• EMPAT •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat ini adalah tahun 321 kalau menurut kalender Glacient. Yang mana adalah tahun dimana kaisar sekaligus ayah dari para pangeran kembar tewas karena pembunuhan berencana. Itu terjadi saat istana sedang mengadakan pesta dansa untuk memperingati ulang tahun kaisar.

Kalau tidak salah, kaisar dibunuh saat ia sedang bersama Thorn kan ya? Karena melindungi Thorn yang saat itu terluka, kaisar menggunakan semua kekuatan spiritnya dan memaksa tubuhnya yang saat itu memang terluka parah untuk mengeluarkan energi yang cukup besar.

Dan ledakan besar pun menghancurkan aula dansa istana utama. Thorn ditemukan dalam keadaan terluka parah sedangkan kaisar ditemukan tak bernyawa tak jauh dari posisi Thorn ditemukan.

"Pelakunya adalah count Argan yang tidak terima dengan keputusan kaisar tentang pembangunan kuil suci didaerah Balbarou," gumamku pelan.

Count Argan, salah satu bangsawan pendukung pangeran ketiga untuk menjadi kaisar.

Dinovel dia adalah salah satu tokoh yang memanfaatkan Gempa agar naik takhta sebagai kaisar. Ia bahkan meracuni kaisar dan melakukan kontrak dengan iblis untuk membunuh kaisar dan juga para pangeran lainnya.

Namun sayangnya rencananya tidak berjalan lancar. 2 tahun setelah kematian kaisar, Halilintar membunuh count Argan sesaat setelah ia kembali dari wilayah Timur.

"Wah, kalau begitu, aku harus menghindari kematiannya bukan?"

Aku menatap kertas yang kutulis mengenai kejadian-kejadian yang akan datang.

"Gopal, panggil Thorn untuk menemuiku sekarang."

"Baik yang mulia, saya izin keluar."

Setelah Gopal keluar, aku duduk sambil menatap jendela yang menghadap ke taman utama istana putra mahkota.

Jika Thorn bisa melindungi dirinya, apakah akan ada yang berubah? Kalau dia bisa menggunakan kekuatan spirit elemennya dengan tepat, apa kaisar bisa selamat?

'Hei, kau yakin bisa menyelamatkan kaisar?'

"Diem deh. Kalau kau tidak bisa bantu, mending diam, bisikan setan."

'Sial! Aku bukan bisikan setan!'

"Kalau begitu mau kuberi nama?"

'Aku juga punya nama tau.'

"Ya terus kenapa kau nggak ngomong!? Mana aku tau kau punya nama atau tidak!"

''Panggil saja Al."

Al? Namanya keren juga.

"Okay Al, bagaimana jika kau membantuku?"

'Apa?'

"Kau tau letak istana utama dengan baik kan? Kau pernah bilang begitu."

'Iya, aku hapal.'

"Kalau begitu, bantu aku nanti. Karena aku akan bertemu kaisar saat makan malam besok."

'Hm.'

Tok tok tok

"Yang mulia putra mahkota, pangeran Arlen sudah datang."

"Masuklah."

Pintu terbuka, menampilkan Thorn dalam balutan pakaian resmi berwarna hijau dan hitam.

"Saya memberi salam pada matahari muda kekaisaran," salam Thorn.

"Ya, bagaimana kabarmu?"

"Saya merasa sehat berkat perhatian anda yang mulia."

Aku menyuruh agar Gopal keluar dan membiarkan kami untuk bicara berdua.

"Apa kau suka teh?"

"Ya?"

"Mari minum teh denganku."

~•~•~•~•~•~

"Jadi, bagaimana latihanmu?" Aku berujar sembari meminum teh.

Thorn tersenyum tipis dan mengangguk.

"Berjalan dengan baik, kak."

"Benarkah?" Aku menatap tak percaya Thorn.

Wajahnya terlihat murung walau tadi dia tersenyum padaku. Dia pasti tadi habis berlatih dengan para pangeran lainnya, dan ia masih belum bisa mengontrol kekuatannya.

"Thorn, apa elemenmu?"

"Elemen tumbuhan dan penyembuhan kak."

"Kau tidak perlu terburu-buru," ujarku.

Thorn nampak bingung dengan perkataanku.

"Kau bisa perlahan-lahan mempelajari semua itu. Tidak perlu terburu-buru."

Thorn menggeleng cepat. Ia meletakkan cangkir teh miliknya dan menatapku serius.

"Kak, aku sudah berusia 15 tahun, diantara saudara-saudara kita, hanya aku yang belum bisa mengontrol spiritku. Jangankan membuat sihir kelas tinggi, bahkan sihir elemen kelas rendah pun aku tak bisa."

Ah, aku bisa paham kenapa dia merasa sedih. Thorn akan bisa mengontrol kekuatannya saat ia berusia 16 tahun, tepat setelah upacara kedewasaannya.

Kalau menurut novel, upacara kedewasaan para pangeran diadakan secara terpisah. Dan saat itu Thorn memilih agar ialah yang terakhir mengadakan pesta.

Jika aku membantunya, apa dia bisa berguna nanti?

"Mau ku ajari?"

Thorn mengerjapkan matanya bingung. Manik hijau emerald itu memandangku bulat.

"Kakak serius?"

"Ya, kalau kau mau."

Ia tersenyum lebar lalu melompat senang.

"Yeyyy!"

Aku tertawa kecil, dia seperti anak kecil yang mendapat permen.

"Kalau begitu bagaimana jika kita berlatih sekarang kak?"

"Kalau begitu coba fokuskan kekuatanmu ke jari telunjukmu dulu."

Ah, ada gunanya aku dulu bekerja sebagai guru privat, ya walau hanya untuk anak-anak TK.

Thorn mengikuti ucapanku, ia memfokuskan kekuatannya, cahaya hijau terang berkedip pelan, namun kemudian hilang. Terus berulang hingga beberapa kali. Ternyata dia benar-benar tidak bisa ya? Lalu, bagaimana caranya dia bisa mengeluarkan kekuatannya saat umur 18 tahun ya? Aku sedikit lupa.

Ah, aku bisa melihat raut kecewa miliknya.

"Tak apa. Ini baru awal, ayo coba lagi."

Aku mencoba menunjukkan contoh padanya. Sebuah batu spirit hijau muncul ditanganku.

"Ah! Spirit Daun!" teriak Thorn heboh.

Aku mengangguk. Ia terlihat kagum, aku juga kagum sih bisa dengan lancar menggunakan spirit.

"Luar biasa! Thorn baru pertama kali melihatnya! Spirit Daun milik kakak memang luar biasa!" ujarnya heboh.

"Bagaimana milikmu?"

"Itu berbeda," jawab Thorn, dia lantas menunjukkan spirit Daun miliknya.

"Ini punyaku, cantik sekali kan? Tapi ternyata milik kakak pertama lebih cantik! Berkilau-kilau dengan rona merah!" Ia menjelaskan dengan suara imut, membuatku gemas padanya.

"Thornie imut sekali ya," gumamku gemas.

"Thornie? Tapi namaku Thorn, bukan Thornie," tuturnya polos.

Hiks pangeran yang imuttt(╥﹏╥)

Aku bisa mati duluan karena keimutannyaಥ‿ಥ

'Hey bodoh, hentikan tingkah gilamu itu.'

"Nah, perhatikan ya."

Aku memfokuskan kekuatan Halilintar pada spirit Daun itu. Sebuah cahaya hijau dan merah terkumpul diujung jariku.

"Thorn, setelah kekuatanmu terkumpul, arahkan itu pada objek yang menjadi sasaranmu, misalnya sendok ini."

Sebuah akar muncul dan mulai merambati sendok teh lalu mengangkatnya keatas.

"Ini masih teknik yang mudah, pelajari dulu ini. Baru kita ke tahap berikutnya."

Thorn mengangguk paham.

"Fokus, kumpulkan dan lepaskan," ujarnya. Ia terus mengulangi kalimat itu.

Perlu waktu yang lama untuk Thorn berhasil. Saat ia berhasil pertama kalinya, ia berteriak kesenangan dan nyaris memelukku jika saja aku tidak menghindar. Ia kecewa, namun kembali bersemangat untuk berlatih. Saat ini pangeran keenam itu sedang mencoba untuk mengangkat benda yang lebih berat dari yang sebelumnya.

"Kakak, apa aku boleh mengangkat pedang kakak?"

Aku terkejut mendengar ucapannya. Hei pedang itu berat! Bahkan aku butuh waktu seharian untuk bisa mengangkatnya dengan benar. Aku menggeleng tanda menolak permintaannya.

"Tidak boleh. Masih terlalu awal untuk itu." Aku menolaknya tegas.

"Ahhh, kakakkk~ Aku kan sudah berhasil mengangkat meja kecil ini tadi. Lagipula pedang lebih ringan kan?" rengek Thorn.

Ringan gundulmu.

Aku tetap menggeleng tidak setuju. Aku mengamati suasana langit yang siang ini nampak teduh. Sepertinya akan bagus jika kami berlatih diluar juga.

"Thorn ayo keluar dan pelajari teknik lainnya."

"Baik!"

Pada akhirnya aku mengajak Thorn untuk berkeliling taman. Beberapa pelayan mengikuti kami dibelakang.

"Thorn, kau lihat bunga itu?" Aku menunjuk bunga mawar biru yang sedang mekar.

"Iya, indah sekali."

Mata hijau emeraldnya bersinar menatap senang bunga-bunga yang bermekaran.

"Lalu coba lihat bunga yang disebelahnya," ujarku.

"Ah! Bunga-bunganya layu!" Thorn langsung berlari mendekati bunga-bunga itu.

Thorn menyentuh mawar ungu yang layu lalu menatap para pelayan kesal.

"Apa ini? Bagaimana bisa ada bunga yang layu ditaman istana putra mahkota?"

"Hei Thorn itu..."

Sebenarnya aku yang menyuruh para pelayan untuk membuat bunga itu layu sementara.

Sebelum keluar tadi, aku meminta pelayan untuk menyuruh penyihir istana untuk memberikan sihir sementara ke bunga-bunga itu. Dengan begitu, bunga akan layu untuk beberapa jam. Jadi Thorn bisa belajar untuk mengontrol kekuatan elemennya. Tapi, sepertinya itu bukan cara yang tepat deh.

'Sepertinya Arlen marah. Dia kan sangat menyukai tanaman.'

"Ahh! Mana aku tau kalau dia sesuka itu pada bungaa!!" bisikku pada Al.

Aku bisa melihat para pelayan sudah siap untuk menerima omelan dari Thorn.

"Thorn, sekarang fokuskan kekuatanmu pada bunga itu," ucapku sebelum Thorn memarahi lebih lanjut para pelayan.

Thorn berbalik dan menatapku tak percaya. "Kakak! Bukankah seharusnya kita memberi hukuman pada mereka? Mereka itu--"

"Cepat lakukan perintahku tadi," ujarku datar.

"Ukhh! Baik!"

Thorn melakukan perintahku dengan baik, tapi sepertinya ia masih belum mengontrolnya sehingga justru menghancurkan bunga-bunga itu.

"AKHH!"

"Bu-bunga.."

"Konsentrasi. Ingat apa kegunaan spirit milikmu."

"Ba-baik." Kali ini ia mencoba memejamkan matanya untuk fokus.

Ya, bagaimanapun aku harus membuat Thorn bisa mengontrol spirit elemen miliknya. Ya walau hanya kekuatan tingkat rendah, kurasa itu sudah cukup.

Sringgg! Syukkkk! BLARRRR!!

Mungkin karena gugup, Thorn tanpa sadar melepaskan cukup banyak energi mana dan berakhir membuat ledakan besar yang malah menghancurkan sebagian taman istana.

"Yang mulia!"

Aku bisa melihat Gopal dan ksatria lain berusaha melindungi kami agar tidak terkena ledakan itu.

Wah kacau.

"Putra mahkota! Pangeran Arlen! Apa anda baik-baik saja?" tanya Gopal khawatir.

"Ya, Thorn kau-- eh?"

Aku melihat Thorn yang menunduk. Tubuhnya gemetar. Apa dia takut?

'Sepertinya dia merasa bersalah karena sudah merusak taman.'

"Yang mulia pangeran Arlen, apa anda bisa menjelaskan apa yang terjadi disini?" tanya Gopal.

"Aku.. aku tidak sengaja... melepaskan energiku..."

Gopal nampak tak mempercayai itu. "Walau begitu, tindakan anda barusan sangat berbahaya. Kami bersyukur yang mulia putra mahkota dan anda tidak terluka."

"Gopal hentikan. Thorn, kau lihat apa yang kau lakukan?"

Daripada memarahinya, akan jauh lebih kalau Thorn menggunakan kemampuannya untuk memperbaiki kerusakan ini. Energi mana yang dikeluarkannya tadi terlampau besar karena ada gugup dan rasa kesal didalamnya. Jika dia mengeluarkan kekuatannya dengan harapan bisa mengembalikan keadaan, bukankah dia akan berhasil?

"Maafkan saya yang mulia. Saya akan bertanggungjawab dengan kerusakan yang terjadi," ujar Thorn.

Ia berlutut dan menatapku dengan serius.

"Bagus, kalau begitu tenangkan pikiranmu, arahkan spiritmu dan coba kembalikan keadaan taman ini."

Gopal melotot padaku. "Yang mulia, itu mungkin--"

"Ini hukuman untukmu, yang lain selain Gopal kembalilah bekerja."

Thorn menatapku terkejut. "Kau tidak mau menerimanya?" ujarku dingin.

Ingat image Halilintar, jaga image dulu. Bisa gawat kalau ketauan aku bukan Halilintar.

"Ti-tidak! Saya akan menerima apapun itu." Thorn menunduk patuh.

"Bagus. Sekarang lakukan," perintahku datar.

"Uh.. baik."

"Fokuskan energi manamu. Jangan membayangkan bahwa kau akan merusaknya, bayangkan kalau taman itu akan kembali seperti semula."

Beberapa jam kemudian...

"Hoammm..."

"Thorn, fokus, jangan panik." Aku berujar dengan nada mengantuk.

"Hampir 4 jam lebih, apa anda tidak ingin istirahat dulu pangeran?" tanya Gopal yang khawatir.

"Aku.. aku masih bisa... kok..."

Aku menghela napasku. Siang sudah berganti menjadi sore, dan si pangeran polos itu masih gigih dalam menjalani hukumannya.

"Aku lelah," bisikku pada Al.

'Suruh dia lanjutkan besok saja.'

"Kau benar, dia pasti lelah juga kan?"

Aku mendekati Thorn dan menepuk pundaknya.

"Lanjutkan besok. Kau perlu istirahat."

Thorn menggeleng. "Saya baik-baik saja yang mulia."

Aku menatapnya tak suka, terpaksa aku melakukan cara kasar.

"Kejutan listrik."

"Akhh! Sakit kak!" Thorn meringis ketika aku menyalurkan sedikit kekuatanku pada tangannya.

"Cepat. Kembali. Ke. Istana. Pangeran. Arlen." Aku berujar dengan penuh penekanan.

Thorn merengut namun akhirnya menyerah.

"Aku akan kembali lagi kak besok."

~•~•~•~•~•~

"Yang mulia, apa yang anda rencanakan sebenarnya?" tanya Gopal setelah aku selesai membersihkan diri.

"Apalagi menurutmu?"

"Tapi bahkan para penyihir kelas atas dan para guru yang dipanggil oleh yang mulia kaisar dan yang mulia ratu pun nyaris menyerah setelah mengajari pangeran Arlen."

Aku paham kenapa mereka menyerah dengan Thorn.

Diantara para pangeran lainnya, Thorn adalah pemilik kekuatan spirit Daun dan Spirit Healer.

Kekuatan penyembuhan yang dimiliki olehnya bahkan melebihi batas penyembuhan yang dimiliki oleh Halilintar sebagai putra mahkota.

Mereka berpikir, pasti mudah untuk mengajari dasar pada Thorn. Namun sayangnya, Thorn adalah anak yang terlampau polos (untuk saat ini).

Ia selalu memikirkan apa jika ia menggunakan spiritnya, apa dia akan melukai seseorang atau tidak. Karena itulah para penyihir menganggap Thorn sebagai pangeran bodoh yang hanya ingin bermain-main saja.

Thorn selalu memendam itu sehingga saudara-saudaranya tidak mengetahui apa yang terjadi padanya. Ia selalu tersenyum hingga yang lain berpikir bahwa Thorn adalah anak polos yang selalu berpikir positif.

Tapi hal itulah yang justru menjadi bumerang bagi semua orang.

"Sudah berapa kali dia berganti guru?"

"Saya rasa 15 kali yang mulia."

"15!?" Aku tidak menyangka sebanyak itu.

"Kok bisa sebanyak itu?"

"Saya rasa mereka menerapkan cara pembelajaran yang sama dan mungkin itulah yang membuat pangeran Arlen tidak mampu menguasainya dengan baik."

"Ah iya benar! Itu dia masalahnya!" Aku tersentak ketika menyadari sesuatu.

"Ya?"

"Mereka menggunakan cara lama pada kaisar dulu."

"Maaf, saya tidak paham dengan maksud anda, putra mahkota."

"Gopal! Ayo pergi ke tempat Thorn!"

"Ya!? Sekarang? Yang mulia, ini sudah malam, mungkin saja beliau sudah--"

"Belum! Masih jam 9 kok!"

Pada akhirnya aku dan Gopal pergi ke istana para pangeran. Penjaga istana sempat terkejut melihatku datang dengan pakaian tidur, namun mereka tetap membiarkanku masuk.

Dibandingkan istana Ruby Diamond yang merupakan istana Halilintar, istana Rain Crystal milik para pangeran jauh terlihat cerah. Setiap sudut istana terlihat penuh warna, sesuai dengan warna kekuatan masing-masing pangeran.

Aku bahkan sampai terkagum sendiri membuat Gopal menatapku aneh.

"Halilintar?"

Aku berbalik, menemukan Solar yang keluar dari sebuah ruangan dengan jas lab putih ditangannya.

"Kau baru selesai bekerja?" tanyaku.

"Ya. Ada apa kau kesini? Sepertinya putra mahkota sangat santai ya," sindirnya.

Aku menatapnya datar.

"Bukankah menurutmu dia sombong sekali Al?" bisikku pada Al.

'Dia memang begitu. Sombong dan sok pintar.'

"Oho, kau nampak seperti mengenalnya dengan baik."

Al tak menjawab. Jadi aku memilih untuk menatap datar Solar yang kini menyeringai padaku.

"Kakak ketiga bahkan sangat sibuk, apa kau akan melimpahkan pekerjaanmu pada kakak ketiga?"

Hah, anak ini benar-benar.

"Aku kesini untuk menemui Thorn," kataku dingin.

"Ada urusan apa dengan Thorn?"

"Bukan urusanmu." Aku berbalik dan meninggalkannya.

"Hei! Tunggu!"

Kulihat Solar menatapku tak suka. "Aku ikut. Aku tidak mau melihat kak Thorn diabaikan olehmu."

Diabaikan? Apaan sih?

"Terserah."

Kami akhirnya berjalan dengan jarak yang jauh, Solar berjalan dibelakangku dengan jarak 2 meter? Atau lebih?

Entahlah, aku tak peduli.

Sesampainya dikamar Thorn, penjaga yang menjaga terkejut dan langsung membungkuk hormat.

"Saya memberi salam kepada matahari muda kekaisaran dan bintang muda kekaisaran."

"Dimana pangeran Arlen?" tanyaku.

"Yang mulia pangeran masih berada didalam, putra mahkota. Sedari tadi beliau sama sekali tidak keluar, bahkan beliau menolak untuk makan malam."

Apa?

"Kenapa?" tanya Solar heran.

"Mohon maaf pangeran Arven, saya tidak tau dengan pasti alasannya."

Solar mengangguk lalu menyuruhnya menyingkir.

Ia lalu mengetuk pintu kamar Thorn, namun tak mendapat jawaban apapun.

"Thorn? Kau tidur?" tanya Solar. Hening. Masih tak ada jawaban. "Ini aku, Solar."

"Thorn? Kak Arlen?"

"Minggir." Aku menyuruh Solar menepi.

Tok tok tok

"Pangeran Arlen, apa kau didalam?"

Ceklek!

"Yang mulia, apa yang anda lakukan disini?"

Thorn keluar dengan wajah kusut. Pakaiannya masih sama seperti tadi. Ia nampak terkejut dengan kedatanganku.

"Apa yang kau lakukan?" tanyaku dingin.

"Saya.. uhm.. berlatih?"

"Hah? Berlatih apa?" tanya Solar bingung.

Aku menatapnya marah sembari berkacak pinggang.

"Bukankah aku menyuruhmu istirahat?" ujarku tak suka.

"Ma-maaf yang mulia. Saya hanya ingin... menyelesaikan hukuman saya dengan cepat."

"Hukuman? Kau menghukum kak Thorn?!" Solar nampak kesal denganku.

Hey, kenapa anak ini malah marah padaku? Aku memberi hukuman yang bermanfaat kok!

"Aku memberi hukuman yang juga berfungsi untuk melatih dirinya."

"Melatih? Konyol! Sejak kapan kau peduli dengan kami!? Apa kau menghukum Thorn hanya karena dia tidak bisa mengontrol spirit!? Atau hal lain?"

"Apa-apaan k--"

"Cih, kau berubah sejak kau menerima gelarmu itu! Kau semakin dingin bahkan menjauh dari kami! Dan sekarang kau dengan seenaknya memberi hukuman pada Arlen? Dasar kejam!"

"Solar! Kau salah pah--"

"Tidak! Aku tau putra mahkota itu kejam! Kau hanya putra mahkota, bukan kaisar! Berhenti bertindak sesu--"

"Apa kau sudah selesai?" Aku memotong ucapannya dingin.

Ah, kesal sekali. Kenapa dia asal menuduh saja sih!? Dia pikir aku sejahat apa!

"Apa?" ujarnya kesal.

"Thorn, aku sudah bilang lanjutkan besok. Mana milikmu saat ini sedang dalam kondisi tidak stabil. Jika kau memaksakan diri, kau hanya akan menyiksa tubuhmu."

"Tapi saya masih belum bisa--"

"Kau mau mati? Dengan manamu yang sedang melemah itu, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri," ujarku dingin.

Thorn terkejut mendengar nada marah yang aku lontarkan. Aku harus tegas, aku saat ini adalah Halilintar. Halilintar memiliki sifat yang tegas dan bertanggung jawab. Dan aku harus bisa sepertinya, kecuali sifat dinginnya.

"Yang mulia, saya rasa lebih baik kita bicara ditempat lain," usul Gopal yang merasa para pelayan dan prajurit lain menatap mereka ingin tau.

Pada akhirnya aku menghela napasku lelah.

"Tidak usah. Aku akan kembali."

"Pangeran Arlen. Pergi beristirahat dan pulihkan mana milikmu. Ini perintah."

Setelah mengucapkan itu, aku berbalik dan meninggalkan kedua pangeran itu.

"Tunggu! Kau harus jelaskan padaku dulu!"

"Untuk apa? Itu bukan urusanmu."

Aku langsung pergi setelah membalas perkataan Solar. Dia benar-benar menyebalkan. Sama seperti Blaze.

Dia keterlaluan sekali. Pantas saja Halilintar tak menyukainya.

"Yang mulia, apa anda tidak akan menghukum pangeran Arven? Bagaimanapun juga beliau sudah lancang pada anda."

Gopal bertanya setelah kami berada ditaman istana Rain Crystal. Suasana malam yang sepi membuat keadaan diantara kami berdua sangat hening.

"Biarkan saja."

Gopal masih saja terkejut. "Wah, padahal anda selalu menghukum para pengeran jika mereka berbuat kesalahan dulu."

"Ck. Aku hanya sedang malas."

"Yang mulia merasa malas? Wah! Ini keajaiban! Bukankah saya harus mendokumentasikan ini?"

"Gopal, kau mau mati?" ujarku datar.

"Baiklah baiklah yang mulia~"

"Dan juga.. apa menurutmu aku terlalu memaksa Thorn?"

"Pangeran Arlen? Saya rasa tidak. Anda kan sudah berubah. Saya yakin anda tidak akan menyulitkan pangeran Arlen bukan?"

"Ya, semoga saj--"

"AAAARKKKHHHHHH!!"

"Suara apa itu!?" Aku langsung berbalik ketika sebuah teriakan terdengar.

"Yang mulia putra mahkota!"

Seorang ksatria berlari menuju kami dengan tergesa-gesa.

"Putra mahkota! Ini gawat! Pangeran Arven dan pangeran Arlen berkelahi hingga membuat istana mengalami kerusakan!"

APA!?

SI KEMBAR YANG LENGKET ITU BERTENGKAR!?

.
.
.

To Be Continue

Hai? Seneng rasanya baca respon cerita ini cukup baik, saya jadi semangat deh( ◜‿◝ )♡

Ini cerita pertama saya tentang isekai, biasanya mah cuma baca novel atau komik yang berhubungan dengan isekai.

Jadi pas nulis ini masih deg-degan, bagus atau nggak hasilnya.

Dan ternyata responnya positif, hahaha.

Okay, semoga cerita ini nggak mengecewakan ya~

.
.
.

Nb: Untuk yg nunggu PRU, besok ya, update bergantian selang sehari okay ;)

See you next chapter ✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro