• LIMA PULUH SATU •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejujurnya Ice ingin sekali memukuli kedua 'Halilintar' didepannya ini. Bukan masalah jika mereka hanya mengawasi perbatasan saja, tapi masalahnya mereka sampai masuk ke wilayah Telare dimana para warga sipil tinggal!

Meski mereka bertiga menyamar dengan menggunakan kekuatan Halilintar, Ice tetap saja merasa kesal dengan rencana mendadak kakaknya itu.

"Kak Arter, Kak Al, Kalian gila ya?"

"Sessshhh! Panggil aku Halilintar disini okey!" Halilintar melotot pada Ice.

Ice hanya bisa menghela napasnya lelah. Disebelahnya Al juga terkekeh melihat wajah kesal Ice.

"Tenanglah Ice." Al mengusap rambut Ice, mencoba menenangkan kekesalan adiknya itu.

"Tapi Kak Al, ini bahaya kan? Bagaimana jika ada yang mengenal kita?"

"Tidak akan ada yang mengenal jug-- kalian kemari!"

Al secara tiba-tiba menarik mereka berdua dan kemudian bersembunyi dibalik tembok. Halilintar melihat kearah dimana mata Al memandang.

Terlihat beberapa prajurit dengan seragam berwarna coklat dan merah sedang berkeliling. Itu prajurit dari Kerajaan Telare.

"Apa kita akan ketauan, kak?" Ice menatap kedua kakaknya itu.

"Tidak akan. Kekuatanku itu tidak mudah dikenali asal kau tau saja," balas Halilintar.

"Mereka berbicara dalam bahasa Telare." Ice bergumam pelan, Halilintar mengangguk kemudian menatap adiknya itu lekat.

"Kau pernah mempelajari bahasa Telare bukan?" tanya Halilintar.

"Pernah, tapi aku tidak yakin apa logat yang kuucapkan akan sama. Bukankah kau yang paling pintar dalam belajar bahasa lain?" jawab Ice.

Halilintar lalu menyeringai. "Al, kau siap?"

Al mengangguk. "Ice, maaf ya," kata Al sambil tersenyum tipis.

"Apa? Kenap--- arghhh!!!"

Ucapan Ice terpotong begitu saja ketika tiba-tiba Al memukulinya kuat hingga ia menabrak tumpukan kayu dibelakang mereka. Suara berisik akibat jatuhnya kayu-kayu itu membuat para prajurit yang sedang berpatroli itu bergegas ke arah mereka.

Halilintar dan Al yang terbang dengan kekuatan mereka menyeringai begitu para prajurit itu datang ke tempat Ice. Mereka langsung saja menyergap dan membuat para prajurit itu pingsan dan mencuri seragam mereka.

"Kalian benar-benar kakak bajingan," sinis Ice, sembari bangkit dengan memegangi perutnya yang sakit akibat pukulan Al.

Halilintar terkekeh. "Hehehe, balas dendam dikit," tawanya.

"Sudah, jangan ribut. Cepat ambil pakaian mereka," kata Al lalu melemparkan pakaian yang sebelumnya dikenakan para prajurit itu.

Setelah mencuri pakaian para prajurit itu, mereka bertiga keluar dan berpura-pura berpatroli layaknya prajurit Telare sebelumnya.

"Kita mau kemana?" tanya Ice.

"Markas mereka."

"Apa!? Hei kak, kau bilang kita mau makan!"

"Makan dan berburu kan? Ya udah ayok," jawab Halilintar santai.

"Kalian sudah merencanakan ini lagi ya? Bisa-bisanya tidak bilang padaku!" kesal Ice.

Halilintar dan Al saling bertatapan.

"Setelah ingatanmu kembali, kau jadi cerewet ya," kata Halilintar.

"Benar, kau jadi lebih cerewet, mirip Solar," timpal Al.

"Bagaimana aku tidak cerewet jika kalian saja melakukan sesuatu seperti ini? Astaga, kepalaku pusing rasanya."

"Ya sudah, kembali saja ke istana sana," balas Halilintar, tak peduli.

Ice akhirnya menghela napasnya lelah, kakaknya itu benar-benar sudah error otaknya.

"Tapi... markasnya dimana ya?" lanjut Halilintar bingung.

Ice hanya bisa menggeplak kepala Halilintar penuh emosi.

--------

Malam tiba, mereka bertiga akhirnya berada di markas salah satu prajurit Kerajaan Telare.

"Hei! Kalian darimana saja? Kalian terlambat sekali!"

Salah seorang prajurit menghampiri mereka dan berbicara dengan bahasa Telare pada ketiganya.

Halilintar menggaruk kepalanya sambil nyengir.

"Oh maaf, kami tadi keasyikan keliling pasar dan mengecek keadaan, hehehe," ujar Halilintar, menjawab dalam bahasa Telare juga.

"Sudahlah, cepat pergi makan dan segera ke ruang ketua. Kita harus membahas rencana untuk serangan Minggu depan."

Serangan Minggu depan?

Ketiganya saling menatap kemudian mengangguk.

"Aha, begitu ya? Kami akan pergi makan lalu segera bergabung."

Setelah itu, mereka bertiga akhirnya pergi ke area dapur. Suasana yang sepi membuat mereka akhirnya mengunci pintu dapur dan berbincang dengan tenang.

"Serangan ya, sepertinya mereka benar-benar berniat berperang dengan kita," ujar Ice.

"Ya, sesuai dengan apa yang terjadi dengan kehidupan sebelumnya."

"Jika itu yang terjadi, berarti kejadian dimana aku dan Gempa mengalami luka parah ya?"

Al dan Halilintar mengangguk. Halilintar menyentuh pundak Ice dan menatapnya tajam.

"Gempa tidak disini sekarang, dan aku tidak mau kau bertingkah bodoh seperti dulu," tegas Halilintar.

"Jadi, jangan berpikir untuk mengikutiku nanti. Tetaplah diam di markas dan jangan melakukan hal-hal bodoh." Halilintar menatap Ice dingin.

"Aku tau. Aku akan menjaga markas dengan tenang." Ice menjawab dengan tenang.

Ia menutup matanya sejenak, kemudian membukanya kembali dan langsung menatap Halilintar.

"Kau di kehidupan sebelumnya terluka parah karena serangan itu. Tapi, kenapa kau justru mengobatiku dan Gempa? Apa yang kau pikirkan?"

"Entah. Kau bisa anggap itu perhatian kecil dariku."

"Apa itu sebuah jawaban?" sarkas Ice.

"Aku hanya tidak suka melihat kalian mati didepanku," jawab Halilintar dengan kesal.

Halilintar kemudian berjalan ke arah meja dapur dan mengambil beberapa buah dan memakannya. Al mengikutinya dan mengambil sepotong roti.

"Lagipula Ice, kali ini Leiron Argan sudah mati. Aku yakin kita akan bisa kembali ke istana secepatnya."

"Al benar, lebih baik kita mendengarkan diam-diam rencana itu kemudian membiarkan mereka melancarkan serangan mereka," kata Halilintar.

"Apa kau yakin? Maksudku, kita bisa saja hancurkan mereka sekarang bukan?" tolak Ice.

"Ice, jika kita menghancurkan mereka sekarang, kita tidak akan tau apa yang membuat mereka tetap melayangkan serangan padahal mereka sudah tau bahwa mereka akan hancur jika nekat melawan kita," jelas Al, ia kembali menggigit sebuah apel kemudian memberikan apel lain pada Ice.

"Leiron Argan sudah mati. Mereka sudah kehilangan sekutu yang membantu mereka dari jarak dekat, tindakan mereka ini semata-mata karena mereka panik."

Ice menerimanya dan menggigit apel itu pelan, ia menatap Halilintar yang kini sudah menghabiskan beberapa mangkuk sup.

"Kau berniat menjadi mata-mata atau mencuri makanan sih, Halilintar?"

"Keduanya? Lagipula, kita memang berniat untuk makan malam kan? Oh, supnya enak, Al coba ini."

Ice hanya bisa menepuk dahinya pusing. Entah sejak kapan ia merasa kalau kedua 'Halilintar' ini sangatlah konyol. Sifatnya sedikit berbeda membuat dia yakin ada yang salah dengan otak kakaknya itu.

Namun Ice tidak mau terlalu ambil pusing. Saat ini, yang ada dipikirannya adalah mendapatkan maaf dan juga menebus semua kesalahannya.

Ice menatap Halilintar dan Al yang masih saja dengan santainya memakan makanan yang ada. Al, yang kembali dengan izin Dewa, lalu Halilintar, yang kembali karena mengulangi waktu. Ice berpikir, ia harus membantu kakaknya. Ice tidak mau Halilintar mengulangi waktu lagi dan kembali merasakan rasa sakit yang begitu menyakitkan untuknya.

"Kak Hali, Kak Al."

"Hm?" Keduanya menoleh pada Ice.

"Kenapa Ice? Mau lagi?" Al menyodorkan semangkuk sup pada Ice.

Ice menggelengkan kepalanya. "Kali ini, tolong manfaatkan aku. Kalian bisa manfaatkan aku untuk apapun itu."

"Aku memang berniat untuk memanfaatkanmu kok," sahut Halilintar, nampak tak peduli.

Ice tersenyum tipis. Ia mengeluarkan panah es miliknya, ia juga melepaskan kalung penyamaran yang diberikan Halilintar. Manik aquamarine itu bersinar sambil menatap kedua orang itu.

"Hei, jangan lepaskan itu sembarangan, kau tidak tau apa yang akan terja---"

Halilintar menghentikan ucapannya dan tersentak ketika Ice tiba-tiba berlutut dihadapannya dan Al. Mereka berdua langsung berdiri dan menatap Ice datar.

"Apa yang kau lakukan Ice?" tanya Al dingin.

"Bangun, aku tau apa yang ingin kau lakukan, jadi berhenti sekarang," ujar Halilintar dingin.

Manik Rubi Halilintar menatap tajam Ice yang tetap berlutut dihadapannya.

"Aku, Pangeran Ice Zyn Azer Glacius.."

Halilintar hanya diam. Ia sudah tau apa yang ingin adiknya itu lakukan.

"Melakukan sumpah pada Hal--"

"Ikatan Petir."

Sebuah tali dengan kekuatan listrik langsung mengikat Ice kuat, menghentikan aksinya seketika.

"Aku sudah bilang untuk berhenti, Azer." Halilintar mendekati Ice dengan pandangan dingin.

"Melakukan sumpah kesetiaan untuk apa? Menebus kesalahanmu?"

Ice tidak menjawab, ia hanya menatap Halilintar.

"Azer, kau tau, itu tidak akan berguna," kata Al.

"Baik aku dan Halilintar, masih belum bisa mempercayai kalian sepenuhnya," kata Al serius.

"Mungkin kau bertanya-tanya juga, bagaimana dengan Arven yang sudah melakukan sumpah pada Halilintar. Tapi, baik aku dan Halilintar, masih belum bisa percaya pada kalian semua sepenuhnya, sama seperti kalian."

Ice tersentak mendengar penjelasan Al. Ia menatap Halilintar, seolah bertanya apa itu benar.

Halilintar menghela napasnya. "Kau melakukan itu untuk apa?"

"Aku.." Ice mengepalkan tangannya erat. Matanya terlihat putus asa.

"Aku menyesal, aku merasa bersalah. Jika aku bisa membantumu kali ini, mungkin saja kau tidak akan mengulangi kehidupanmu lagi.."

Halilintar dan Al saling berpandangan kemudian mereka hanya bisa menghela napas kesal.

"Kau, melakukan itu untuk menebus rasa bersalahmu? Hanya karena itu?" tanya Al.

Ice mengangguk. "Kau sungguh bodoh, Azer," geram Al.

"Kenapa baru sekarang? Kenapa dulu disaat kau membunuhku kau tidak mengatakan itu?" Al mengepalkan tangannya kuat.

"Apa kau tau betapa menyakitkannya itu? Ketika aku secara tiba-tiba mendengarmu mengatakan kata 'maaf' kemudian membunuhku, apa kau tau apa yang kupikirkan di detik-detik kematianku?"

Al tidak melanjutkan kalimatnya. Ia hanya mengepalkan tangannya erat hingga melukai tangannya sendiri. Halilintar hanya mendengus lalu melepaskan Ice. Ice terjatuh kemudian menatap Halilintar yang mendekat padanya.

"Aku membencimu, Azer. Sangat membencimu dan yang lain. Sangat sangat benci hingga rasanya aku ingin kalian menghilang saja dari dunia ini."

Halilintar menatap Ice dengan tatapan mata penuh kebencian. Ice yang melihat tatapan yang dilayangkan Halilintar hanya bisa terdiam. Tak pernah ia melihat Halilintar menatapnya dengan tatapan mata yang seolah menahan semua rasa benci itu.

"Tapi, aku akan mengesampingkan itu dulu sekarang. Setelah kasus dengan Kerajaan Telare ini selesai, aku akan membuatmu merasakan apa yang kurasakan dulu."

"Kau.. akan menyiksaku juga?"

Halilintar mendengus. "Menyiksa? Entahlah, yang jelas kau tidak perlu takut mati, karena aku tidak akan membunuhmu, seperti apa yang kalian semua lakukan padaku dulu."

"Pakai lagi kalung itu dan susul kami ke ruang yang mereka maksud itu."

Dan setelah mengatakan itu, Halilintar dan Al pergi meninggalkan Ice begitu saja. Meninggalkan Ice yang termenung dalam diam, menyesali semua kebodohannya selama ini.

Ice kembali memakai kalung penyamaran miliknya. Ia lantas mengeluarkan kekuatan airnya, menatap pantulan wajah samarannya dalam pantulan air.

Rambut coklat dengan mata coklat yang seperti batang pohon. Entah mengapa, ia seperti mengenal wajah ini.

Ice menggelengkan kepalanya, mencoba untuk fokus. Sama seperti Halilintar yang berusaha untuk dekat dan berbaikan dengan adik-adiknya, Ice juga akan membuka dirinya untuk lebih dekat kembali dengan Halilintar.

"Aku tidak ingin mengalami kejadian buruk itu lagi."

--------

"Cepat! Cari dimana Pangeran Ketiga dan Pangeran Kelima lalu bunuh mereka!"

"Laksanakan!"

Suasana yang rusuh, api dimana-mana dan juga orang-orang yang terus mengejar mereka. Ice dengan susah payah memapah Gempa yang terluka, ia tidak bisa berjalan lebih jauh lagi karena luka mereka juga cukup parah.

Ice tau dia nekat karena mendengar berita mengenai Halilintar yang mengalami pengepungan di barisan terdepan dan membuatnya juga Gempa lalu berlari begitu saja untuk mencari Halilintar.

Mereka memang beberapa kali mengalami perang, tapi itu berbeda karena Halilintarlah yang biasa terjun langsung kesana, bukan Ice ataupun Gempa.

"Azer.. huh.. huh, sebaiknya.. kita istirahat.. dulu.."

Gempa berbicara dengan napas tersengal-sengal. Ia terlihat kelelahan.

"Arzen, sebentar, kita harus cari tempat yang am---"

"Ketemu kalian! Hyahhh!!"

"Hah!?"

Ice dan Gempa hanya bisa pasrah ketika pedang itu mengarah ke mereka cepat.

"Jangan sentuh adikku!!"

Suara tebasan pedang dan cipratan darah terdengar. Ice dan Gempa membuka mata mereka, menatap Halilintar yang berdiri didepan mereka.

"Putra Mahkota!"

"Kalian baik-baik saj--!" Halilintar menggeram melihat kondisi Ice dan Gempa yang kotor dan penuh luka.

"Apa yang kalian lakukan disini!? Bukankah aku sudah bilang untuk diam di markas saja?!"

"Kami mendengar berita tentangmu, karena itu kami menyusulmu.." balas Ice.

Halilintar mengepalkan tangannya.

"Bodoh, tetap disini kalian."

Setelah mengatakan itu, Halilintar kembali mengeluarkan pedangnya dan menyerang musuh. Ia terus-menerus menyerang dengan membabi buta. Manik rubi miliknya bersinar tanda bahwa ia sedang sangat marah.

"Azer, apa.. yang terjadi?"

Ice menoleh pada Gempa yang terlihat lemah.

"Arter datang, dia membantu kita."

"Dia.. datang? Untuk membunuh kita?"

Ice tersentak. "Tidak, sepertinya dia menyelamatkan kita?"

"Arzen! Azer! Cepat bangkit dan lari dari sini!"

Halilintar muncul kembali, ia dengan cepat menarik Gempa dan menggendongnya di belakang. Ia juga menarik Ice agar ikut berlari dengannya.

"Putra Mahkota, keadaan Arzen..!"

Halilintar berdecih pelan. "Kekuatanku sedang tidak bagus sekarang, jadi aku hanya bisa membuka teleportasi untuk satu kali."

Halilintar berujar serius. Ia terus berlari sambil menggenggam erat Ice agar ia tidak tertinggal.

"Jadi pergi dari sini sekarang. Kalian benar-benar bodoh karena nekat begini."

Ice melepaskan paksa tangan Halilintar dan menatapnya dingin.

"Kami khawatir jika kau mati dan itu yang kau katakan pada kami?"

"Hah! Khawatir? Lelucon apa yang sedang kalian lakukan sekarang?"

Halilintar lalu melirik Gempa yang napasnya semakin tak beraturan. Ia menghela napasnya kasar. Lalu kemudian melirik ke belakang mereka dimana musuh mulai mendekat.

"Kenapa kalian lemah sekali?"

"Apa!? Arzen sedang terluka dan itu yang kau katakan!?"

Halilintar hanya mendengus mendengar kemarahan yang Ice lontarkan padanya. "Kembalilah ke istana. Aku akan mengirim kalian dengan teleportasi."

Ia menurunkan Gempa dan dengan cepat memberikannya pada Ice.

"Lalu bagaimana denganmu! Kau sendiri terluka parah!" Ice menatap marah Halilintar.

Halilintar sendiri terluka parah, tapi dia malah tak memperdulikan itu dan hanya mengirim adiknya saja untuk kembali.

"Apa pedulimu?"

"Apa itu penting sekarang?!"

"Pergilah Azer, jika dibiarkan lebih lama lagi, Arzen akan mati. Temui para tabib dan Arlen, minta mereka obati dia."

Ice merasa marah, namun ketika Halilintar mengeluarkan kekuatan penyembuhan miliknya untuk mengobati dirinya dan Gempa, ia hanya bisa tertegun.

Padahal dia sendiri lukanya cukup parah, kenapa dia malah mengobati luka adik-adiknya?

"Aku tidak lemah, Arter."

"Tidak, kau lemah. Kau tidak bisa melindungi dirimu sendiri."

Sihir teleportasi terbuka, Halilintar dengan cepat berteriak pada Ice.

"Cepat Azer! Aku tidak bisa menahannya lebih lama!"

"Kau harus ikut dengan kami!"

"Sial! Pergilah kalian! Aku tidak bisa membiarkan adikku mati! Cepat pergi!"

Teriakan penuh amarah dari Halilintar itu membuat Ice tertegun.

"Azer bodoh! Cepatlah!" Dengan susah payah, Halilintar menarik Ice dan Gempa ke dalam portal teleportasi.

Beberapa saat sebelum portal teleportasi menutup, Ice bisa melihat bagaimana para musuh menyerang dan bahkan menusuk tubuh Halilintar. Dan Halilintar dengan susah payah tetap tak membiarkan para musuh mendekat ke arah portal teleportasi.

"ARTER!"

-------

Aku menatap Ice yang hanya diam saja setelah makan siang. Setelah mengetahui siasat mereka yang hendak menyerang Kekaisaran Elemental Glacius, aku langsung membuka rapat dadakan di markas kami di Tenggara.

Aku dan Al langsung memberikan perintah untuk memperketat penjagaan dan latihan para prajurit. Meminta mereka untuk tetap waspada apapun yang terjadi.

Mungkinkah aku terlalu kejam? Ice mengingat ingatan kehidupan sebelumnya, Al yang mungkin saja akan hancur jika aku gagal dan juga aku yang sudah pasti akan kembali mengulangi waktu jika aku gagal lagi.

Sebenarnya, kenapa semua ini terjadi? Apa yang diinginkan para Pangeran sebenarnya? Sebenarnya, kenapa Taufan begitu kejam saat menyiksanya? Kenapa Gempa begitu membencinya bahkan langsung memberikan hukuman mati padanya? Kenapa Ice hanya diam saja meski dia pernah mengingat sesuatu saat di kehidupan dulu?

Dan kenapa pembunuh itu membunuh Ratu Althea dan Yaya Douter? Kenapa ia tidak membunuh Halilintar saja?

Jujur aku merasa lelah.

"Azer, apa kau sakit? Kenapa kau diam saja?"

Ah, saat ini kami berdua sedang berkomunikasi dengan para Pangeran lain di kristal pemanggil. Wajah heran Taufan terlihat dan ia terus bertanya mengapa adiknya itu terlihat murung.

"Aku baik-baik saja, Axer."

"Benarkah? Wajahmu seperti mengatakan hal lain loh," ujar Blaze.

"Aku hanya kurang tidur."

"Wah, seorang Azer kurang tidur? Apakah ini seperti sebuah keajaiban?" canda Taufan.

Ice hanya menatap datar Taufan.

"Arzen, bagaimana keadaan istana?" tanyaku.

"Baik-baik saja. Saya sudah menyelesaikan beberapa pekerjaan yang anda berikan pada saya. Saya akan segera mengirimnya pada anda, Arter."

Aku tersenyum puas pada Gempa.

"Lalu bagaimana dengan latihanmu, Arlen? Apa ada masalah? Kau juga Arven, kau baik-baik saja bukan dengan Nona Douter?"

"Aku baik-baik saja Kak! Aku hampir menguasai beberapa teknik yang sulit!" seru Thorn dengan wajah bangga.

"Aku dan Nona Douter baik-baik saja. Kemarin kami bertemu untuk membahas tentang penggunaan sihir pada pedang."

"Kerja bagus kalian berdua. Dan oh, Asern, berhentilah kabur dari kelas pedang. Kau juga Axer, jangan ajak Asern kabur terus dari kelasnya," omelku.

Aku baru saja mendapat kabar dari salah satu orangku di istana kalau Blaze seringkali kabur dari kelas berpedang dan Taufan yang sering mengajaknya untuk bolos.

"Aaaa! Kakak Pertama, kau hanya memuji Arzen, Arlen dan Arven saja! Tidakkah kau tau kalau kelas berpedang itu sangat membosankan? Kan lebih mudah jika kita langsung menyerang saja dengan sihir~~"

Taufan merengek, membuatku hanya bisa menghela napasku pusing.

"Diamlah Axer. Rengekanmu itu membuatku pusing," kesal Ice.

"Wah Azer, kau benar-benar menyebalkannnn~!"

Kami berbincang cukup lama, membicarakan banyak hal dengan suasana menyenangkan.

"Baiklah, kami harus pergi patroli. Kabari kami jika terjadi sesuatu disana," kataku.

"Baik!"

Setelah panggilan terputus, aku menarik napasku. Ice menatapku lekat.

"Apa?" Aku menatapnya balik.

"Kenapa kau menolak sumpahku sebelumnya?"

"Aku tidak percaya denganmu."

"Kenapa?"

Dia serius nanya itu?

"Ya, karena aku marah."

"Kenapa? Bukankah kau sudah memaafkanku?"

"Memaafkan bukan berarti aku tidak bisa marah."

"Tapi Kak Al tidak marah lagi padaku."

"Itu Al, bukan aku. Kami berbeda."

"Tapi kalian itu 'Halilintar'."

💢💢💢

"Ish! Kau ini mau nya apa sih!? Aku dan Al berbeda! Kami berbeda kehidupan! Kau paham?!"

Ice menggelengkan kepalanya, membuatku hanya bisa berteriak frustasi.

"Arghh! Sudahlah, cepat pergi berjaga! Aku akan keluar dulu."

"Kau mau kemana, kak?" tanyanya.

Aku berbalik dan menatapnya kesal.

"Bunuh diri! Sudah sana kerjakan tugasmu!"

"Kak! Jangan mati!"

"ARGHH!! PERGILAH SANA AZER! AKU TIDAK AKAN MATI!"

Setelah berteriak seperti itu, aku keluar dari ruangan dan membanting pintunya kuat. Merasa sangat kesal dengan wajah bodoh yang Ice tampilkan tadi.

Sungguh, jika aku bisa membawanya ke Dewa Elemen sekarang, maka aku akan meminta Dewa Elemen untuk menghapus ingatannya saja tentang masa lalu kami. Tingkahnya itu hanya membuatku muak.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Kita dimana ini?"

ARGHHHHH! YA DEWA! KENAPA ANDA MEMBAWA KAMI SECARA TIBA-TIBA!!! SETIDAKNYA BERITAHU DULU KAN BISAA!!!

Aku berteriak tanpa suara dengan frustasi begitu menyadari tempat dimana aku berada sekarang. Sebuah taman dan juga bangunan megah bak istana dengan bunga-bunga yang bertebaran di sekitar kami. Disebelahku Ice berdiri dengan raut bingung dan waspada.

"Dewa Elemen, kenapa anda tiba-tiba membawa kami begini😩"

"Hah? Dewa Elemen?" bingung Ice.

"Hohoho, anakku, apa kau terkejut?"

Ice yang terkejut mendengar suara Dewa Elemen langsung saja maju dan mencoba melindungiku.

"Hati-hati Arter, kita tidak tau siapa pemilik suara itu," katanya waspada.

Aku memutar bola mataku malas. Menyingkirkan tangannya lalu menatap para Peri Spirit yang datang pada kami.

"Itu.. Peri Spirit?" bingung Ice.

"Benar anakku, ini kali kedua kau datang ya."

"Kali kedua? Siapa kau!? Tunjukkan wajahmu itu--hmppp!!"

"Dasar bodoh. Memang kau sanggup melihat wajah asli Sang Dewa?" Aku menutup mulutnya kesal.

"Dewa Elemen, Azer memiliki ingatan mengenai kehidupan kami yang dulu. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia bisa mengingatnya?" kesalku.

Para Peri Spirit berdenting penuh kebingungan. Mereka mengelilingi Ice yang terlihat bingung dengan keadaan ini.

"Oho, jadi kali ini kau juga mendapatkan ingatanmu? Menarik."

"Uhm, jadi anda adalah Sang Dewa?"

"Benar anakku."

Ice langsung saja berlutut, ia menundukkan kepalanya dengan gemetar.

"Ampuni saya Dewa! Saya sudah melakukan perbuatan kejam pada saudara kembar saya! Saya mohon, biarkan saya menebus kesalahan saya kali ini! Tolong jangan bawa kakak saya!"

"Woy! Aku belum mati lah!"

"Azer putraku, kekuatanmu itu sungguhlah luar biasa. Kau mempergunakannya dengan baik, namun karena perbuatanmu itu, dimensi waktu menjadi berantakan."

Aku menatap heran Ice. "Kenapa Azer menbuat dimensi waktu jadi kacau? Bukankah pada akhirnya saya juga kembali ke dunia ini?"

"Benar. Kekacauan yang dilakukan anakku ini sungguh fatal. Akibatnya, serpihan kekuatan yang seharusnya hancur justru muncul dan membentuk sebuah serpihan kehidupan baru."

"Serpihan... kekuatan?" heranku.

"Benar, dia adalah seseorang yang selama ini bersama dengan kalian."

"Al..." gumamku. Ice menatapku kemudian menatap ke arah langit yang luas.

"Dewa Elemen, apakah serpihan kekuatan itu adalah kakak saya?"

"Benar, Azer, itu aku."

"Kak Al?"

Aku menatap bingung Al yang muncul dengan wajah Halilintar, namun warna matanya berubah menjadi violet, bukan rubi sepertiku.

"Kenapa kau disini?" tanyaku heran.

Para Peri Spirit berdenting kembali dengan penuh semangat. Mereka mengelilingi Al dengan wajah ceria.

"Ya, karena aku juga ditarik oleh Pak Tua ini," kesal Al.

"Hohoho, kau itu hanya serpihan kekuatan tapi sungguh berani ya, anakku, hoho."

Al hanya mendengus. "Kenapa anda membawa mereka? Seingat saya, saya hanya ingin bertemu anda sebentar," kesal Al.

"Hei, kau menemui Dewa Elemen tanpa memberitahuku?!" kesalku pada Al.

"Aku hanya bertanya mengenai alasan mengapa Ice mendapat ingatannya, tapi dia malah tidak menjawab. Cih, membuang-buang tenaga saja," sinis Al.

"Anakku, keseimbangan waktu dunia mulai goyah karenamu dan salah satu saudaramu yang lain."

"Ada yang lain juga?" tanyaku heran.

"Siapa yang anda maksud sih?!" tanyaku, ikutan kesal.

"Hohoho, itulah yang harus kau cari tau anak-anak."

💢💢💢💢

Aku dan Al mengepalkan tangan kami kesal. Sungguh, Dewa Elemen ini sangat menyebalkan.

"Ya ampun Dewa Elemen, kenapa anda tidak langsung mengatakannya saja!? Jadi sebenarnya siapa Penyihir Gelap itu? Dan kenapa saya terus mengulang waktu? Dan juga kenapa saya harus terlempar ke dunia ini lagi padahal Azer sudah mengirim saya ke dimensi lain?"

Para Peri Spirit nampak bingung, mereka menatapku dan juga Al bergantian kemudian memutari kami dengan wajah sedih.

"Hei, ada apa dengan wajah kalian?" tanyaku bingung.

"Manusia.. keseimbangan dunia.. akan hancur.. jika kau mati kali ini.."

Dentingan pelan itu terdengar dalam pikiranku. Aku tersentak.

Keseimbangan dunia, kenapa mereka terus mengatakan itu?

"Anakku, bukankah sebelumnya aku sudah mengatakannya padamu? Kami hanya bisa membantumu dari jauh. Kau lah yang mengontrol kekuatan dan pikiranmu itu."

"Sekali lagi, jika sekali lagi kau kehilangan kontrol seperti sebelumnya, kami tidak akan bisa menyelematkan dirimu dari kehancuranmu sendiri."

Aku dan Al tersentak. "Apa itu artinya, jika saya dan Al gagal dalam kehidupan kali ini.. kami akan mengulanginya lagi?"

"Benar. Jika kau gagal pada kehidupanmu ini, meski di kehidupan selanjutnya kau berhasil kau akan tetap mengulanginya. Karena itulah akibat dari hancurnya keseimbangan waktu."

"Dewa Elemen, saya.. apa karena saya mengirimkan kakak saya ke dimensi lain itu yang membuat keseimbangan waktu rusak?" tanya Ice.

"Kau adalah salah satunya anakku. Leluhur kalian juga melakukannya untuk menyelamatkan seseorang yang disayanginya. Namun dia gagal, berbeda denganmu. Jadi, gunakanlah kesempatan ini dengan baik."

"Kaisar Arterion...?" gumamku.

Aku yakin leluhur yang dimaksud Dewa Elemen adalah Kaisar ke-9, Arterion Zyn Boboiboy Glacius.

"Sebelumnya, saya dan adik saya Arlen terjebak dalam dimensi sihir, disana saya bertemu dengan serpihan jiwa dari salah satu leluhur kami. Apakah ia adalah sosok yang anda maksud?"

"Benar, anakku Arter. Aku membantumu secara tidak langsung melalui orang-orang di sekitarmu. Namun, kekuatanmu itu harus kau kontrol dengan lebih baik, sehingga kau tidak akan memangsa kekuatan sihir dari mereka yang melindungimu."

"Saya--, saya sungguh tidak mengerti, Dewa Elemen. Kakak saya mengulangi banyak kehidupannya tapi tidak ada satupun yang berhasil," ujar Ice.

Ice menundukkan kepalanya, wajahnya berubah sendu, seolah beban yang ia pikul semakin menekan. Mungkin, dalam hatinya, ada ketakutan yang tak terucapkan, takut bahwa jika waktu diulangi lagi, semua kenangan tentangku akan lenyap begitu saja. Ia takut terjebak dalam lingkaran tak berujung, di mana setiap kali waktu terulang, ia akan kembali melupakanku dan mungkin saja akan kembali bersikap seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi padaku. Mungkin saja...

"Anakku, kau lah yang harus menyadarkan dirimu. Kau lah yang harus menyadari apa sebenarnya kesalahan yang membuat kalian menjadi seperti ini."

"Tapi kakak saya adalah pemilik seluruh kekuatan Elemen! Bukankah itu adalah sebuah berkah bukan? Kenapa itu berubah menjadi seperti ini?"

Berkah? Apa setelah semua kehidupan ini, bagaimana bisa aku menganggap kekuatan ini adalah sebuah berkah Dewa? Ini adalah kutukan.

"Berkah?" Aku menoleh pada Al.

Ia mengepalkan tangannya kuat.

"Berkah kau bilang?"

"Kak.. Al..?"

"Aku, sedari awal tidak pernah menganggap ini berkah."

Manik violet milik Al bersinar penuh amarah.

"Sedari awal aku dituduh mencuri kekuatan adik-adikku. Sedari awal, semua statusku mulai berubah. Dan kau bilang ini adalah berkah?"

Aku menghela napasku. Memahami dengan baik maksud perkataan Al.

"Azer, apa kau ingat, saat pertama kali semua orang tau soal kekuatanku?"

Ice menatapku dengan ragu kemudian mengangguk.

"Aku tidak pernah menganggap itu sebagai sebuah kekuatan yang hebat. Aku benci dengan kekuatan yang aku dapatkan."

"Apa kau juga tau? Saat itu Leiron Argan juga datang menemuiku dan mengatakan bahwa aku adalah seorang pengkhianat karena sudah mencuri kekuatan milik adik-adiknya sendiri."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Halo semua, apa kabar? Semoga kalian bahagia selalu.

Bagaimana dengan chapter kali ini? Nanti setelah dua chapter ke depan, kita akan mulai masuk juga ke sesi Arter-Axer. Oh, dan Azer juga salah satu karakter penting di masa lalu Arter. Jadi silakan nantikan chapter depan yaa(⁠・⁠∀⁠・⁠)

Semoga kalian suka dengan chapter kali ini ~ Typo bertebaran 🚨

See you again in the next chapter ~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro