• EMPAT PULUH DELAPAN •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Amar Vere menatap heran tuannya yang sedari tadi terlihat lesu sembari menatap botol obat miliknya. Sedari tadi Pangeran Kelima itu hanya diam termenung sambil mengusap selimut bulu berwarna putih bercampur biru muda itu. Sepertinya itu adalah selimut yang diberikan oleh Putra Mahkota ketika mereka ulang tahun kemarin.

"Uhm.. Pangeran Azer? Anda baik-baik saja?" tanya Amar Vere khawatir.

"Amar, kupikir aku akan gila.." Ice menjawab dengan lesu.

Amar Vere hanya bisa menatapnya bingung. Tidak yakin dengan apa yang dimaksud oleh tuannya itu.

"Apa ada sesuatu yang terjadi kemarin, Pangeran?"

"Aku mengacaukan segalanya.."

Amar Vere hanya bisa semakin bingung ketika melihat tuannya itu semakin lesu.

"AZERRRRRR!!!"

"HEI AZER!!"

Ice menoleh, menatap Thorn dan Solar yang berlari kearahnya dengan cepat. Dibelakang mereka, Sai Browkel dan Yvone Zewid mengikuti dengan tenang.

"Apa kau tau?!" Keduanya langsung berbicara dengan nada terengah-engah didepan wajah Ice.

"Atur dulu napas kalian," heran Ice dengan tingkah kedua adik bungsunya itu.

"Tidak ada... hah.. waktu!" Solar berbicara dengan napas tersengal-sengal.

"Kak Arter! Kak Arter akan dikirim ke perbatasan Tenggara selama 4 tahun!!" seru Solar.

"Apa?"

"Salam pada Pangeran Kelima, Pangeran Keenam dan Pangeran Ketujuh."

Mereka semua menoleh ketika salah satu ksatria Kaisar datang.

"Ada apa?"

"Yang Mulia Pangeran, anda semua diperintahkan oleh Yang Mulia Kaisar untuk segera hadir di ruang rapat utama."

"Tiba-tiba? Aku tidak tau kalau akan ada rapat hari ini?" bingung Ice.

"Azer! Itu dia!" Solar menggoyahkan tubuh Ice. "Azer bujuk Ayah agar kami ikut juga!!"

"Bujuk apa? Kalian ini kenapa sih?"

Thorn memegangi tangan Ice sambil menatapnya penuh harap.

"Bujuk Ayahanda agar kami juga ikut denganmu dan Arzen! Tidak adil jika hanya kalian berdua saja yang ikut bersama Kak Arter ke perbatasan Tenggara!!" rengek Thorn.

"Apa maksudnya itu? Tiba-tiba sekali Arter dikirim ke perbatasan Tenggara?" Ice terlihat heran. Ia mencoba mengingat sesuatu, apa ini terjadi di kehidupan sebelumnya?

"Itu karena perintah dari Yang Mulia Kaisar, Pangeran Azer. Anda dan para Pangeran diminta hadir di ruang rapat untuk membahas pengintaian yang di perbatasan Tenggara untuk membangun kerja sama diantara pihak Kekaisaran dan pihak Kerajaan."

"Apa?"

-----------

Ice berjalan bersama Thorn dan Solar dengan pikiran berkecamuk. Belum selesai permasalahannya dengan kakaknya semalam, kini ia harus mengikuti kakaknya itu secara tiba-tiba.

Bukannya Ice membenci rencana mendadak ini, ia hanya sedikit ragu. Mengingat betapa kasar dan kejamnya dia juga Gempa di masa lalu, bukankah itu hanya akan menyakiti Halilintar secara tidak langsung? Ia mencoba mengingatnya, apa sesuatu seperti ini pernah terjadi di masa lalu.

"Padahal aku ini pedangnya Kak Hali, tapi kenapa aku tidak diikutsertakan," ujar Solar lesu. Thorn menatap Solar sambil terkekeh lalu beralih ke Ice.

"Azer, soal yang kemarin, kau sudah bertemu orang itu?" tanya Thorn pelan. Ia terlihat cemas sekaligus penasaran.

"Sudah."

"Lalu bagaimana? Apa dia memaafkanmu?" tanya Thorn lagi.

"Dia memaafkanku, tapi dia juga marah padaku."

"Tentu saja dia marah."

"Hah?"

Thorn menghela napasnya. "Kak Azer, kau itu menyakiti seseorang bahkan sampai membun--maksudku melukainya seperti itu, kau beruntung dia sudah memaafkanmu."

"Tapi dia marah padaku Azer!"

Mereka berdua berhenti berjalan, membuat Solar menatap keduanya heran.

"Kak Azer, orang itu juga manusia. Kau pikir dia adalah seorang malaikat yang bisa memaafkan sesuatu tanpa merasakan amarah? Terimalah kemarahannya itu," jelas Thorn serius.

"Aku tau," balas Ice pelan.

Thorn menghela napasnya. "Kau harus paham, kak. Orang yang kau sakiti itu sudah sangat berbaik hati karena mau memaafkan perbuatanmu. Kau tidak bisa melarangnya untuk marah karena kenangan mengenai orang itu ketika disakiti olehmu akan terus ada dalam ingatannya."

Solar yang tak mengerti apa yang kedua saudaranya bicarakan itu hanya bisa menggaruk kepalanya bingung. Ia menatap para ksatria, mencoba mencari tau, tapi sepertinya mereka juga tidak mengerti dengan pembicaraan itu.

'Yang Mulia Kaisar memanggil kalian juga?'

"Al!" Solar tersenyum ketika melihat Al dalam wujud dragbelnya.

"Kenapa kau berubah?"

'Hanya menghemat tenaga,' kata Al lalu menatap Ice yang terdiam.

'Ayo pergi bersama saja. Aku juga ingin menemui Halilintar.'

Thorn dan Solar mengangguk sambil tersenyum. Mereka akhirnya berjalan bersama. Thorn dan Solar mengajak ngobrol Al meski Al hanya menanggapi mereka dengan beberapa kata ataupun hanya mengangguk.

Sesekali Al akan menoleh ke belakang, memperhatikan Ice yang tetap diam. Tak akan ada yang menyadarinya, karena Ice memang terkenal dengan sifat pendiamnya. Namun Al tau apa yang sedang dipikirkannya.

'Azer, apa kau takut kalau Halilintar akan memulangkanmu secara paksa seperti yang terjadi di masa lalu?'

Ice tersentak ketika suara Al muncul di kepalanya. Sebuah ingatan muncul secara perlahan setelah ia mendengar kata-kata Al. Ia menatap Al yang tetap terbang di sebelah Solar.

'Jika memang itu yang kau khawatirkan, kau tidak perlu memikirkan itu. Karena kita tidak akan langsung pergi hari ini juga. Jadi kau bisa santai sejenak.'

"Aku.. bukan hanya memikirkan itu.." bisik Ice, membalas perkataan Al yang masuk ke dalam pikirannya itu.

'Lalu? Kau masih memikirkan sikap Halilintar kemarin?'

"Iya, aku merasa bersalah."

Al hanya diam setelah mendengar jawaban dari Ice. Setelah berjalan beberapa saat, mereka akhirnya tiba di ruang rapat. Pintu besar itu terbuka, menampilkan suasana ruangan yang cukup tegang.

Meja panjang yang terletak di tengah ruangan dipenuhi dengan dokumen dan alat tulis, terkesan berantakan. Di sekeliling meja, ekspresi wajah orang-orang yang sudah berada di ruangan itu menunjukkan campuran antara kecemasan dan keseriusan.

Al dan ketiga Pangeran itu masuk dan langsung memberi salam.

"Salam pada Matahari Kekaisaran dan Matahari Muda Kekaisaran."

"Kalian sudah sampai, kemarilah."

Kaisar Azarn tersenyum menyambut ketiga putranya serta Al. Al langsung terbang ke arah Halilintar.

'Bagaimana?' tanya Al.

"Hahhh, sama seperti yang kau jelaskan." Halilintar menjawab dengan sedikit kesal.

Sepertinya ia baru saja berdebat lagi dengan Kaisar Azarn.

"Baiklah, nampaknya semua sudah berkumpul."

Kaisar Azarn berujar dengan tenang. Setelah semua Pangeran dan beberapa bangsawan tinggi sudah hadir, ia mulai membuka rapat ini.

"Sebelumnya kita tentunya sudah tau kalau serangan yang dilancarkan oleh Leiron Argan dan juga Penyihir Gelap kemarin menimbulkan beberapa dampak besar bagi kita. Beberapa Kerajaan musuh menganggap bahwa itu adalah celah untuk mereka melancarkan serangan pada Kekaisaran kita."

"Dan kemarin aku baru saja mendapat kabar dari perbatasan Tenggara. Ada kabar bahwa pasukan Kerajaan Telare menerobos masuk secara paksa wilayah Tenggara."

"Mereka menerobos paksa?" Solar terlihat terkejut.

"Benar. Mereka sempat melukai beberapa prajurit yang menjaga perbatasan dan mengirimkan surat yang berisikan pesan singkat dalam bahasa mereka."

"Apa ada yang aneh dari pesan itu sampai anda melakukan rapat darurat seperti ini Yang Mulia?" Duke Douter bertanya dengan wajah heran.

"Pesan yang tertulis disini ditulis dalam bahasa Telare kuno. Bahasa ini sudah lama punah sehingga para ahli pun kesulitan mengartikan pesan ini."

Halilintar terdiam. Ia mencoba mengingat mengenai isi rapat ini.

"Yang Mulia, boleh saya lihat seperti apa surat itu?"

Kaisar Azarn lalu mengeluarkan sihir miliknya. Sebuah cahaya kuning muncul dan tak lama sebuah tulisan muncul dengan cahaya-cahaya itu.

Halilintar dan Ice tersentak secara bersamaan. Mereka saling memandang satu sama lain, seolah tau apa maksud dari isi pesan itu.

"Yang Mulia Kaisar biarkan saya--"

"Tidak boleh!"

Ice tiba-tiba saja berdiri dan berteriak memotong ucapan Halilintar. Semua orang langsung saja menatap ke arah Ice dengan tatapan heran dan aneh.

"Kau tidak boleh pergi kesana Arter! Jangan pergi kesana!"

Halilintar hanya menatap dingin Ice. Ia tau apa yang dipikirkan adiknya itu.

"Pangeran Azer, jaga sikapmu didepan Yang Mulia Kaisar," tegur Halilintar dingin.

"Aku tau kau pasti berniat pergi kesana kan? Tidak boleh!"

"Aku bahkan belum tentu benar-benar pergi kesana, Pangeran. Apa yang kau lakukan dengan berteriak dan memotong ucapan seseorang seperti itu di tengah rapat seperti ini?" Halilintar menatapnya dingin dan tajam.

"Bukan begitu! Aku tidak bermaksud memotong ucapanmu, maafkan aku.."

Kaisar Azarn memperhatikan interaksi keduanya itu dengan cermat.

"Pangeran Azer, sepertinya kau mengetahui isi pesan itu ya?"

"Tidak Yang Mulia. Hanya saja, insting saya berkata bahwa pesan itu berisikan jebakan."

"Oh.."

Kaisar Azarn menatap Ice dengan pandangan penuh ketertarikan.

"Yang Mulia Kaisar, bisakah saya membacakannya? Saya mengerti apa isi dari pesan yang tertulis disana."

"Apa? Putra Mahkota bahkan bisa berbahasa Telare Kuno?"

"Bahasa Telare Kuno sudah hilang ratusan tahun yang lalu bukan?"

"Putra Mahkota benar-benar hebat!"

Semua orang memandang takjub ke arah Halilintar.

"Sebelum saya mengartikannya, bisakah anda memberitahu saya apa yang anda pikirkan ketika mendapatkan pesan ini?" tanya Halilintar.

Kaisar Azarn terlihat berpikir sesaat, kemudian ia menghela napasnya.

"Kupikir ini adalah salah satu pesan dari Kerajaan Telare mengenai detail kerja sama dan juga janji perdamaian yang hendak mereka kirimkan. Namun mereka mengirimkan pesan ini bersamaan dengan kabar mengenai prajurit kita di perbatasan Tenggara diserang oleh mereka."

"Jadi, anda berpikir ini bukanlah perjanjian damai ya?" Duchess Orvan berbicara sambil menatap Kaisar Azarn serius.

"Benar, Duchess. Ini seperti pernyataan kecil dari mereka bahwa mereka ingin menyerang kita."

"Apa!? Kerajaan kecil seperti itu hendak menyerang kita? Mereka pasti gila," seru Count Nevara.

"Sepertinya mereka menduga kalau kita melemah hanya karena serangan kemarin ya?"

Suara dingin dan tajam dari Halilintar membuat semua orang menjadi was-was. Mereka bisa menebak apa yang ada dipikiran sang Putra Mahkota.

Penaklukan. Putra Mahkota pasti berniat menaklukkan dan menghancurkan kerajaan itu.

Halilintar mendengus.

"Baiklah, akan saya sampaikan apa yang tertulis di pesan itu."

Kami, para Telares, tidak akan pernah tunduk pada para barbarian pemuja para Dewa yang gila akan dunia. Dengan pesan ini, kami menolak perjanjian kerjasama dan perdamaian pada Kekaisaran Elemental Glacius. Kami bukanlah orang bodoh yang bisa hidup berdampingan bersama dengan para budak Dewa.

Semua orang merasa marah dengan isi pesan itu. Para Pangeran terlihat geram, kecuali Ice yang terus memandang kearah Halilintar dengan tatapan gugup. Meski ia menutupi rasa gugupnya itu dengan wajah tenangnya, sayangnya Halilintar dan Al mengetahui itu dengan baik.

Halilintar mencoba mengabaikan tatapan dari Ice itu, ia tau bahwa misi kali ini juga akan berhubungan dengan Ice.

"Yang Mulia, jadi apa yang akan anda lakukan?" tanya Gempa, tangannya mengepal erat karena merasa terhina dengan isi pesan itu.

"Pertama, aku akan memerintahkan Putra Mahkota untuk pergi ke perbatasan Tenggara untuk mengawasi wilayah sana."

"Ayahanda! Arter masih terluka! Biar saya saja yang pergi!"

Semua orang menatap heran Ice yang tiba-tiba saja menjadi lebih aktif. Meski Ice juga sering hadir dalam rapat dimana Putra Mahkota juga ada didalamnya, ia biasanya hanya diam atau hanya memberikan respon seadanya.

Bahkan Luke Nevara pun terlihat kebingungan karena meski Ice terus menatap ke arah Halilintar, sang Putra Mahkota itu tetaplah diam, tak berniat menegur adiknya itu.

"Pangeran Azer, mengapa kau bersikeras sekali melarang Putra Mahkota pergi?" tanya Kaisar Azarn heran.

"Itu karena Arter, maksud saya Putra Mahkota masih dalam proses pemulihan, jika kita memerintahkannya untuk pergi ke perbatasan, kita tidak akan tau apa yang akan terjadi nanti. Benarkan Pangeran Arlen?"

Thorn yang sedari tadi sedang berusaha fokus untuk memahami isi pesan itu tersentak ketika Ice tiba-tiba membawa namanya. Ia terlihat gugup.

"Eh eh, ya itu benar. Tapi pemulihan Putra Mahkota berjalan dengan lancar, jadi mungkin jika ia masih butuh pengobatan, akan lebih baik saya juga ikut pergi bersama beliau," jawab Thorn.

"Arlen! Kenapa kau malah jawab begitu? Harusnya kau menolaknya!"

"Kenapa Azer? Lagipula keadaan Putra Mahkota juga sudah jauh lebih stabil," balas Thorn, ia terlihat heran dengan tingkah Ice yang tidak biasa itu.

"Arlen!"

"Cukup!"

Kaisar Azarn akhirnya berbicara. Ia menatap tajam Ice yang masih saja terlihat kesal pada Thorn.

"Pangeran Azer, apa kau sedang tidak sehat? Entah mengapa kau terlihat gusar di rapat kali ini," kata Kaisar Azarn.

"Saya baik-baik saja, Ayahanda."

Kaisar Azarn menghela napasnya.

"Karena masalah ini cukup serius, kita harus memeriksa wilayah Tenggara secepat mungkin. Count Nevara, pergilah bersama dengan Putra Mahkota dan Pangeran Azer menuju wilayah Tenggara 3 hari lagi. Pastikan kalian menyelesaikan permasalahan disana. Dan jika kalian bertemu dengan orang-orang dari Kerajaan Telare, aku minta untuk kalian mengawasi mereka."

"Haruskah saya menghancurkan mereka jika mereka menolaknya?"

Kaisar Azarn menatap Halilintar serius. "Lakukan. Penghinaan seperti ini tidak bisa kita abaikan begitu saja."

"Lalu untuk Al, aku minta agar kau dan Pangeran Azer juga menyelinap untuk mencari tau apa rencana mereka. Dan Putra Mahkota, aku memang mengizinkanmu untuk menghancurkan mereka, namun ingatlah untuk tidak menyerang orang-orang yang tidak bersalah."

'Laksanakan perintah anda, Yang Mulia.'

"Baik Yang Mulia, saya akan mengingat itu," jawab Halilintar.

"Ayahanda! Apa anda benar-benar akan mengirim Putra Mahkota? Tapi--"

"Pangeran Azer," potong Kaisar Azarn dingin. "Jika kau masih saja mendebatkan hal-hal yang tidak berguna seperti itu, aku akan mengirim Pangeran Arzen untuk menggantikanmu."

Ice tersentak ketika mendengar kata-kata kata-kata mutlak dari sang Ayah. Ia terdiam, tangannya terkepal erat.

"Sa-saya.. menerima perintah anda," ujar Ice, pada akhirnya ia tidak bisa menolak perintah Kaisar.

Al menatap Ice dengan tatapan serius. Ia memberitahu Halilintar mengenai itu, namun hanya dengusan yang ia dapatkan sebagai balasan.

Lalu rapat terus berjalan selama beberapa jam, mereka membahas mengenai hal lain dan juga mengenai tentang strategi yang akan mereka lakukan saat berada di wilayah Tenggara.

Beberapa kali Solar dan Thorn memohon agar mereka bisa ikut dengan Halilintar, namun Kaisar Azarn menolak itu hingga membuat keduanya menjadi lesu.

Setelah rapat selesai, Halilintar berniat untuk kembali untuk bekerja, namun Ice menahannya dan membawanya pergi ke tempat lain. Halilintar hanya dia saja saat Ice menyeretnya tanpa suara bersama Al.

'Kemana dia mau membawa kita?' tanya Al.

'Jangan tanya aku. Aku tidak tau harus bicara apa nanti padanya.'

Sejujurnya, Halilintar juga merasa canggung dengan situasi ini. Sedari awal, rencana yang Halilintar susun sudahlah sangat bagus dan rapi, namun secara tiba-tiba Ice mulai masuk dalam rencananya, dan membuat semua rencana miliknya hancur total. Ia harus membuat rencana baru untuk bertahan hidup dengan bantuan dari ingatan Ice juga.

Tapi, apa itu akan tetap berguna? Bahkan interaksi mereka di masa lalu saja bisa dibilang sangatlah minim, mengingat bagaimana Halilintar yang menghindari Ice dan Ice yang juga tidak peduli ketika hari-hari penyiksaan itu terjadi.

"Aku mau minta maaf, kak Arter."

Halilintar menghela napasnya, ia mulai muak dengan kalimat itu.

"Aku sudah memaafkanmu, berhenti mengulang ucapan yang sama," kesal Halilintar.

Halilintar melirik sekitar mereka, mereka ada di taman kaca istana De Glacius, tempat dimana Ice biasanya bersantai tanpa ada yang berani untuk mengganggunya.

"Kenapa kau tadi tetap mengiyakan perkataan Ayah? Kau sudah tau bukan apa yang akan terjadi nanti? Kenapa kau nekat sekali Arter?" Ice menatap Halilintar dengan tatapan serius.

"Kenapa? Kau mau menghalangiku lagi dengan cara tadi? Aku tidak akan mundur selagi apa yang akan kulakukan akan berguna untukku nanti," sinis Halilintar.

------------

"Berguna untukmu? Apanya yang berguna jika kau juga nyaris mati disana?" kesal Ice.

"Memangnya apa? Aku juga sering hampir mati saat di medan perang, dan lagi aku juga sudah sering mati, ya meski aku tidak mau mati lagi sih," jawabku datar.

"Arter! Kau yang benar saja!" Ice terlihat kesal dengan jawabanku.

Aku menatap Al yang hanya diam memandangi kami. Tidakkah dia ingin berkata sesuatu? Setidaknya katakan sesuatu sehingga kita tidak secanggung ini.

'Azer, sepertinya ada yang berubah dari hasil rapat kali ini. Mengapa Arzen tidak ikut?'

Eh tapi benar juga. Harusnya Gempa juga ikut terlibat kan? Ya meski pada akhirnya dia harus kembali lebih awal karena cedera parah sih. Tapi, jika Gempa tidak ikut kali ini, berarti kemungkinan besar yang akan mengalaminya pasti aku atau Ice, atau mungkin saja Al.

Kenapa ini tiba-tiba berubah ya? Apa karena Kaisar lah yang memberi perintah, bukan Ratu Althea?

"Aku rasa karena Ayah masih hidup. Bukankah Ibu yang memberikan perintah pada kita sebelumnya?" ucapku pada keduanya.

"Benar, aku juga merasa seperti itu."

Ice juga mengiyakan perkataan ku.

"Azer, apa yang kau ingat dari insiden Kerajaan Telare ini?"

Ice terlihat kaget ketika aku bertanya padanya mengenai itu. Ia terlihat berpikir sebentar.

"Kami jadi jauh lebih membencimu ketika Arzen kembali bersamaku ditengah-tengah misi itu."

"Bukankah itu karena Arzen terluka? Hal yang wajar kan karena aku menyuruh kalian kembali?"

"Itu benar, tapi kau juga menghina kami. Mengatakan kalau kami tidak berguna karena kami hanya bisa membuatmu lambat."

Ya itu kan karena kalian yang lemah.

'Bagaimana aku tidak menyuruh kalian kembali, kalian kan terluka parah, selain itu kalian juga mengatakan kalau aku itu iblis karena melakukan pembunuhan di medan perang.'

Ah benar juga. Aku mengingat tentang itu juga. Hahaha, iblis katanya. Hahaha!

"Karena kami tidak pernah berperang sebelumnya. Kami juga kesulitan karena ada banyak anak kecil dan perempuan yang juga menjadi prajurit bayaran dari dari Kerajaan Telare." Ice membalas ucapan Al dengan sedikit kesal.

"Pantas saja kalian lemah," ujarku.

Ice menatapku dengan tatapan datarnya.

"Benarkan? Itu medan perang Ice, bukannya panti asuhan ataupun ruang teater. Kalian terluka di saat perang baru saja dimulai. Mau dilihat darimana pun kalian tidak siap untuk terjun ke medan perang namun tetap memaksakan diri untuk ikut padahal aku sudah menyuruh kalian akan tetap berjaga saja di pos penjagaan."

Aku tidak salah kan, aku sudah tau mereka tidak terbiasa dengan perang, karena itulah aku yang di masa lalu meminta mereka untuk diam saja di pos penjagaan sambil menunggu balasan dari Ratu Althea mengenai bantuan lain. Tapi mereka malah mengabaikan itu dan berlari ke medan perang dengan ceroboh.

"Tapi kau bahkan nyaris mati di tangan musuh saat itu!"

"Well itu karena kau dan Arzen yang tiba-tiba saja kehilangan fokus karena hal-hal lain, apa kau pikir aku akan diam saja melihat kalian dibunuh didepanku?"

"Bukankah kau menginginkan kematianku dulu?" tanya Ice dingin.

"Kematianmu? Untuk apa? Ah, karena kau pewaris takhta kedua, jadi kau berpikir aku berniat pasti berniat menyingkirkanmu?"

Ice tak menjawab, seolah ia mengiyakan apa yang kukatakan.

"Hahahaha! Benar juga, apa yang aku harapkan?"

"Kau benar-benar tidak mengharapkan kematianku?"

"Azer, haruskah aku memukulmu saja? Aku sungguh kesal padamu."

Kami saling bertatapan tajam, namun Al dengan cepat menengahi kami berdua.

"Sudahlah kalian, kenapa malah bertengkar lagi?" kesal Al.

"Dia duluan!"

"Apa? Aku? Kau duluan yang menyebalkan Arter."

Aku dan Ice saling bertatapan tajam.

Dug! Dug!

"Hei sakitlah!"

"Adoh Kak Al! Sakit!"

"Diamlah kalian berdua, atau aku akan memukul kalian lagi," ujar Al tajam, tangannya mengepal bersiap menjitak kami lagi.

"Lalu apa yang terjadi setelah permasalahan dengan Kerajaan Telare selesai?" tanyaku.

"Hem.. aku dan kau berkelahi hebat?"

Aku menatapnya dengan tatapan datar. "Serius Azer?"

"Aku serius. Kau kembali dari perbatasan Tenggara dan Paman Leiron memberitahu kami kalau kau berkhianat dengan mereka."

Leiron Argan lagi, bajingan itu, sudah mati saja masih menyusahkanku.

"Begitu ya?"

"Iya."

"Lalu apalagi?"

"Aku tidak ingat."

"Masa iya kau tidak ingat?"

"Iya aku tidak ingat."

"LAH TERUS KAU BILANG KAU INGAT KEMAREN ITU APAAN!?"

"Aku cuma ingat kalau kami membunuhmu dan aku membunuhmu."

"Yang bener aja Azer!!!"

"Aku serius Arter."

Al yang melihat kami berdua bertengkar terlihat semakin kesal. Ia hendak menjitak kami lagi, namun aku menghindar dan langsung menatapnya tajam.

"Karena kasus kerajaan Telare ini terjadi setelah debutante, dan di masa lalu semua pekerjaan Ayah digantikan oleh Ibu, bukankah Leiron Argan juga mengambil andil dalam hal itu?" tanyaku, sambil mencoba menghindari Al yang nampaknya masih kesal padaku.

Ice menganggukkan kepalanya. "Iya benar. Leiron Argan melakukan beberapa pekerjaan atas pertimbangan dari Ibu dan juga bangsawan lain," jawab Ice.

"Kenapa? Kok bisa Ibu setuju?" tanyaku.

"Karena Ayah itu adik tirinya Leiron Argan, kau lupa Arter?"

Ah iya, aku lupa soal itu. Tapi tunggu, ada yang aneh.

"Al, kemari sebentar."

Aku membisikkan sesuatu padanya dan ia nampak terkejut tapi kemudian mengangguk paham.

Ia terlihat berpikir sejenak kemudian menatapku serius.

"Jadi, menurutmu.."

"Perang akan terjadi lagi jika saja Leiron Argan tidak bekerjasama dengan Kerajaan Telare. Namun karena 'Halilintar' dulu bisa menaklukkan mereka, meski nyaris mati, Leiron Argan tidak memperdulikan itu karena ia sudah berhasil mengontrol para Pangeran."

Aku berujar serius. Ice terlihat bingung dengan kata-kataku.

"Hem bisa jadi. Sial, dia benar-benar merepotkan."

"Tok Aba menjelaskan dari surat sebelumnya kalau dia merasa curiga pada Leiron Argan sejak perang 8 tahun yang lalu selesai. Dan kemaren Penyihir Gelap itu mengatakan bahwa pertemuan pertama kali kami adalah saat perang 8 tahun yang lalu."

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Arter," Ice terlihat bingung. "Kenapa kau tiba-tiba membawa nama Tok Aba? Apa hubungannya dengan itu?"

Aku dan Al saling bertatapan.

"Azer, kau bilang kau hanya ingat saat kau membenciku dan membunuhku kan?"

"Iya, itu benar."

"Dan alasanmu melarang kami untuk tidak pergi ke Kerajaan Telare karena kau tau kami akan terluka parah lagi?"

Ice mengangguk. Ia terlihat cemas, namun beberapa detik kemudian ia menetralkan kembali ekspresinya dan menatap kami dengan pandangan serius.

"Apa kau benar-benar akan pergi Arter? Maksudku, bagaimana jika yang terjadi di masa lalu terjadi lagi?"

"Apanya? Bukannya sudah ada perubahan?" tanya Al.

"Aku tau, tapi siapa yang tau apa yang akan terjadi setelah kalian mengubah masa depan?" Ice terlihat khawatir.

"Ya aku hanya perlu bertahan kan?"

"Arter, kau serius kan?" Ice menatapku kesal

"Ya.. aku pasti bertahan hiduplah, santai saja," balasku tenang.

"Arter!"

Aku menghela napasku. "Aku serius. Buktinya kematianku hanya berpatokan pada kalian--para Pangeran--dan juga Leiron Argan. Hanya seputar itu saja."

Al menepuk dahinya pusing mendengar jawabanku, sementara Ice terdiam seribu kata.

"Jadi aku tidak perlu takut mati pada hal lain. Ah, kecuali si Penyihir Gelap itu, aku takut mati ditangannya, aku serius," kataku, menunjukkan wajah serius meski akhirnya Al menabok wajahku karena kesal.

"Kau ini, bisakah kau setidaknya memfilter kata-katamu itu? Lihat yang kau katakan itu pada Azer," tunjuk Al kesal.

Ia menunjuk Ice yang mematung seperti patung air mancur di taman istanaku. Well, aku tidak tau kalau kata-kataku cukup tajam. Padahal aku berusaha mengerem ucapanku, tapi ternyata tidak bisa, hehe.

"Yang terpenting adalah kau juga ikut kan? Tenang saja aku tidak akan mengusirmu. Asal kau tidak bertindak bodoh saja," tukasku.

Ice terlihat menghela napasnya. Ia menundukkan kepalanya sambil mengacak-acak kasar rambutnya. Apa dia gila?

"Kau gila ya?" heranku. Dia menatapku kemudian menghela napasnya lagi.

"Sial, aku benar-benar gila."

"Ya, begitupun kami berdua," balasku dan Al.

-----------

"Jadi kau pergi ke perbatasan Tenggara?"

"Ya, pada akhirnya aku akan kesana."

"Aku sudah mendengar beritanya. Mereka gila, apa mereka menyatakan perang secara tidak langsung?"

"Iya. Karena itu mungkin lebih baik kita mempercepat rencana kita."

"Lalu bagaimana dengan janjimu padaku? Kau kan sudah berjanji untuk membantuku menjadi Duchess, tapi aku malah harus berperan menjadi tunanganmu? Ini gila!"

Aku hanya memutar bola mataku malas begitu mendengar gerutuan dari Yaya Douter. Ya, aku sedang berkomunikasi dengannya melalui kristal pemanggil.

"Aku tau. Sabarlah, kau mau jadi Duchess atau tidak? Lagipula aku juga sedang mencari cara agar insiden yang mengangguk di masa depan tidak terjadi."

"Aku tidak tau insiden apa yang kau maksud itu, tapi ingat, ini hanya pura-pura saja. Setelah itu insiden yang kau katakan itu selesai aku harus menjadi Duchess Douter."

"Iya iya, kau cerewet sekali."

"Apa kau bilang!?"

Tok tok tok

Aku dan Yaya Douter menoleh, menatap kearah pintu kamarku.

"Arter, kau disini?"

"Azer? Ya, tunggu sebentar!" Aku berteriak menjawab.

"Eh? Pangeran Kelima? Apa yang dia lakukan malam-malam begini di istanamu? Bukankah para Pangeran sudah kembali ke istana mereka?"

Aku hanya mengangkat bahuku tanda tak tahu. "Entahlah. Aku juga tidak tau. Yang penting datang saja besok."

"Okey. Jangan lupa janjimu padaku!"

"Iya, dasar nona cerewet!"

Aku dengan cepat memutuskan panggilan kami sebelum Yaya Douter kembali mengoceh. Aku merapihkan sedikit pakaianku sebelum membuka pintu.

Terlihat Azer dalam balutan pakaian tidurnya yang berwarna biru muda, dua kancing bagian atasnya terbuka menampilkan sedikit dada bidang miliknya. Ia membawa sebuah boneka paus dan selimut biru yang kuberikan padanya sebagai hadiah kemarin.

Ngapain coba dia malam-malam kesini? Mau pamer dada dia yang keren?

"Apa? Kenapa kau kesini?"

"Aku ingin bicara."

"Lagi??? Serius deh, besok kan bisa."

Aku menatapnya penuh kekesalan, tapi ia tidak memperdulikan itu.

"Dimana Al?" tanyanya.

"Berpatroli bersama dengan para prajurit. Kenapa?"

"Aku ingin tidur disini."

"Kau gila ya??"

Ice tidak memperdulikan kata-kataku dan berjalan begitu saja menuju tempat tidur. Ia berguling diatas tempat tidurku sambil memeluk boneka paus miliknya.

"Aku tidak bisa tidur."

"Lalu kenapa kau malah kesini?" Aku menatapnya heran.

Aku mendekatinya lalu berkacak pinggang melihat bagaimana dia mengambil alih tempat tidurku. Ia nampak tidak peduli dengan tatapan tajamku dan terus saja menyamankan dirinya.

"Dulu.. kau bilang jika aku mimpi buruk, aku bisa tidur denganmu, kak."

"Lalu?" Itu kan saat kita masih kecil.

"Jadi, biarkan aku disini. Aku bermimpi buruk tentang aku yang membunuhmu."

Jadi sekarang dia bermimpi buruk tentang itu?

"Aku.. takut dengan mimpi itu."

Ah sial. Nada bicara yang tenang itu benar-benar menjebak. Benar-benar sesuai dengan apa yang kuingat saat membaca novel itu.

Pangeran Kelima hanya menginginkan kebersamaan kecil dengan kakaknya. Namun keinginan itu mulai menghilang sejak insiden debutante itu terjadi. Pangeran Kelima tidak mengerti kenapa ia membenci Putra Mahkota. Ia merasa kosong seolah-olah ada ingatan yang harus dia hapuskan.

"Temani aku, Kak Arter. Aku benar-benar takut dengan hujan deras dan mimpi buruk."

Dan ingatan itu adalah ingatan terburuk yang tidak ingin Pangeran Kelima itu ingat lagi.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Halo semuanya, apa kabar? Semoga kalian semua sehat selalu. Saya lagi flu batuk gitu, mungkin karena masih beradaptasi dengan suasana di asrama PKL saya(⁠ ̄⁠ヘ⁠ ̄⁠;⁠)

Gimana chapter kali ini? Chapter depan kita mulai dengan POV Azer ya. Lalu nanti chapter lain akan ada flashback juga tentang Azer dan alasan mengenai Al.

Dan di chapter flashback itu akan ada komunikasi antara Al dan Dewa Elemen (⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)

Oh iya, chapter sebelumnya beberapa ada yang nggak dapet notif update ya? Soalnya di saya juga notif update tidak muncul ternyata (⁠─⁠.⁠─⁠|⁠|⁠)

Kali ini muncul nggak notifnya di kalian?

Hemm, semoga kalian suka dengan chapter kali ini, maaf kalo ada typo dan lainnya yaa~ hehehe

Happy weekend guys, and see you again in the next chapter ~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro