BAB 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebuah pertanyaan terlintas di benak Jane tatkala ia melihat rel kereta. Mempertanyakan seperti apa rasanya terlentang di atas sana. Kala maniknya melihat bebatuan yang berserakan juga besi, perempuan itu meringis. Suara dengkusan pun terdengar bersamaan pengumuman dari pengeras suara, memberitahukan seluruh calon penumpang bahwa kereta akan masuk di jalur 2. Sekali lagi sebelum Jane sempat memikirkan pertanyaan aneh, ia memandangi rel. Entah bagaimana daya tarik rel di hadapannya jauh lebih memikat ketimbang taman mini di seberang rel, bahkan suara-suara lain seolah tak terdengar.

"Cantik bukan?" ucap seorang gadis berwajah mungil dengan mantel merah. Gadis itu seolah-olah terlihat seperti perwujudan tokoh utama di dongeng 'Si Tudung Merah'.

Jane sama sekali tak menghiraukan ucapan gadis itu. Matanya masih fokus pada bebatuan rel dan besi-besinya. Namun, tangan pucat nan kurus milik si gadis menyentuh pundaknya yang sontak membuat Jane menjengit. Netranya membelalak melihat seperti apa rupa si gadis bermantel merah. Wajah pucat dengan cekung di pipi, rahang yang tirus, dan mata berbentuk almond dengan iris biru terang. Dia tidak tampak seperti kebanyakan orang asia pada umumnya. Saat itu Jane yakin kalau si gadis sedang sakit. Seulas senyuman tersungging di wajah si gadis asing, membuat Jane bergidik tatkala dua deretan giginya yang runcing terlihat. Benar-benar gadis aneh.

Manik milik Jane terus menatap gadis bermantel merah tengah melangkah terus melewati garis aman peron. Telinganya bahkan bisa menangkap bahwa si gadis tengah bersenandung kecil, tetapi lambat laun mulai terendam oleh mesin kereta yang mulai mendekat. Awalnya, Jane memalingkan pandangannya melihat lokomotif putih dengan lambang perusahaan kereta di depannya tengah melaju pelan, tetapi suara peluit membuat perempuan itu menoleh pada si gadis bermantel merah.

Sontak saja Jane membelalak. Kaki kanan gadis itu terjulur ke arah rel tanpa menghiraukan peringatan petugas. Kepala Jane bergerak melihat sekelilingnya, tetapi tak ada satu pun calon penumpang yang terlihat peduli.

"Baka," gerutu Jane sambil berjalan cepat ke arah si gadis. Di matanya, gadis itu terlihat seperti ingin bunuh diri. Jika Jane mengabaikannya, dan gadis bermantel merah mati, bisa-bisa ia akan dianggap orang-orang sebagai apatis.

Ketika tangannya telah meraih lengan si gadis bermantel merah, secara mengejutkan gadis itu justru mundur dan menarik kedua lengan Jane. Mata biru cerahnya mengkilat dan bibirnya membentuk senyum miring. Tanpa aba-aba, dia memutar tubuhnya juga Jane sehingga perempuan itu kini berada di ujung peron dengan posisi membelakangi rel.

Lagi-lagi suara peluit terdengar, kali ini bersamaan dengan klakson kereta. Berusaha untuk berjalan ke sisi lain peron, cengkeraman si gadis justru semakin menguat. Jane tahu ada yang tidak beres dengan gadis di hadapannya. Kepala si perempuan mulai berpikir kalau kali ini sepertinya ia salah menyelamatkan orang. Gadis itu bisa saja orang tidak waras melihat tingkah lakunya yang aneh. Semakin lama, si gadis berjalan maju seolah tengah mendorong Jane jatuh ke rel kereta.

"Lepaskan!" gertak Jane.

Namun, gertakan itu dihiraukan, dan tubuhnya terus didorong si gadis. Telinga Jane bisa mendengar suara riuh orang-orang bersamaan beberapa petugas mulai berlarian ke arahnya, tetapi yang bisa tertangkap jelas hanyalah ucapan gadis bermantel merah dengan seringai seolah ia baru saja mendapat mangsa.

"Saatnya bermain."

Dalam sedetik tubuh Jane didorong kuat ke arah rel. Alih-alih berteriak seperti kebanyakan orang di sana, mulutnya justru terasa kaku dan ia hanya bisa membelalak.

Aku tak mau mati, batinnya.

Detik-detik terakhir sebelum Jane menutup mata, ia bisa melihat gigi-gigi runcing si gadis bermantel merah. Sudah pasrah akan takdirnya, perempuan itu lantas menutup mata sembari berharap tidak merasakan sakit yang amat. Suara klakson kereta terdengar dekat dan memekakan telinga, saat itu Jane kira adalah akhir dari kisah hidupnya. Namun, indera perasanya justru merasakan hal lain. Sesuatu yang dingin dan cair meliputi bagian bawah tubuhnya sebelum Jane benar-benar diselimuti oleh benda cair yang tidak ia ketahui. Lantas, perempuan itu segera membuka matanya, tetapi yang ia lihat bukanlah plafon peron, melainkan sebuah langit biru cerah dan ilalang yang seakan menjulang tinggi. Benda cair yang tadi membungkus dirinya telah lenyap di balik punggung, kini kulitnya bisa merasakan tanah. Jane menoleh ke kanan, manik cokelat itu membesar melihat hamparan ilalang tumbuh. Cepat-cepat ia menyadari bahwa dirinya tengah telentang di atas padang ilalang.

Sambil mengatur napas, ia segera bangkit. Ilalang di sana ternyata hanya setinggi dadanya. Tempat itu bukan stasiun kereta, dan Jane yakin sekali di kotanya tidak ada padang ilalang, apalagi yang dekat dengan stasiun kereta tempat ia pikir akan menjadi tempat terakhir hidupnya. Karena saking takjubnya, Jane menganga dan pandangannya terpaku pada sebuah tempat seperti kota yang jauh di ujung padang ilalang.

"Apa aku di surga?" gumamnya.



[]

A/N 

Baka dalam bahasa Jepang artinya bodoh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro