• DUA BELAS •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokkan harinya...

Hening terus berjalan di dalam kereta kuda yang melaju cepat. Baik Al dan Solar hanya saling diam tanpa berbicara.

Keheningan ini terasa canggung, namun entah kenapa mulut keduanya tetap saja tertutup rapat. Solar melirik jendela dan nampak matahari mulai terbit. Sudah hampir 6 jam mereka berada didalam kereta kuda, dan kurang dari 1 jam mereka akan sampai di wilayah kekuasaan Leiron Argan.

Sejujurnya ia ingin menggunakan kertas teleportasi yang Halilintar beri, tapi Halilintar melarangnya dan meminta agar menggunakannya hanya di mansion Count Argan atau saat mereka hendak ke mansion Argan.

"Hei.. setelah turun apa yang harus kita lakukan?"

Al menoleh. "Tentu saja menyamar sebagai pelayan dimansion Argan."

Hening kembali setelah percakapan singkat itu. Al hanya menatap luar dengan wajah datar, sementara Solar dengan wajah kesal mengeluarkan spiritnya dan mulai berbicara sesuatu.

"Apa yang kau lakukan?" Al menatap aneh Solar.

"Hei drag-- aish maksudku Al, apa kekuatanmu hanya elemen petir dan api saja?"

Al mengangguk, untuk saat ini ia hanya memiliki 2 elemen itu karena keenam elemen lainnya masih terkunci.

"Ya, ada lagi, namun aku harus menunggu."

"Begitu.. ya.."

"Ya."

Ini canggung.. pikir Solar.

Solar melirik Al lekat. Rambut putih dengan mata violet yang cerah namun tajam, pakaian aneh yang tidak pernah ia lihat. Apakah ia memakai dalaman ditambah dengan mantel? Atau itu jubah?

"Kenapa Arter membawamu? Tentunya kau tau kalau kaummu sudah menyerang kak Arzen dan kak Asern," ujar Solar.

Aku benci ketika dia menyebut Dragbel adalah kaumku, batin Al kesal.

"Itu bukan urusanku. Aku tidak ingin disamakan dengan mereka," jawab Al ketus.

Solar menatap Al kesal. "Hei! Kakak-kakakku terluka tau!"

"Apanya yang terluka? Tergores saja cuma dibeberapa bagian, lemah sekali jika kau sampai meributkan hal seperti itu."

Al menjawab santai. Membuat Solar mengepalkan tangannya.

"💢💢💢💢💢"

'Al.'

Al mengfokuskan pikirannya.

'Kenapa kau menghubungiku?' tanya Al.

'Hanya khawatir. Kalian tidak bertengkar lagi kan?'

'Kau ingin kami bertengkar?'

Halilintar nampaknya merasa kesal. 'Al, jangan mencari masalah.'

'Tidak, kami hanya berbincang sedikit.'

'Itu bagus. Hubungi aku jika kalian butuh sesuatu.'

'Aku hanya berharap dia tidak membuat masalah.'

Al melirik Solar yang menatapnya dengan pandangan bingung.

"Apa?"

Al hanya menggeleng.

'Baiklah, aku harap kita bisa kembali bertemu segera.' Halilintar menghela napas lega.

Al mengiyakan dan mindlink mereka pun terputus.

"Apa kau berkomunikasi dengan Arter?"

"Ya."

"Okay."

"..."

"..."

Keheningan nampaknya adalah sesuatu yang keduanya sukai ya? Tidak ada percakapan yang berlangsung panjang sedari tadi.

"Tuan-tuan sekalian, harap bersiap! Kita akan memasuki County dalam waktu 15 menit lagi!"

Suara kusir yang berbicara keras menyadarkan keduanya. Solar segera memakai kalung pemberian Halilintar. Kini wujudnya sedikit mirip dengan Al, dengan rambut putih salju dan manik ungu berkilau. Hanya saja wajahnya jauh lebih muda daripada Al.

"Gaaahhh!! Kenapa jadi wajahmu!?" teriak Solar ketika ia berkaca di cermin kecil yang selalu dibawanya.

"Apa yang salah? Wajah baru ini juga tampan."

Solar menatap geli Al dan mendengus kesal. Tapi, wajah baru? Apa maksudnya itu?

"Tapi kau yakin pergi dengan pakaian itu?" Solar menatap aneh pakaian yang dikenakan Al

"Tidak, kita akan membeli pakaian dulu, tentunya kau tidak berpikir akan masuk dengan pakaian mewah itu kan?" ucap Al, melirik pakaian Solar.

Tak lama kemudian kereta kuda yang membawa keduanya akhirnya sampai di Carvelan, salah satu tempat paling terkenal di County Argan.

Al dan Solar berjalan bersama menyusuri pasar setelah membeli sepasang pakaian untuk mereka menyamar. Beberapa orang nampak memperhatikan mereka karena wajah tampan mereka.

Solar terlihat tidak nyaman sementara Al masa bodo dengan itu. Mereka berjalan menuju gedung kosong dipinggiran desa.

Solar langsung memakai satu gulungan kertas sihir yang diberikan Halilintar. Lingkaran sihir berwarna merah langsung saja terbentuk. Al langsung masuk ke lingkaran sihir itu.

"Hei, ayo cepat."

Solar mengangguk. "Mansion Count Leiron Argan."

Solar mengucapkan tempat yang ingin mereka tuju.

Lingkaran sihir itu bersinar merah, cahayanya melingkari keduanya dan tak lama mereka pun menghilang.

~•~•~•~•~•~

Keduanya akhirnya tiba di mansion Count argan. Sebelumnya mereka nyaris ketauan jika Al tidak langsung melumpuhkan penjaga yang menemukan mereka.

"Arven dengar baik-baik," Al berbisik setelah melihat kondisi sekitar.

"Jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan hingga kita mengikuti count Argan nanti, beritahu aku."

"Baiklah," jawab Solar.

"Apa yang kalian lakukan?"

Sebuah suara membuat keduanya tersentak dan menoleh bersamaan.

"Kenapa kalian tidak bekerja?" Seorang perempuan dengan pakaian pelayan menatap keduanya bingung.

"Kami.. baru saja hendak menyelesaikan bagian yang lain," jawab Solar cepat.

"Oh benarkah? Omong-omong, apa kalian pelayan yang baru masuk tadi?"

Al dengan cepat mengangguk. "Ya, saya Al dan ini adik saya Sol."

"Hah!?" Solar langsung melotot pada Al.

"Ah begitu, baiklah salam kenal Al, Sol. Segera lanjutkan pekerjaan kalian okay. Kita harus menyelesaikan ini sebelum tuan Count kembali."

"Kapan tuan Count kembali?" tanya Al.

"Sepertinya sore ini. Sudah, kalian segera selesaikan pekerjaan kalian ya," ujar pelayan itu sebelum akhirnya pergi.

"Baik."

"Kok sesimpel itu sih?" bisik Solar.

"Kita beruntung saja," jawab Al. "Arv-- maksudku Sol, kita pakai nama itu untukmu."

"Sol? Kenapa nggak nama Solar saja? Dan sejak kapan aku jadi adikmu??"

Al menghela napasnya. Baru kali ini dia melihat kebodohan, atau mungkin kepolosan dari pangeran bungsu.

"Count Argan memanggilmu apa?" tanya Al.

"Tentu saja Pangeran." Solar menjawab cepat.

"Apa panggilan akrab yang biasa dia panggil padamu?"

"Eh? Tentu saja Solar." Solar memiringkan kepalanya, bingung.

"Lalu siapa yang berani memanggil nama itu selain keluarga kekaisaran?"

"Well, hanya paman Leiron."

"Nah, kalau kau pakai nama itu untuk menyamar di kediamannya, apa yang akan terjadi dimasa depan?"

"Ketauan dong..??" Solar menjawab ragu.

"Dasar bodoh!"

Jetakk!!

"Akhh!!"

"Sudah tau dan kau masih ingin menggunakan nama itu? Kau benar-benar yaa!!" Al menjitak kembali Solar membuat anak itu langsung melindungi kepalanya.

"Arghh!! Kenapa kau jadi mengomel!? Seperti Halilintar saja!"

"Ya memang aku Ha--!!"

"Ha apa?" tanya Solar.

Al terdiam selama beberapa saat. Apa saat ini dia bisa dibilang Halilintar juga? Atau sekarang dia adalah sosok lain?

"Sudahlah, ayo."

"Hei! Kau ini memang aneh ya??"

"Woy Al jawab dong!!!"

~•~•~•~•~•~

"Apa yang kau pikirkan?"

Aku tersentak ketika suara cempreng Blaze terdengar.

"Blaze, kau tidak menyelesaikan tugasmu?" tanyaku.

"Kau sendiri? Kenapa kau malah diam saja didepan sungai Berdeaf?"

"Aku hanya menganggumi sungai ini. Ice hebat sekali bisa memurnikannya secepat ini."

Aku tersenyum sembari mencelupkan kakiku ke pinggiran sungai. Blaze mendekatkan dan mengikutiku. Ia duduk dengan tenang, tubuhnya sedikit terkejut ketika suhu dingin air menyentuh kulitnya.

"Apa Azer membekukannya atau apa? Dingin sekali! Brrr~"

Aku tertawa kecil melihatnya lalu mengusap kepalanya.

"Bagaimana lukamu?" tanyaku.

"Sudah membaik, Arlen sudah mengobatinya."

"Baguslah, kemampun anak itu sudah berkembang semakin baik rupanya."

Keduanya kemudian saling diam. Hanya suara percikan air dan burung-burung yang terdengar. Angin berhembus pelan, dedaunan saling bergesekan, menimbulkan bunyi pelan khas alam.

Blaze memandang langit yang berwarna jingga, menandakan matahari tak lama lagi akan tenggelam. Padahal sebelumnya tempat ini gelap karena kekuatan gelap, tapi sekarang sangat cantik dan awan putih bergerak mengikuti irama angin.

"Arter, aku ingin bertanya."

"Tanya apa?"

"Kau berubah."

Ucapan singkat itu membuatku tersenyum tipis. Aku tidak terkejut mendengarnya, pasti dia sudah menduganya.

"Aku tidak berubah."

"Apa kau benar-benar Halilintar?"

"Tentu saja."

"Benarkah?"

"Ya." Itu bohong.

Apa mungkin aku berbohong?

"Blaze mau bermain sebentar?"

"Hah? Tiba-tiba?"

"Kau lihat pohon apel disana?" Aku menunjuk sebuah pohon diseberang sungai.

"Iya aku lihat."

"Siapa yang bisa menjatuhkan buat apel disana dengan batu paling banyak, akan dikabulkan satu permintaannya."

"Benarkah!? Serius? Kau tidak bohong kan Arter!?"

Blaze langsung berdiri dan menatap Halilintar tertarik. Ia melompat senang dan mulai mengumpulkan beberapa batu.

"Tidak boleh menggunakan kekuatan elemen, sihir atau apapun itu." Aku berujar saat Blaze hendak mengeluarkan kekuatannya.

"Baiklah! Ayo!"

Kami saling melempar batu hingga menjatuhkan beberapa apel. Suara tawa Blaze terdengar keras, menimbulkan rasa penasaran para pangeran lainnya. Mereka mendekati kami yang kembali dengan wajah dan pakaian yang basah karena menyeberangi sungai.

"Apa yang kalian lakukan?"

Ice bertanya, sembari menatap kami berdua yang kembali dengan apel-apel yang kami tampung di baju. Bahkan beberapa apel hampir jatuh dari pakaian Blaze.

Sepertinya anak itu benar-benar bersemangat saat mengambil apel tadi.

Taufan dengan segera mendekat dan menggunakan kekuatannya untuk membantu mengeringkan pakaian kami, sedangkan aku dan Blaze menggunakan elemen api untuk menghangatkan diri.

"Memetik apel hahaha!" tawa Blaze.

"Kalian mau?" tawarku pada para pangeran.

Mereka menatapku dengan ragu. "Ambil saja. Aku memang memetiknya untuk berbagi."

"Hah?" Gempa terlihat terkejut. "Putra Mahkota, apa anda sakit?" tanyanya kaget.

"Hei! Tidak sopan sekali. Aku benar-benar ingin berbagi."

Gempa menatap Ice, yang juga menatapnya dengan pandangan sama.

"Mungkin dia sedang kerasukan roh," sahut Ice santai.

"Kalian benar-benar menyebalkan," ucapku kesal.

"Kakak! Aku mau! Aku mau!"

Thorn mengangkat tangannya semangat.

"Ambil dengan kekuatanmu."

Srakkkkk

Sebuah sulur tipis muncul dan menjerat 2 buah apel sekaligus dan membawanya pada Thorn yang terlihat puas.

"Kemampuanmu semakin berkembang Thorn." Aku memujinya.

"Hehehe, terima kasih kak! Ini juga berkat kakak~!" Thorn terkekeh senang.

"Kita akan kembali besok, jadi bersiaplah kalian."

Aku berujar sembari memakan apel. Blaze juga memakan apelnya dengan santai sembari membaginya dengan Gempa dan Taufan.

Aku memperhatikan sekeliling dimana Gopal sedang membantu pembangunan bersama para prajurit lainnya. Dame Holfer sudah berangkat pagi tadi menuju Istana, menyusul Sir Browkel yang sudah pergi lebih awal.

Sementara Yaya sedang membantu para wanita untuk membagikan makanan. Taufan yang sepertinya menyadari aku memperhatikan Yaya langsung menatapku.

"Omong-omong kakak pertama," panggil Taufan.

"Hm?"

"Itu... kau benar-benar akan menikah dengan nona Douter?"

Brufffhhhhh

"Uhuk uhuk! Astaga Taufan! Kenapa tiba-tiba bertanya-- uhuk uhuk!"

Aku langsung saja menyemburkan apel yang sedang kumakan dan kemudian tersedak.

"Arter jorok ihhhh!!!" Blaze membersihkan wajahnya terkena sisa apelku.

"WAHH MAAF MAAF!!" ucapku panik sembari membersihkan wajahnya yang merengut.

"Apa pertanyaannya salah?" tanya Taufan, cemberut.

"Memangnya kenapa? Kau keberatan jika aku menikah?" tanyaku.

"Iya!" Para pangeran menjawab kompak.

Eh?

Tunggu.. kenapa mereka menjawabnya dengan kompak gitu? Bahkan Ice juga?

"Hahaha kalian bercanda?"

"Tidak!"

"Kalian benar-benar melarangku menikah?"

"Iya!" Lagi, mereka menjawab dengan kompak dan cepat.

🙂🙂🙂

Ini.. kenapa ya?

"Hei, terlalu cepat untuk menikah! Lagipula kita masih 15 tahun!" balasku gugup. Tatapan mereka terlihat membara sekali.

"Arter, anda lupa ya?" Gempa menatapku.

"Hah?"

"Sebentar lagi kan ulangtahun kita. Kita sudah dewasa dalam beberapa minggu kedepan."

"Ah... iya juga.."

Sial, aku baru ingat sebentar lagi para pangeran akan berulang tahun. Aku harus beri hadiah apa ya?

Sebuah perbedaan dari cerita lainnya, novel ini menetapkan bahwa usia dewasa ialah berusia 16 tahun, baik untuk remaja laki-laki maupun remaja perempuan.

"Lantas? Apa aku harus menikah karena aku seorang putra mahkota?"

"Bukankah kau bisa memperkuat posisimu jika menikah?" tanya Ice.

"Ya benar, tapi aku tidak mau nikah muda, kalian gila ya? Aku masih mau menikmati masa mudaku," jawabku.

"Dengan berperang terus?" sahut Taufan.

"Tentu saj-- Ya tidaklah! Masa iya mau perang terus!?" omelku pada Taufan.

"Eh-eh.. abisnya kau sering sekali pergi untuk memperluas kekuasaan kita." Taufan langsung mundur perlahan begitu aku hendak menimpuknya dengan apel.

"Ya.. benar sih.."

Halilintar benar-benar gila darah seperti julukannya( ̄ヘ ̄;)

"Tapi lama-lama bosan juga, kan kita sudah.. uhm apa ya.. damai! Iya damai hahaha!"

"Bosan?" Thorn dan Ice saling berpandangan bingung.

"Begitu ya?" Taufan tersenyum lebar, sepertinya menyukai jawabanku.

"Oh omong-omong Halilintar," Blaze memanggil. "Permintaan tadi.."

"Oh benar. Apa yang kau mau? Kau mengumpulkan banyak apel tadi." Aku berharap dia tidak meminta yang aneh-aneh.

"Pulang nanti, kau harus satu kuda denganku. Bukan dengan perempuan itu."

Hah? Apalagi ini?

"Hei! Aku juga mau dengan kakak pertama!" Taufan berteriak.

"Tidak boleh! Thorn juga mau dengan kak Hali!!"

"Apa sih!? Halilintar bilang akan mengabulkan permintaanku!"

"Kakak pertama! Aku juga punya permintaan!"

"Aku juga kak!!"

Deg!

Aku tersentak dan langsung melihat ke arah langit. Sebuah serpihan cahaya keemasan samar terbang kearahku. Aku mengabaikan keributan ketiga pangeran ini dan memfokuskan pikiranku.

'Al! Solar!'

'Hei jawab aku! Apa yang terjadi!?'

'Al!!'

Aku berdecak ketika Al dan Solar tidak menjawab panggilanku sama sekali.

"Ada apa?" tanya Ice.

"Tidak, bukan apa-apa." Aku membalas dengan tenang. Tapi pikiranku sama sekali tidak tenang.

Sialan, pasti sesuatu terjadi pada mereka. Apa Leiron Argan memergoki mereka?


Aku dengan segera memberikan apel-apel milikku pada Gempa dan berlari kearah penginapan.

"Arter???"

"Kalian lanjutkan saja mengobrolnya, aku ada urusan mendadak."

Aku langsung teleportasi dengan kekuatanku dan menghilang dengan cepat. Membuat kelima pangeran itu saling bertanya-tanya.

"Apa terjadi sesuatu?"

~•~•~•~•~•~

Sementara itu, Al dan Solar yang sedang menyamar mulai menyadari bahwa beberapa pelayan mulai curiga. Ini karena Solar yang terus-menerus tidak mau berpura-pura menjadi pelayan karena harga dirinya.

Ingin sekali Al menendang anak ini.

"Sol, cepat selesaikan bagian itu!" Al mengomel dengan raut kesal.

"Sabar dong ka.ka.k."

Solar menekankan kata 'kakak' membuat Al menggeram kesal pada tingkah 'adik bungsu'nya itu.

"Sol... jika kau masih main-main kita akan ketauan." Al menghela napasnya, mencoba sabar.

"Ihh tetap saja kau tau aku ini pang--"

Al langsung membekap mulut Solar dan menariknya untuk bersembunyi begitu terdengar suara tak jauh dari mereka.

"Al...!"

"Diam." Al berbisik pelan.

Suara itu semakin dekat, membuat keduanya bisa mendengar percakapan itu dengan jelas.

"Apa maksudmu dengan Putra Mahkota datang ke Serlon dengan para Pangeran? Tidak mungkin para Pangeran yang tidak dekat dengan Putra Mahkota ikut dengannya."

"Itu benar tuan Count, saya sudah memastikannya. Dan saya baru mendengar bahwa Pangeran Bungsu sedang dalam perjalan kembali ke Istana, sementara para Pangeran lainnya masih berada di Serlon bersama Putra Mahkota."

"Apa yang terjadi? Kenapa kabar penting seperti ini baru kau sampaikan?!" Count Argan berteriak marah.

"Ma-maafkan saya... Tuan.."

Leiron Argan menghela napas. Sebelum akhirnya melayangkan pukulan pada pria yang sepertinya adalah bawahannya.

"Tidak berguna! Cepat cari tau alasan para Pangeran mengapa Pangeran mengikuti Putra Mahkota!"

"Sial! Apa yang terjadi!? Kenapa mereka malah mengikut Putra Mahkota bajingan itu!?"

Apa!? Beraninya dia memanggil Arter seperti itu!? geram Solar, ia mengepalkan tangannya kuat.

"Cari tau juga tentang apa yang mereka lakukan di Serlon, awasi gerak-gerik Putra Mahkota Arter. Kita harus menyingkirkannya jika ingin maju."

"Baik Tuan Count."

Setelah itu, kedua orang itu mulai menaiki lantai 2.

Al langsung menarik Solar dan menggunakan sihir transparan miliknya, membuat keduanya tak dapat dilihat oleh siapapun.

Sejujurnya Solar sedikit terkejut, ia ingin bertanya namun ketika melihat Al yang terlihat marah membuatnya mengurungkan niatnya.

Sekilas, entah mengapa dia mirip dengan Arter, batin Solar.

"Berjalan secara perlahan," ujar Al.

"Apa dia bisa mendengar percakapan kita?"

Al menggeleng. "Kecuali jika kau berteriak kencang."

Solar mengangguk. Keduanya langsung saja mengikuti Leiron Argan diam-diam.

Tak berapa lama, mereka pun melihat Leiron masuk ke sebuah ruangan dengan pintu besar bewarna emas dan putih.

Tampah sebuah lingkaran sihir berwarna keemasan terpasang disekitar pintu itu.

"Itu sihir cahaya tingkat tinggi." Solar berbicara pelan.

"Aku tau. Dengarkan aku Solar, kau masuklah lebih dulu, aku akan melindungimu dari belakang."

"Apa? Bagaimana jika aku malah tertangkap?" Solar nampak tidak setuju.

"Solar, dengar." Al menatap serius Solar, manik violet di mata kirinya berubah menjadi merah rubi.

"Ma-mata--"

"Kekuatan inti elemenmu adalah cahaya. Kau adalah pemilik elemen cahaya terkuat. Lingkaran sihir itu bukanlah apa-apa untukmu. Masuklah, aku akan menyelesaikan bagian luar terlebih dahulu."

Solar terdiam ragu, namun kemudian mengangguk sebelum akhirnya pergi meninggalkan Al. Al menghembuskan napasnya lega begitu Solar masuk tanpa masalah. Ia lalu melirik beberapa anak buah Leiron Argan yang berjaga.

Itu ksatria dari Kuil Suci.

Akan sulit menghabisi mereka dengan wujud dragbelnya atau wujud manusianya saat ini. Jika ia nekat menyerang dengan dua pilihan itu, bisa saja sihir transparan yang ia letakkan pada Solar akan menghilang. Ia harus menyerang tanpa melepas sihir transparan ini.

Tak ada cara lain, ia harus mengeluarkan elemen cahaya miliknya secara paksa saat ini.

Sebuah cahaya kuning keemasan melingkari tubuh Al, manik violet merah milik Al berubah menjadi emas. Tanda kekuatan elemen cahaya miliknya sedang aktif. Hidungnya sedikit mengeluarkan darah, tanda bahwa akan berbahaya jika ia memakainya terlalu lama.

"Pedang Cahaya!"

Srattsss! Sratttsss!

"Apa!? Penyus-- ARGHH!!"

"PANGGIL BANTUAN CEPAT!"

SLASHHHH!

"Siapa kau!? Tunjukkan dirimu!"

"Uwarghhhh!!!"

Al dengan cepat menebas para ksatria dengan dengan cepat.

"Kecepatan Cahaya!"

Sebuah garisan keemasan terlihat samar saat Al menyerang para ksatria yang datang untuk membantu. Dalam beberapa menit, ia berhasil melumpuhkan para penjaga.

"Bola Cahaya! Ikatan Tiga Bola Cahaya!"

Tiga buah bola cahaya besar melayang diatas tubuh Al, sebuah tali pengikat bewarna hitam mengikat ketiga bola itu kuat.

"Hancurkan."

Sinaran emas pun menyerang kearah lingkaran sihir itu. Dalam sekejap, lingkaran sihir tingkat tinggi itu pun hancur, menghancurkan pintu besar dan menimbulkan suara besar yang memekakkan telinga.

Al melangkah masuk kedalam dengan langkah cepat. Terlalu bahaya jika ia meninggalkan Solar terlalu lama.

~•~•~•~•~•~

Solar mengikuti Leiron dengan hati ragu. Ia menatap Leiron yang berjalan tak jauh darinya didepan.

"Kita harus menggunakan kedua benda suci ini jika ingin menghancurkan Putra Mahkota."

Deg deg

Menghancurkan? Kenapa paman melakukan itu?

"Tuan Count, apa anda yakin dengan keputusan anda?" Tangan Kanan Leiron, Cassel Quin, berujar dengan ragu.

"Cassel, kau tau aku sudah mempersiapkannya sedari lama. Mana mungkin aku membatalkannya begitu saja," jawab Leiron santai.

"Dengan ini, aku mungkin bisa membuat Azzarn turun dari takhta nya."

APA!?

"Itu adalah keputusan yang besar. Jika anda gagal, anda bisa dicap sebagai pengkhianat."

"Lantas? Apa aku peduli dengan itu? Dia duluanlah yang menghinaku dengan memberikan status rendah ini! Beraninya dia memandang rendah diriku."

"Saya mengerti. Namun, bukankah anda bisa saja mengatakan keinginan anda kepada Yang Mulia Kaisar?"

"Kau mau aku meminta pada Azarn? Jangan bercanda Cassel."

Leiron menatap Cassel dingin.

"Pria bodoh itu hanya tau cara mengemis pada anak sulungnya saja. Sudah jelas Arter adalah penghambat, tapi dia justru mengabaikannya dan menjadikannya Putra Mahkota!"

"Dasar Kaisar bodoh!"

"Beraninya kau!!" Solar menggeram marah, ia hendak melayangkan sebuah bola cahaya sebelum tangannya ditahan oleh Al.

"Al!"

"Sstt! Diam."

"Dia! Dia menghina ayah! Dia juga menghina Arter! Aku tidak terima!" Solar berujar marah, ia menunjuk Leiron.

Al sedikit senang sejujurnya saat ia mendengar bahwa Solar membelanya. Berbeda dengan kehidupannya yang lain.

"Aku tau, tolong tenang sedikit."

Entah mengapa Solar menurut, ia mengambil napas dalam-dalam, mengontrol emosinya saat ini.

"Halilintar benar. Paman jahat. Jahat sekali.." Solar menggumam pelan, ia terlihat kesal.

"Aku tidak percaya paman berencana melakukan ini!"

Al menepuk kepala Solar pelan. "Tenanglah. Kita harus fokus dulu."

Solar baru menyadari bahwa saat ini pakaian milik Al penuh dengan noda darah.

"Akh! Kau terluka!?"

"Ssstttt!!!"

"Ups! Kau terluka?" bisik Solar.

"Ini darah orang lain. Tenang saja."

Keduanya kembali terdiam dan mengikuti kedua pria dewasa itu diam-diam. Lama kelamaan, dinding yang tadi penuh dengan foto-foto keluarga Argan berubah menjadi dinding berbatu. Suasana yang tadinya terang pun mulai temaram dengan hanya disinari oleh beberapa sihir cahaya yang terpasang.

Sebuah pintu berukuran sedang berwarna hitam dan emas muncul, terdapat lukisan seorang Dwarf yang sedang membuat pedang terukir dibagian pintu.

Leiron menyentuh pintu itu dan merapalkan beberapa mantra. Pintu kemudian bersinar keemasan dan terbuka secara perlahan.

Solar sempat mengagumi sejenak kemampuan sihir Cahaya milik Leiron. Namun mengingatkan perkataan pria itu tadi membuat Solar menyingkirkan rasa kagumnya.

Al melirik Solar yang mengepalkan tangannya erat. Keduanya kini berada dibelakang Leiron, hanya berjarak beberapa langkah saja.

Ia menyenggol Solar, memberi tanda agar anak itu tenang.

Pintu itupun terbuka dan sebuah gua kecil pun terlihat. Didalam gua itu terdapat obor api yang berjejer dengan api biru menyala.

Solar masuk dengan lancar mengikuti Leiron dan Cassel, namun saat Al masuk, terjadi suatu permasalahan.

Nampaknya mana murni milik Al sudah tercemar dengan mana dragbel memicu penolakan untuk Al. Al pun terlempar menabrak dinding batu, membuat Leiron dan Cassel berbalik dan menatap terkejut.

"Siapa kau!?"

Beruntung sihir transparan milik Solar tidak menghilang, karena Al memindahkan semua sihir transparan miliknya pada Solar dengan cepat.

"Sial!" umpat Al.

"Al!!" Solar hendak mendekati Al namun Al menggeleng.

'Fokus pada misi kita Solar,' mindlink Al.

Solar menggeleng. "Tidak mau!" Solar menjawab, setengah berbisik.

'Tenanglah, kau tidak akan terluka. Aku akan melindungimu.'

"Tidak mau!"

Al berdecih kesal dengan sifat keras kepala Solar.

'Ambil kedua benda itu dan sembunyikan dengan spiritmu! Setelah itu kau bisa membantuku! Kau paham!?'

Solar mau tidak mau pun menurutinya. Ia berlari memasuki gua itu dengan cepat.

"Siapa kau?" Sebuah pedang bergerak cepat kearahnya. Cassel menyerangnya dengan cepat dan gesit. Begitupun Leiron yang tidak tinggal diam.

Leiron membuat beberapa sihir peledak dan mengarahkannya pada Al.

"Bagaimana caramu bisa masuk kesini!?" marah Leiron.

Al tersenyum dingin. "Kita bertemu lagi untuk yang kesekian kalinya, Argan."

"Apa? Apa kau mengenalku? Siapa kau?"

"Entahlah. Sesering itu kita saling membunuh hingga aku merasa bosan."

Halilintar di reinkarnasi sebelumnya tidak selalu berhasil membunuh Leiron Argan. Ada kalanya jika justru ialah yang akan dibunuh oleh Leiron Argan.

Entah ketika ia sedang berperang, ia dibunuh ketika dia sedang bertemu dengan para bangsawan, bahkan pernah sekali didepan Ice.

Namun tentunya yang paling sering ia dapatkan adalah ia yang dibunuh langsung oleh adik-adiknya.

Tidak, Al tidak merasa dendam sama sekali. Al tau itu juga kesalahannya. Namun, rasa takut terus menerus menghantuinya. Bahkan saat ini pun.

Slashhhhh

"Pedang Cahaya? Bagaimana bisa kau memiliki pedang itu?? Siapa kau!" Cassel terus menyerang Al.

Al menghunuskan pedangnya mencoba menusuk Cassel, namun nampaknya ia berhasil menghindar. Leiron tak tinggal diam, ia menarik Al dengan sihirnya membuat Al terikat dan tak bisa bergerak.

Cassel memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang Al.

"Hah! Menyebalkan!" geram Al.

BLARRRR

Al melepaskan dirinya dengan cepat dan melesat kearah Cassel. Ditangannya terdapat bola petir bewarna hitam.

Ia melempar bola-bola itu dengan cepat kearah Leiron dan Cassel yang tidak bisa menghindar. Mereka terkepung dan Al menyeringai.

"Bom Petir!"

BLARRRR KLANGG KLANGG

Bola-bola itu melesat cepat, namun Leiron dengan sigap membuat barier pelindung dari sihir, membuat bola-bola petir itu terlempar kemana-mana.

"Kau! Dasar penyusup!"

"Ο νυχτερινός ουρανός με το πλήρες φως, το χρυσό φως να σιγοκαίει στη φωτιά. Κατάστρεψέ το."

(Langit malam dengan cahaya purnama, cahaya emas membara melawan api. Hancurkan.)

"Sial!" umpat Al dan dengan segera melompat menghindari serangan besar yang Leiron berikan.

"Kau bilang kita saling membunuh? Penipu sepertimu beraninya mempermainkanku?" ujar Leiron marah.

"Kau tau, sekalipun kau menggunakan kedua benda itu, benda itu tidak akan bereaksi karena kau bukanlah pemilik yang sebenarnya." Al mengejek Leiron.

"Apa!? Beraninya kau menghina benda suci!"

Al tertawa lalu mengangkat tangan kanannya.

"Ledakkan Cahaya!"

Swusshhh BLARRRR!!!


.
.
.
.

Haloo selamat malam~ Bagaimana chapter kali ini? Saya harap tidak mengecewakan ( ◜‿◝ )

Chapter depan saya akan memulai dari PoV Arven aka Solar yaa~

See you next chapter ~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro