Bab 63. Sheyana : Perdebatan Tak Berujung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lagu di atas berjudul Aria by Kalafina

================

"Apa menurut Yuuni ini akan berhasil?" tanya Hessa yang sedang menungguku berbenah.

Di balik penyekat yang membatasi antara tempat berganti pakaian dan area dalam kamar, aku menimpali, "Aku juga tidak yakin, tetapi hal ini harus dicoba."

"Apa kita harus pergi bersama gadis itu juga?" desis Hessa.

Yang dia maksud adalah Putri Nayunira. Semenjak tahu bahwa Efrani, Irtham dan Yueza adalah pembunuh ibu dan saudara-saudara kami, aku dan Hessa tidak bisa memandang Putri Nayunira dengan cara biasa. Jika dulu aku merasa sungkan pada sang putri, sekarang hanya ada rasa curiga saat bertemu dengannya. Sementara Hessa yang dulu lebih sering menunduk dan menghindari putri Nayunira, sekarang terang-terangan berani menatapnya dan menampilkan ketidaksenangannya.

Aku pernah menegur ketidaksopanannya, karena berani menatap seorang Putri dengan pandangan dingin dan tidak suka, tetapi dia membalas, bahwa bisa jadi Tuan Putrilah pelaku sebenarnya yang ingin menghabisi kami sekeluarga. Hessa bahkan pernah mengatakan hal itu di depan Putri Nayunira, yang langsung mendapat kecaman dari dayang pengasuh putri, tetapi dengan berani dia menantang putri Nayunira untuk memenggalnya bila ucapannya tidak benar. Hal itu justru membuat Putri Nayunira tidak bisa berkomentar apa-apa.

"Tidakkah permusuhanmu pada Miri Nayunira terlalu sengit?" Aku keluar dari balik penyekat dengan mengenakan gaun kelabu sederhana serta luaran panjang berwarna hijau gelap. Sebagai tambahan, aku mengikatkan sabuk kain hitam di pinggang supaya lebih mudah menyelipkan belati.

"Bukankah dia yang lebih dulu membenci kita?" timpal Hessa tak acuh sambil memainkan dedaunan pada pohon bonsai yang ada di tengah meja tamu.

Aku duduk di depan cermin rias dan mulai mematut diri. Karena kami akan pergi ke Imizdha, aku hanya menyapukan beda tipis dan menggelung rambut serta menghiasinya dengan tusuk rambut sederhana yang dihiasi satu permata biru. Penampilanku tidak mengesankan seperti istri seorang jenderal, lebih mirip seperti istri pedagang kecil. Namun, tujuan kami ke sana memang bukan untuk menarik perhatian orang. Selesai berhias, aku mengambil jubah hitam panjang yang tersampir di salah satu kursi tamu dan memakainya.

Hessa sudah siap dari tadi. Dia mengenakan kemeja katun lengan panjang berwarna hijau cerah yang dirangkap dengan luaran tanpa lengan berwarna hitam. Sebuah topi yang terbuat dari kain dan dihiasi motif rusa dan dedaunan berwarna hijau gelap menutupi kepalanya, sehingga menyembunyikan sebagian rambutnya yang berwarna keperakan. Berbeda dariku yang menyelipkan belati di sabuk kain, di ikat pinggangnya justru terselip beberapa botol kaca seukuran jari kelingking.

"Apa yang kau bawa?" Aku mengernyit melihat deretan botol kecil bersumbat kain merah yang terselip di sabuk pinggangnya.

"Hanya beberapa obat," jawab Hessa. "Aku membuatnya semalam, untuk berjaga-jaga."

Tidak ada ukuran waktu yang pasti saat cuaca seperti ini, sehingga semalam yang dimaksud bisa jadi setelah kami membicarakan rencana untuk pergi ke Imizdha.

Kecurigaanku semakin besar. "Obat atau racun?"

Hessa melirikku sesaat, lalu mengalihkan pandangan lagi. Dia tak menjawab pertanyaanku berusan.

"Hessa," Aku ingin menegurnya, tetapi dia sudah berdiri dari tempat duduk lalu beranjak meninggalkan kamar.

Aku menghela napas sambil menggeleng pelan melihat sikapnya. Semenjak selamat dari kematian, perangai Hessa memang berubah. Dia bukan lagi pemuda pemalu yang sering tersenyum, atau pun pelajar yang bersemangat setiap kali mendapat ilmu baru. Hessa sekarang lebih diam dan banyak melamun. Air mukanya juga selalu muram. Bila bertemu dengan orang yang tidak disukainya, dia akan terang-terangan memalingkan wajah, tanpa melihat siapa yang dibencinya, bahkan pada Tuan Shui pun dia bersikap demikian.

Beberapa kali aku smengingatkannya untuk bersikap lebih sopan. Bagaimanapun orang-orang yang tidak disukai Hessa menempati posisi penting di kekaisaran ini. Namun, jawaban Hessa sangat menohok. Katanya, mau setinggi apa pun mereka menjabat, jabatan tersebut tidak akan bisa menghapus kesalahan maupun kelalaian mereka terhadap keluarga kami. Jabatan mereka tidak akan membawa keluarga kami hidup kembali. Namun, dia sempat berujar, bahwa akan memperbaiki sedikit sikapnya supaya aku tidak kesulitan. Walau perangainya ketus, rupanya Hessa masih memikirkanku.

Aku keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Di sana, Hessa sudah menunggu bersama putri Nayunira dan Tuan Shui. Tatapanku sempat bersirobok dengan pandangan Tuan Shui. Mata biru jernihnya memancarkan sorot lelah dan air mukanya sedikit kuyu. Beliau mengenakan pakaian yang lebih santai, hanya kemeja lengan panjang yang dirangkap rompi kulit hitam serta celana panjang gelap. Tepian jubah hitam yang beliau kenakan masih meneteskan air hujan, yang membuatku berpikir, bahwa beliau baru saja dari luar.

Tuan Shui kelihatan lelah dan kemuraman wajahnya mengingatkanku pada percakapan kami waktu itu, ketika aku meminta cerai darinya.

Permintaan cerai yang sempat kuajukan pada Tuan Shui ditolak mentah-mentah. Beliau justru menyuruhku untuk beristirahat dan mendinginkan kepala. Tuan Shui berkata, bahwa akan memberiku ruang dan waktu untuk menenangkan diri sampai aku bisa berpikir lebih jernih, sehingga kami tidur di tempat yang terpisah. Beliau memilih ruang kerja yang ada di sebelah kamarku sebagai tempat beristirahat.

"Shonja, Miri Nayunira," Aku hendak membungkuk pada keduanya, yang justru ditahan oleh putri Nayunira.

"Yuuni tidak perlu melakukan itu," ucap putri Nayunira, yang membuatku mengucapkan terima kasih.

Pertama kali putri Nayunira memanggilku 'Yuuni' adalah saat makan bersama beberapa saat lalu. Yang kutahu, putri Nayunira tidak suka dan memandangku tidak pantas bersanding dengan Tuan Shui. Maka dari itu, ketika dia memanggilku Yuuni, aku benar-benar terkejut. Entah apa alasannya sampai mau mengakuiku, tetapi... aku cukup berterima kasih karena sekarang dia mau sedikit menerima kehadiranku.

Hessa mendengkus pelan dan itu membuat lirikan putri Nayunira beralih padanya sesaat.

Tuan Shui mengabaikan sikap Hessa dan bicara padaku. "Aku sudah meminta Murshan untuk mengawal kalian. Berjanjilah untuk segera pulang, dengan atau tanpa hasil apa pun. Jangan berlama-lama di sana atau pun menyinggung Imam Agung."

"Ya, saya mengerti," Aku mengangguk, lalu melirik putri Nayunira yang mengenakan gaun sederhana berwarna krem tua dengan hiasan sulama bunga di tepian gaun. Rambut panjangnya dikepang rapi dan hanya dihiasi sebuah pita kuning. "Apa Miri Nayunira harus ikut serta?" tanyaku.

Semalam, putri Nayunira menyatakan keinginannya untuk ikut bersamaku dan Hessa. Dia beralasan bahwa Efrani, Irtham, dan Yueza merupakan pendoa yang dikirimkan atas permintaannya. Kedatangannya pasti lebih masuk akal, dari pada jika hanya aku dan Hessa yang datang.

Tuan Shui menatap adik perempuannya, sehingga Putri Nayunira berkata, "Tidak apa-apa Yuuni. Aku akan menemani kalian ke sana."

Sekali lagi, aku hanya mengangguk.

"Kalau begitu, lebih baik kita segera pergi," tukas Hessa yang terlihat tidak sabar dengan percakapan kami.

Aku mengernyit melihat perilakunya yang agak kasar.

"Hessa," Aku memanggilnya tegas, yang membuat langkahnya terhenti. "Beri salam dulu pada Shonja."

Mulanya dia hanya diam, tetapi pada akhirnya dia terpaksa berbalik dan mematuhi perintahku dengan kaku. Setelah itu, aku dan putri Nayunira pamit pergi pada Tuan Shui. Sebelum pergi, Tuan Shui sempat memelukku dan berbisik, "Aku sudah mengirim pesan pada Iksook Namiri dan Hiro. Jika kau butuh bantuan, kau bisa mencari dua orang itu."

"Baik," Aku mengangguk pelan tanpa berniat membalas pelukannya.

Kalau tidak salah, Iksook Namiri dan Hiro adalah dua pendoa yang sempat dibawa Tuan Shui ke penginapan ini.

"Sampai bertemu lagi," kata Tuan Shui ketika mengantarku dan putri Nayunira masuk ke kereta kuda.

***

Suasana di dalam kereta kuda terasa canggung dan kaku. Hessa, yang duduk di samping kiriku, lebih banyak melihat keluar jendela kereta, sementara Putri Nayunira, yang duduk di depanku, sepertinya lebih tertarik memperhatikan sulaman di ujung lengan gaunnya. Suasana ini terasa tidak nyaman, sehingga aku berusaha mencairkan kekakuan di antara kami.

"Sebenarnya Miri Nayunira tidak perlu ikut pada perjalanan ini," kataku. "Perjalanan ini masih abu-abu, karena masalah yang dihadapi belum jelas. Bisa jadi perjalanan ini berbahaya, bisa juga tidak. Miri lebih aman berada di penginapan."

Putri Nayunira menatapku sejenak, lalu melirik ke arah Hessa. Kemudian tatapannya kembali pada ujung lengan bajunya. Dia terlihat sungkan dan tidak nyaman, sehingga aku menoleh ke arah Hessa dan mendapati pemuda itu sedang memandang tajam ke arah putri Nayunira, seakan sedang menghakiminya.

Aku menyikut lengan kanan Hessa dan memberinya tatapan untuk tenang, sehingga pemuda itu kembali mengalihkan perhatiannya keluar jendela.

"Di penginapan memang aman," ujar putri Nayunira. "Namun, saya merasa tidak melakukan apa-apa bila hanya diam saja di sana. Padahal, saya sudah berniat untuk membantu Ammuren di sini saat meninggalkan Istana. Saya tidak ingin kehilangan Ammu."

Bahasanya sopan sekali. Padahal dulu, dia tidak menggunakan bahasa sesopan ini ketika datang ke resepsi pernikahanku dan Tuan Shui.

"Memang apa yang bisa kau lakukan?" Hessa menyahut dengan nada ketus. "Apa yang bisa dilakukan seorang Putri yang biasanya hanya dilayani?"

Cibirannya membuat dahiku berkerut.

"Hessa!" Aku hendak menegurnya, tetapi putri Nayunira menyanggah,

"Aku memang tidak bisa apa-apa, tetapi setidaknya aku bisa membantu kalian mendapat kejelasan mengenai keberpihakan Imizdha!"

Hessa mendengkus, "Yah... jika bukan karena orang-orang kirimanmu, kami tidak perlu kehilangan Ibu dan adik-adik kami."

Komentar itu membuat air muka putri Nayunira kesal.

"Kenapa kau selalu menyalahkanku atas meninggalnya ibu dan adik-adikmu?! Ini tidak adil!" seru putri Nayunira.

"Miri tolong tenang," Aku mencoba menengahi mereka dan hendak menegur Hessa supaya menutup mulutnya. Akhir-akhir ini dia memang lebih sering menyulut pertengkaran dengan putri Nayunira. Ada apa dengan pemuda ini?!

"Hessa, jaga bicaramu," tegurku. "Kita ada dalam satu kapal yang sama, tidak baik bila terus bertengkar."

Namun, seperti Hessa tidak mendengar teguranku. Dia justru menatap nyalang ke arah putri Nayunira dan berkata, "Dunia memang tidak pernah adil! Apa kau baru tahu itu, Miri?" pertanyaannya kedengaran seperti sedang mengejak.

Putri Nayunira mengepalkan kedua tangan di atas pangkuan. Matanya berkilat, seperti ada kaca yang siap pecah kapan pun.

"Hessa!" Aku menatapnya marah, tetapi Hessa masih tidak mau mendengarku karena dia kembali mengatakan sindiran yang tajam.

"Dunia memang seperti itu, Miri! Tidak pernah adil! Kau baru merasakannya sekarang, kan? Kami sudah merasakannya sejak dulu! Apa salah ibu dan adik-adikku, sampai pendoa kirimanmu membunuh mereka?! Sebenci itukah dirimu pada keluarga kami?! Kalau kau mau menyalahkan, salahkan pada Shen—,"

"Hessa!!" Aku menyelanya lebih keras, sehingga dia terdiam. Kali ini, ucapannya benar-benar kelewatan. "Apa bedanya kau dengan orang-orang itu jika menyerang orang yang tidak bersalah?! Miri Nayunira benar-benar tidak tahu kenapa pendoa itu membunuh keluarga kita, jadi jangan sudutkan beliau lagi!"

"Benarkah?" Hessa balas menatapku tajam. "Bisa jadi dia hanya pura-pura saja! Bukankah dia membenci kita? Bukankah dia tidak pernah menganggap Yuuni? Untuk apa sekarang dia pura-pura menerima Yuuni?! Dia seperti ular yang bisa mematuk kapan saja!"

"Aku memang membenci kalian!" sela putri Nayunira, kali ini dengan air mata menuruni pipinya. "Aku akui, aku memang benci kalian." Dia terisak, tetapi Hessa terlihat bergeming dengan tangisannya.

"Yang kuinginkan adalah Ammuren bersanding dengan gadis yang dicintainya selama bertahun-tahun! Aku hanya mengharapkan Ammuren bisa bahagia! Aku tidak tahu, kalau Ammu Shenka akan menikahkan Ammuren dengan.... Yuuni. Aku sama sekali tidak tahu! Harusnya waktu itu, aku tidak memberitahu Ammu Shenka tentang gadis yang dicintai Ammuren, sehingga Ammuren tidak akan dipaksa menikah," putri Nayunira menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

"Kau kira hanya kakakmu saja yang tersiksa karena perjodohan ini?" suara Hessa terdengar lebih rendah dan serak.

Aku meraih tangannya dan memintanya untuk diam, tetapi Hessa tidak memedulikan.

"Kakakku juga sama menderitanya seperti Kakakkmu! Dia sudah bertunangan dan akan menikah, ketika Pamanmu memanggilnya kemari hanya untuk alasan yang tidak jelas! Salahkan pada keluargamu yang berseteru atas kesialan yang dihadapi Kakakmu! Kau pikir, kami ingin merasakan hal ini juga?" Suara Hessa pecah dan air matanya ikut turun.

"Apa salah Ibu dan adik-adikku sampai mereka harus dibunuh?" Dia memalingkan wajahnya ke arah jendela. "Ibu tidak pernah melakukan sesuatu yang jahat. Mila juga sama. Walau Erau dan Athila sedikit usil, tetapi mereka anak-anak yang baik. Kenapa mereka harus dibunuh sekeji itu?"

Keduanya terisak, yang membuat perasaanku bercampur aduk. Mereka berdua bertengkar atas masalah yang tidak mereka pahami.

"Sudah cukup," Aku kembali menengahi perdebatan mereka.

Kuraih tangan kanan Hessa dan menepuk-nepuk punggung tangannya perlahan. "Tidak ada gunanya saling menyalahkan. Tidak ada penyelesaian pula dari saling menuduh. Yang kita perlukan sekarang adalah benang merah dari masalah yang terjadi selama ini. Jika kalian bertengkar, apa yang bisa kita dapat? Mungkin hanya perpecahan yang tidak memiliki ujung penyelesaian."

Hessa diam, tetapi bahunya masih bergetar. Aku melepas tangan Hessa, kemudian mengambil sapu tangan yang tersimpan di jahitan dalam ujung lengan, lalu menarik turun tangan putri Nayunira dari wajah. Kuusap sapu tangan tersebut di wajahnya.

"Miri adik yang baik, selalu memikirkan kebahagiaan Shonja," ucapku. "Tidak ada yang salah dari hal tersebut, Miri. Hanya saja, kadang keinginan kita memang tidak berjalan sesuai apa yang kita harapkan."

Tangisan putri Nayunira semakin keras, sementara itu Hessa hanya diam.

Aku bersyukur, Hessa tidak memperpanjang perdebatan mereka dan memilih menutup mulutnya sepanjang perjalanan menuju Imizdha. Walau suasana di dalam kereta masih tidak nyaman, tetapi sudah tidak setegang sebelumnya. Baik Hessa maupun putri Nayunira masih memerlukan waktu untuk menerima kenyataan dalam hidup mereka, sementara aku masih memikirkan cara supaya masalah yang kami hadapi bisa lekas selesai.

(15 Mei 2021)

===================

Note:

Selamat Hari raya idul fitriiii.... mohon maaf lahir dan batin....

Selamat memperingati hari Kenaikan Isa Al Masih untuk teman-teman yang merayakan...

Dan mohon maaf, tadi ada kesalahan teknis sehingga part yang sudah diunggah malah kehapus :')

Bagaimana liburannya? Menyenangkan atau enggak?

Ada yang mudik? Saya sendiri malah nggak bisa mudik, tetap di rumah karena aturan nggak mbolehin mudik. :')

Buat temen-temen yang ada di perantauan, yang sabar dan lapang dadanya ya... kalau nggak bisa pulang sekarang, masih ada hari lain untuk pulang ke rumah.

Nah..., siapa yang kemarin ingin tahu jawaban Shui atas permintaan Sheya? Sekarang udah pada tahu kan jawabannya. 🤧🤧

Jangan lupa untuk vote dan komennya yaaa....

Selamat membaca dan menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya~~

Btw..., The Golden Anshok juga ikutan Update lho. Bagi yang penasaran kelanjutan ceritanya, bisa menengok lapak sebelah yaa... Lea ketemu musuh yang bikin dia sakit kepala. 

Siapa dia? Lanjut baca saja yaaa... 🤭🤭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro