• LIMA PULUH TIGA •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ice menghindariku. Setiap kali aku hendak menemuinya, dia selalu kabur dan beralasan kalau dia tidak bisa bertemu denganku. Dan sudah 3 hari dia menghindariku sejak kami bertemu Dewa Elemen sebelumnya.

Dia menghindariku karena dia merasa tak berguna. Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan setelah kami menemui Dewa Elemen itu. Sesaat setelah kami kembali, Ice terus-menerus memegangi tanganku dan Al hingga kami sampai di markas.

Bahkan ia tak peduli dengan tatapan heran dari Gopal Acrowl, Amar Vere serta para prajurit lain ketika melihat Ice menggandeng tangan kami erat.

"Hei! Berhenti melamun dan fokus, Halilintar!" kesal Al. Kami sedang berjalan menuju ruang kerjaku yang ada di markas Tenggara.

Aku hanya mendengus. "Iya iya! Sabar dong!"

"Acrowl, persiapan untuk serangan besok bagaimana?" tanyaku.

Gopal Acrowl berjalan memeriksa dokumen di tangannya dan kemudian menatapku serius.

Kami tiba di ruang kerja kami, aku langsung mendengus begitu melihat adanya tumpukan dokumen di meja.

"Semua sudah sesuai dengan perintah anda, Yang Mulia. Kami akan segera menyergap mereka begitu mereka memasuki garis pertahanan pertama yang sudah kita atur sebelumnya."

"Lalu Al, ada surat serta kiriman barang untuk anda," kata Gopal Acrowl. Ia mempersilakan seorang prajurit masuk dan memberikan surat serta sebuah kotak besar pada Al.

"Saya tidak dapat menemukan siapa pengirimnya, namun di surat serta kotak ini tertulis nama anda."

Al mengambil surat itu dan meminta prajurit untuk meletakkan kotaknya di meja. Ia membaca surat itu dan tersenyum tipis. Ia menatap Halilintar dengan perasaan sedikit lega.

"Halilintar, kita mendapatkan petunjuk."

Aku langsung mendekati Al dan ikut membaca suratnya.

Salam pada Matahari Muda Kekaisaran.

Yang Mulia, kami membawakan hasil yang anda inginkan. Pertama, kami berhasil menyebarkan rumor terkait hubungan anda dengan Putri dari Duke Douter. Hasil dari rumor yang kami sebarkan sudah sampai ke seluruh Kekaisaran dan saat ini pemberitaan itu mendapat banyak tanggapan dari masyarakat.

Lalu yang kedua, kami membawakan anda info mengenai batu mana yang anda berikan sebelumnya, kami menemukan fakta bahwa batu itu berasal dari tambang mana milik keluarga Argan yang berada di Kerajaan Rocafer yang berbatasan dengan wilayah Utara. Saat ini tambang itu sudah ditutup sejak 10 tahun yang lalu sehingga kami kesulitan untuk masuk ke dalam tambang karena akses masuk yang sudah rusak dan hilang

Lalu, mengenai jejak dari Penyihir Gelap, kami mengetahui bahwa dia sempat melarikan diri ke Kerajaan Telare 2 Minggu setelah kejadian besar di Istana Kekaisaran Elemental Glacius terjadi. Saat ini jejak terakhir yang kami temukan berakhir di Istana Kerajaan Telare, namun kami tidak bisa memastikannya lebih lanjut karena jejak mana yang kami telusuri di Kerajaan Telare membuat kami kesulitan karena mana itu menyesatkan kami.

Kemudian kami mengirimkan hasil yang kami dapatkan terkait permintaan anda yang terakhir. Kami menemukan fakta bahwa beberapa kerajaan kuno dahulu memiliki seorang penyihir yang mampu melakukan sihir manipulasi mana terhadap penyihir lain. Kami menemukan beberapa buku mengenai hal tersebut dan mengirimkannya kepada anda.

Kaca yang kami bawakan adalah salah satu item sihir yang sempat hilang 300 tahun yang lalu. Kaca ini mampu melihat siapa saja orang yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi energi mana dan juga mampu memantulkan kekuatan yang dimiliki seseorang di masa lalu.

Kami harap informasi yang kami berikan memberikan anda kepuasan.

Kami mengharapkan kerja sama anda kembali di kesempatan berikutnya.

Salam, B.Riener.

Ada harapan, ada harapan untuk mencegah kematian Ratu Althea juga Yaya Douter di masa depan.

"Gopal, panggil Ice segera. Jika dia tidak mau datang, katakan padanya kalau aku ingin memanfaatkannya."

Gopal Acrowl sedikit bingung ketika mendengar ucapan itu, ia menatapku tak yakin.

"Baik, saya akan segera memanggil Pangeran Azer, Yang Mulia."

Setelah Gopal Acrowl dan prajurit itu pergi, Al dengan cepat membuka isi kotak itu dan menemukan ada sebuah kaca juga beberapa buku dalam bahasa kuno yang tak pernah mereka ketahui.

"Kaca ini adalah item sihir yang hilang?" heran Al melihat kaca berbentuk bulat kecil itu.

"Mari kita lihat dulu."

Aku mengarahkan kaca itu kepada Al. Sebuah cahaya putih muncul dan kemudian masuk ke dalam kaca itu.

"Halilintar.. kaca ini.."

Aku membalik kaca itu dan melotot melihat hasilnya. Wajah Al yang sekarang itu sangat berbeda denganku, dan apa yang terpantul di kaca ini adalah.. wajah asli 'Halilintar' dengan manik rubi.

"Bagaimana bisa Berrin Riener mendapatkan benda ini?" syok Al.

"Wow.. ini luar biasa!" aku menatap kaca ini kagum.

"Kau cobalah juga Halilintar, mungkin saja wajahmu yang di dunia lain itu muncul."

Aku mengangguk senang. Kemudian mencobanya pada diriku. Selama beberapa saat, tidak ada perubahan sama sekali. Membuatku mengerenyit bingung.

Aku mencobanya kembali dan seketika sebuah cahaya putih terang muncul, membuatku dan Al spontan menutup mata kami karena silau.

Setelah cahaya itu menghilang, aku menatap ke kaca kecil itu bingung.

"Ini.. bukan diriku?"

"Huh?" Al juga terlihat bingung. Terlebih ketika Al berdiri di sebelahku, pantulan pada kaca itu juga bertambah.

"Hei, ini wajah siapa?" tanyaku heran.

"Kenapa dia terlihat familiar ya?"

Rambut hitam dengan helaian rambut putih, mata coklat cerah dan tatapan lembut serta tegas itu.

Baik aku dan Al saling menatap bingung. "Dia.. siapa ya?" Aku berusaha mengingat apa pernah melihat wajah yang ada di pantulan kaca ini.

"Sepertinya kaca ini rusak?" tanya Al.

"Sepertinya begitu, bukankah ini sudah lama hilang? Astaga, bikin terkejut saja."

Aku meletakkan kaca itu di meja, mengabaikannya dan beralih ke buku-buku kuno yang dikirimkan Berrin Riener padaku.

"Arghh! Banyak sekali! Apa aku bisa membaca semua ini?" gerutuku dengan wajah malas.

Al hanya menatapku dengan tatapan sinis. "Jangan banyak bicara, baca saja."

"Arter?"

Pintu terbuka, menampilkan Ice dengan wajah mengantuknya. Ia masuk dan memandang sekitar dengan wajah heran.

"Kau bangun tidur?" tanyaku.

"Tidak."

Aku menghela napasku. "Kemari. Duduklah disitu."

"Buku apa itu?" Ice menatap heran buku di tanganku.

"Buku kuno, katanya kita bisa mencari tau tentang mana seseorang yang bisa di manipulasi di buku ini," jawabku.

"Jadi menurutmu, kita bisa menghindari kematian Ibu di masa depan?" tanya Ice.

"Ya, kami masih berusaha. Jadi jika kau memang merasa bersalah, bantu aku dan baca buku-buku itu," kataku tenang.

"Apa yang akan kudapat dari semua ini?"

Aku dan Al langsung menatap Ice dengan tatapan dingin.

"Kau mengharapkan upah?" tanya Al.

"Aku hanya bertanya."

"Aku akan memberimu kesempatan."

Aku menjawab dengan dingin. Tatapan mataku menajam ketika dia melirikku.

"Karena aku ingin memanfaatkanmu, jadi aku harus bisa mempergunakan mu dengan bagus."

Ice mengangguk kemudian mengambil salah satu buku yang ada di meja dan langsung membacanya.

"Arter, darimana kau mendapatkan buku-buku ini?" tanya Ice.

"Kau tidak perlu tau aku dapat dari mana. Baca saja dan beritahu aku jika kau menemukan sesuatu," ujarku dingin.

Ice menatapku dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Ia kemudian menghela napasnya lalu mengangguk pelan. "Baiklah."

Kami membaca buku itu dalam diam. Keheningan panjang menemani kami di dalam ruangan kerja itu. Sesekali Gopal Acrowl dan Amar Vere masuk untuk membawakan beberapa makanan juga dokumen yang kami butuhkan atau informasi mengenai musuh.

Aku dan Al juga mencoba mempraktekkan apa yang tertera di buku-buku itu, namun kami tak berhasil melakukannya. Bahkan ketika Ice mencoba pun tetap saja tidak terjadi apa-apa. Rasanya aku mulai lelah dan berpikir kalau semua ini sia-sia.

Tapi, jika aku menyerah, orang-orang di dunia ini akan kembali kesulitan. Aku akan mengulangi hidupku dan Al akan hancur.

Sial, kepalaku pusing.

"Azer, apa yang kau lakukan setelah kau membunuhku?"

"Aku tidak bisa menjadi ya---"

"Jika kau tidak menjawabnya, maka aku tidak akan memaafkanmu."

"Apa!? Kak Halilintar, jangan begitu! Aku minta maaf!"

Ice langsung berdiri dan menatap kami dengan tatapan panik. Ia mulai berkeringat dingin. Al menggeplak kepalaku dan menatapku tajam.

"Dasar bodoh," sinisnya padaku. "Azer, tenanglah. Katakan saja," kata Al.

"Ta-tapii--"

"Ya sudah, aku tidak akan memaafkanmu," sahutku malas.

"JANGAN KAK! AKU AKAN JELASKAN! AKU DAN SAUDARA KITA YANG LAIN MATI KARENA KAMI DISERANG LEIRON ARGAN JUGA PENYIHIR GELAP SEHINGGA BAIK AKU DAN ARZEN TIDAK BISA MELINDUNGI KEKAISARAN KITA! AKU MINTA MAAF! AKU TIDAK BISA MELINDUNGIMU ATAUPUN SAUDARA KITA YANG LAIN!!"

"KETIKA ARZEN TAU AKU MEMBUNUHMU TANPA IZINNYA DIA MEMARAHIKU DAN MENGHUKUMKU! NAMUN SEBELUM HUKUMAN ITU TERJADI KAMI DISERANG SECARA MENDADAK OLEH PENYIHIR GELAP!"

"KAK HALI KUMOHON JANGAN BENCI AKU!"

Ice tiba-tiba berteriak sambil menjelaskan, airmata mengalir dari manik aquamarine itu. Aku dan Al langsung saja terkejut. Mereka semua mati setelah kematianku? Apa maksudnya itu?

"Azer..."

"AKU BERSALAH! AKU BERSALAH! MAAFKAN AKU! HUKK!"

Baik aku dan Al sendiri hanya bisa diam. Kami membiarkan Ice menangis, karena sejujurnya baik aku dan Al sendiri tidak tau apa yang harus kami lakukan.

Selama beberapa saat, hanya ada suara tangisan yang terdengar. Aku dan Al duduk dengan canggung, menatap Ice yang masih sedikit terisak.

"Apa yang terjadi dengan yang lainnya?"

"Hikk, Arlen adalah yang mati pertama kali saat serangan itu, lalu Arven, Asern. Kami sempat kehilangan Axer, namun tak lama kami menemukannya tewas juga didekat ruangan kerjamu. Sementara aku dan Arzen tewas karena luka fatal dari Penyihir Gelap..."

"Kenapa? Apa itu benar-benar Penyihir Gelap?" tanyaku.

Ice mengangguk. Ia mengusap airmatanya dan menatapku dengan sendu.

"Aku pertama kali melihatnya sebelum aku pergi untuk menemuimu. Awalnya aku curiga karena dia memiliki mata ruby seperti milikmu. Tapi, aku mengabaikan kecurigaanku itu dan pergi untuk menjalankan rencanaku."

"Kau bilang kau menemukan Axer diruang kerjaku? Bagaimana dengan aliran mana disekitarnya?"

Ice menghela napasnya. "Itu lah yang membuatku dan Arzen sempat heran dan pusing," katanya.

Aku dan Al saling bertatapan. Seolah saling mengirimkan sinyal, kami menatap Ice dengan wajah serius.

"Azer, apa mana yang kau dan Arzen rasakan itu adalah aliran mana yang mirip dengan milikku?" tanya Al.

Ice mengangguk.

Sial! Bahkan tanpa perlu aku cari tau lagi, ini benar-benar mana milik Penyihir Gelap itu! Jadi dia benar-benar memanipulasi mana milikku?! Tapi bagaimana caranya dia melakukan itu?

"Azer, bagaimana bisa Axer terpisah dari kalian?"

"Maaf, aku juga tidak tau. Kami terpisah ketika ledakan kedua datang."

Aku menghela napasku pelan. Aku bangkit dari dudukku dan menatap mereka serius.

"Azer, Al, jika ada yang mencurigakan saat serangan nanti, segera laporkan padaku."

Keduanya mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan?" Al menatapku dengan tatapan bertanya.

"Aku.. akan ke perbatasan dulu."

"Kakak!"

Ice memegang tanganku dengan gemetar, tatapan matanya terlihat takut.

"Aku hanya akan berbicara, Ice. Jangan khawatir."

"Perlu kutemani?" tanya Al.

Aku menggeleng, lalu menyebar mantel hitam yang ada di kursi.

Membuka jendela, aku merasakan angin yang berhembus. Aku menatap mereka sekilas, kemudian menghela napas lagi.

"Azer, jika ada sesuatu yang kau ingat lagi, segera beritahu Al."

Setelah mengatakan itu, aku melompat turun dan dengan segera melesat ke arah perbatasan.

Aku melesat dengan cepat. Aku yakin Al pasti sudah tau kalau saat ini aku sedang menahan emosiku lagi.

Dari kejauhan, aku bisa melihat pasukan Kerajaan Telare yang sedang bersiap untuk melancarkan serangan mereka. Aku bersembunyi diatas sebuah pohon besar yang cukup tinggi, mengamati pergerakan mereka.

Jejak terakhir Penyihir Gelap itu ada di Telare, yang artinya Kerajaan Telare sudah dapat dipastikan bekerja sama dengan Penyihir Gelap. Aku mengepalkan tanganku kuat.

Membayangkan Penyihir Gelap itu bahkan langsung membunuh adik-adikku setelah kematianku membuatku mual. Aku merasakan suatu emosi yang terus bergejolak sedari tadi. Itu bukanlah amarah, anehnya aku justru menyeringai. Menyeringai seolah aku puas ketika mendengar semua kata-kata yang keluar dari mulut Ice.

Ini aneh, apa ini emosi terpendam 'Halilintar'? Emosi yang terus ia tahan karena kehidupannya yang terus terulang ini?

----------

"Acrowl."

"Ya, Yang Mulia?"

Gopal Acrowl yang sudah Halilintar duga akan mengikutinya, berdiri di belakangnya dengan wajah datar.

"Malam ini persiapkan semua senjata. Sebelum mereka melewati jebakan yang kita pasang, kita akan menyerang mereka terlebih dahulu."

"Baik, Yang Mulia. Haruskah saya menyiapkan jebakan sihir juga?"

"Kau cukup peka. Ya, siapkan itu."

Halilintar mengeluarkan kekuatan Spirit Petir miliknya. Gopal Acrowl menatap tuannya dengan pandangan penasaran.

"Apa yang anda ingin lakukan?"

Halilintar menyeringai. "Membunuh mereka?"

Setelah mengatakan itu, kekuatan milik Halilintar dengan cepat melesat kearah pasukan Telare dan meledakkan tempat itu.

"Yang Mulia???"

"Hehehe, aku kesal saja."

Gopal Acrowl hanya bisa terdiam, tak mampu berkata-kata ketika melihat senyuman jahil di wajah Halilintar.

Sementara Halilintar nampak menikmati serangan yang ia lancarkan, Ice dan Al masih membaca buku-buku kuno itu. Al sendiri tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Ice karena perkataannya yang sebelumnya. Jadi ia terus menatap adiknya itu lekat, membuat Ice merasa tak nyaman.

"Kak Al, apa ada yang ingin kau katakan padaku?" tanya Ice.

"Apa kalian benar-benar mati setelah kau membunuhku? Bukankah kalian kuat? Kenapa kalian bisa kalah?"

"Kami juga tidak tau. Secara tiba-tiba Arzen tidak bisa menggunakan kekuatannya, bahkan Axer juga sama. Ketika kami terpisah karena ledakan itu, aku hanya sempat melihat Axer terlempar cukup jauh dari kami. Lalu ketika aku dan Arzen melarikan diri dan bersembunyi, saat itulah kami melihat Axer yang tewas dengan luka disekujur tubuhnya. Aliran mana disekitarnya sangat kacau dan anehnya ada aliran mana milikmu, Kak Al."

Mendengar penjelasan dari Ice, Al mencoba untuk mencari tau maksudnya.

ia mengambil kertas dan juga pena bulu lalu mencatat semua yang dikatakan Ice. Lalu ia mulai mengaitkannya dengan kematiannya yang terus berulang kali dan juga perkataan Dewa Elemen saat mereka bertemu sebelumnya.

"Azer, jika kau pada kehidupan kali ini kau diminta memilih, siapa yang akan kau pilih?"

---------

BOOOMMM!!

Suara ledakan yang terus muncul terdengar kencang. Halilintar mengayunkan pedang di tangannya dengan lihai, memotong dan menusuk kepala juga tubuh para musuh yang datang padanya. Di langit, Al dengan wujud dragbelnya mengeluarkan napas api dan menghabisi sebagian pasukan bantuan dari Telare yang baru saja tiba.

"Al! kirim badai ke arah mereka!" Halilintar memberi perintah.

Al menganggukan kepalanya lalu dengan segera mengepakkan sayapnya kuat, mengirimkan badai petir yang kuat pada musuh. Teriakan kesakitan itu terdengar di telinga Halilintar, mengalunkan bagaikan melodi kematian.

Halilintar dan pasukannya dengan cepat menerobos dan mengalahkan pasukan musuh. Mereka membakar, menebas, dan menghancurkan pasukan musuh dengan membabi buta, Gopal Acrowl mendekat pada Halilintar sambil menyeret salah satu komandan dari pihak musuh.

"Yang Mulia," panggil Gopal Acrowl lalu melemparkan musuh yang terluka parah pada Halilintar.

"Kuberi kau kesempatan. Katakan dimana kalian menyembunyikan Penyihir Gelap itu?" tanya Halilintar dengan wajah dingin. Ujung pedangnya ia arahkan ke leher pria yang berstatus sebagai Komandan Pasukan Telare.

"Takkan--ku--katakan padamu!"

"Katakan atau kau mati."

"Mon-monster kaghh---"

Halilintar tanpa ampun langsung saja menebas kepalanya, membiarkan kepala pria itu menggelinding begitu saja.

"Cari yang lain. Dapatkan info dari mulut mereka, jika tidak dapat langsung bunuh saja."

"Arter."

Halilintar menoleh pada Al yang dalam wujud manusianya. "Ada apa? Kau menemukan sesuatu?"

"Mereka bilang kalau Penyihir Gelap itu masih di istana Telare sekarang. Haruskah kita menerobos masuk kesana?"

"Kau yakin dia masih disana?" tanya Halilintar serius.

"Ya."

"Kita tahan dulu, mari kembali dan atur strategi--"

"YANG MULIA! PASUKAN UTAMA TELARE MENYERANG MARKAS! PANGERAN AZER TERLUKA PARAH!!!"

Ah, sial, Halilintar mengeram. Seharusnya ia tidak membawa Ice ke Tenggara!

---------

Ice mencoba menghalau serangan yang datang padanya dengan dinding es miliknya.

"Sial! Bagaimana bisa pasukan utama musuh malah datang kesini!?"

Ice menggerutu sembari menyerang musuh dengan panah es miliknya.

"Pangeran Azer! Dibelakang anda!" Amar Vere berteriak begitu musuk menyerang Ice dari belakang dengan pedang.

Ice menghindar dan langsung menyerang musuh dengan sihir Air miliknya, menenggelamkan musuh dalam pusaran air miliknya. Ia masih belum terbiasa dengan pertarungan seperti ini. Ini membuatnya lebih cepat lelah karena musuh terus menyerangnya tanpa henti. Ia sudah mengirimkan sinyal pada Halilintar, namun sepertinya Halilintar belum melihat sinyal darinya itu.

"Sial! Sebenarnya apa yang kami lewatkan?! Kenapa mereka tiba-tiba menyerang Menara Astrapi!?"

Ice dengan raut kesalnya terus maju sambil melemparkan sihir dan juga panah es. Di sampingnya, Amar Vere juga melindunginya dari musuh yang terus menargetkan Ice.

"Apa belum ada kabar dari Putra Mahkota!?" teriak Ice.

Ice mulai kewalahan, sebagai pasukan pergi ke perbatasan dimana perang dengan Kerajaan Telare dimulai. Meski masih ada cukup banyakan pasukan di Menara Atrapi, pasukan musuh kini lebih banyak jumlahnya dari mereka Karena itulah Ice merasa kewalahan menghadapi mereka semua.

"Pangeran Azer! Pasukan bantuan dari Ibukota akan segera tiba!" Dari kejauhan, Luke Nevara berteriak pada Ice.

Sedari tadi Luke Nevara bertugas untuk menahan musuh agar tidak masuk ke menara Astrapi lebih dalam.

"Count Nevara! Bagaimana dengan Putra Mahkota?!"

"Belum ada signal balasan! Bertahanlah sampai pasukan bantuan tiba!" teriak Luke Nevara.

Sial, tenagaku mulai habis, batin Ice.

"PANGERAN!"

Ice terlambat menyadarinya. Sebuah serangan mengarah padanya dan meledak di dekatnya. Ice terlempar dan memuntahkan darah dari mulutnya. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak akibat ledakan yang mengenai tubuhnya itu. Tubuhnya terluka parah, kakinya lemas akibat luka yang muncul dan ia mulai kehabisan tenaga untuk bangkit.

"Ugh... kakak.." gumaman pelan itu terdengar menyedihkan.

"Hik...Kak Hali.."

Ketika sebuah sihir api mengarah padanya, Ice hanya bisa memejamkan matanya. Pasrah dengan apa yang akan terjadi.

"AZER! GERUDI TAUFAN!"

Sebuah angin topan muncul dan dengan cepat menghancurkan serangan itu. Ice mengangkat kepalanya, menatap seseorang dengan pakaian serba biru dan putih yang kini memegang sebuah bumerang di tangannya.

"Axer..?"

"Kau baik-baik saja? Dimana Arter? Kenapa kau sendirian?!"

"Axer?"

"Iya ini aku, astaga kau terluka! Harusnya aku mengajak Arlen tadi! Fang! Cepat bawa Azer ke tempat yang aman!"

Fang Ivor muncul dan dengan segera membawa Ice dengan bantuan Amar Vere.

"Axer.. bagaimana denganmu? Ke-kenapa kau disini?"

"Aku baik-baik saja. Obati lukamu. Serahkan sisanya pada kami."

"PUSARAN TAUFAN!"

Taufan terbang dengan cepat dan langsung menyerang pasukan musuh dengan pasukan bantuan dari Istana. Sesaat sebelum Ice kehilangan kesadarannya, ia bisa melihat seringai tipis di wajah Taufan yang menyerang musuh dengan tawa gilanya.

---------

"Bagaimana keadaan, Azer?"

Taufan mendekat dengan pakaian kerajaannya yang kotor dengan darah. Disebelahnya, Fang Ivor memberikan sapu tangan agar Taufan bisa membersihkan darah yang terciprat di wajahnya.

"Salam pada Bintang Kedua Kekaisaran, saya Luke Nevara memberi salam." Luke menundukkan kepalanya, memberi salam pada Taufan.

"Ya, Count Nevara. Bagaimana keadaan adikku?"

"Tabib sudah melakukan pemeriksaan dan saat ini para penyihir sedang memberikan sihir pemulihan pada Pangeran Azer."

Taufan mengangguk. "Dimana kakakku? Aku tidak melihatnya."

"Yang Mulia Putra Mahkota saat ini sedang berada di perbatasan untuk mengatasi pasukan Telare yang menyerang. Namun kami lengah dan tidak menyadari bahwa musuh menyiapkan 2 pasukan utama dan menyerang Menara Astrapi ketika Putra Mahkota pergi."

"Aneh sekali. Kalian lengah seperti ini? Seperti bukan kakakku saja."

DRAP DRAP DRAP

Taufan melirik kearah pintu lorong, dimana suara seseorang sedang berlari terdengar keras.

"Siapa yang berlarian di lorong seperti itu?" heran Taufan.

BRAKKKK!!

"Azer!!!"

Halilintar dan Al masuk dengan wajah panik dan keringat di wajah mereka. Napas keduanya terlihat memburu, seolah mereka habis dikejar sesuatu.

"Kakak Pertamaaa~~~"

Taufan yang melihat kedatangan Halilintar langsung tersenyum dan berlari untuk bergelendotan di lengan kakaknya itu.

"Taufan!? Kenapa kau disini? Huff! Huff! Bagaimana dengan Ice!?"

"Hei, Arter, tarik napas dulu,"

Luke Nevara terlihat terkejut dengan kedatangan Halilintar. Ia memberikan sebotol air pada sang Putra Mahkota. Halilintar menolaknya dan terus berfokus pada adiknya.

"Axer, dimana Azer?"

"Di dalam, sedang menerima sihir pemulihan," jawab Taufan.

"Sebenarnya apa yang terjadi Count Nevara? Bagaimana bisa Azer terluka?"

Mendengar pertanyaan dari Al, Luke Nevara merasa gugup. Ia tak sanggup menatap manik violet yang melihatnya dengan tatapan tajam. Seolah ia sedang melihat Halilintar yang sedang marah padanya.

"A-ah, itu Pangeran Azer dan saya sedang mengamati situasi ketika tiba-tiba saja serangan muncul kearah menara. Kami langsung siaga dan Pangeran Kelima memimpin pasukan untuk menyerang balik musuh. Kami sempat terkejut karena jumlah musuh yang cukup banyak, sehingga saya langsung mengirimkan sinyal bantuan agar Putra Mahkota bisa mengetahui itu. Tetapi, anehnya setelah beberapa waktu berlalu tak ada sinyal balasan dari anda semua."

"Kalian mengirim sinyal?" Halilintar mendekat pada Luke Nevara. Ia menatap serius sepupunya itu.

"Iya, pada akhirnya saya pun mengirimkan sinyal darurat ke Istana De Glacius dan istana dengan segera mengirimkan pasukan bantuan yang dipimpin oleh Pangeran Kedua."

"Hehehe~ Kali ini aku berhasil membantu kalian kan? Meski sedikit terlambat, aku sudah berusaha datang secepat mungkin dengan sihir teleportasi milik istana," jelas Taufan.

Halilintar dan Al saling bertatapan.

'Kenapa rencananya jadi kacau begini?'

'Sial, Al, kenapa tidak ada yang berjalan lancar sihhh!!!'

"Sial, aku ceroboh. Luke Nevara, kumpulkan pasukan sekarang. Aku akan menemui kalian setelah melihat kondisi Azer."

"Baik, Yang Mulia!"

"Kakak bagaimana denganku?"

Halilintar menatap Taufan lekat, meneliti kondisi adiknya itu. Ia tersenyum tipis lalu mengusap rambut Taufan.

"Terima kasih untuk bantuanmu, Axer. Istirahatlah."

"Aaa! Aku baik-baik saja! Biarkan aku ikut denganmu eung?"

Taufan menatap Halilintar dengan tatapan memohon. Halilintar hanya bisa menghela napasnya.

"Tidak. Perang belum usai, Taufan. Tetaplah disini dengan Azer. Al, kau juga tetap disini."

"Baiklah." Al menjawab dengan patuh.

"Aahhh! Aku juga mau ikut berperang denganmu! Biarkan aku ikut! Biarkan aku ikutt~!"

Halilintar mengabaikan rengekan Taufan, ia berjalan menuju ruangan dimana Ice sedang diobati.

Ketika ia masuk, seorang tabib dan penyihir baru saja selesai memberikan sihir pemulihan. Begitu mereka melihat Halilintar berdiri dengan raut tajam di dekat pintu, kedua orang itu langsung saja tersentak dan menunduk hormat dengan perasaan gugup.

"Bagaimana keadaannya?"

"Ka-kami sudah berusaha sebaik mungkin, Yang Mulia. Ta-tapii--"

"Tapi apa?" Nada bicara Halilintar mulai memberat. Tatapannya mulai menajam seperti binatang buas.

"Ke-kemampuan kami tak ma-mampu menyembuhkannya Pangeran Azer secara me-menyeluruh-- ARGHH!!"

Al dan Taufan hanya bisa meringis begitu kedua Tabib dan Penyihir itu terlempar akibat kemarahan Halilintar.

"Taufan, kenapa Thorn tidak ikut?"

"Ah, karena ini adalah perintah dadakan, hanya aku yang ada di istana tadi."

Halilintar pada akhirnya mendekat pada Ice, menatap wajah pucat yang ini sedang meringis itu.

"Azer," panggil Halilintar.

Perlahan Ice membuka matanya, menatap Halilintar yang memberinya tatapan tajam.

"Ak-aku hanya.. mencoba melindungi ma-markas.."

"Baiklah." Pada akhirnya Halilintar melunak.

"Ini akan sakit, bertahanlah."

"Halilintar, apa yang ingin kau lakukan?" Al menahan tangan Halilintar yang hendak mengobati Ice.

Halilintar menatap Al dengan tatapan tajam.

"Menurutmu apalagi?"

"Hei, tenanglah. Kau tetap butuh tenaga untuk perang nanti, kau harus simpan tenagamu."

"Uhm Al benar, bukankah kau bisa menyerahkannya pada Tabib itu?" tunjuk Taufan pada Tabib yang kini gemetar ketakutan itu.

"Aku tidak percaya mereka."

"Halilintar, Azer akan baik-baik saja. Ini berbeda dari yang dulu--"

"Karena itu berbedalah hal ini menyebabkan dia terluka lebih parah dari sebelumnya!!" Halilintar berteriak.

Taufan terkejut mendengar teriakan kakaknya itu. "Kak Arter?"

"Kita lengah padahal kemarin kita sudah tau siasat mereka! Aku terlalu lengah dan santai karena sudah tau taktik mereka tanpa menyadari bahwa mereka juga sudah taktik kita!"

"Sial! Sial! Sialan!!!"

"Arter tenanglah! Azer akan baik-baik saja!" Taufan mencoba menenangkan kakaknya itu.

"Taufan, kenapa kau? Kenapa harus kau yang datang?"

"Apa maksudnya itu? Tentu saja aku juga datang karena aku khawatir!" kesal Taufan.

"Kenapa harus kau? Kenapa kau datang setelah semua yang aku ketahui..." gumaman pelan dari Halilintar itu membuat Taufan terdiam.

"Kau tidak menyukai kedatanganku kak?"

"Azer, aku yakin maksud Halilintar bukan begitu, " kata Al.

"Diam Al! Kau tidak menyukai kedatanganku karena takut aku mengganggumu kak?" Taufan mendekat ke Halilintar dan menyentuh bahu kakaknya itu.

"Kau benci aku?"

Halilintar hanya diam. Ia membuka mulutnya, namun kembali menutupnya, seolah ia merasa ragu.

"Arter, kau tidak menyukai kedatanganku? Apa aku menghambat rencanamu?"

"Tidak, aku hanya.. sial! Maaf Taufan, aku terbawa emosi."

Taufan hanya bisa menatap Halilintar dengan tatapan khawatir.

"Aku-- aku tau aku bukan Pangeran yang hebat. Tapi, aku juga ingin diakui olehmu."

Ah, Halilintar merasa berjalan diatas bom yang akan meledak. Ia tidak tau harus melakukan apa.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Apa kabar teman-teman? Semoga kalian baik-baik saja. Maaf telat ya, seharusnya update tanggal 30 malam kemarin, tapi sialnya chapter ini malah kehapus karena kecerobohan saya(⁠╥⁠﹏⁠╥⁠) Jadi chapter ini baru dan belum saya revisi sepenuhnya, tapi ya semoga aman huhuhu(⁠╯⁠︵⁠╰⁠,⁠)

Dan kita juga mulai masuk ke sesi Arter-Axer ya. Dan disini, sesi Azer dan Axer itu saling berhubungan ya. Dan spoiler dikit, Halilintar dan Taufan itu juga reinkarnasi dari seseorang di masa lalu(⁠≧⁠▽⁠≦⁠)

Semoga chapter kali ini memuaskan yaಥ⁠‿⁠ಥ Typo bertebaran 🚨

See you again in the next chapter ~



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro