dia manusia yang disayangi Dewa. Apa pun yang keluar dari mulutnya bisa menjadi kenyataan, entah itu baik atau pun buruk."

"Imam Agung Murkhayan ya..., aku pernah mendengar tentangnya, walau cuma sekilas. Katanya dia orang yang cukup aneh," Baiyuyin menuang arak ke cawannya. Pikirannya mengingat kembali sosok Imam Agung ke-20 yang potretnya berada di ruang lukis Imizdha.

Imam Agung Murkhayan bertubuh kecil dan kurus. Dalam balutan jubah putihnya yang besar, ia terlihat seperti remaja yang tenggelam dalam kemuraman. Ekspresinya selalu sedih dan tatapannya sayu, seakan-akan sedang menanggung beban berat. Dalam sejarah para Imam, dia merupakan salah satu Imam Agung termuda yang dilantik dan juga Imam kedua yang melepas jabatannya demi kebebasan.

"Dia suka menyendiri dalam ruang doanya," cerita Houhan, seolah Baiyuyin tak mengetahuinya. "Sering kali dia menghabiskan waktu untuk menyanyikan kidung pujian dan lebih banyak menangis di tengah malam. Banyak yang berusaha menemuinya, termasuk keluarga kaisar. Namun, hanya sedikit yang diterima."

Baiyuyin tertawa pelan. "Mereka pasti memohon padanya supaya mau berdoa sesuai apa yang mereka inginkan?"

Houhan mengangguk pelan. "Karena itulah, dia memilih melepas jabatannya dan pergi entah ke mana. Kudengar, beberapa orang berupaya menangkapnya, tetapi tidak berhasil. Dia seperti hilang tanpa jejak selepas kepergiannya dari Imizdha."

"Syukurlah orang itu sudah tidak ada di sini," Baiyuyin menyeringai. "Mungkin juga dia sudah mati. Kalau dia masih ada, kita tidak akan bisa berbuat apa-apa."

"Benar," Houhan mengangguk pelan.

"Orang yang disayangi dewa...," Baiyuyin bergumam pelan sambil mendengus. "Seharusnya dia mengabulkan hajat setiap orang yang datang kepadanya, bukannya lari dari mereka."

"Mustahil," Komentar Houhan. "Manusia tidak akan pernah puas dengan keinginannya. Bila satu sudah terkabul, maka dia akan meminta keinginannya yang lain dikabulkan. Begitu terus sampai maut menjemput."

Senyum Baiyuyin terlihat sedikit getir. "Seharusnya mereka yang menjadi Imam Agung merupakan orang-orang yang benar mencintai Tadakhua. Karena posisi ini diisi oleh orang-orang yang hanya mengerti kata-katanya saja, pada akhirnya, kekuatan Imizdha semakin berkurang."

"Lihat siapa yang bicara," Houhan tak kuasa menahan keinginannya untuk mencibir.

Baiyuyin lagi-lagi tertawa. "Tapi berkat itu, kita juga bisa menyusup dengan mudah. Sekarang jabatan Imam Agung hanyalah sebuah pekerjaan. Siapa pun bisa jadi Imam Agung. Asal bisa menghafal berbagai macam kitab, mampu menerjemahkan pesan-pesanNya dengan baik, serta berperilaku terpuji di depan orang, maka itu syarat yang cukup menjadi Imam Agung."

"Imam Agung sebelummu akan menangis mendengar ucapanmu," Houhan kembali menyesap arak di gelasnya.

"Imam Agung sebelumku terlalu bodoh. Dia mempercayakan semua hal pada Tadakhua tanpa melihat dirinya sendiri sebagai bentuk perwujudan bukti keberadaan Tadakhua. Dia terlalu penurut dan apa adanya."

Houhan tersenyum tipis. "Orang yang terlalu percaya pada takdir."

"Dan kita berada di sini untuk membalikkan takdir," Baiyuyin menimpali sambil tersenyum lebar. Kegelapan mungkin memang tidak bisa menang melawan cahaya, tetapi... kegelapan bisa mendominasi cahaya.

***

Malam datang membawa kerisauan,

Jiwa-jiwa berjalan dalam kebingungan

Tidak ada jalan di depan, belakang, dan samping

Hanya kegelapan yang tampak

O.... Tadakhua....,

Berilah kami cahayaMu,

Tunjuki jalan kami,

Tuntunlah kami,

Agar kami tidak tersesat

Suara Inarha mengalun lembut di tengah-tengah halaman paviliun tamu yang berada di bagian timur kediaman Shui. Suaranya naik kemudian turun dalam nada-nada yang tepat, menciptakan harmoni yang membawa kedamaian pada siapa pun yang mendengarnya. Serangga-serangga bahkan berhenti bernyanyi, hanya untuk ikut mendengarkan kidung penentram jiwa yang sedang ia dendangkan.

Dia duduk bersila di atas rumput dengan mata terpejam. Di depannya terdapat mangkuk kuningan berisi arang yang membara dan di sebelahnya terdapat wadah porselen seukuran satu genggaman yang berisi bubuk bunga. Ketika bubuk itu ditaburkan ke atas arang, wangi bunga yang harum dan ringan pun menguar.

Malam telah memuncak,

Membutakan jiwa-jiwa yang marah,

Membawa mereka dalam lautan duka,

Membakar hati mereka dalam bara dendam

O... Tadakhua...,

Damaikanlah hati kami,

Selamatkan kami dari kesedihan,

Dan padamkan amarah di hati kami

Lelaki tua itu begitu khusyuk melantunkan kidung doanya, menghayati setiap liriknya, hingga menimbulkan nuansa yang berbeda. Kidung ini merupakan kidung yang ditulis Imam Agung pertama, yang berjuang melawan Martimuran bersama Utharem.

Dulunya lagu ini sering didendangkan pada awal malam dan ketika matahari akan terbit, karena di waktu itulah pasukan Mirmizdi semakin menggila hingga membuat pasukan Utharem kewalahan dan putus asa. Kidung ini ditujukan sebagai penyemangat sekaligus penguat hati para prajurit yang melawan pasukan Mirmizdi. Namun sekarang kidung ini sering dinyanyikan kapan pun untuk menenangkan jiwa yang gundah.

Malam berakhir,

Membawa segala duka – nestapa

Mengubur kesedihan dan rasa sakit

Menciptakan ketenangan dan kedamaian

O....Tadakhua,

Terangilah jiwa kami,

Seperti matahari yang terbit di pagi hari

Bersinar terang dan hangat

O...Tadakhua,

Bawa kami dalam kedamaian,

Lingkupi kami dalam keselamatan,

Sesuai janjiMu yang pasti

Inarha mengulang kidung penentram jiwa itu tanpa memedulikan bahwa bulan pelan-pelan bergeser ke barat. Suasana semakin sepi dan hening, sementara suaranya tetap jernih terdengar, seolah-olah alam sengaja mengheningkan diri supaya suaranyalah yang menonjol. Namun, setelah nyanyian ke-100, Inarha berhenti berdendang.

Lelaki tua itu membuka mata, menatap ke arah lelaki berambut perak pendek yang berdiri sepuluh langkah di seberangnya. Dia mengenakan setelan panjang berwarna gelap. Iris matanya membara, serupa api yang berkobar. Penampilannya berani dan garang, tetapi air mukanya menyiratkan kesuraman.

"Lama tidak berjumpa, Shorya," Inarha tersenyum ke arah pemimpin tertinggi di Shoryaken. "Apa kau sudah menemui Shui?"

"Dia akan marah kalau aku mengganggu malam pertamanya," Shorya beranjak ke sisi Inarha. Setelah perjalanan panjang dari tempat Shasenkai, dia merasa sangat letih. Bukan karena perjalanan lintas dimensi yang memakan banyak energi, melainkan karena tanggapan Shasenkai atas kehadirannya di kerajaan Jugook tersebut. "Aku senang melihatmu berada di sini, Imam Agung."

Inarha menabur bubuk wangi ke mangkuk arang, tak tampak terkesan dengan panggilan Shorya. "Aku sudah melepas jabatan itu. Aku bukan lagi Imam Agung."

"Walau sudah melepasnya, kau tetaplah orang yang pantas dipanggil Imam Agung," Shorya membalasnya datar.

"Melihat ekspresimu yang rumit, sepertinya ada banyak masalah yang terjadi," Inarha tak menanggapi kata-kata Shorya dan mengalihkan pembicaraan. "Setelah bertahun-tahun meninggalkan Ibu kota, aku tidak mengira akan kembali kemari di masa-masa yang... rumit."

"Kau datang kemari pun bukan tanpa sengaja, kan?" tanya Shorya. "Aku tidak akan percaya bila kau datang kemari, sekadar untuk melihat pernikahan Shui dan Sheya."

Inarha tertawa pelan mendengar tudingan Shorya yang terus terang. "Aku pun tidak ingin kembali lagi kemari," katanya. "Namun, beberapa bulan yang lalu aku melihat sesuatu yang mengerikan."

Air muka Shorya berubah serius.

"Banjir darah." Inarha melanjutkan, "Aku melihat Shasenka tenggelam dalam banjir darah."

Shorya mendesah pelan. "Tanda-tandanya sudah terlihat jelas."

"Shasenkai tidak mau membantu?" tanya Inarha.

"Tidak. Berulang-ulang kubujuk, dia tidak mau membantu. Hubungannya dengan kekaisaran ini putus setelah Rhei merusak perjanjian mereka," jawab Shorya.

"Apa yang telah dirusak Kaisar?" Inarha mengerutkan dahi.

"Amulet emas, yang mengikat Shasenka dengan para Kaisar Shenouka," jawab Shorya muram. "Rhei membuang benda itu dan yang membuat Shasenkai bertahan mempertahankan pengawasannya terhadap kekaisaran ini adalah karena Shui masih menyimpan medali pemberian ayahnya."

Kedua alis Inarha terangkat. "Maksudmu medali yang dulu membuatmu tak bisa mendekati Shuiren?"

Shorya mengangguk pelan. "Mungkin ini keberuntungan. Shui tidak membuangnya, meski telah membuat perjanjian denganku. Kalau itu juga dibuang, Shasenkai benar-benar akan meninggalkan Shenouka. Apa pun yang terjadi pada tanah ini, ia tidak akan peduli."

Inarha menabur kembali bubuk wangi ke atas arang yang membara. "Kita harus membujuknya untuk kembali."

"Percuma. Apa pun yang kita katakan hanya akan diabaikannya. Berhari-hari aku di sana, tapi hasilnya nihil."

"Apa Shasenkai tahu kondisi Shenouka sekarang?"

"Dia tahu," Shorya mengangguk pelan. "Tapi tidak ingin memberikan bantuan secara terang-terangan. Yang dia lakukan sekarang hanyalah menjaga sungai Haryun supaya tidak kering kerontang."

"Sia-sia saja," komentar Inarha. "Cepat atau lambat sungai Haryun akan kering. Kutukan yang mereka berikan sangat kuat. Untuk mematahkannya hanyalah dengan menyingkirkan sang perapal."

Musim kemarau yang terjadi di Shenouka terjadi bukan tanpa alasan, melainkan karena pengaruh sihir jahat—sihir yang sangat halus dan kuat, sampai ia sendiri tidak menyadari bahwa kekaisaran ini tengah disalahi.

Awal mula musim kemarau datang, Inarha mengira ini adalah musim kemarau biasa. Ketika kemaraunya semakin panjang dan hujan bertambah jarang, ia menganggap Tadakhua tengah menguji kesabaran mereka. Ia tidak mengira, bahwa perubaan cuaca itu dikarenakan kutukan seseorang. Energi sihirnya sangat halus, begitu tenang dan ringan, sehingga membuatnya terkecoh.

Namun, setelah mendapatkan mimpi mengerikan beberapa bulan silam, Inarha baru sadar bahwa semua ini terjadi karena rapalan mantera jahat yang ditujukan untuk semua orang. Energi besar yang ia rasakan ketika hujan darah terjadi di Shasenka memperjelas kecurigaannya. Tanah ini sedang dikutuk oleh orang yang menginginkan kejatuhan kekaisaran. Energi yang ada di Shasenka pun tidak stabil, jauh dari kata tenang. Kemarahan, kebencian, dendam, kedengkian, iri hati, semua bercampur aduk di kota ini, menimbulkan ketidaknyamanan baginya.

Lebih aneh lagi di Imizdha. Sewaktu datang ke sana untuk mengikuti pemberkatan pernikahan Shui dan Sheya, Inarha mengira akan menemukan kedamaian di lingkungan suci. Tapi yang didapatnya justru kehampaan serta kekosongan. Ia tidak bisa merasakan ketenangan maupun kehangatan dalam tempat tersebut. Sebaliknya, hanya rasa dingin dan kesepian yang ia rasakan di sana.

"Akan sangat sulit mencari si perapal itu," Shorya tersenyum getir, menyadari kesulitan dalam langkah mereka. Bila kutukannya sehalus ini, sudah pasti orang itu pintar menyembunyikan kekuatannya dan karena kekuatannya tidak bisa dirasakan dengan mudah, dia pastilah orang yang sangat kuat serta berbahaya.

"Kita masih memiliki waktu sebelum semuanya terlambat," Inarha mendongak, menatap langit malam yang diterangi bintang-bintang. Dalam mimpinya, ia melihat air sungai Haryun digantikan oleh darah dan mayat bergelimpangan di mana-mana. Ini adalah pertanda, bahwa mereka masih bisa melawan sihir tersebut sebelum air sungai benar-benar kering dan membawa kematian bagi penduduk ibu kota.

"Aku membutuhkan anak buahku," ujar Shorya. "Tapi tidak mudah memanggil mereka kemari, karena Shasenkai masih menandai tempat ini sebagai wilayahnya." Jika dia memanggil pasukannya ke Shasenka, itu akan membuatnya tampak ingin merebut tempat ini dari Shasenkai. Bukannya meredam masalah, dia justru akan mendapat masalah baru. "Aku butuh orang-orang yang bisa membuat perjanjian dengan mereka," lanjutnya.

Seperti dirinya yang terikat dengan Shui, maka ia membutuhkan anak buahnya yang terikat dengan manusia. Dengan begitu, ketika memasuki wilayah Jugook lain, mereka tidak akan dianggap sebagai ancaman, karena mereka berada di sini untuk melindungi majikan mereka.

Inarha tersenyum. "Kau lupa bahwa di sini ada satu orang yang bisa mengajak salah satu jenderalmu?"

Shorya tahu siapa yang dimaksud Inarha. "Kuharap dia juga senang diajak kemari."

"Paling-paling dia akan mengomel seharian karena dipaksa datang ke sini," Inarha tertawa pelan. "Akan kuminta Sheya memanggilnya. Dia pasti bisa menggerakkan hati Inaike."

"Tentu saja bisa," Shorya membalas dengan mantap. "Karena dia keturunan dari Haerim."

(27 Februari 2019)

----------------------------

Note:

Haiii..., apa kabar? Semoga kalian sehat terus. Karena cuaca sekarang nggak menentu, jaga kesehatan dan jangan kebanyakan minum es ya. Saya kena flu dua minggu lalu dan selama hampir seminggu kesehatan saya drop. Pengennya tidur terus :))

Nah, peralihan dari ending kemarin ke bab ini lumayan agak lama. Saya perlu mikir untuk kelanjutannya, karena ini ada kaitannya sama 'orang besar di balik layar' yang mengintai Shenouka. Cukup ngawang-ngawang sih, terutama karena perhatian saya ke-distrak juga dengan empat ide cerita baru =))

Dari keempatnya, ada 2 cerita fantasy adult romance dan 2 lainnya fantasy distopia. Ini bikin saya mumet. Berhubung saya juga pengen nyelesaiin ini, Master's Decision, dan The MaDra's Desire. Eh, The Golden Anshok juga ding.

Wkwkwkwk.... kebanyakan yang ingin ditulis, waktu sedikit, ide ngawang-ngawang *sigh*

Btw, ada yang ingat Haerim?

Dia itu manusia yang pernah berjuang bersama Inaike saat melawan pasukan Mirmizdi. Jadi... alasan kenapa Inaike bisa sayang sama Sheya dan keluarganya sudah jelas kan? Karena gadis itu masih keturunan Haerim. Dan karena dia yang paling kuat penglihatannya, Inaike paling dekat dengannya :D

Akhir kata, jangan lupa vote dan komen cerita ini yhaaa... :D:D/

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro